Cihampelas bagi saya adalah kawasan di mana banyak toko pakaian, terutama jeans, berjajar. Patung berukuran besar menjadi ikon bagi tiap toko, entah itu gorila, spiderman, atau sopirman. SMAN 2 Bandung terselip di antara makhluk-makhluk itu. Angkot jurusan Cicaheum – Ledeng melintasi kawasan ini. Cihampelas tidak kalah ramai dari Dago—letak kedua kawasan ini berdampingan—bahkan agaknya lebih mengakomodasi kelas menengah ke bawah.
Dulu ada mal bernama
Sultan Plaza di Cihampelas. Di lantai tiga Sultan Plaza terdapat food court dan arena bermain anak yang
sangat mengasyikkan. Arena tersebut berupa bangunan yang cukup besar, di
dalamnya terdapat berbagai ruangan dan lorong yang memenuhi hasrat menjelajah
anak-anak: perosotan, mandi bola, ruang kaca, jaring-jaring, lorong dengan
samsak di mana-mana, dan masih banyak lagi. Beruntung, saya sempat mencicipi
wahana seru itu beberapa kali. Mal tersebut kini tinggal bangunan tanpa fungsi
jelas. Pun surga bagi anak-anak dekade 1990-an itu, tinggal kenangan.
Tercengang ketika tahu kalau Sultan Plaza sudah begini keadaannya :0 |
Sebetulnya Cihampelas
bukan kawasan yang kerap saya sambangi. Di masa ini, paling-paling saya lewati kawasan
tersebut kalau saya habis dari UPI. Tahu-tahu Cihampelas Walk a. k. a. Ciwalk berdiri.
Kunjungan saya ke mal berkonsep unik itu bisa dihitung dengan jari. Tahu-tahu
pula Aston Tropicana menjulang di tepi, bikin saya tercengang tak henti. Konon keberadaan
hotel tersebut tak ramah bagi pemukiman di sekitarnya, air tanah dan cahaya
matahari hanya sampai untuk kepentingan sendiri.
Pada Minggu
(22/4/2012), bersama komunitas Aleut saya berkesempatan untuk meninjau bagian
dalam Cihampelas. Kawasan ini identik dengan Sungai Cikapundung, yang
membelahnya. Sungai Cikapundung konon merupakan sungai terpanjang di dunia,
karena melintasi Asia Afrika (yang sebetulnya nama jalan di Kota Bandung :P). Kapundung
sendiri berarti nama tumbuhan, seperti Menteng, demikian kata koordinator Aleut.
Dari Jalan Siliwangi
kami menuruni jalan di tepi Sungai Cikapundung yang berada di balik Sasana
Budaya Ganesha (Sabuga). Saya belum pernah melihat Sungai Cikapundung bagian
sini, biasanya bagian yang berada di sekitar Jalan Asia Afrika dan Stasiun
Bandung saja.
Bandung menuju metropolitan. Dengan berjubelnya rumah-rumah, sudah mirip Jakarta kan? |
Salah satu ikon Kota
Bandung ini sering jadi objek acara bertemakan lingkungan hidup. Pembersihan sungai
ini sering dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat maupun instansi, namun sampah
tetap terlihat di banyak titik. Warna airnya serupa bajigur, namun selera sama
sekali tidak terundang. Rumah-rumah dari seng maupun susunan bata yang tidak
dicat berjejalan di sepanjang sungai, entah didirikan atas izin pemerintah atau tidak. Ban-ban untuk kukuyaan[1]
bertumpuk di beberapa titik, heran jika ada yang berminat, tubuhnya mesti kebal
dari gatal-gatal.
Itu tumpukan bannya di dekat jembatan |
Melihat sekilas
saja, saya agak ngeri membayangkan hidup di bantaran sungai penuh cemaran
begini. Apalagi jika air sungai tersebut, sebagai sumber air terdekat,
dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga, entah mencuci, mandi, apalagi
memasak! Apalagi jika limbah rumah tangga dibuang pula di sini. Ada yang bilang
kalau masih ada orang yang memfungsikan Cikapundung sebagai kloset. Begitu
dekat mereka hidup dengan biang penyakit.
Konon baik-buruknya pengelolaan
sebuah kota dilihat dari keadaan sungainya. Jelaslah bagaimana pengelolaan Kota
Bandung jika dilihat dari rupa Sungai Cikapundung. Bisa dibayangkan sebuah
sungai yang di hulunya terdapat peternakan?
Selain itu, Sungai
Cikapundung dengan seabrek polutannya bermuara di Sungai Citarum. Sungai
Citarum sendiri telah menjadi isu global. Limbah dari sekian pabrik multi
nasional berbaur dalam alirannya, yang berhulu di Gunung Wayang dan bermuara di
Laut Jawa. Menurut Kang Jana, pegiat Aleut yang bekerja untuk Greenpeace,
sungai di negara semacam China, Thailand, dan sekitarnya juga mengalami nasib
serupa. Apa kabar samudra dunia?
Lorong-lorong
pemukiman padat nan sempit, berkelok-kelok, serupa jalan tikus. Anak-anak sini harus
pandai mencari ruang bermain alternatif. Pada sebuah saluran air mengalir
dengan amat deras, bagai salah satu wahana di tempat rekreasi air macam
Waterboom atau Waterbyur. Ada yang bercerita kalau seorang anak pernah hanyut
di saluran tersebut, saat hujan turun dan air meluap.
Kami berhenti sejenak
di Masjid Mungsolkanas. Letaknya di sebuah gang yang jalan masuknya tidak jauh
dari jalan raya. Masjid yang dulunya hanya sebuah tajug alias musala ini telah berada di lahan tersebut sejak tahun
1869. Dalam sebuah kotak kaca di lantai dua tersimpan sebuah Alquran yang
ditulis dengan tangan.
Mungsolkanas itu ternyata singkatan! |
Sayangnya tidak ada informasi mengenai Alquran ini |
Bentuk asli masjid
ini agaknya sudah tidak tampak. Renovasi terbaru yang dilakukan beberapa tahun
lalu menghabiskan dana hingga sekitar dua puluh enam juta rupiah. Atap masjid
dilapisi semacam karpet tahan air yang diperkeras. Kami berkesempatan naik ke
sana.
Calon apartemen yang
memakan lahan begitu luas pun menjadi panorama utama di lantai tiga.
Keberadaannya kontras dengan sekitarnya, mengingatkan saya akan Hotel Ibis di
Jalan Gatot Subroto. Keberadaannya menambah kegeraman pada penguasa kota, yang
mengizinkan perombakan cagar budaya demi cagar budaya demi bangunan komersial. Anak-anak
sekolahan kehilangan Centrum, BJ Habibie menangisi peruntuhan SMAK Dago.
Pembangunan
apartemen di seberang masjid itu pun mengorbankan sebuah kolam renang yang pernah
jadi tujuan pelesir pada zaman pendudukan Belanda. Kolam tersebut didirikan
oleh istri pemilik Hotel Savoy Homann. Tamu hotel yang ingin berenang di sana
akan diantarkan dengan kereta kuda. Air kolam langsung dialirkan dari mata air.
Patung Neptunus di tepi kolam menjadi ikon.
Sejak pembangunan di
Cihampelas kian merajalela, aliran dari mata air ke kolam jadi seret. Pengisian
kolam jadi makan waktu lebih dari sehari, konon akibat disabotase Ciwalk.
Mungkin pula didukung berbagai faktor lain, kolam renang tersebut akhirnya
direlakan pemiliknya.
Dari tepi Cihampelas: campur aduk bangunan komersial, pemukiman, dan hutan kota |
Cihampelas yang
memelas menjatuhkan iba, sekaligus menuai kemuakan pada yang berwenang. Cihampelas
bukan sekadar kawasan wisata, di balik kulitnya yang wah ada sepenggal wajah
bumi yang bermuram durja. Berkelanalah di belantara Cihampelas, barangkali tafakurmu
akan lebih bermakna. Tata kota yang semrawut, lingkungan yang mengenaskan,
masyarakat yang termarjinalkan sekaligus memiriskan, wahai pecinta Kota
Bandung, apa yang bisa kita lakukan setelah menyaksikan itu semua secara
langsung? ***
padahal selama di jalan aku netral
saja, entah mengapa dalam menulis aku jadi terdorong untuk memberi kesan
memihak begini
[1] Kukuyaan, menurut interpretasi saya atas penjelasan beberapa orang,
adalah semacam rafting individual.
Kita bermain di sungai dengan tubuh kita
diapungkan oleh ban, atau menyusuri
sungai beriak—sesuai arah arusnya—dengan cara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar