Kamis, 06 September 2018

Bahasa-bahasa yang Terpikir untuk Dipelajari (2)

(Karena entri terlalu panjang, maka saya bagi menjadi dua. Bagian pertama ada pada entri sebelumnya.)

Bahasa Jerman

Alasan saya tertarik pada bahasa Jerman yaitu karena saya berpikiran untuk menulis cerita yang tokohnya pernah tinggal di Jerman, lalu entah kenapa saya merasa setidaknya mesti punya gambaran tentang bahasanya. Kenapa Jerman, yah, sebenarnya, karena saya melihat ada banyak (oke, mungkin cuma beberapa) selebriti yang Indo-Jerman dan kok pada rupawan, jadi, ya, begitulah. Saya sudah menuliskan pengalaman awal saya dalam belajar bahasa Jerman di blog ini, dan entah kenapa salah satunya menjadi tulisan terpopuler. Bahasa Jerman kemudian menjadi pilihan pertama ketika saya mengunduh Duolingo.

Lagu buat yang lagi galau.

Bahasa Italia

Pilihan berikutnya ketika mencoba Duolingo yaitu bahasa Italia. Ketertarikan saya pada Italia pada awalnya dari musik instrumentalnya, khususnya karya komposer-komposer era '60-'70-an seperti Piero Umiliani dan Rino de Filippi. Saya terpukau karena musik mereka terdengar bagai surga di telinga saya. Kebudayaan macam apa yang bisa menghasilkan musik seindah itu?! (Oke, lebay.) Lalu saya berpikir bahasanya mungkin tidak kalah indah daripada bahasa Perancis? Saya juga berandai-andai membuat cerita yang tokohnya pernah tinggal di Italia, lalu berjodoh dengan orang sana dan seterusnya.

"This music makes driving a most pleasurable experience :-)," 
kata orang di Youtube.

Bahasa Jepang

Pilihan selanjutnya yaitu bahasa Jepang. Sebenarnya saya tidak meminati bahasa tersebut. Saya menambahkan itu di Duolingo sekadar supaya menjadi kesatuan Axis Power alias Blok Poros yang melawan Sekutu #apasih. Lalu entah bagaimana, saya menambahkan tiga bahasa lain: satu bahasa Eropa yang tidak saya ingat dan dua lagi yaitu bahasa Asia--Mandarin dan Korea--sekadar supaya ada keseimbangan antara Eropa dan Asia, tiga lawan tiga #seriusapaansih. Tetapi pembelajaran ketiga bahasa Asia tersebut di Duolingo sepertinya memerlukan pengetahuan dasar mengenai aksaranya. Setelah merasa mandek, saya menemukan aplikasi yang lebih memadai untuk mempelajari ketiga bahasa tersebut, yaitu Lingodeer. Lingodeer menyediakan pelajaran khusus untuk mempelajari aksara. Maka, saya pun menghapus bahasa Jepang, Mandarin, dan Korea dari Duolingo seraya menambahkan tiga bahasa Eropa lagi, kemudian mencoba ketiga bahasa Asia itu di Lingodeer. Tetapi, sementara saya betah memainkan enam bahasa Eropa sekaligus di Duolingo, saya merasa kewalahan dengan bahasa-bahasa lainnya di Lingodeer yang masing-masing punya aksara tersendiri itu. Saya bahkan bukan penggemar K-Pop, untuk apa saya belajar bahasa Korea? Huhuhu. Dengan otak yang sudah dijejali oleh bahasa-bahasa lain, bahasa Mandarin pun menjadi terlampau sulit. Mau berapa kali pun menuliskan huruf-hurufnya, tidak ada satu pun yang melekat di ingatan. Maka, saya hapus sekalian aplikasi tersebut.

Belakangan bahasa Jepang muncul lagi di pikiran. Alasannya sekadar untuk memanfaatkan buku pelajaran bahasa Jepang yang banyak tersedia di rumah. Selain itu, saya mengenal beberapa orang baik di dunia nyata maupun di dunia maya yang belajar bahasa Jepang sehingga mereka bisa menjadi teman praktik. Tetapi, terlepas dari itu, saya sama sekali tidak tertarik untuk mempelajari bahasa Jepang. Iya sih, saya suka Tatsuro Yamashita tetapi saya puas mendengarkan lagu-lagunya tanpa harus memahami liriknya. Iya sih, huruf Jepang lucu-lucu--ada yang bentuknya kayak ikan, orang lagi lunge, dan lain sebagainya tetapi so what gitu loh. Iya sih, sebagian tontonan dari sana menghibur lagi bermutu tetapi kan ada subtitle. Ah, hajimemashite moshi moshi mochiro daihatsu honda desu deh jadinya!

Siapa yang dulu suka menonton Good Luck di Indosiar? 
Tatsuya Kimura~

Bahasa Perancis

Sama seperti sebagian orang, saya beranggapan bahasa Perancis terdengar seksi. Selain itu, ada beberapa buku bantu belajar bahasa Perancis di rumah sehingga terpikir untuk memanfaatkannya.

Tadinya saya mau memasukkan lagu paling seksi di dunia, 
tetapi Alain Delon lebih seksi.
*fangirling si opa *literally opa-opa

Bahasa Belanda

Saya memilih bahasa Belanda karena alasan historis. Maksudnya, ketika saya mencoba mengambil manfaat dari buku sejarah yang banyak tersedia di rumah, saya sering menemukan bahasa tersebut sehingga timbul keinginan untuk mengetahui cara membacanya. Kebetulan ada juga beberapa buku bantu belajar bahasa tersebut di rumah. Ternyata, setelah mencobanya di Duolingo, saya tidak suka bahasa Belanda, di samping kenyataan bahwa mereka telah merampas begitu banyak dari leluhur saya. Bahasanya tidak enak dibaca, ditulis, didengar, apalagi diucapkan. Saya membuat banyak kesalahan dalam bahasa ini ketimbang bahasa-bahasa lainnya yang saya ambil di Duolingo, eh, selain bahasa Perancis, tentunya. Tetapi, apa boleh buat saya bertahan. Siapa tahu kelak saya jadi menulis novel sejarah dan diberi hibah untuk melakukan riset di Leiden (putar "Khayalan Tingkat Tinggi" Peterpan).

Geef mij maar nasi goreng, oma!

Bahasa Portugis

Saya menikmati lagu-lagu Brasil, khususnya bossa nova. Angan-angan saya bisa mengerti lirik lagu-lagu yang saya sukai itu, walau kata orang Brasil sendiri bahasa Portugis itu susah (selipkan lagi emoji tertawa sambil menangis). Terlepas dari itu, saya takjub ketika menemukan bahwa beberapa kata dalam bahasa Portugis ternyata mirip dengan bahasa Indonesia, contohnya bendera/bandeira, bola/bola, kemeja/camiseta, keju/queijo, jendela/janela, meja/mesa, mentega/manteiga, roda/roda, sepatu/sapatos, dan mungkin masih ada lagi. Diingat-ingat, Portugis juga pernah menjajah Indonesia jadi mungkin itu sebabnya kita memiliki banyak kata serapan dari bahasanya.

Lagu yang sempat membikin saya pengin jadi orang Brasil, 
padahal belum pernah ke Brasil 
dan orang Brasil sendiri bilang banyak garong di Brasil.

Bahasa Spanyol

Kenapa tidak menggenapinya dengan bahasa Spanyol? Kan Spanyol juga sempat menjajah Indonesia? Awalnya saya sempat tertarik pada bahasa Spanyol, bahkan mengunduh dan mencetak buku pelajarannya dari internet (kebetulan tinta printer di rumah lagi murah, banyak, dan bakal kering kalau tidak sering digunakan), ialah ketika bertemu imigran ilegal pemakai narkoba dari Meksiko yang sedang bekerja di AS. Saya menduga dia ilegal karena dia bilang tidak banyak orang di situ yang mengetahui nama aslinya, dan ketika chat dengan saya di stranger app, entah sudah berapa lama dia tidak tidur akibat pengaruh obat. Saya jarang berhasil chat lama-lama dengan stranger di aplikasi semacam itu, tetapi dengan dia berlangsung sampai jam-jam bahkan mungkin yang terlama yang pernah saya dapatkan. Setelah pindah ke aplikasi chatting lainnya, sebagaimana biasa terjadi, obrolan tidak selancar kali pertama hingga akhirnya saya meninggalkan dia sama sekali. Selain itu, dia memasukkan saya ke grup yang isinya orang menghina satu sama lain. Saya enggak mengerti ....

Sekarang, alasan saya belajar bahasa Spanyol lebih untuk memanfaatkan buku-buku yang sudah telanjur saya cetak sih. Heuheuheu.

Ini lagu legendaris banget.

Saya memainkan enam bahasa sekaligus di Duolingo dengan membuat jadwal. Satu hari satu bahasa, sehingga giliran untuk tiap-tiap bahasa enam hari sekali. Walaupun saya menyetel target ke level Insane alias 50 XP sehari, tetapi saya menyebut diri casual learner. Artinya, saya menganggap ini sekadar permainan tanpa mau repot-repot mempelajari tata bahasa. Saya senang saja bila mendapati kemiripan di antara bahasa-bahasa itu, apalagi dengan bahasa Indonesia. Tetapi, lama-kelamaan, terpikir juga untuk mempelajari tata bahasa. Apalagi untuk sebagian bahasa saya punya buku-buku pelajarannya, baik cetak maupun digital. Kenapa itu tidak dimanfaatkan? Lima belas menit sehari cukup, kata Duo.

Selain itu, saya bukannya tidak menyadari bahwa saya eurosentris dengan keenam bahasa Eropa di Duolingo itu. Padahal pilihan tersebut impulsif saja, mungkin menunjukkan bahwa diam-diam mental saya masih terjajah. Lantas, ke mana semangat perjuangan Asia-Afrika? #eaaa Maka, sementara waktu saya mencoba bahasa Swahili. Hakuna matata. Ada juga kata-kata dalam bahasa Swahili yang mirip dengan bahasa Indonesia, dan keduanya dipengaruhi oleh bahasa Arab. Tetapi, rupanya saya tidak betah belajar bahasa Swahili di Duolingo karena tidak ada suaranya. Selain itu, saya belum membuat jadwal baru dengan memasukkan bahasa tersebut. Kalau selama ini saya belajar enam bahasa dengan satu hari satu bahasa sementara dalam satu bulan kurang lebih ada tiga puluh hari, maka tiap bahasa mendapat giliran lima kali. Kalau saya tambahkan satu bahasa lagi, maka tiga puluh dibagi tujuh ...?

Selain itu, kenapa melulu bahasa asing? Kenapa tidak saya perdalam juga bahasa daerah? Saya tinggal di tanah Sunda, sedang Jawa akar budaya saya. Kalau mau praktik bahasa Sunda, saya punya teman-teman di dunia nyata. Saya juga menemukan orang Jawa di Bottled dan bisa praktik dengan dia. Memang saya belum menemukan aplikasi belajar bahasa daerah yang bagus, tetapi di Youtube ada video-video yang lumayan dan di rumah masih tersimpan berjilid-jilid Piwulang Basa serta Atikan Sunda dari kelas satu sampai enam SD, juga Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa.

Ini lagu tentang orang kebelet kawin, katanya.

Oke, bagaimana jika belajar lima bahasa sekaligus dalam satu hari dengan jadwal menurut pembagian waktu salat? LOL. Sejauh ini saya tahan memainkan tiga aplikasi sekaligus dalam sehari: Duolingo, e-iqra, Quran IQ, ditambah praktik bahasa Inggris dengan orang-orang di Bottled, dan kalau mesti menambah bahasa-bahasa lain, kelengar deh. Menurut beberapa video yang saya tonton di Youtube mengenai belajar banyak bahasa sekaligus, mereka pada menyarankan untuk fokus pada bahasa tertentu terlebih dulu hingga menguasai dasarnya baru beranjak ke bahasa lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain