...dikarang tahun 2010.
...
...
Zia membawa laptop Papa ke kamar. Ia ingin mencoba metode kerja Zaha: mengunci diri dalam keadaan kamar yang rapi dan tidak ada berisik—termasuk musik. Sunyi mendera. Hanya terdengar samar-samar orang bicara dalam kotak TV. Denting senar gitar. Suara-suara malam. Zia jadi merasa sendirian. Tidak punya keluarga. Mungkin seperti ini pula yang Asnah rasa di pojok bawah sana, menggurat kebosanan dalam buku tulis yang dibeli di warung.
Berkat metode Zaha pula, otaknya jadi
terasa bersih kini, bebas dari kecamuk pelbagai pikiran. Saking bersihnya, Zia
sampai tidak kunjung menemukan kata pertama untuk artikelnya. Tergugu ia
beberapa lama di hadapan laptop. Beberapa jemarinya pada beberapa tuts kibor. Tak ada satu pun tuts yang terpencet. Nulis apa? Nulis apa? Nulis apa?
Ia melirik notes di samping laptop.
Penuh dengan coretan-coretan yang tak sembarang orang dapat mencerna. Bagaimana
merangkai penggalan-penggalan informasi ini menjadi sebuah gugatan? Gugatan
agar ditegakkannya kebenaran dalam dunia pendidikan Indonesia. Apa yang hendak
ditulisnya terasa bagai sesuatu yang bakal jadi hebat. Orang bilang, jika kita
dapat memvisualisasikannya, kita dapat pula menggapainya. Tapi jika tak bisa
melalui prosesnya, maka visualisasi tetaplah visualisasi. Dan harus sekonkrit apakah
visualisasi itu? Apakah hingga kata per kata? Jika Zia tidak dapat
memvisualisasikan kata-kata untuk bakal artikelnya, apakah ia tak akan dapat
menggapai majalah semesteran berisi artikelnya?
Masih ada
besok... sebuah suara menggoda.
Tidak. Tidak ada nanti-nanti. Zia telah
belajar bahwa penundaan merupakan bagian dari kemalasan. Zia ingin buktikan
bahwa pelabelan orang-orang selama ini padanya adalah salah. Bahwa ia malas.
Tidak, ia tidak malas. Ia akan buktikan sekarang juga, memulainya dengan membuka
sebuah file berjudul i just make my own teenlit. Proyek teenlit-nya yang tak pernah selesai.
Ide ceritanya yang amat simpel membuat
Zia kerap minder dari Zaha. Jangan pernah sampai Zaha tahu bahwa Zia pernah
membuat cerita semacam ini—yang sudah terketik sampai halaman kelima puluh.
Cerita yang hampir semua tokohnya diambil dari dunia nyata, dinamai sama pula,
dengan kadar fiksi 99%. Cerita di mana Zia menjadi tokoh utama, dan ada
Bagas—satu-satunya kecengan Zia yang tak berkacamata dan tak berponi, Ezra,
Epay, Regi, Tata... Bisa dikatakan pula bahwa ceritanya adalah sebuah catatan
harian fiktif. Tapi Zia dalam kehidupan fiktif lebih bahagia. Bisa main gitar
betulan. Bisa menarik perhatian cowok. Bisa bernyanyi riang tanpa harus
dirisaukan oleh masalah keluarga. Bisa punya kakak cowok yang lucu dan
perhatian. Bisa punya orangtua lengkap yang kooperatif. Dengan kehidupan
seperti itu, yang perlu Zia fiktif urusi hanyalah persoalan bagaimana menggaet
Bagas atau Ezra. Zia belum kunjung menemukan apa faedah dari cerita tersebut
selain kesenangan personal yang sifatnya semu.
Zia berhenti membaca sampai halaman dua
puluh. Sebuah rekor. Biasanya ia sudah menutup file tersebut pada halaman kelima. Berhentinya ia membaca pun
karena datang sms dari Ega, yang isinya, “...di belakangmu...”
Zia memutar tubuh ke belakang. Tidak ada
apa-apa selain perabotan kamarnya. Balasnya, “Nggak ada siapa-siapa, weee...”
Ega membalas lagi, “...di sampingmu...”
Zia menaruh ponsel di atas meja seraya
berdecak. Kebiasaan buruk Ega kambuh lagi. Dan berhasil membuatnya merinding.
Zia sadar lagi akan kesendiriannya.
Kembali Zia menatap layar laptop. Ia
menekan Ctrl + F. Mengetik “Ega”. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Haha... Rasakan kamu, Ega, kamu cuman dapet
porsi dikit dalam teenlit-ku!
Sebuah sms datang lagi. Zia sudah malas
saja sekiranya itu berasal dari Ega lagi. Ternyata Bang Ali. Memberikannya
sebuah informasi lagi. Ternyata pada doa bersama sebelum UN, kepala sekolah
sempat menyinggung perkara kongkalingkong satu angkatan. Bukannya pencegahan,
kata-katanya malah berisi harapan agar Yang Maha Esa melancarkan aksi
kecurangan massal ini. Wow! Menarik, menarik... Zia menyalin isi sms Bang Ali
ke atas kertas notes. Tak lupa ia menyampaikan sms terima kasih pada Bang Ali
setelahnya.
Zia tak menyangka Bang Ali akan
sesuportif ini. Ardi saja sudah tak dapat memberikan Zia informasi baru
lagi—kendati ia sudah merongrong terus Mas Imin atas pinta Zia. Padahal sudah
cukup jasa Bang Ali dalam membuat Gio menyisakan space untuk tulisan Zia. Juga kesepakatan untuk merahasiakan ini
bersama sampai majalah semesteran sendiri yang menyampaikannya pada khalayak
SMANSON. Ini bakal jadi kejutan yang menyenangkan, pikir Zia. Ia tak bisa
membayangkan bagaimana reaksi para pelaku dan oknum-oknum pendukungnya nanti
setelah keburukan mereka ditelanjangi.
Zia juga sudah mewanti-wanti Kang Detol
untuk membeli majalah semesteran edisi besok. Inilah yang kau nanti-nanti, Kang! Zia tak sabar menunggu komentar
Kang Detol—lebih kepada bagaimana cara ia menulis, ketimbang isi tulisan itu
sendiri. Kang Detol pasti akan terkagum-kagum padanya. Terkejut akan isi,
sekaligus salut pada sang penyaji.
Sesalut ia pada Bang Ali yang telah
membantunya mengorek informasi. Zia sempat khawatir Bang Ali akan
terang-terangan menanyai narasumbernya, “Apakah Anda terlibat dalam proyek
manipulasi UN SMANSON?”, namun ternyata pendekatan Bang Ali lebih halus dari
itu. Kedekatan personal amat berperan, ungkap Bang Ali—yang merasa beruntung
karena cukup bergaul dengan mereka yang potensial sebagai korban maupun pelaku.
Ditengarai, terdapat kasus serupa di beberapa SMA negeri lainnya di Bandung,
namun sistem mereka tak serapi di SMANSON.
Semakin Zia takjub karena Bang Ali dapat
pula menemukan sumber dari pihak guru yang diam-diam menentang sistem ini.
“Ingat, Zia, prinsip cover all sides,”
kata Bang Ali, yang membuat Zia semakin merasa dirinya tidak cocok benar
menjadi wartawan. Tanpa kontribusi Bang Ali, mungkin Zia akan mengandalkan
sumber dari Ardi saja. Para sumber yang Bang Ali tanyai akhirnya mau mengaku.
Tapi mereka tidak tahu bahwa keterangan mereka akan digunakan untuk menyerang
almamater.
“Wah, Bang Ali curang,” kata Zia via
sms. Tapi tak urung ia terkikik.
Balas Bang Ali, “Kebenaran harus
ditegakkan! Anak LEMPERs aja nggak ada yang keliatan ngerasa bersalah dengan
itu. Mana idealisme mereka sebagai jurnalis? Bahwa kejujuran adalah yang
utama?”
“Idealisme! Aku suka kata itu!”
“Saya juga suka. Suka juga sama kata
subversif.”
Zia memikirkan kata apa lagi yang ia
sukai. “Potensi,” ketiknya kemudian. Balas Bang Ali, “Skeptis.” Balas Zia lagi,
“Semangat”. Tangguh. “Bakat.” Radikal. “Anarki?” Masif. “Coklat!” Kritis.
“Komik.” Disiplin. “Wahana
terselubung!” Haha, Kang Lutung yah?
“Cie, Bang Ali naksir sama Kang Lutung nih?” LEMPERs. “U2!” Rendra.
“Nasib....” Sosial. “Gitar” Aktif. “Retro.” Gigih. “Super power girl!”
Gie.
Zia ingin mengetik “Bang Ali”. Iya.
Tidak. Iya. Tidak. Keburu datang lagi sms Bang Ali. “Udah dibikin tulisannya?”
Zia bingung harus membalas apa. Harus
jawaban yang oke! “Lagi brainstorming,
hehe.”
“Jangan straight news yah. Kurang nendang entar. Bikin yang bernyawa!”
“Iya, aku mau bikin yang kayak artikelku
dulu itu loh,” ketik Zia, tak lupa menekankan, “yang pernah masuk majalah
semesteran.”
“Sip! Entar kalo udah selesai, saya
pingin cepet baca.”
“Oke!”
...keinginan
hatimu, kawan, tiada nyata tanpa kerja... Mendadak nyanyian Ipong yang kapan itu mengiang di kepala Zia.
Zia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia mengepalkan kedua tangan ke
tangan ke udara. “BISA!” teriaknya, seperti akhir dari salam PATIN seusai
latihan. Semangat sudah merambah ke sekujur tubuhnya—disertai debar jantung
karena sms-sms Bang Ali—dan kini merambat pula ke sepasang tangannya. Waktunya
untuk bekerja!
...
Itu artinya, harus cari bentuk lain untuk mengungkapkan
betapa susahnya menulis. Tapi ketimbang mengerahkan upaya untuk itu, bukankah
lebih efesien mengerahkan upaya untuk menulis apa yang memang seharusnya
ditulis?
Oke, mari kita lihat nanti energi untuk mana yang
lebih meluap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar