Sekarang musim gugur. Daun-daun berubah
warna. Pagi ini tidak berangin, tapi ratusan daun rontok. Kalau ingin
menyaksikan semuanya—sehelai daun, atau sebilah rumput—kau harus, kukira,
memahami kekuatan cinta. Bu Uxbridge berusia enampuluh tiga. Istriku sedang
pergi. Bu Smithsonian (yang tinggal di sisi lain kota), suasana hatinya kurang
baik belakangan ini. Jadi aku merasa pagi ini tidak seperti biasa. Seakan waktu
memiliki ambang atau serangkaian ambang yang tidak bisa aku lintasi. Bisa saja
aku melewatkan sepak bola, tapi Peter terlalu kecil. Satu-satunya teman sepak
bolaku pergi ke gereja.
Istriku Bertha diharapkan datang pada
hari Senin. Iapun keluar kota hari itu dan kembali Selasa. Ia wanita muda yang
menarik dengan rupa yang elok. Matanya, menurutku, agak berdekatan. Kadang ia
suka mengeluh. Sewaktu anak-anak masih kecil, ia gunakan cara menjengkelkan
untuk mendisiplinkan mereka. “Kalau kamu tidak habiskan sarapan ini sampai
hitungan ketiga,” ujarnya, “Mummy bakal kurung kamu di kamar. Satu. Dua. Tiga…” Aku mendengarnya lagi waktu makan
malam. “Kalau kamu tidak habiskan makanan ini sampai hitungan ketiga, Mummy
bakal kurung kamu di kamar dan tidak bakal kasih kamu makan. Satu. Dua. Tiga…”
Aku mendengarnya lagi. “Kalau kamu tidak bereskan mainanmu sebelum hitungan
ketiga, Mummy bakal buang semuanya. Satu. Dua. Tiga…” Berlangsung terus sampai
kamar mandi dan waktu tidur, satu-dua-tiga menjadi ninabobo mereka. Kadang aku
pikir ia mestinya sudah belajar menghitung sejak kanak-kanak. Ketika ajalnya
tiba, ia akan menghitung mundur kedatangan Malaikat Maut. Kalau kau
mengizinkan, aku mau tambah segelas gin.
Ketika anak-anak sudah cukup besar untuk
bersekolah, Bertha mengajar Ilmu Sosial di kelas enam. Pekerjaan ini membuatnya
sibuk dan bahagia. Ia bilang ia selalu ingin jadi guru. Ia terkenal disiplin.
Ia mengenakan pakaian gelap. Tata rambutnya sederhana. Pupil matanya menuntut
rasa bersalah dan kepatuhan. Untuk menyemarakkan hidup, ia bergabung dengan
grup teater amatir. Ia memerankan pelayan di Angel Street dan sobat lama di Desmonds
Acres. Teman-temannya di teater menyenangkan. Aku suka mengantarnya ke
sana. Penting untuk diketahui kalau Bertha tidak minum. Ia akan menerima
Dubonnet dengan sopan, tapi tidak menikmatinya.
Lewat teman-teman teaternya, ia tahu
sedang ada audisi untuk pertunjukan telanjang berjudul Ozamanides II. Ia memberitahuku hal tersebut dan segalanya seputar
itu. Kontrak mengajarnya termasuk sepuluh hari izin sakit. Dengan mengajukan
izin sakit selama sehari, ia pergi ke New York. Audisi Ozamanides dihelat di kantor produser di pusat kota. Ia dapati
seratusan pria dan wanita mengantri untuk diwawancara. Ia menarik cek dari
dompetnya, melambai-lambaikan kertas itu seolah surat. Sembari menyela antrian
ia katakan, “Permisi, tolong permisi, saya sudah ada janji…” Tidak satupun yang
protes. Dengan cepat ia sampai ke muka antrian di mana seorang sekretaris
mencatat namanya, nomor jaminan sosial, dan sebagainya. Ia diberitahu untuk
menuju kubikel dan melepas pakaian, lalu ditunjukkan arah ke kantor. Ada empat
pria di sana. Wawancara itu berlangsung dengan sangat hati-hati—menimbang
situasinya. Ia diberitahu kalau ia akan telanjang selama pertunjukan. Ia akan
diminta untuk menyimulasikan atau menampilkan kopulasi dua kali selama
pertunjukan, dan berpartisipasi dalam pembuatan pilar cinta yang melibatkan
penonton.
Kuingat malam ketika ia membeberkan
semuanya. Saat itu kami di ruang tengah. Anak-anak sudah di kamar. Ia sangat
gembira. Tanpa bertanya-tanya soal pertunjukan itu. “Di sana aku telanjang,”
ucapnya, “tapi aku sama sekali tidak merasa malu. Satu-satunya yang aku
resahkan hanya kakiku mungkin bakal kotor. Tempat itu kelihatan tua dengan
bingkai-bingkai program teater di dinding, foto Ethel Barrymore berukuran
besar. Di sana aku duduk telanjang di depan orang-orang itu. Untuk pertama
kalinya dalam hidup, aku merasa telah menemukan diriku. Aku temukan diriku
dalam ketelanjangan. Aku merasa seperti manusia yang baru, manusia yang lebih
baik. Telanjang dan tidak malu di depan orang-orang asing itu adalah pengalaman
paling menggairahkan yang pernah kualami.”
Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu.
Aku masih tidak tahu, pada Minggu pagi ini, apa yang seharusnya aku lakukan.
Kukira aku seharusnya memukul dia. Aku bilang ia tidak boleh melakukan itu. Ia
bilang aku tidak berhak menghentikannya. Aku sebut anak-anak. Ia bilang
pengalaman ini akan menjadikannya ibu yang lebih baik. “Sewaktu aku mencopot
pakaianku,” ujarnya, “Aku merasa seolah telah membersihkan diriku dari kehinaan
dan kekerdilan.” Aku bilang ia tidak akan mendapatkan pekerjaan itu karena
bekas luka radang usus buntunya. Beberapa menit kemudian telepon berdering.
Dari produser yang menawarinya peran itu. “Oh, senangnya hatiku,” ucapnya,
“Betapa menakjubkan dan berharga dan uniknya hidup ini, ketika kita bisa
berhenti memainkan peran yang orangtua dan kawan-kawan gariskan untuk kita. Aku
merasa seperti penjelajah.”
Kelayakan meneruskan ini atau
membiarkannya saja membuatku bingung. Ia memutus kontrak mengajarnya, bergabung
dengan Equity[1],
dan mulai latihan. Segera setelah Ozamanides
dibuka, ia menggaji Bu Uxbridge dan menyewa apartemen hotel dekat teater. Aku
minta cerai. Ia bilang tidak ada alasan untuk cerai. Perzinaan dan kekerasan
dalam rumah tangga jelas bisa diterima sebagai alasan, tapi apa yang mesti
orang lakukan ketika istrinya ingin tampil telanjang di panggung? Sewaktu muda, aku kenal beberapa perempuan di
pertunjukan semacam itu. Sebagian dari mereka menikah dan punya anak. Merka
melakukan pertunjukan itu hanya pada Sabtu tengah malam. Seingatku suami mereka
komedian kelas tiga, sedang anak-anak mereka selalu terlihat kelaparan.
Sehari atau lebih kemudian aku
mendatangi pengacara. Ia bilang satu-satunya harapanku ada pada putusan
persetujuan. Tidak ada preseden untuk simulasi perbuatan jasmaniah di depan
publik sebagai landasan perceraian di Negara Bagian New York. Tidak ada
pengacara yang mau menangani kasus perceraian tanpa preseden. Banyak temanku
bersikap bijak soal kehidupan baru Bertha ini. Kukira sebagian dari mereka
ingin menontonnya. Aku menundanya sampai sebulan atau lebih. Tiketnya mahal dan
sulit didapat.
Malam bersalju ketika aku ke teater,
atau apa yang dulunya teater. Lengkungan proseniumnya telah dibongkar. Setnya
sekumpulan ban bekas. Fitur yang familier hanya bangku penonton dan jalur di
antaranya. Para penonton teater selalu membuatku bingung. Kukira ini karena
kita mendapati adanya hal-hal yang tidak kita pahami didesakkan ke dalam apa yang
sebetulnya sederhana saja, namun dipoles berlebihan. Banyak macamnya di sana
malam itu. Musik rok bergaung begitu aku masuk. Jenis rok lawas yang
memekakkan, sebagaimana yang biasa dimainkan di tempat-tempat semacam Arthur.
Pukul 8.30 cahaya lampu meredup. Para pemain—ada empat belas—menuruni gang di
antara bangku penonton. Tentunya mereka semua telanjang kecuali Ozamanides,
yang mengenakan mahkota.
Aku tidak bisa menjabarkan
pertunjukannya. Ozamanides punya dua putra. Sepertinya ia membunuh mereka, tapi
aku tidak yakin. Seksnya biasa saja. Pria dan wanita memeluk satu sama lain.
Ozamanides memeluk beberapa pria. Satu ketika, orang di sebelah kananku menaruh
tangannya di lututku. Aku tidak ingin menegurnya demi kesopanan, tapi tidak
ingin membiarkannya juga. Aku singkirkan tangannya dan merasakan nostalgia
mendalam akan teater film pada masa mudaku. Ada satu di kota kecil tempat aku
dibesarkan—Alhambra. Film favoritku berjudul The Fourth Alarm. Pertama kali aku menontonnya hari Selasa sepulang
sekolah, dan terus di sana sampai pertunjukan malam. Orangtuaku cemas karena
aku tidak pulang. Akupun dimarahi. Rabunya aku bolos demi menonton pertunjukan
itu dua kali, lalu pulang tepat waktu makan malam. Aku ke sekolah hari Kamis,
tapi begitu sekolah bubar aku ke teater dan terus duduk sampai pertunjukan
malam. Orangtuaku sepertinya memanggil polisi, sebab ada petugas patroli
mendatangi teater dan memulangkanku. Aku dilarang ke teater hari Jumat. Namun
aku menghabiskan sepanjang Sabtu di sana. Pada hari itu juga penayangan film
itu diakhiri. Film itu bercerita tentang penggantian kereta kuda dengan mobil
untuk pemadam kebakaran. Alat pemadam kebakarannya juga diganti. Tiga dari tim-tim
yang ada telah diganti. Kuda-kuda yang nelangsa itu dijual pada orang jahat.
Satu tim tersisa, tapi tinggal menghitung hari. Para personil tim dan kuda-kuda
mereka bersedih. Tiba-tiba ada kebakaran hebat. Muncul satu tim pemadam
kebakaran, yang kedua, dan yang ketiga, meluncur buru-buru menuju lautan api.
Kembali ke markas kereta kuda, keadaannya amat suram. Hingga alarm keempat
berdering—panggilan untuk mereka—dan mereka pun mulai beraksi. Memasangkan
perlengkapan pada kuda-kuda, lantas berderap melintasi kota. Mereka padamkan
api, menyelamatkan kota, dan mendapat amnesti dari walikota. Sekarang, di
panggung Ozamanides tengah menulis sesuatu yang cabul di bokong istriku.
Adakah sensasi dari ketelanjangan
memupus nostalgianya? Nostalgia—biarpun matanya terpejam—merupakan salah satu
daya tariknya yang utama. Dengan luwes ia mampu menghantarkan memori akan
pengalaman tertentu ke masa lainnya. Apakah ia, yang sedang ditunggangi orang
asing telanjang di depan publik itu, ingat setiap tempat di mana kami bercinta?
Rumah-rumah sewaan dekat laut, di mana, di sela-sela tempias hujan musim panas,
terdengar janji cinta primitif, kedamaian, dan keindahan? Haruskah aku berdiri
di teater ini dan menyerunya untuk kembali, kembali, kembali demi cinta, humor,
dan kemesraan? Betapa senangnya bisa menyetir pulang dalam salju seusai
pertunjukan, pikirku. Salju melayang lintasi lampu utama. Rasanya seperti
melaju seratus mil dalam sejam. Betapa senangnya bisa menyetir pulang dalam
salju seusai pertunjukan. Para pemain lalu berbaris dan mengajak
kami—memerintahkan tepatnya—untuk menanggalkan pakaian dan bergabung dengan
mereka.
Sepertinya ini memang keharusan.
Bagaimana lagi aku bisa coba memahami Bertha? Aku biasa melucuti pakaianku
dengan amat cepat. Begitupun sekarang. Tapi ada masalah. Bagaimana dengan
dompet, arloji, dan kunci mobil? Mana aman meninggalkan semuanya dalam pakaian.
Jadi, telanjang, akupun menuruni lorong di antara bangku penonton dengan
barang-barang berhargaku di tangan kanan. Begitu aku mendekat, seorang pria
telanjang menghentikanku. Ia berseru—bernyanyi, “Turunkan hartamu. Harta
tidaklah suci.”
“Tapi ini dompet, jam, dan kunci mobil
saya,” kataku.
“Turunkan hartamu,” lagunya.
“Tapi saya mesti menyetir dari stasiun,”
kataku, “dan uang saya enampuluh sampai tujuhpuluh dolar, tunai.”
“Turunkan hartamu.”
“Saya tidak bisa, betulan tidak bisa.
Saya perlu makan, minum, pulang.”
“Turunkan hartamu.”
Satu per satu mereka semua, termasuk
Bertha, turut menjampi-jampi. Seluruh pemain mulai bernyanyi: “Turunkan
hartamu, turunkan hartamu.”
Perasaan tidak diinginkan selalu
menyakitkan buatku. Kukira para klinisi bisa menjelaskannya. Perasaan itu menggema,
melekatkan dirinya bak mata rantai terakhir dalam serangkaian pengalaman
serupa. Mereka bersuara keras dan mengejek, dan di sanalah aku, menentang
ketelanjangan, di suatu tempat di tengah kota dan tidak diinginkan, teringat
telah melewatkan sepak bola, kalah tanding, mendapat cibiran dari orang-orang
asing, tawa dari balik pintu-pintu tertutup… Kugenggam barang-barangku di
tangan kanan, identitasku yang senyatanya. Tidak satupun tergantikan. Membuang
mereka sama saja dengan mengancam sejati diriku, bayangan diriku yang terpajang
di lantai, namaku.
Aku kembali ke bangkuku dan berpakaian.
Terasa sulit dalam ruang yang sempit ini. Para pemain masih menyeru. Menapaki
jalan melandai di antara bangku penonton, ingatanku terempas pada satu hal. Aku
mendaki sepelan ini juga setelah King
Lear dan The Cherry Orchard[2].
Akupun keluar.
Masih bersalju. Tampak seperti badai.
Sebuah taksi terjebak di depan teater. Aku ingat kalau aku punya ban salju.
Membuatku merasa aman dan memiliki pencapaian yang tidak akan membuat jijik
Ozamanides beserta mahkamah telanjangnya; sepertinya tadi aku bukannya
mempertahankan diri, melainkan terhantam sisi keras kepala diriku yang ajaib.
Angin melontar salju ke wajahku dan begitulah, sambil berdendang dan
menggerincingkan kunci mobil, aku menuju kereta.[]
Teks asli bisa dibaca di sini
Dyaaaah ini ayun. Kamu apa kabar? Lg di jogja ga? Main yuuk... aku ngesms km ga dibales2. Km ganti nomer ya?
BalasHapus*sori oot komennya hehehe*
Ayun, nomor saya tewas. Saya udah ga di Jogja lagi. Maaf :(( Kalau mau kontak via imel/YM aja yuk.
Hapus