Minggu, 22 Desember 2013

"The Fourth Alarm" - John Cheever [1970]

Aku sedang berjemur sambil menyesap gin. Jam sepuluh pagi. Minggu. Bu Uxbridge entah di mana dengan anak-anak. Dia pengurus rumah tangga. Yang memasak dan menjaga Peter dan Louise. 

Sekarang musim gugur. Daun-daun berubah warna. Pagi ini tidak berangin, tapi ratusan daun rontok. Kalau ingin menyaksikan semuanya—sehelai daun, atau sebilah rumput—kau harus, kukira, memahami kekuatan cinta. Bu Uxbridge berusia enampuluh tiga. Istriku sedang pergi. Bu Smithsonian (yang tinggal di sisi lain kota), suasana hatinya kurang baik belakangan ini. Jadi aku merasa pagi ini tidak seperti biasa. Seakan waktu memiliki ambang atau serangkaian ambang yang tidak bisa aku lintasi. Bisa saja aku melewatkan sepak bola, tapi Peter terlalu kecil. Satu-satunya teman sepak bolaku pergi ke gereja.

Istriku Bertha diharapkan datang pada hari Senin. Iapun keluar kota hari itu dan kembali Selasa. Ia wanita muda yang menarik dengan rupa yang elok. Matanya, menurutku, agak berdekatan. Kadang ia suka mengeluh. Sewaktu anak-anak masih kecil, ia gunakan cara menjengkelkan untuk mendisiplinkan mereka. “Kalau kamu tidak habiskan sarapan ini sampai hitungan ketiga,” ujarnya, “Mummy bakal kurung kamu di kamar. Satu. Dua. Tiga…” Aku mendengarnya lagi waktu makan malam. “Kalau kamu tidak habiskan makanan ini sampai hitungan ketiga, Mummy bakal kurung kamu di kamar dan tidak bakal kasih kamu makan. Satu. Dua. Tiga…” Aku mendengarnya lagi. “Kalau kamu tidak bereskan mainanmu sebelum hitungan ketiga, Mummy bakal buang semuanya. Satu. Dua. Tiga…” Berlangsung terus sampai kamar mandi dan waktu tidur, satu-dua-tiga menjadi ninabobo mereka. Kadang aku pikir ia mestinya sudah belajar menghitung sejak kanak-kanak. Ketika ajalnya tiba, ia akan menghitung mundur kedatangan Malaikat Maut. Kalau kau mengizinkan, aku mau tambah segelas gin.

Ketika anak-anak sudah cukup besar untuk bersekolah, Bertha mengajar Ilmu Sosial di kelas enam. Pekerjaan ini membuatnya sibuk dan bahagia. Ia bilang ia selalu ingin jadi guru. Ia terkenal disiplin. Ia mengenakan pakaian gelap. Tata rambutnya sederhana. Pupil matanya menuntut rasa bersalah dan kepatuhan. Untuk menyemarakkan hidup, ia bergabung dengan grup teater amatir. Ia memerankan pelayan di Angel Street dan sobat lama di Desmonds Acres. Teman-temannya di teater menyenangkan. Aku suka mengantarnya ke sana. Penting untuk diketahui kalau Bertha tidak minum. Ia akan menerima Dubonnet dengan sopan, tapi tidak menikmatinya.

Lewat teman-teman teaternya, ia tahu sedang ada audisi untuk pertunjukan telanjang berjudul Ozamanides II. Ia memberitahuku hal tersebut dan segalanya seputar itu. Kontrak mengajarnya termasuk sepuluh hari izin sakit. Dengan mengajukan izin sakit selama sehari, ia pergi ke New York. Audisi Ozamanides dihelat di kantor produser di pusat kota. Ia dapati seratusan pria dan wanita mengantri untuk diwawancara. Ia menarik cek dari dompetnya, melambai-lambaikan kertas itu seolah surat. Sembari menyela antrian ia katakan, “Permisi, tolong permisi, saya sudah ada janji…” Tidak satupun yang protes. Dengan cepat ia sampai ke muka antrian di mana seorang sekretaris mencatat namanya, nomor jaminan sosial, dan sebagainya. Ia diberitahu untuk menuju kubikel dan melepas pakaian, lalu ditunjukkan arah ke kantor. Ada empat pria di sana. Wawancara itu berlangsung dengan sangat hati-hati—menimbang situasinya. Ia diberitahu kalau ia akan telanjang selama pertunjukan. Ia akan diminta untuk menyimulasikan atau menampilkan kopulasi dua kali selama pertunjukan, dan berpartisipasi dalam pembuatan pilar cinta yang melibatkan penonton.

Kuingat malam ketika ia membeberkan semuanya. Saat itu kami di ruang tengah. Anak-anak sudah di kamar. Ia sangat gembira. Tanpa bertanya-tanya soal pertunjukan itu. “Di sana aku telanjang,” ucapnya, “tapi aku sama sekali tidak merasa malu. Satu-satunya yang aku resahkan hanya kakiku mungkin bakal kotor. Tempat itu kelihatan tua dengan bingkai-bingkai program teater di dinding, foto Ethel Barrymore berukuran besar. Di sana aku duduk telanjang di depan orang-orang itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa telah menemukan diriku. Aku temukan diriku dalam ketelanjangan. Aku merasa seperti manusia yang baru, manusia yang lebih baik. Telanjang dan tidak malu di depan orang-orang asing itu adalah pengalaman paling menggairahkan yang pernah kualami.”

Aku tidak tahu harus bagaimana saat itu. Aku masih tidak tahu, pada Minggu pagi ini, apa yang seharusnya aku lakukan. Kukira aku seharusnya memukul dia. Aku bilang ia tidak boleh melakukan itu. Ia bilang aku tidak berhak menghentikannya. Aku sebut anak-anak. Ia bilang pengalaman ini akan menjadikannya ibu yang lebih baik. “Sewaktu aku mencopot pakaianku,” ujarnya, “Aku merasa seolah telah membersihkan diriku dari kehinaan dan kekerdilan.” Aku bilang ia tidak akan mendapatkan pekerjaan itu karena bekas luka radang usus buntunya. Beberapa menit kemudian telepon berdering. Dari produser yang menawarinya peran itu. “Oh, senangnya hatiku,” ucapnya, “Betapa menakjubkan dan berharga dan uniknya hidup ini, ketika kita bisa berhenti memainkan peran yang orangtua dan kawan-kawan gariskan untuk kita. Aku merasa seperti penjelajah.”

Kelayakan meneruskan ini atau membiarkannya saja membuatku bingung. Ia memutus kontrak mengajarnya, bergabung dengan Equity[1], dan mulai latihan. Segera setelah Ozamanides dibuka, ia menggaji Bu Uxbridge dan menyewa apartemen hotel dekat teater. Aku minta cerai. Ia bilang tidak ada alasan untuk cerai. Perzinaan dan kekerasan dalam rumah tangga jelas bisa diterima sebagai alasan, tapi apa yang mesti orang lakukan ketika istrinya ingin tampil telanjang di panggung?  Sewaktu muda, aku kenal beberapa perempuan di pertunjukan semacam itu. Sebagian dari mereka menikah dan punya anak. Merka melakukan pertunjukan itu hanya pada Sabtu tengah malam. Seingatku suami mereka komedian kelas tiga, sedang anak-anak mereka selalu terlihat kelaparan.

Sehari atau lebih kemudian aku mendatangi pengacara. Ia bilang satu-satunya harapanku ada pada putusan persetujuan. Tidak ada preseden untuk simulasi perbuatan jasmaniah di depan publik sebagai landasan perceraian di Negara Bagian New York. Tidak ada pengacara yang mau menangani kasus perceraian tanpa preseden. Banyak temanku bersikap bijak soal kehidupan baru Bertha ini. Kukira sebagian dari mereka ingin menontonnya. Aku menundanya sampai sebulan atau lebih. Tiketnya mahal dan sulit didapat.

Malam bersalju ketika aku ke teater, atau apa yang dulunya teater. Lengkungan proseniumnya telah dibongkar. Setnya sekumpulan ban bekas. Fitur yang familier hanya bangku penonton dan jalur di antaranya. Para penonton teater selalu membuatku bingung. Kukira ini karena kita mendapati adanya hal-hal yang tidak kita pahami didesakkan ke dalam apa yang sebetulnya sederhana saja, namun dipoles berlebihan. Banyak macamnya di sana malam itu. Musik rok bergaung begitu aku masuk. Jenis rok lawas yang memekakkan, sebagaimana yang biasa dimainkan di tempat-tempat semacam Arthur. Pukul 8.30 cahaya lampu meredup. Para pemain—ada empat belas—menuruni gang di antara bangku penonton. Tentunya mereka semua telanjang kecuali Ozamanides, yang mengenakan mahkota.

Aku tidak bisa menjabarkan pertunjukannya. Ozamanides punya dua putra. Sepertinya ia membunuh mereka, tapi aku tidak yakin. Seksnya biasa saja. Pria dan wanita memeluk satu sama lain. Ozamanides memeluk beberapa pria. Satu ketika, orang di sebelah kananku menaruh tangannya di lututku. Aku tidak ingin menegurnya demi kesopanan, tapi tidak ingin membiarkannya juga. Aku singkirkan tangannya dan merasakan nostalgia mendalam akan teater film pada masa mudaku. Ada satu di kota kecil tempat aku dibesarkan—Alhambra. Film favoritku berjudul The Fourth Alarm. Pertama kali aku menontonnya hari Selasa sepulang sekolah, dan terus di sana sampai pertunjukan malam. Orangtuaku cemas karena aku tidak pulang. Akupun dimarahi. Rabunya aku bolos demi menonton pertunjukan itu dua kali, lalu pulang tepat waktu makan malam. Aku ke sekolah hari Kamis, tapi begitu sekolah bubar aku ke teater dan terus duduk sampai pertunjukan malam. Orangtuaku sepertinya memanggil polisi, sebab ada petugas patroli mendatangi teater dan memulangkanku. Aku dilarang ke teater hari Jumat. Namun aku menghabiskan sepanjang Sabtu di sana. Pada hari itu juga penayangan film itu diakhiri. Film itu bercerita tentang penggantian kereta kuda dengan mobil untuk pemadam kebakaran. Alat pemadam kebakarannya juga diganti. Tiga dari tim-tim yang ada telah diganti. Kuda-kuda yang nelangsa itu dijual pada orang jahat. Satu tim tersisa, tapi tinggal menghitung hari. Para personil tim dan kuda-kuda mereka bersedih. Tiba-tiba ada kebakaran hebat. Muncul satu tim pemadam kebakaran, yang kedua, dan yang ketiga, meluncur buru-buru menuju lautan api. Kembali ke markas kereta kuda, keadaannya amat suram. Hingga alarm keempat berdering—panggilan untuk mereka—dan mereka pun mulai beraksi. Memasangkan perlengkapan pada kuda-kuda, lantas berderap melintasi kota. Mereka padamkan api, menyelamatkan kota, dan mendapat amnesti dari walikota. Sekarang, di panggung Ozamanides tengah menulis sesuatu yang cabul di bokong istriku.

Adakah sensasi dari ketelanjangan memupus nostalgianya? Nostalgia—biarpun matanya terpejam—merupakan salah satu daya tariknya yang utama. Dengan luwes ia mampu menghantarkan memori akan pengalaman tertentu ke masa lainnya. Apakah ia, yang sedang ditunggangi orang asing telanjang di depan publik itu, ingat setiap tempat di mana kami bercinta? Rumah-rumah sewaan dekat laut, di mana, di sela-sela tempias hujan musim panas, terdengar janji cinta primitif, kedamaian, dan keindahan? Haruskah aku berdiri di teater ini dan menyerunya untuk kembali, kembali, kembali demi cinta, humor, dan kemesraan? Betapa senangnya bisa menyetir pulang dalam salju seusai pertunjukan, pikirku. Salju melayang lintasi lampu utama. Rasanya seperti melaju seratus mil dalam sejam. Betapa senangnya bisa menyetir pulang dalam salju seusai pertunjukan. Para pemain lalu berbaris dan mengajak kami—memerintahkan tepatnya—untuk menanggalkan pakaian dan bergabung dengan mereka.

Sepertinya ini memang keharusan. Bagaimana lagi aku bisa coba memahami Bertha? Aku biasa melucuti pakaianku dengan amat cepat. Begitupun sekarang. Tapi ada masalah. Bagaimana dengan dompet, arloji, dan kunci mobil? Mana aman meninggalkan semuanya dalam pakaian. Jadi, telanjang, akupun menuruni lorong di antara bangku penonton dengan barang-barang berhargaku di tangan kanan. Begitu aku mendekat, seorang pria telanjang menghentikanku. Ia berseru—bernyanyi, “Turunkan hartamu. Harta tidaklah suci.”

“Tapi ini dompet, jam, dan kunci mobil saya,” kataku.

“Turunkan hartamu,” lagunya.

“Tapi saya mesti menyetir dari stasiun,” kataku, “dan uang saya enampuluh sampai tujuhpuluh dolar, tunai.”

“Turunkan hartamu.”

“Saya tidak bisa, betulan tidak bisa. Saya perlu makan, minum, pulang.”

“Turunkan hartamu.”

Satu per satu mereka semua, termasuk Bertha, turut menjampi-jampi. Seluruh pemain mulai bernyanyi: “Turunkan hartamu, turunkan hartamu.”

Perasaan tidak diinginkan selalu menyakitkan buatku. Kukira para klinisi bisa menjelaskannya. Perasaan itu menggema, melekatkan dirinya bak mata rantai terakhir dalam serangkaian pengalaman serupa. Mereka bersuara keras dan mengejek, dan di sanalah aku, menentang ketelanjangan, di suatu tempat di tengah kota dan tidak diinginkan, teringat telah melewatkan sepak bola, kalah tanding, mendapat cibiran dari orang-orang asing, tawa dari balik pintu-pintu tertutup… Kugenggam barang-barangku di tangan kanan, identitasku yang senyatanya. Tidak satupun tergantikan. Membuang mereka sama saja dengan mengancam sejati diriku, bayangan diriku yang terpajang di lantai, namaku.

Aku kembali ke bangkuku dan berpakaian. Terasa sulit dalam ruang yang sempit ini. Para pemain masih menyeru. Menapaki jalan melandai di antara bangku penonton, ingatanku terempas pada satu hal. Aku mendaki sepelan ini juga setelah King Lear dan The Cherry Orchard[2]. Akupun keluar.

Masih bersalju. Tampak seperti badai. Sebuah taksi terjebak di depan teater. Aku ingat kalau aku punya ban salju. Membuatku merasa aman dan memiliki pencapaian yang tidak akan membuat jijik Ozamanides beserta mahkamah telanjangnya; sepertinya tadi aku bukannya mempertahankan diri, melainkan terhantam sisi keras kepala diriku yang ajaib. Angin melontar salju ke wajahku dan begitulah, sambil berdendang dan menggerincingkan kunci mobil, aku menuju kereta.[]


Teks asli bisa dibaca di sini



[1] Equity:  persatuan teatrikal
[2] King Lear dan The Cherry Orchard tragedi karya Shakespeare dan tragikomedi karya Chekhov

2 komentar:

  1. Dyaaaah ini ayun. Kamu apa kabar? Lg di jogja ga? Main yuuk... aku ngesms km ga dibales2. Km ganti nomer ya?

    *sori oot komennya hehehe*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayun, nomor saya tewas. Saya udah ga di Jogja lagi. Maaf :(( Kalau mau kontak via imel/YM aja yuk.

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...