Jumat, 21 September 2012

While There’s Still Time (A. Rahartati Bambang)


                Dani menggelengkan kepala. Tulisan dalam poster di atas boks Tata sungguh mengundang tanya. Apa maksudnya? While there’s still time… Senyampang ada waktu.
                Kendati telah membacanya berulang kali, dan menerjemahkannya di dalam hati, Dani masih juga tak mengerti. Apa kaitan poster itu dengan kepulangannya dari rumah bersalin? Mengapa pula secara khusus Suryo meletakkannya di sana, di atas boks Tata? Ia yakin Suryo memilih benda itu bukan karena latar belakangnya—lukisan setangkai anterium warna magenta—melainkan karena rangkaian kata-katanya.
                While there’s still time… Senyampang ada waktu…
                “Yok?” Dani berteriak memanggil suaminya.
                Ia baru sadar begitu mendengar suara mobil yang semakin menjauh. Ah, ya. Suryo harus segera ke apotek…
                Diam-diam ia merasa kecewa. Mengapa pada hari seistimewa hari itu—hari pertama kehadirannya bersama Tata, anak pertama mereka—Suryo tidak menyambutnya dengan hadiah yang lebih semarak, misalnya karangan bunga anyelir warna merah muda kesukaannya?
                Dengan hati-hati ia membaringkan Tata yang masih nyenyak di tempat tidur. Ia sendiri lalu bergolek di sampingnya.
                While there’s still time… Gumamnya berulang kali. Senyampang masih ada waktu…
                Ya? Senyampang masih ada waktu. Bukankah cuma seperti itu artinya? Tak ada yang luar biasa. Tak ada istimewanya.
                Diam-diam Dani menyesali ketidakmampuan suaminya dalam memberikan “isyarat”. Ah! Suryo memang tak seromantis Mas Ardi, kakak sulungnya. Pada hari ulang tahun perkawinan pertama, ia menghadiahkan sebuah buku mungil berjudul Bloom where you are planted, kepada Mbak Peni, istrinya, berisi kata-kata mutiara yang sangat mengena, khusus bagi pasangan-pasangan muda. Tetapi poster itu… While there’s still time… Bah!
                Ia lalu berusaha menghilangkan kekecewaannya dengan berkata kepada dirinya sendiri bahwa kecakapan dalam memilih hadiah memang bukan milik setiap orang. Seperti Martina, teman sekantornya. Ia yakin atasan tak akan berani lagi menugasi rekannya itu untuk mencari hadiah bagi siapapun. Selera Martina memang aneh. Gara-gara anehnya selera Martina, hubungan mereka sampai merenggang selama beberapa waktu.
                Peristiwa itu terjadi ketika Retno—teman satu departemen—akan menikah. Diputuskan, kantor akan memberikan hadiah lemari es. Karena kebetulan Dani tahu warna ubin di dapur Retno—terracotta—ia menjerit kecil ketika Martina bersikeras memilih warna biru. Apa mau dikata. Barangkali karena merasa diri sebagai si pembuat keputusan, Martina sama sekali tidak mempedulikan saran Dani. Baru ketika hadiah dibuka di depan karyawan—termasuk atasan—diam-diam semua mengulum senyum. Karena merasa ikut terpojok, Dani akhirnya keceplosan. “Coba kita ambil yang tadi, ya, Tien…”
                Oleh Martina kalimat tersebut rupanya dianggap sebagai ajakan bermusuhan. Selama berminggu-minggu ia membiarkan Dani menegur angin. Bahkan berpapasan pun ia enggan…
                Rangkaian kata di poster kembali mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya maksud Suryo?
                “Melamun ya?” tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka. Suryo masuk sambil tertawa-tawa. “Mana anakku?”
                “Psst!” jawab Dani sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya. “Jangan keras-keras. Dia tidur!”
                Tanpa mempedulikan larangan istrinya, Suryo naik ke tempat tidur dan menyelujurkan tubuhnya di samping si bayi mungil untuk menciumi pipinya. Cukup lama ia menunggu kedatangannya. Wajah dan matanya menyiratkan kebahagiaan.
                “Lihat, Dan!” ujarnya sambil menggamit istrinya. “Kakinya cuma segini…,” ujarnya sambil merentangkan ibu jari dan telunjuknya. “Cuma segini, Dan!”
                Ia terkejut ketika menyadari bahwa Dani tetap menengadahkan kepala, tak menoleh ke arahnya.
                “Sakit?”
                Dani tidak menjawab. Ia hanya mengetuk bibir berulang kali dengan ujung telunjuknya.
                Suryo tertawa, lalu menciumi bibir istrinya.
                “Maaf! Sampai lupa. Kau punya saingan, sekarang. Oh, ya, Dan. Kau sudah lihat itu?” ujarnya sambil menunjuk poster.
                Dani mengangguk.
                “Suka?” tanya suaminya.
                Dani kembali mengangguk.
                “Itu artinya kau kurang suka,” lanjut lelaki itu. “Buktinya kau cuma mengangguk.”
                “Suka,” ujar Dani kemudian, “Tapi terang saja aku tidak tahu maksudnya. While there’s still time…”
                “Siapa sih, guru bahasa Inggrismu dulu? Pakai bakiak barangkali ya?” kata Suryo sambil terbahak.
                “Psst! Nanti Tata terbangun!” kata Dani sambil menyodok dada suaminya. “Tentu saja aku tahu artinya… Senyampang ada waktu… Ya, ‘kan?” Tapi apa maksudnya? Apa kaitannya dengan kedatangan Tata dan kepulanganku dari Ibunda?”
                “Makanya, Non. Punya IQ tinggian dikit, dong. Jangan cuma sekadarnya. Sekarang coba lagi utak-atik maknanya. While there’s still time… Kauterjemahkan apa tadi?”
                “Senyampang ada waktu…”
                “Apa? Senyampang? Bukan! Mumpung…” sergah suaminya.
                “Huh. Itu sulitnya punya suami aji mumpung. Ada padanan lain yang lebih canggih, Bung! Senyampang… atau selagi kebetulan. Lihat saja di kamus…”             
                “Oke. Senyampang ada waktu…. Bagus, ‘kan?”
                “Apa bagusnya?”
                “Payah banget, sih! Dulu kupikir kau ini cuma pura-pura bodo, Dan. Ternyata beneran. Jangan-jangan ijazah sarjanamu juga aspal. Aduh!” Suryo menjerit ketika Dani mencubit pinggangnya. “Sekarang dengar. Senyampang ada waktu…”
                “Diulang-ulang terus. Bosen!” ujar Dani sambil memberengut. “Senyampang ada waktu kau mau ngapain?”
                “Nah! Kau sudah jawab sendiri. Kau mau ngapain senyampang ada waktu?”
                “Mau baca… Mau masak… Mau apa saja bisa: Senyampang ada waktu.”
                “Nah! Senyampang ada waktu, aku mau mencintai suamiku…”
                “Males! Senyampang ada waktu, aku mau meracun suamiku… Au!” Giliran Dani menjerit ketika Suryo mendekapnya kuat-kuat.
                “Maaf, Non. Lupa. Masih rapuh, sih, ya. Habis, baru lulus jadi Ibunda… Makanya serius dikit, dong. Senyampang ada waktu, aku mau merawat Tata sebaik-baiknya…
                “Senyampang ada waktu, aku mau mengajaknya bermain-main… Senyampang ada waktu, aku mau… Apa saja, deh. Kau selalu bisa membubuhkan kata-kata itu di depan semua rencanamu. Yang baik, tentunya.”
                “Hih! Aku jadi ngeri. Bukankah ungkapan semacam itu seolah mengingatkan bahwa waktuku tak banyak lagi, seolah sebentar lagi aku ma…”
                “Psst!” ujar Suryo sambil membungkam mulut istrinya, “Berpikirlah positif, Non! Kalau kau selalu menambahkan While there’s still time pada setiap kegiatanmu, rencanamu, kau pasti akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Itu pasti. Karena kau merasa dikejar waktu. Karena kau merasa waktumu tak banyak lagi… Begicu…
                “Jijay! Kaya bencong!”
                “Bencong? Lalu itu apa, dong?” ujarnya sambil menunjuk Tata yang masih lelap dan menepuk dadanya berulang-ulang…
                “Oke. Sekarang aku tak tahu apa maksudmu. Dan kau sendiri bagaimana? Tentu sangat tidak adil kalau kau tidak menerapkannya…”
                “Siapa bilang? While there’s still time, aku mau menikmati keberadaan Tata dengan sejenak tidur-tiduran di sampingnya… While there’s still time, aku juga ingin mencium ibunya anakku puas-puas… Wow! Sudah dulu, ya. Aku mau ke kantor lagi…”

*

                Malam itu, dengan hati-hati Dani membaringkan tubuh di samping anaknya. Esok pagi, Tata akan merayakan ulang tahun yang keenam. Semua telah siap. Termasuk kotak-kotak dari kertas chrome-coated putih bertuliskan, Tata, 6 tahun, yang akan dibagikan di sekolah. Tinggal memasukkan isinya…
                Dani tersenyum. Di mata seorang ibu, anak adalah malaikat, seberapapun bengalnya. Dan kini, malaikat kecilnya yang bengal sedang lelap tidur. Dengan hati haru Dani mengamati setiap sudut wajah buah hatinya, sambil membelai jari-jari tangan dan kakinya yang mungil. Ketika sambil lalu ia merentangkan ibu jari dan kelingkingnya untuk mengukur kaki bidadarinya, ia terhenyak. Pada usianya yang keenam, panjang kaki Tata tepat sejengkal tangannya…
                Ah! Bukankah seperti baru kemarin Suryo menggamit lengannya sambil merentangkan telunjuk dan ibu jari untuk memperlihatkan “ukuran” telapak kaki Tata?
                Ia menjerit dalam hati. Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Karena kesibukannya, banyak hal terabaikan. Pertumbuhan Tata telah luput dari perhatiannya. Hari ini panjang telapak kaki Tata tepat sejengkal tangannya. Sebentar lagi ia pasti akan bertambah sebuku jari, dan sebuku lagi… Hingga suatu hari Tata tak akan membutuhkan dirinya lagi. Ia tidak akan merengek-rengek lagi meminta cerita pengantar tidur. Ia akan malu bermanja-manja. Ia tak akan mengganggunya lagi dengan seribu macam pertanyaan yang terkadang menjengkelkan. Ia akan memiliki sahabat, teman akrab, bahkan kekasih. Ia akan memiliki dunianya sendiri… Dan, ah! Poster itu… Ia bahkan tidak menyadari kapan Tata tak tidur lagi dalam boksnya…
                Mendadak ia begitu merindukan anaknya. Ah! Bukankah Tata sedang terlelap di sampingnya?
                Dengan penuh kasih ia lalu membelai rambut anaknya, sementara bibirnya menggumam janji…
                Senyampang ada waktu akan kubuka lebar mataku untuk melihat pertumbuhannya… Senyampang ada waktu akan kudengarkan dan kunikmati “gangguan” pertanyaannya… Senyampang ada waktu akan kuhayati setiap detik masa kanak-kanaknya… Senyampang ada waktu akan kuresapi setiap detik keibuanku…
                “Ibu!” bisik anak itu sambil menggeliat. Belaian Dani membangunkannya tiba-tiba. “Ceritain, dong!” ujar gadis kecil itu masih dengan mata mengantuk.
                Hampir saja Dani memberikan jawaban klisenya, ‘Ih! Ibu ‘kan capek!’ Untung kepalanya bereaksi lebih cepat. “Mau cerita apa, Ta?”
                Anak itu kini benar-benar membuka matanya. “Ibu punya waktu?” tanyanya heran.
                “Punya, Ta. Banyak sekali…”

Untuk Rita dan Jane Oetoro
(Sarinah, No. 306, 11-24 Juli 1994)


NB: Ini cerpen yang paling menyentuhku di antara cerpen-cerpen lainnya dalam “ApresiasiCerpen Indonesia Mutakhir” (Korrie Layun Rampan: Bukupop, Jakarta, 2009). Kupersembahkan untuk para calon ibu maupun yang sudah ibu. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain