Senin, 20 Juni 2011

Mengapa Perempuan dan Laki-laki Dibedakan

Judul : Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir
Penyusun : Korrie Layun Rampan
Penerbit : Bukupop, Jakarta, 2009

Setelah dua mingguan terdampar ke dunia lain (Ujung Kulon), tengah minggu kemarin saya merengkuh lagi dunia saya semula dengan meminjam buku ini dari perpustakaan kota. Ada 36 cerpen dalam buku ini yang terbagi jadi dua. Bagian pertama untuk cerpenis laki-laki (17 cerpen) sedang bagian kedua untuk cerpenis perempuan (19 cerpen). Sebenarnya saya agak kurang sreg dengan pembagian berdasar gender ini. Namun secara keseluruhan, memang ada perbedaan di antara keduanya.

Pada bagian cerpenis laki-laki, kebanyakan cerpen pernah dimuat di KOMPAS. Dibandingkan dengan cerpen-cerpen para cerpenis perempuan, eksplorasi tema para cerpenis laki-laki lebih luas. Tidak semata soal keluarga, tapi ada juga yang menyentuh etnis tertentu, banyak yang berupa kritik sosial, mengangkat kaum marginal (saya jadi kenal istilah baru terkait ini: cerpen naturalis!), fiksi ilmiah, mistik, pewayangan, sampai kaum berorientasi seksual menyimpang.

Lingkup tema cerpen para cerpenis perempuan yang ditampilkan dalam buku ini lebih sempit. Kebanyakan cerpen (yang kebanyakannya pula dimuat di majalah Sarinah) bertemakan keluarga. Meski demikian, sebagai seorang perempuan ini tidak menjadi masalah bagi saya. Justru beberapa cerpen saya rasakan amat menyentuh sisi keibuan yang mulai muncul dalam diri saya, ho ho ho...

Sebut saja "While There's Still Time", karya A. Rahartati Bambang. Tokoh utama dalam cerpen ini mengartikan judul tersebut dengan "senyampang ada waktu" sedang cerpen ini sendiri menceritakan tentang kasih seorang ibu pada anaknya.
Senyampang ada waktu akan kubuka lebar mataku untuk melihat pertumbuhannya... Senyampang ada waktu akan kudengarkan dan kunikmati "gangguan" pertanyaannya... Senyampang ada waktu akan kuhayati setiap detik masa kanak-kanaknya... Senyampang ada waktu akan kuresapi setiap detik keibuanku... (hal. 204)

Aduh... Rasanya sudah tidak sabar jadi seorang ibu... :')

Cerpen bertema serupa yang cukup menyentuh adalah "Anak" karya Nina Pane dan "Setelah Kelahiran" karya Ryke L. Cerpen pertama adalah tentang seorang perempuan yang menyesal telah menggugurkan kandungannya di masa lalu namun bakal anaknya itu ternyata tetap hidup dan terus tumbuh dalam jiwanya (weitz... spoiler!). Cerpen kedua menceritakan konflik batin yang dialami seorang perempuan pasca melahirkan anak untuk pertama kalinya.

Selain cerpen-cerpen bertema semacam ini, saya rasakan pada umumnya cerpen karya cerpenis perempuan memang lebih menyentuh perasaan ketimbang cerpen karya cerpenis laki-laki. Mungkin karena perempuan yang menjadi tokoh utamanya sedang saya sendiri seorang perempuan.

Beberapa cerpen meski disajikan dengan biasa saja, seperti "Thea Giman" oleh Rani Rachmani Moediarta, namun entah mengapa tetap menghadirkan kekuatannya sendiri yang dapat menyentuh. Cerpen ini menceritakan tentang seorang putri pengusaha yang menyelundup ke perusahaan ayahnya untuk meneliti konsumerisme di negara berkembang. Objek pengamatannya adalah kaum perempuan yang notabene para anak buah ayahnya sendiri. Sementara para perempuan tersebut saling pamer belanjaan impor, ia sendiri berani tampil apa adanya dengan blus katun dan rok batik atau sebaliknya, blus batik dan rok katun.

Perkataannya, yang tercantum dalam halaman 292 buku ini, "Aku ingin mengetahui, pada dasarnya, secara psikologis, apa sih yang mendorong orang-orang kita bangga pada merek dan produksi luar negeri. Setelah tiga bulan di sini, aku dapat masukan bahwa semua itu ada kaitannya dengan rendahnya apresiasi kita terhadap apa-apa yang sudah ada pada diri kita." (hal. 292)

Satu lagi yang inspiratif, beberapa di antara 19 cerpenis perempuan yang karyanya dimasukkan dalam buku ini adalah wartawati seperti Anna M. Massie, Apri Swan Awanti, Dorothea Rosa Herliany, Martha Hadimulyanto, Nani Mulyani, dan Yatie Asfan Lubis. Sebagian sisanya ada yang bekerja di majalah atau semacamnya tapi tidak disebutkan sebagai wartawati. Latar belakang cerpenis yang juga wartawati ini rupanya mempengaruhi karya yang dihasilkan. Sebut saja "Suatu Malam" karya Anna M. Massie dan "Kenangan Pesta" karya Martha Hadimulyanto yang menurut penyusun buku ini merupakan laporan pandangan mata alias fiksi jurnalistik.

Cerpen yang relatif unik dari deretan cerpen para cerpenis perempuan dalam buku ini adalah "Nasib Sanggul Bu Colon" karya Etik Minarti. Tidak seperti cerpen-cerpen lainnya yang relatif menyentuh perasaan keperempuanan, nuansa cerpen satu ini malah menjurus pada kekocakkan. Bayangkanlah orang-orang suatu perumahan mengejar sebuah sanggul besar yang bisa loncat-loncat sendiri. Agak absurd. Mengetahui cerpenisnya pernah juga membuat cerpen parodi berjudul "Aku, Olenka, Rafilus, dan Pengarangnya", ketertarikan saya jadi timbul.

Lho, kok saya malah menyoroti cerpen-cerpen para cerpenis perempuan saja? Bukannya tidak ada cerpen menarik dari bagian cerpenis laki-laki. Namun tidak seperti cerpen-cerpen dari bagian satunya, hanya satu cerpen dalam bagian ini yang menarik minat saya untuk memfotokopinya demi koleksi pribadi (hak cipta? hm...). Sebuah cerpen eksperimental karya Sony Karsono, "Insomnia". Ceritanya sendiri tidak jelas, namun saya suka pada gaya bahasanya yang sejak awal sudah begitu memikat.
Empat puluh tahun lalu dalam etalase butik kulihat boneka cantik dari plastik. Ia mengenakan gaun putih pengantin salju. Ia berseru, "Hei! Menikahlah denganku!" Kala itu aku sudah punya ijazah, kerja dan rumah. "Mungkin," pikirku, "aku perlu istri". Maka boneka itu kubeli dan kubawa pulang naik taksi. Kami menikah dan punya tiga anak. Karena istriku bijaksana, aku lupa bahwa ia hanya boneka dan bahwa anak-anak kami adalah makhluk separuh boneka separuh manusia. (hal. 143)

Namun sebenarnya, dengan pembagian berdasar gender yang awalnya saya pikir tidak penting ini, saya justru jadi merasakan kalau perempuan dan laki-laki memang tidak bisa begitu saja disamakan. Perempuan memiliki sensitivitasnya sendiri dan karena itulah potensi ini perlu juga diwadahi, diwakili, dalam sebentuk, katakanlah, cerpen. "Karena wanita hanya ingin dimengerti", waha.

Maka tidak menjadi masalah jika keluarga menjadi tema yang paling banyak dieksplorasi cerpenis perempuan. Ini tidak berarti kreativitas perempuan terbatas, saya kira. Justru perempuan harus kreatif dalam menyikapi ragam permasalahan keluarga. Sebagaimana saya kutip dari penghujung analisis penyusun terhadap cerpen "While There's Still Time" di halaman 206, "Bukankah kuatnya keluarga berarti kuatnya masyarakat? Dan, kuatnya masyarakat berarti kuatnya negara?!" Tapi mengapa hanya perempuan?

Sewaktu menarik buku ini dari rak, sebenarnya ada harapan untuk mendapatkan pengetahuan semacam yang saya dapatkan dari buku-bukunya Maman S. Mahayana, atau malah Budi Darma (ingat "Harmonium"). Setiap bagian dalam buku ini diberi pengantar. Setiap cerpen yang disajikan disertai analisis sesudahnya. Analisis cerpen dalam buku ini rupanya lebih pada pemaknaan akan cerpen bersangkutan, yang kerap bikin saya berpikir, "Eh, emang ini gitu yang tadi diomongin cerpennya?" Tidak ada kalimat-kalimat yang memancing minat saya untuk mengutip--kalimat-kalimat yang memberitahu saya bagaimana caranya menghasilkan suatu karya yang seperti apa.

Hitung-hitung membaca kompilasi cerpen lah ya... Haha...

Selain itu, kendati diterbitkan tahun 2009 dan ditambahi "mutakhir" pada judulnya, cerpen-cerpen yang ditampilkan dalam buku ini malah memberi pembaca wawasan kehidupan tahun 90-an. Betul, hampir semua cerpen yang ada dalam buku ini telah dimuat sebelumnya di media massa mulai awal hingga pertengahan tahun 90-an. Kedaluwarsa memang. Seharusnya buku ini dijuduli "Apresiasi Cerpen Indonesia Tahun 90-an". Namun jika mengingat bahwa masih ada nilai-nilai dari dalam cerpen-cerpen tersebut yang relevan dengan masa kini, ini menjadi masalah yang tidak lagi begitu berarti.

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...