Sabtu, 30 Juni 2012

Yang Keenam


Pada tanggal 20 Juni 2012 telah saya tuntaskan novel saya yang keenam. Novel kali ini terdiri dari 55.594 kata yang terhampar sepanjang 307 halaman A5 dengan spasi single 0 pt, jenis font Tahoma ukuran 12.

Novel ini saya kerjakan dalam rangka Camp NaNoWriMo 2012 edisi Juni. Semula bukan ini yang mau saya garap. Namun cerita yang satu ternyata belum siap, sementara cerita ini sudah membentuk plot yang (anggap saja sudah) utuh. Saya pun mengeksekusinya dalam waktu dua minggu kurang.

Sebagaimana novel-novel sebelumnya, saya masukkan beberapa lagu dalam novel ini, yaitu (cuman yang saya cantumkan liriknya, baik utuh maupun penggalan): Doel Sumbang – Mumun, She and Him – Why Do You Let Me Stay Here, HP Girls (Merry Andani, Nini Carlina, Baby Ayu, Anis Marsella) – Anak Mama, serta She and Him – In the Sun. Kira-kira seperti apa ya ceritanya?

Proses

Sepintas cerita dalam novel ini klise. Cowok ketemu cewek, mereka saling suka, mereka pacaran, ada gejolak dalam hubungan mereka, apakah mereka berhasil mengatasinya?

Selama pengerjaan novel ini, saya pun terpikir… ini bukan novel yang bakal saya baca kalau orang lain yang menulisnya.

Karakter-karakter dalam novel ini berasal dari kaum menengah perkotaan yang hidup serba cukup—bahkan lebih. Simpati saya terhadap kalangan ini telah berkurang sejak saya tinggal di Jogja. Ada kalangan yang lebih layak diberi simpati, karena hidup kalangan satu ini sudah enak. Di dalam teenlit, chiclit, atau semacamnya, permasalahan yang kalangan ini alami paling ya, gejolak psikologis seputar asmara, eksistensi, atau apa. Saya benci keadaan yang "ideal", maupun yang mendekati.

Tapi kemudian karakter utama dalam novel ini bilang sama saya, “Loh, ini kan cerita tentang kamu sendiri? Kamu juga terbiasa hidup enak dari dulu, meskipun enggak persis kayak saya yang di mata kamu lebih cemerlang. Bukannya kebiasaan hidup enak itu yang jadi masalah?” …dan bla bla bla lainnya… “Ambil positifnya ajalah. Kalau kamu pingin serius sama saya, mau enggak mau kamu tetep harus riset kehidupan saya. Ya manfaatin itu buat motivasi diri kamu sendiri, supaya kamupun bisa ngeliat dunia yang lebih luas.”

Benar sih. Saya sadari kalau novel ini lebih dari sekadar novel percintaan ababil. Novel ini adalah soal hasrat yang mengejawantah jadi obsesi, seksualitas, dan bagaimana mengelola hasrat-hasrat yang ada agar orang-orang di sekitar bisa terima.

Biarpun cara saya mengemas cerita masih kekanak-kanakkan (perkara keterampilan teknis nih), saya memperlakukan karakter-karakter yang ada di dalam kepala saya dengan serius. Meskipun ada di antara mereka yang suka menulis jurnal, saya tetap membuat jurnal saya sendiri tentang mereka. Untuk pasangan utama dalam novel ini saja, saya sudah mengutak-atik hubungan mereka sejak tahun 2009 dan baru deal belakangan. Nama karakter utamanya sendiri sudah tergurat dalam buku harian saya pada tahun 2005.

Maka novel ini adalah latihan untuk menyajikan sesuatu yang terkesan biasa dengan kemasan yang tidak biasa, membungkus kecabulan supaya tidak kentara, sekaligus menyelami karakter-karakter. Kesembilan karakter yang jadi penutur cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama—tentu saja semua pakai gaya bahasa saya! …biarpun mereka punya masalah, tujuan, dan sorotan masing-masing.

Hasil yang saya peroleh dari penggarapan yang hanya dua minggu kurang memang tidak memuaskan. Tapi itulah esensi dari ajang semacam NaNoWriMo dan program nge-camp-nya: kuantitas terdepan, kualitas belakangan. Saya pun kurang begitu lega ketika bagian terakhir usai diketik.

Saya ingin menulis ulang novel ini, juga novel-novel yang telah saya tulis sebelumnya, kalau Allah masih memberi saya daya. Ingin saya perkuat latarnya dengan riset yang teliti. Ingin saya susun emosinya dengan kalimat-kalimat subtil yang kaya diksi. Ingin saya asah dialog-dialog di dalamnya agar lebih bermakna. Ingin saya gali lebih dalam karakter-karakter yang berkelebatan. Ingin saya pangkas bagian yang kurang perlu, poles dengan materi yang lebih bermutu. Ingin saya kembangkan dan tata alurnya agar lebih memikat. Dan seterusnya. Ini adalah proses seumur hidup.

Jadi…?

Menulis novel bukanlah sekadar menulis novel. Menulis novel adalah keterasingan yang belum tentu layak, dan bakal, dihargai. Menulis novel adalah ajang pembuktian sebuah komitmen.

Menulis novel adalah suatu kemewahan, karena kamu memiliki sumber daya untuk itu dan tetap bisa hidup, sementara orang lain harus mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk hal lain atau mereka tak bisa hidup.

Bisakah menulis novel dianggap sebagai bentuk syukurku atas nikmat dari-Mu, Ya Allah? Apakah aku akan mendapat pahala untuk itu, biarpun novel tersebut belum layak untuk dipublikasikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain