“Most writers require some kind of solitude,”
kata penulis dan akademisi Richard Marius dalam esainya, “Writing and Its Reward”. Penulis besar
Prancis, Marcel Proust, bahkan melapisi ruangannya dengan gabus supaya ia bisa
menyelesaikan karya-karyanya dalam suasana yang sangat sunyi. Aku bukan
penulis, tapi kebanyakan waktuku kuhabiskan dengan menulis. Foto di atas
menampilkan sudut di mana aku biasa menulis apa-apa yang mungkin baru dibaca
orang lain setelah aku meninggal. Sudut ini merupakan bagian dari ruangan 3 m
x 4 m, yang terletak di salah satu pojok di lantai dua rumah orangtuaku.
Ruanganku sebelumnya di lantai bawah dijajah adikku yang berantakan. Dalam
situasi tertentu aku suka (bahkan merasa perlu untuk) menata barang-barang,
walau foto di atas menunjukkan sebaliknya. Jadi ketimbang menggunakan
ruangan bersama adikku itu, aku putuskan berhijrah demi privasi. Walaupun
demikian pada suatu waktu gagang pintu ruangan ini dijebol supaya tidak bisa
dikunci. Sekarang aku menggunakan kardus untuk menahan pintu supaya tidak
terbuka lebar.
Ada masa-masa di
mana aku tidak punya meja dan kursi untuk menulis. Aku tetap bisa menulis.
Tapi aku merasa lebih suka dengan kondisi ada meja dan kursi, apalagi jika mejanya
lebar serta kursinya empuk dan dapat berputar. Selain itu tentu saja wajib ada
alat untuk menulis (entah sekadar kertas dan pulpen maupun laptop), referensi
kalau diperlukan, dan alat untuk menyetel musik keras-keras.
Ada masa-masa di mana aku hanya bisa
mendengarkan musik dengan earphone.
Aku tetap bisa menulis. Tapi aku merasa lebih suka kalau di sampingku ada alat
yang bisa menyetel musik keras-keras. Saat SD hingga SMA, aku punya alat yang
bisa menyetel radio, kaset, dan CD. Era kaset telah berlalu. Alat yang ada di
ruanganku kini bisa menyetel mp3
(baik dalam flashdisk maupun CD) dan
radio, ditambah laptop dengan speaker tambahan.
Tapi kualitas audio dari speaker mini
compo ternyata masih lebih jeger ketimbang dari sebuah tabung kecil.
Aku tidak harus
selalu mendengarkan musik saat menulis. Kadang aku nyalakan pelan saja, atau
malah sunyi sama sekali. Semakin kemari agaknya aku mulai tidak bisa
menikmati musik sembari mengerjakan hal lain sekaligus. Masing-masing perlu
konsentrasi. Apalagi kalau aku benar-benar ingin mendengarkan lagu tertentu,
aku perlu membunyikannya keras-keras dan malah ikutan bernyanyi. Semacam
katarsis kukira.
Dulu sinyal wi fi sampai ke ruangan ini, sekarang
tidak lagi. Sumbernya berjarak tiga ruangan ke sebelah kiri. Maka untuk
mencari referensi menulis di internet aku harus menggunakan modem sendiri,
atau membawa laptop ke ruangan lain, atau sekalian menggunakan komputer di
ruangan sumber.
Aku sengaja
membiarkan dinding di atas meja polos saja. Sebagian orang mungkin suka
menempelkan pernak-pernik, kertas warna-warni, atau berbagai hiasan lain. Tapi
sekarang aku tidak mau menghabiskan waktu untuk membuat semacam itu, yang
bagiku sepertinya bakal menambah pikiran saja dan pada akhirnya cuman jadi
sampah.
Di ruangan ini juga
terdapat tempat tidur (yang cukup lebar untuk satu orang), lemari (yang tidak
menyimpan baju-baju yang biasa kupakai), dan dua rak berukuran sedang di mana
aku menaruh setumpuk koran, majalah, dan buku (yang walau sudah kusortir untuk
penunjang apa yang lagi ingin kupelajari tapi tidak benar-benar kubaca), juga
corat-coretanku dan peninggalan skripsi.
Di seberang meja
terdapat jendela yang cukup besar, terdiri dari dua panel kaca dengan engsel di
atas. Sering kali keduanya aku buka selebar mungkin demi sirkulasi udara yang
baik (aku pikir begitu), walau akibatnya bukan hanya debu yang mondar-mandir
tapi juga kucing. Dinding di bawah jendela pun dihiasi tapak-tapak kaki
kucing. Setahuku ada tiga ekor kucing yang memanfaatkan jendela ini untuk akses
keluar-masuk: dua jantan (dan saling bermusuhan) serta satu betina. Ukuran
jendela juga memberikan pencahayaan yang baik, terlalu baik malah. Biasanya
saat pergantian dari siang ke sore sedang cerah-cerahnya, matahari leluasa
menyorotkan sinar dan panas ke dalam ruangan.
Ketika ruangan ini
terasa begitu panas dan berdebu, aku maklum karena lokasinya di Kota Bandung
yang sudah tidak begitu sejuk, tepatnya tidak jauh dari Kiaracondong: area
hiruk-pikuk di mana stasiun, pasar, pertokoan, pemukiman, jalan layang, hingga
jalan besar (bypass) bercampur
aduk—bayangkan arus kendaraan di kawasan itu dan sekitarnya. Kadang ketika aku
membersihkan muka dengan facial lotion
dan kapas saat malam, permukaan kapas itu menjadi hitam. Padahal bisa jadi
seharian aku berkubang di rumah saja.
Suara-suara dari
luar terdengar jelas di ruangan ini. Aku bisa mengenali penjaja apa
saja yang hilir mudik di jalan samping rumah, juga sesekali menangkap
bincang-bincang tetangga yang sama sekali tidak kukenal (maupun mengenalku).
Satu lagi penunjang
tempat menulis yang ideal adalah lampu. Terutama bagi yang penglihatannya
terbatas sepertiku. Matahari tidak bersinar dua puluh empat jam, dan saat
bersinar pun kadang cahayanya tidak cukup kuat. Menulis dalam penerangan yang
kurang memadai lama-lama bikin sakit mata, atau malah penglihatan kabur sejak
awal.
Aku tidak terbayang
“sudut” yang lebih "ideal" bagiku ketimbang sudut di mana aku mengetik sekarang.
Segala fasilitas yang tersedia untukku menulis lebih dari cukup malahan, alhamdulillah,
sampai-sampai aku khawatir tidak bisa mengoptimalkannya. Ruangan yang nyaman
dan lingkungan yang individualis seperti ini barangkali sangat mendukung
kerja kepenulisan, tapi juga tidak baik untuk kepribadian. Kadang kamu jadi sama
sekali tidak ingin keluar dari kamarmu dan mengerjakan hal lain, betapapun harus.[]
written as suggested in A Reader for Developing Writer: Fifth Editon (Santi V. Buscemi, 2002, McGraw-Hill)
"Kadang kamu jadi sama sekali tidak ingin keluar dari kamarmu dan mengerjakan hal lain, betapapun harus."
BalasHapusThis sentence sums up my present days! ^-^
Lol. Is that okay for you? I feel somewhat guilty, though.
HapusThank you for coming from so far, far away ^^