Jumat, 02 September 2011

Teh Manis

ini satu tulisan yang sempat saya buat waktu KKN,


Di Dieng, saya sempat mengalami lemas-lemas lagi ketika menstruasi. Saya pernah mengalami masa semacam ini sebelumnya—baik sedang menstruasi atau tidak—dan tersembuhkan sejak saya praktek di Getas selama 25 hari. Di sana, jadwal makan saya selalu teratur dengan gizi lengkap. Saya merasa jadi orang yang kuat sepulangnya dari sana. Sejak itu saya menyadari pentingnya makan teratur dan, terutama, sarapan. 

Ketika sedang lemas-lemas begitu, saya sms Bunda Euis—warga Desa Taman Jaya, Ujung Kulon, yang beserta keluarganya telah amat baik mengurus kami sekelompok sewaktu praktek di sana. Saya sempat berpikir saya kembali lemas-lemas begini juga karena selama KKN ini jadwal sarapan saya jadi kembali tidak teratur dan kecukupan gizinya pun tidak menjamin. Tapi bisa juga karena hal lain. Berikut balasan Bunda, “Darah rendah kali Mbak… Makanya jaga kondisi, pola hidup sehat harus diamalkan… Meski Mbak Teteh agak menelantarkan isi perut (saking asiknya KKN tuuuh), darahne ditensi ya Sayang…”

Saya jadi ingat. Dulu juga saya pernah mengungkapkan hal yang sama pada bunda yang lain—kali ini salah seorang anggota FLP Yogyakarta yang juga beken disebut Bunda. Bunda yang satu ini juga menengarai saya darah rendah. Akibatnya, saya langsung beli Sangobion. Efeknya saya sudah lupa. Ini terjadi sebelum saya praktek di Getas.

Kata Bunda Euis lagi, “Diusahakan banyak minum teh manis ya Sayang…”

Pada kesempatan menonton matahari terbit di Bukit Sikunir, Desa Sembungan, saya bukan hanya lemas tapi juga kompilasi antara maag, masuk angin, dan gejala diare. Pada hari sebelumnya, saya hanya makan beberapa keping biskuit Togo, tempe kemul, dan entah apa saat pagi menjelang siang. Siang, saya hanya makan beberapa iris tomat dan timun karena mual. Menjelang sore, saya bisa makan sedikit nasi uduk, ayam, dan sambal kacang. Malam, saya makan mi goreng. Sepanjang perjalanan kembali dari Bukit Sikunir pun saya sesekali menahan perih di dalam perut. Seorang teman mengatakan pada saya untuk minum teh manis.

Membuat teh manis di pagi hari mulanya saya anggap sebagai kebiasaan orang tua. Bude suka membuat teh manis di pagi hari. Papa juga suka melakukannya untuk kami—tapi saya lupa, pagi atau sore. Dan saya pikir saya tak perlu menggantikannya untuknya. Berdasarkan hasil penelusuran saya di internet, terlalu banyak mengonsumsi teh itu tidak baik. Maka setiap kali Papa menyuruh saya untuk minum teh manis buatannya, saya akan meminumnya dengan berat hati—selain karena Papa suka membikinkan teh dari gelas bekas pakai sebelumnya.

Kini, saya jadi mengerti betapa berartinya segelas teh manis di pagi hari—terutama apabila tidak tersedia sarapan tepat waktu dan tepat gizi.

ditulis pada 31 Juli 2011, 10.39 WIB
 sumber gambar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain