Sabtu, 05 November 2011

“Papa Vira udah pisah sama Mama…”

            Rumah eyangnya Vira tampak seperti gedung. Tidak ada yang perlu turun dari mobil untuk membukakan pagar rumah—sebagaimana aku kalau habis berpergian bersama Tante As dengan mobilnya—karena sudah ada yang bertugas untuk itu. Selebihnya, tidak ada yang istimewa dari rumah ini. Tampak sebagaimana rumah orang kaya pada umumnya: megah dengan segala perabotan mewah. Kerapian terjaga. Kelegaan mutlak. Rumah ini mesti terlalu besar untuk ditinggali pasutri berumur meski ada beberapa pembantu dalam wilayah mereka sendiri di belakang rumah. Tapi aku suka.

            Aku dan Vira belum sampai membicarakan tentang keluarga masing-masing. Ketika bertemu, kami lebih sibuk membicarakan lagu apa yang bakal Vira tampilkan kalau nanti ia ditunjuk. Meski aku anggota muda seperti Vira, aku tidak seeksis bocah itu dalam komunitas ini. Vira wajib tampil tiap kali ia hadir. Aku lebih sebagai penikmat saja.Kadang motif kedatanganku hanya supaya aku bisa melepas rindu pada gadis kecil itu. Tahun ini usianya akan sepuluh tahun namun sikapnya masih saja malu-malu menggemaskan.

            Kami membicarakan berbagai lagu, baik lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan dengan irama keroncong maupun lagu-lagu kontemporer. Referensi Vira sendiri hanya dari orang-orang tua di sekitarnya ini. Ia tidak pernah les vokal. Segala teknik diajarkan mamanya yang aktif di grup vokal sejak SMA hingga perguruan tinggi. Dari lagu-lagu kontemporer, kami mengira-ngira lagu apa saja yang cocok dibawakan dengan irama keroncong. Iseng, ketika tiba gilirannya naik panggung, Vira bilang pada para pengiringnya kalau ia ingin menyanyikan lagu kontemporer yang sudah kami tentukan itu. Kalau mereka tidak tahu, Vira mengerling padaku sebagai isyarat karena aku tidak bisa dengar apa yang mereka bicarakan dari tempatku duduk. Jadi keasyikan sendiri bagi kami yang lalu cekikikan tanpa suara dari tempat masing-masing.

            Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam saat kami memasuki rumah itu. Mulanya aku membayangkan akan disambut oleh para anggota keluarga-inti Vira yang seramah gadis kecil itu. Tapi rumah itu sepi saja. Hanya beberapa lampu yang dinyalakan membuat bagian dalam rumah itu tampak gelap.

            “Anggap rumah sendiri aja ya, Kak Bibe,” kata Tante Ice ramah meski terlihat lelah. Andai ia tahu kalau rumahku sangat tidak begini. Vira memegang ujung jemariku, menuntunku semakin ke bagian dalam rumah.

            Aku nyaris melonjak ketika tahu-tahu Tante Ri muncul dari ruangan di samping kami. Meski tak berdandan dan hanya mengenakan daster selutut tanpa lengan, wanita itu tetap terlihat cantik. Vira sama sekali tidak kaget. Ia memeluk pinggang mamanya sementara wanita itu membelai kepala anaknya dengan lembut. “Tadi nyanyi lagu apa aja, Sayang?”

            Malam itu Vira hanya menyanyi dua lagu. “Mama, kenalin ini temen aku yang di Buncong itu, Kak Bibe...”

            Aku menyalami tangan berkulit bening itu. Masih terasa dingin. “Bibe, Tante. Waktu itu Tante pernah nengok saya pas saya habis operasi usus buntu, bareng sama…”

            “Oh iyaa… Malam ini Kak Bibemau nginap di sini, iya?” tanya Tante Ri pada anaknya lagi lalu memandangku dengan senyum masih melekat.

            “Iya, boleh ya Ma?”

            “Boleh, Sayang. Yang baik sama Kak Bibe ya…”

            “Iya, Mama…”

            Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku memperlakukan mamaku seperti itu.

            Tidak lama-lama lagi bermanja pada mamanya, Vira menuntunku menaiki tangga. “Aku biasanya tidur di bawah sama Mama. Tapi karena malam ini aku tidurnya sama Kak Bibe, kita di lantai dua aja ya, Kak.”

            Ayo saja deh. Sementara sebelah tanganku terjulur dalam genggaman tangannya, aku melihat-lihat interior rumah. Tadi aku sempat melihat dinding di mana foto-foto keluarga berparade. Dalam satu bingkai, aku melihat foto Tante Ri memeluk Vira dan seorang anak laki-laki berambut hitam pekat. Mungkin kakaknya Vira. Usia kakak-beradik ini sepertinya tidak terpaut jauh. Aku juga melihat foto pasangan eyang, foto Tante Ri dengan mereka, dan lain-lain selain… aku penasaran dengan rupa papanya Vira karena Vira tidak mirip mamanya.

            Kami melewati sebuah ruangan tanpa dinding dan pintu—semacam ruang di antara dua dinding, maksudku. Ruang itu dialasi karpet dengan segunduk selimut tebal di atasnya. Ada sesuatu di balik selimut itu—seseorang, maksudku. Aku hanya bisa melihat rambut berombaknya yang hitam sementara sisa tubuhnya terselubung selimut.Kerlap-kerlip cahaya biru berpendar di dekatnya. Pancaran dari layar TV mengambang dalam gelap.

            Setelah beberapa jauh melewatinya, kami berbelok masuk ke sebuah ruangan. Vira menyalakan lampu yang kemudian menebarkan nuansa putih. Sebuah kamar sebesar kira-kira bagian tengah rumahku. Double bed berwarna lembut di sisi kanan. Lalu ada beberapa deret lemari dan meja. Ini pasti kamar tamu yang difungsikan sebagai tempat menyimpan barang juga.

            Vira menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Efeknya sedikit seperti trampolin. Ia bangkit lalu duduk di tepi.

Aku menaruh ranselku di atas meja. Beberapa lama dalam diam, aku bertanya pelan meski sudah menerka-nerka jawabannya, “Vira, yang tadi itu siapa?”          

            “Kak Ari.”  Ia tengadah agar bisa menatapku. Tahu-tahu bibir bawahnya maju. “Kak Bibe, maaf aku tadi enggak ngenalin Kak Bibe ke Kak Ari. Tadi dia habis marah-marah…”

            “Oh.”

            Aku duduk di sebelahnya. Menggali-gali inisiatif: apa yang kira-kira asyik dilakukan bersama anak usia 9 tahun untuk menghabiskan sisa malam ini.  

            “Papa Vira enggak kelihatan?”

            Aku menoleh padanya lalu kaget dengan perubahan ekspresi wajah imut itu yang memuram. “Papa Vira udah pisah sama Mama…”

            Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku ingin mengkonfirmasi tapi ia sudah mengatakannya dengan jelas tadi.

            Akhirnya aku mengajaknya tidur saja. Aku mengganti pakaianku dengan pakaian tidur lalu mengurai rambut. Vira biasa tidur dengan lampu dimatikan. Aku naik ke sebelahnya lalu mengangkat selimut hingga menutupi tubuh kami sampai leher. Kepala kami berhadapan.

            Melihat masih ada sendu tersisa di wajahnya, aku bersenandung lembut dengan nada yang ada dalam Keroncong Kemayoran, “indung indung indung indung indung sayaaang…” sambil memainkan ikal-ikal kecil di atas dahinya. Ia tersenyum.

            Sebelum jatuh dalam lelap, ia cerita padaku. “Tadi aku kena pukul Kak Ari. Dia enggak sengaja, tapi kenceng banget. Jadi aku nangis dulu tadi sebelum pergi. Tapi habis itu dia berhenti ngamuk.”

            Dalam sekejap, hidup Vira yang tampak gemerlap surut jadi begitu gelap dalam benakku.

            Selang beberapa jam, aku mendengar tilawah. Terdengar seperti seorang anak kecil yang melakukannya. Sangat merdu, sangat indah. Kepala Vira masih menghadapku. Raut wajahnya begitu polos seperti bayi. Aku mengangkat ponsel. Sudah lewat subuh rupanya, namun tilawah itu begitu membuai hingga aku lelap lagi.          

            Aku gelagapan saat bangun lagi. Seberkas rasa bersalah menggerogotiku karena dengan sengaja melewatkan subuh. Tirai di seberang kasur telah digeser dan memperlihatkan terang cahaya matahari di luar.      

Kursi di samping tempat tidur berputar dan menampakkan keceriaan Vira. Laptop di atas meja di depannya—kemudian aku tahu kalau itu laptop mamanya. Aku beringsut mendekat. Ia sedang main The Sims. Ia meraih mouse lalu memperlihatkan sesuatu di layar padaku. Kursor menunjuk pada gambar bayi dalam timangan seorang wanita berambut panjang. “Lihat, Papa sama Mama Vira udah punya adek lagi…”

            Papanya sedang membaca koran. Ada sepasang anak laki-laki dan anak perempuan lagi yang tinggal di rumah itu. Mereka sedang bermain.

            “Yang bikinin rumah Kak Ari. Persis banget sama rumah yang dulu.” Aku tidak melihat lagi kesedihan yang sempat mampir semalam di matanya yang jernih. Mungkin miniatur dunia ideal dalam permainan ini yang telah menyirnakannya. Atau hanya kepolosan bocah yang tidak membawa prahara sebelum tidur sampai pagi.

            Ketika kami turun, kakak Vira sedang diajak jalan-jalan eyang putranya. Ya, eyang putra, bukan eyang kakung, begitu pria bertubuh gempal itu disebut. Tante Ice dan Mama Vira berusaha melayaniku selayak mungkin. Namun aku sendiri mengusahakan agar bisa cepat pamit, selain karena aku ingin tidak ingin merepotkan mereka. Mungkin karena aku telah mengetahui sesuatu, meski hanya itu, ada kekosongan terasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain