Minggu, 15 Mei 2011

Permainan Ayah-Anak Kali Kedua (penggalan doang)

(saya coba ngikutin sini. tapi saya ga pernah ngirimin karya saya antara jam 9-11 malam itu karena ga punya modem sendiri di jogja sini. udah ada beberapa karya. salah satunya udah pernah saya post. nah ini untuk tema tanggal 9 mei 2011, "AYAH", saya kembangkan dari salah satu fragmen dalam bakal novel saya. terima kasih kepada mereka yang telah mencetuskan adanya kegiatan semacam ini, semoga Allah SWT membalas :))


Mula
Ini adalah kali kedua kami berperan sebagai ayah dan anak. Om Yan dan aku. Pada mulanya adalah percakapan iseng antara aku dan kawan akrab mamaku saat SMA yang lalu jadi teman baikku juga itu,
“Gimana ya rasanya punya anak yang udah sebesar Bibe?”
“Tanya aja orangtuaku, Om.”
“Hahaha…”
“Aku juga penasaran gimana rasanya ya punya papa yang kayak Om.”
“Mau jadi anak Om, Bibe?”
“Om mau jadi papaku?”
“Enggak. Saya maunya jadi Ayah.”
“Oke, Ayah… Jadi, Ayah, kita mau ke mana, Ayah…”
“Hahaha… Enaknya pergi ke mana, ya, Nak?”
Pagi ini aku sengaja pulang ke rumah hanya untuk mengambil gitar dan kaset lawas Mama. Papa sudah di rumah, menghirup kopi dan mengemut roti panggang. Tapi aku lekas saja lanjut pergi ke sekolah.
Ada yang ingin aku tunjukkan pada Om Yan.
 
(setelah ini ada bagian 1-8, tapi dilewat aja ya, hihihi...)


Akhir
Papa meminta Tante Zaha meminjamiku baju hangat meski aku sudah merasa cukup dengan sweater dari Om Yan ini.
Tadinya aku sudah duduk mengangkang di atas Honda Astrea reyot Papa, dengan kedua belah tangan menarik-narik ujung rok ke depan, tapi Papa menyuruhku duduk menyamping saja. Papa mencantel ranselku di bagian depan motor sementara tas gitar aku gendong sendiri. Tas selempang Papa menjadi sekat di antara kami.
Motor yang kami naiki mulai batuk-batuk. Aku mengenakan helm lalu melambaikan tangan pada Tante Zaha yang mengantar sampai di balik pagar. Dia merapatkan pashmina yang membalut setengah tubuhnya sebelum membalas. Sebetulnya aku kasihan meninggalkannya di rumah seluas itu hanya dengan seorang pembantu belia saja. Semoga Om Pir cepat datang kembali untuk menemaninya…
“Tadi jalan ke mana aja sama Om Yan?” tanya Papa di tengah laju motor yang menembus angin malam.
“Kartika Sari, sama Dago Tea House…”
“Ngapain aja?”
“Mmm… Cuman jalan-jalan aja, ngobrol-ngobrol…”
“Bibe seneng jalan-jalan sama Om Yan?”
“Seneng…”
Hanya percik lelampu kota, lubang-lubang di jalan, deru mesin banyak kendaraan, dan sekian keramaian para makhluk pengisi gelap lain yang mengisi perjalanan kami kemudian, sebelum Papa bertanya lagi padaku, “Katanya Bibe marah sama Papa ya?”
Aku tidak langsung menjawab. “Enggak…” dustaku kemudian, padahal di jawaban sebelumnya aku jujur-jujur saja.
Siapa yang tidak marah sih kalau buku hariannya dibaca dan, perhatikan, dikoreksi—bukan oleh dirinya sendiri(!)? Sampai sekarang pun aku rasa aku bakalan masih muak kalau melihat tulisan Papa di buku harianku.
Memang editor lebay papaku ini. Mukaku menabrak jaket kulitnya. Tapi tidak lama—dia mendadak ngerem tadi karena ada ibu-ibu mau menyeberang.
“Tinggal di rumah Tante Zaha enak, Bibe?”
Aku mengantuk. “Kasian Tante Zaha enggak ada yang nemenin, Papa…” jawabku malas.
Dia tidak pernah menyinggung pakaian yang kukenakan pada malam itu, untunglah… Aku memejamkan mata. Terbayang sebuah rencana untuk mengajak Papa dan Mama ke Dago Tea House juga dengan membawa tikar, termos, roti lapis, dan SLR pemberian papaku tentu saja… Ah, tadi lupa kebawa.
“Bibe mau beli gorengan dulu enggak?”
“Enggak… Tadi udah kenyang makan Kartika Sari…”


(yah. sampai di sini saja. dan begitulah... :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...