Minggu, 29 Januari 2012

my life is tragically amusing, but I cannot laugh


                Sore kemarin, saya dan Mama keluar rumah bersama. Setelah mobil diparkir di Jalan Banceuy, hampir di depan pabrik kopi AROMA, kami menyusuri jalan tersebut lalu belok ke Jalan ABC.
                Dua orang teman menyebut Jalan ABC ketika saya minta rekomendasi tempat membeli alat perekam suara.
                Setelah memasuki beberapa toko, seorang karyawan toko yang terakhir mengarahkan kami ke sebuah toko di seberang jalan yang bersebelahan dengan apotek.
                Betul saja. Toko tersebut menjual berbagai alat perekam suara. Harga yang termurah adalah 275K namun itu ternyata walkman. Alat perekam suara dengan hasil rekaman dalam format mp3 berharga satu jutaan. Mp3 player sebenarnya bisa digunakan untuk merekam suara, hasilnya dalam format mp3 juga, tapi toko itu tidak menjualnya. Jadi kami tidak mengeluarkan uang di toko tersebut.
                Mama menawarkan saya untuk membeli saja jika alat tersebut memang akan sering digunakan. Namun saya tidak yakin kelak saya akan sungguh jadi wartawan. Toh maksud saya cari alat perekam suara sekarang hanya untuk penelitian—meski untuk hal lain, sesekali, juga akan diperlukan.
Orangtua, bagi saya, biarpun sudah sekian kali mengata-ngatai, pun menurunkan harga diri (anak) dengan atau tanpa disadari, namun masih sudi memberi jika diminta. Di situlah letak kemuliaan mereka.
                Mama penasaran untuk memasuki sebuah toko yang sangat besar—paling besar di antara yang lain, menyerupai mal sebetulnya—yang sebelumnya telah kami lewati. Kalau tidak salah toko-tapi-mal itu bernama LOGIN STORE.
                Begitu hendak menaiki eskalator—langsung tersedia di tepi jalan, Mama menginjak sebuah keset. Tapi itu bukan keset biasa. Keset itu berbentuk lonjong, ada rumbai-rumbai di tepinya, dan berada di atas tumpukan keset lain yang serupa. Pemilik keset-keset itu jelas menyaksikan kejadian tersebut.
                Kata saya dalam dialek Sunda yang sudah dialihkan ke bahasa Indonesia, “Ma, kok diinjak sih, itu kan barang dagangan!”
                Mama sontak mengucap maaf. Ketika sudah di eskalator, kami masih membicarakan insiden itu agar situasinya lebih jelas.
                Lalu Mama bilang kalau kesetnya yang menghalangi.
                Kalau situasi seperti ini ada dalam serial komedi yang biasa saya tonton, saya akan tergelak. Saya teringat karakter Pierce Hawthorne dalam “Community”[1]. Pria berambut putih itu suka mengalihkan kesalahannya.
                Usai melihat barang-barang elektronik dalam bangunan tersebut, kami turun dan tidak menemukan sang pedagang bersama keset-kesetnya lagi di dekat eskalator.
                Sempat mampir ke toko yang menjual alat jahit sebentar, kami kembali menyusuri Jalan Banceuy untuk menuju mobil. Kami berpapasan dengan sang pedagang keset—sepertinya memang orang dan barang yang sama.
                Sang pedagang keset tersebut meminta Mama membeli kesetnya. Ia menawarkan harga 10K/keset sedang Mama mengajukan 5K lalu 15K/2 keset. Ia setuju. Mama memilih dua keset. Pedagang tersebut menggulung lalu mengikat dua keset tersebut dengan potongan tali rafia yang tahu-tahu muncul dari kantong celananya.
Ketika transaksi terjadi, seorang pria, seorang wanita, dan seorang wanita lagi yang lebih muda mendekat. Tampaknya mereka keluarga dan kami menghalangi mereka menuju mobil merah mereka yang diparkir dekat kami.
Sang pria kelihatan tertarik dengan keset-keset yang bertebaran di paving block. Ketika saya dan Mama meninggalkan lokasi, transaksi baru tampaknya sedang terjadi.
barang bukti kejadian
Alhamdulillah. Sikap yang kurang mengenakkan sebelumnya akhirnya tertebus. Tampaknya kami jadi penglaris, tampaknya. Semoga rezeki sang pedagang bertambah.
Jadi selanjutnya Mama hendak mengeluarkan mobil dari tempat parkir. Karena tidak ada tukang parkir yang sigap, saya keluar mobil lagi dan mencari-cari orang yang berkapasitas. Pria berseragam oranye pun tiba lantas mengerahkan segenap kompetensinya. Mama menyiapkan 2K untuk membalas jasa pria tersebut dengan pamrih selembar karcis parkir. Harga yang tertera di karcis rupanya hanya 1,5K.
“Ya udahlah buat amal (kelebihannya),” kata saya.
Lalu Mama bersyukur karena lembaran-lembaran uang yang diberikannya tadi sudah lecek.
***
Well, I have realized for so long that my life is tragically amusing, but I cannot laugh.
Ini hanya suatu sketsa. 
Kelanjutannya saya tidak mau beri tahu kamu. Tingkat ketragisannya sungguh bikin saya tidak ingin ketawa. Sudah tidak seperti “Modern Family”[2] ala Indonesia lagi.
Tapi hidup tetap harus ditertawakan, begitulah salah satu cara untuk menikmatinya.


[1] Serial komedi AS mengenai sebuah grup belajar di suatu community college. Baru kali ini saya menemukan serial yang menampilkan muslim sebagai salah satu tokoh utama, dengan karakter menarik tentu saja, meski identitasnya sebagai muslim tidak begitu ditonjolkan.
[2] Serial komedi AS mengenai sebuah keluarga besar yang gaya hidupnya rada nyentrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain