Judul : Harmonium
Penulis : Budi Darma
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995
Saya melihat rumah Eyang. Sudah kusam, lecek, namun sangat menggoda untuk didekati. Saya sudah pernah memasuki rumah Eyang yang lain. Di sana Eyang menyuguhkan saya cerita yang membuat saya ingin terbahak-bahak. Ingin juga saya mengetahui cerita Eyang lainnya. Apakah dalam rumah ini saya akan menemukannya? Sembari terhanyut akan ikan-ikan ungu-hitam dalam akuarium, eh, saya malah diceramahi.
Budi Darma memang bukan eyang saya, tapi secara umur beliau adalah seorang eyang-eyang bagi saya meski para eyang saya sendiri umurnya lebih tua. Bagaimanapun seorang eyang berbicara, entah kita setuju atau tidak, kita harus memerhatikannya. Ini adalah suatu sikap patuh yang entah bagaimana muncul dengan sendirinya. Namun tentu saja sebagai intelektual muda (aih…), kita harus bisa mengolahnya lagi dan menyesuaikannya dengan keadaan kita—bagaimanapun kitalah kini yang menyandang peran melawan arus jaman.
Daripada saya makin menceracaukan hal-hal normatif, lebih baik saya langsung saja membagi hasil pertemuan saya dengan Eyang. Sebetulnya banyak yang Eyang bicarakan. Kritikus sastra, Nugroho Notosusanto, melodramatiknya sastra Indonesia, kebudayaan, puisi, dan lain-lain yang saya sudah lupa. Hanya tiga hal penting ini yang saya rangkum: pengarang, proses kreatif, dan karyanya.
Pengarang
Dalam pengantarnya, Eyang membuat saya ngeh kalau kunci menulis itu mungkin hanya berpikir dan mempertanyakan—karena Eyang sendiri begitu. Kata Eyang, itulah hakikat obsesi. Karena telah terobsesi, maka seseorang akan terus melakukan dialog dengan dirinya sendiri untuk terus mencari jawaban. Namun jawaban demi jawaban hanyalah terminal, bukan final. Karena itu, eseis, pengarang, dan penyair selalu mempunyai tema yang lebih-kurang sama (hal. x).
“Dalam proses kreativitas, tema mengalami metamorphose. Latar-belakang kehidupan pengarang, antara lain bakatnya, suasana lingkungannya, bacaannya, dan lain-lain sangat berpengaruh terhadap metamorphose tema. Bahkan suasana sesaat juga dapat mempengaruhi kreativitas. …
Meskipun banyak hal dapat mempengaruhi metamorphose tema, tema itu sendiri pasti ada. Entah sadar atau tidak, setiap pengarang dihantui oleh tema tersebut. …. Kafka selalu dihantui oleh keterasingan manusia, karena itu karya-karyanya juga mengenai kesendirian.” (hal. 47)
“Tema pokok seorang pengarang, yang selalu diulang-ulanginya karena obsesinya pada dasarnya juga sama, juga merupakan ciri orisinalitas pengarang tersebut. Seorang pengarang yang tidak mempunyai tema pokok pada umumnya juga kurang mempunyai kepribadian. …. Perkembangan seorang pengarang adalah perkembangan gaya dan ekspresinya.” (hal. 50)
Sastra yang baik tidak selalu berarti sastra yang membawakan suara jamannya. Jika selalu demikian, maka sastra yang baik ini adalah sastra yang latah dan tidak mempunyai kepribadian. Di halaman 37-38, “Seseorang yang berkepribadian tidak akan terjerat oleh mode dan kemudian menjadi latah, akan tetapi dapat melihat mode itu dari segi pandangannya sendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. …. Seseorang yang berkepribadian dapat melepaskan diri dari dominasi mode yang dijadikan model oleh kebanyakan orang. Karena itu dia mengalami konflik.”
Jadi, sebagaimana yang sudah Jakob Sumardjo ungkapkan dalam “Dari Kasanah Dunia”, seorang pengarang patut kiranya memiliki kepribadian yang matang. Tapi rupanya Eyang menambahkan kriteria lain.
“Seniman yang baik pada hakikatnya adalah intelektual yang baik. Mereka selalu mencari, belajar, dan berkembang. Daya serap mereka tinggi, demikian pula daya seleksi dan daya susun mereka. Mereka selalu dalam keadaan menyerap. Begitu terlibat dalam proses kreatif, mereka menyeleksi apa yang telah mereka serap ke dalam komposisi yang hebat. Sebaliknya, seorang intelektual yang tidak mempunyai kemampuan komposisi bukanlah pengarang. Begitu persepsi dan seleksi yang ringgi memadu dalam komposisi yang hebat jadilah karya seni yang baik.” (hal. 60)
Proses kreatif
Kata Eyang di halaman 36, “Panorama sastra Indonesia rata-rata sampai saat ini adalah panorama dekade pengarang yang tidak mengalami konflik yang keras dengan masyarakat dan jamannya. Para pengarang ingin membangkitkan semangat sosial melalui karya-karya mereka, dengan jalan mengikuti apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak dapat mengharapkan adanya penokohan atau perwatakan yang baik dalam karya sastra. Penokohan atau perwatakan hanya dapat terjadi, apabila pengarangnya sendiri merasakan adanya konflik antara dirinya dengan lingkungannya. Apabila pengarang hanya mengikut, karena konfliknya terlalu lemah atau kurang hakiki, maka karya sastra tersebut bukanlah mengenai manusia, akan tetapi mengenai masyarakat sendiri.”
Perlu diingat sebelumnya, bahwa buku ini adalah terbitan tahun 1995. Satu setengah dekade setelah itu kiranya panorama sastra Indonesia telah mengalami perbaikan, he?
“Sekali lagi, tanpa mempunyai pandangan yang berbeda, seseorang tidak mengalami konflik yang hebat dengan dunia luar. Dan tanpa mengalami konflik seseorang sulit terlibat dalam proses kreatif.” (hal. 39) Eyang menyinggung Nh. Dini dengan “Namaku Hiroko”-nya di halaman 41. “Karena Nh. Dini sendiri tidak merasakan adanya konflik dalam menghadapi kehidupan macam Hiroko, Hiroko tidak mungkin mengalami konflik yang berarti.”
Eyang mencontohkan plot beberapa novel hiburan Barat di mana cara pengarangnya menggali persoalan mengagumkan. Pengarang mengungkapkan persoalan yang sangat sederhana, kemudian mengebor persoalan ini di seluruh halaman novel tebal. Apakah ada pengarang Indonesia yang sanggup menjabarkan peristiwa kecil ke dalam novel yang tidak tipis, itu adalah pertanyaan Eyang. “Orang pada umumnya lebih banyak tersandar pada apa yang akan terjadi dibanding dengan menciptakan kejadian.” (hal. 3)
Lalu Eyang juga mengungkap betapa isi novel-novel Indonesia banyak mengumbar hal-hal yang melodramatis. Satu yang saya cermati adalah perkara wishful thinking. Seperti yang pernah saya catat dari otobiografinya A. A. Navis dan saya lontarkan lagi dengan redaksi saya sendiri, hidup orang Indonesia itu sudah pedih. Maka mereka tidak suka disuguhi karya-karya yang mengingatkan kepedihan hidup mereka itu. Jadilah yang banyak tersaji adalah cerita-cerita yang dapat memenuhi khayalan mereka. Tidak pernah hidup mewah. Ingin tahu rasanya hidup mewah. Tontonlah sinetron. Tidak pernah punya pacar. Ingin tahu rasanya punya pacar. Bacalah teenlit pasaran.
Eyang mengemukakan tiga hal yang mungkin jadi pendorong pengarang untuk mendramatisir tokoh-tokohnya sampai ke luar batas. Tapi yang saya catat, sebab itu paling menarik bagi saya, adalah ini:
“2. Mungkin untuk menutupi kekosongan otak dan jiwa para tokohnya. Para tokoh ini adalah tipe orang yang banyak tertawa dan tersenyum dalam sebuah debat atau dalam desakan untuk mengambil keputusan, karena sebetulnya otak mereka kosong. Dan meskipun mobilitas mereka tinggi, jiwa mereka berlubang. Yang berpikir, berusaha merasakan persoalan, dan merasa gelisah bukanlah mereka sendiri, melainkan pengarang.” (hal. 93)
Nah, di sinilah proses kreatif memegang peranan penting. Seperti yang sudah pernah saya baca juga, tapi lupa di mana, kadang seseorang memiliki semangat meledak-ledak untuk segera menulis tanpa melakukan eksplorasi lebih luas dan mendalam akan apa yang hendak ditulisnya. Itulah mengapa Islam mengajarkan kita untuk sabar.
“…penghayatan adalah satu-satunya modal utama para pengarang yang dikagumi... Penghayatan tersebut tidak akan mencapai apabila pengarangnya tidak mempunyai kepekaan hebat, sikap hidup yang bukan sembarangan, dan keterampilan menulis yang tiada taranya,” begitu kata Eyang di halaman 16.
Kalau bagi saya sendiri, penulisan novel (terutama) membutuhkan pengendapan ide dan perencanaan yang relatif detail. Saya bisa saja sudah produktif berkarya pada usia yang lebih muda, namun pada saat itu saya sadar bahwa saya belum punya kapasitas untuk mewujudkan kualitas yang saya inginkan. Namun rupanya sikap saya ini kena sentilan Eyang juga.
“Pengarang boleh saja menentukan apa yang akan digarapnya, akan tetapi dalam proses penggarapannya sendiri, pengarang akhirnya akan sadar, bahwa yang ditulis ternyata bukan seperti yang direncanakannya semula. Dalam proses penulisan itulah imajinasi pengarang berkembang untuk mencari bentuk.” (hal. 44)
“Kecuali menciptakan dunia tersendiri yang tidak sama dengan dunia sehari-hari, kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Pengarang boleh merencanakan apa yang akan ditulis, membuat kerangka cerita, menyiapkan resep mengenai apa yang harus diucapkan oleh para tokohnya, dan lain-lain. Apabila pengarang hanya sekedar tukang, dan dengan demikian tidak terlibat dalam proses kreatif, maka dia dapat mengembangkan apa yang akan ditulisnya sesuai dengan rencananya. Tetapi pengarang yang benar-benar pengarang akan tertipu oleh rencananya sendiri. Rencana hanyalah mekanisme kerja, bukannya penemuan. Sementara itu, kreativitas adalah obsesi yang berkelejetan. Apa yang akan terjadi pada obsesi ini, pengarang sendiri tidak dapat meramalkannya.” (hal. 57)
Setelah ingat pengalaman saya sendiri dalam menulis novel, benar juga sih kata Eyang. Proses pra penulisan adalah sesuatu yang tak bisa saya elakkan, tapi saat penulisan, bisa lain lagi ceritanya.
Lebih lengkap lagi, ini potongan cerita Eyang di halaman 13, “…andaikata dia mempunyai bakat, tidak mungkin dia menulis novel dengan rancangan-rancangan demikian. Dari bacaan-bacaan yang bagus dia menyimpulkan, bahwa pengarang yang baik pasti akrab dengan objeknya dan cara menggarap objek tersebut. Bahkan, objek dengan pendekatannya sudah menjadi satu dengan nafas, persepsi, dan aspirasi pengarang sendiri. Dengan demikian, pengarang lebih banyak digerakkan oleh nalurinya dibanding dengan otaknya. Rambu-rambu penulisan tercipta dengan sendirinya pada waktu dia menulis, bukan sebelum dia menulis. Perwatakan juga akan datang dengan sendirinya tanpa dijadwalkan. Tapi Nirdawat bukan seorang pengarang, dan karena itu tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanya dapat mencurigai, jangan-jangan Martinus tidak pernah merasa dikejar-kejar oleh suatu persoalan. Tapi biarlah, asal novel Martinus nanti tidak dangkal.”
Tapi Eyang, bagaimana dengan kutipan dari sang jenius penemu bohlam bahwa kesuksesan adalah 99% kerja keras dan 1% bakat? Perkataan Eyang seolah-olah pengarang itu adalah seseorang yang pasti mempunyai bakat. Mungkin benar pula demikian, namun kiranya bakat tidak akan berguna jika tidak diasah dengan kerja keras secara kontinyu.
Karya
Menurut Eyang di halaman 3, “…karya sastra yang baik itu bagaikan intan, berwajah banyak dan bertebing banyak, dan masing-masing wajah serta tebing itu membiaskan sekian ragam cahaya.” Dan kritikus yang baik mampu melihat bilik-bilik rahasia di balik kata-kata dalam karya sastra tersebut.
“Karya sastra yang baik dapat mengatakan sesuatu tanpa mengatakannya. Dalam karya sastra yang baik, tema, penokohan, alur, gaya bahasa, dan lain-lain berbaur menjadi kebulatan.” (hal. 62)
“Dalam karya sastra realistis, pada umumnya imajinasi yang baik tidak jauh dari kenyataan sehari-hari. …. Dalam karya sastra realistis kadang-kadang seolah tidak ada apa-apanya…. Akan tetapi dari yang nampaknya tidak ada apa-apanya ini ternyata ada sesuatu yang menyentuh pembaca, yaitu suasana subtil yang memancing kontemplasi pembaca. Rangsangan kontemplasi yang ditimbulkan oleh imajinasi inilah yang dipergunakan sebagai ukuran dalam logika sastra."
Sedangkan menurutnya tentang karya sastra yang buruk, “Rendahnya mutu cerita-cerita detektif, spionase, koboi, dan sebagainya menurut logika sastra terletak pada usaha para penulisnya untuk menggambarkan keadaan yang luar biasa, akan tetapi sebetulnya tidak ada apa-apanya kecuali sensasi. Tulisan-tulisan semacam itu tidak mengundang pembacanya untuk berkontemplasi, melainkan untuk terangsang jasmaninya.” (hal. 43-44)
“…menurut Freud, karya sastra pengarang semacam ini rata-rata buruk, sebab pengarang kurang mampu mengolah imajinasinya. Karena itulah Freud menganggap romance karya sastra yang buruk. …. Karya-karya di atas sekaligus memproyeksikan wishful thinking pembacanya. Dan memang di mana-mana dan di jaman apapun ada kaidah tidak tertulis, bahwa proyeksi wishful-thinking dicari oleh kebanyakan orang. Orang senang melihat dirinya dalam keadaan yang diinginkannya, terutama yang tidak tercapai olehnya. …. Dan bisa terpuasinya wishful-thinking terdapat dalam karya-karya yang cepat luntur.” (hal. 43)
Eyang mencontohkan karya-karya Ian Fleming (James Bond) dan karangan Ashadi Siregar sementara dalam “Dari Kasanah Sastra Dunia” Jakob Sumardjo mencontohkan karya-karya Agatha Christie dan Karl May.
“…inilah yang menjadikan novel mereka hiburan, orientasi mereka hanyalah ketegangan, sensasi dan debar jasmani. Mereka tidak berorientasi pada kontemplasi, karena memang mereka tidak mempunyai visi. Karena itu novel mereka hanya sekedar menyenangkan. Sebaliknya, karya-karya sastra yang baik tidak selamanya menyenangkan, tapi penuh dengan ledakan yang menyebabkan dia resah terhadap dirinya sendiri, orang-orang sekitarnya, dan alam tempatnya bernafas. Karya sastra yang baik dapat membawanya ke dunia yang sublim, dan hanya dapat dirasakan tanpa dapat banyak dipikirkan.” (hal. 13)
Jadi apakah kegelisahan itu adalah suatu hal yang amat berarti?
Namun yang saya ketahui, karya-karya yang tadi disebut justru amat banyak penggemarnya, bahkan hingga saat ini. Karya-karya sastra yang baik, yang dianggap mengandung nilai-nilai universiil dan abadi, sebut saja milik Ernest Hemingway atau John Steinbeck, malah saya meragukan teman-teman saya yang awam dunia sastra akan mengenalnya. Pengstrataan karya sastra ini sepertinya hanya berlaku di kalangan tertentu saja. Mayoritas masyarakat tidak akan berpikir akan kualitas karya sastra tersebut karena orientasi mereka mungkin hanya hiburan—meski mereka tahu kalau karya tersebut mungkin tidak mutu. Mungkin hanya para kritikus dan mereka yang mau jadi pengarang saja yang benar-benar menilik bagaimana kualitas dari suatu karya.
Jadi, mau menulis karya yang seperti apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar