Rumah eyangnya Vira tampak seperti
gedung. Tidak ada yang perlu turun dari mobil untuk membukakan pagar
rumah—sebagaimana aku kalau habis berpergian bersama Tante As dengan
mobilnya—karena sudah ada yang bertugas untuk itu. Selebihnya, tidak ada yang
istimewa dari rumah ini. Tampak sebagaimana rumah orang kaya pada umumnya:
megah dengan segala perabotan mewah. Kerapian terjaga. Kelegaan mutlak. Rumah
ini mesti terlalu besar untuk ditinggali pasutri berumur meski ada beberapa
pembantu dalam wilayah mereka sendiri di belakang rumah. Tapi aku suka.
Aku dan Vira belum sampai
membicarakan tentang keluarga masing-masing. Ketika bertemu, kami lebih sibuk
membicarakan lagu apa yang bakal Vira tampilkan kalau nanti ia ditunjuk. Meski
aku anggota muda seperti Vira, aku tidak seeksis bocah itu dalam komunitas ini.
Vira wajib tampil tiap kali ia hadir. Aku lebih sebagai penikmat saja.Kadang
motif kedatanganku hanya supaya aku bisa melepas rindu pada gadis kecil itu.
Tahun ini usianya akan sepuluh tahun namun sikapnya masih saja malu-malu
menggemaskan.
Kami membicarakan berbagai lagu,
baik lagu-lagu yang sudah biasa dibawakan dengan irama keroncong maupun
lagu-lagu kontemporer. Referensi Vira sendiri hanya dari orang-orang tua di
sekitarnya ini. Ia tidak pernah les vokal. Segala teknik diajarkan mamanya yang
aktif di grup vokal sejak SMA hingga perguruan tinggi. Dari lagu-lagu
kontemporer, kami mengira-ngira lagu apa saja yang cocok dibawakan dengan irama
keroncong. Iseng, ketika tiba gilirannya naik panggung, Vira bilang pada para
pengiringnya kalau ia ingin menyanyikan lagu kontemporer yang sudah kami
tentukan itu. Kalau mereka tidak tahu, Vira mengerling padaku sebagai isyarat
karena aku tidak bisa dengar apa yang mereka bicarakan dari tempatku duduk.
Jadi keasyikan sendiri bagi kami yang lalu cekikikan tanpa suara dari tempat
masing-masing.
Waktu
sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam saat kami memasuki rumah itu.
Mulanya aku membayangkan akan disambut oleh para anggota keluarga-inti Vira
yang seramah gadis kecil itu. Tapi rumah itu sepi saja. Hanya beberapa lampu
yang dinyalakan membuat bagian dalam rumah itu tampak gelap.
“Anggap rumah sendiri aja ya, Kak
Bibe,” kata Tante Ice ramah meski terlihat lelah. Andai ia tahu kalau rumahku
sangat tidak begini. Vira memegang ujung jemariku, menuntunku semakin ke bagian
dalam rumah.
Aku nyaris melonjak ketika tahu-tahu
Tante Ri muncul dari ruangan di samping kami. Meski tak berdandan dan hanya
mengenakan daster selutut tanpa lengan, wanita itu tetap terlihat cantik. Vira
sama sekali tidak kaget. Ia memeluk pinggang mamanya sementara wanita itu
membelai kepala anaknya dengan lembut. “Tadi nyanyi lagu apa aja, Sayang?”
Malam itu Vira hanya menyanyi dua lagu. “Mama, kenalin ini temen aku yang di
Buncong itu, Kak Bibe...”
Aku menyalami tangan berkulit bening
itu. Masih terasa dingin. “Bibe, Tante. Waktu itu Tante pernah nengok saya pas
saya habis operasi usus buntu, bareng sama…”
“Oh iyaa… Malam ini Kak Bibemau
nginap di sini, iya?” tanya Tante Ri pada anaknya lagi lalu memandangku dengan
senyum masih melekat.
“Iya, boleh ya Ma?”
“Boleh, Sayang. Yang baik sama Kak
Bibe ya…”
“Iya, Mama…”
Aku tidak ingat kapan terakhir kali
aku memperlakukan mamaku seperti itu.
Tidak lama-lama lagi bermanja pada
mamanya, Vira menuntunku menaiki tangga. “Aku biasanya tidur di bawah sama
Mama. Tapi karena malam ini aku tidurnya sama Kak Bibe, kita di lantai dua aja
ya, Kak.”
Ayo saja deh. Sementara sebelah
tanganku terjulur dalam genggaman tangannya, aku melihat-lihat interior rumah.
Tadi aku sempat melihat dinding di mana foto-foto keluarga berparade. Dalam
satu bingkai, aku melihat foto Tante Ri memeluk Vira dan seorang anak laki-laki
berambut hitam pekat. Mungkin kakaknya Vira. Usia kakak-beradik ini sepertinya
tidak terpaut jauh. Aku juga melihat foto pasangan eyang, foto Tante Ri dengan
mereka, dan lain-lain selain… aku penasaran dengan rupa papanya Vira karena Vira
tidak mirip mamanya.
Kami melewati sebuah ruangan tanpa
dinding dan pintu—semacam ruang di antara dua dinding, maksudku. Ruang itu
dialasi karpet dengan segunduk selimut tebal di atasnya. Ada sesuatu di balik
selimut itu—seseorang, maksudku. Aku hanya bisa melihat rambut berombaknya yang
hitam sementara sisa tubuhnya terselubung selimut.Kerlap-kerlip cahaya biru
berpendar di dekatnya. Pancaran dari layar TV mengambang dalam gelap.
Setelah beberapa jauh melewatinya,
kami berbelok masuk ke sebuah ruangan. Vira menyalakan lampu yang kemudian
menebarkan nuansa putih. Sebuah kamar sebesar kira-kira bagian tengah rumahku.
Double bed berwarna lembut di sisi kanan. Lalu ada beberapa deret lemari dan
meja. Ini pasti kamar tamu yang difungsikan sebagai tempat menyimpan barang
juga.
Vira menghempaskan tubuhnya ke atas
kasur. Efeknya sedikit seperti trampolin. Ia bangkit lalu duduk di tepi.
Aku
menaruh ranselku di atas meja. Beberapa lama dalam diam, aku bertanya pelan
meski sudah menerka-nerka jawabannya, “Vira, yang tadi itu siapa?”
“Kak Ari.” Ia tengadah agar bisa menatapku. Tahu-tahu
bibir bawahnya maju. “Kak Bibe, maaf aku tadi enggak ngenalin Kak Bibe ke Kak
Ari. Tadi dia habis marah-marah…”
“Oh.”
Aku duduk di sebelahnya.
Menggali-gali inisiatif: apa yang kira-kira asyik dilakukan bersama anak usia 9
tahun untuk menghabiskan sisa malam ini.
“Papa Vira enggak kelihatan?”
Aku menoleh padanya lalu kaget
dengan perubahan ekspresi wajah imut itu yang memuram. “Papa Vira udah pisah
sama Mama…”
Aku tidak tahu harus berkata apa
lagi. Aku ingin mengkonfirmasi tapi ia sudah mengatakannya dengan jelas tadi.
Akhirnya aku mengajaknya tidur saja.
Aku mengganti pakaianku dengan pakaian tidur lalu mengurai rambut. Vira biasa
tidur dengan lampu dimatikan. Aku naik ke sebelahnya lalu mengangkat selimut
hingga menutupi tubuh kami sampai leher. Kepala kami berhadapan.
Melihat masih ada sendu tersisa di
wajahnya, aku bersenandung lembut dengan nada yang ada dalam Keroncong
Kemayoran, “indung indung indung indung indung sayaaang…” sambil memainkan
ikal-ikal kecil di atas dahinya. Ia tersenyum.
Sebelum jatuh dalam lelap, ia cerita
padaku. “Tadi aku kena pukul Kak Ari. Dia enggak sengaja, tapi kenceng banget.
Jadi aku nangis dulu tadi sebelum pergi. Tapi habis itu dia berhenti ngamuk.”
Dalam sekejap, hidup Vira yang
tampak gemerlap surut jadi begitu gelap dalam benakku.
Selang beberapa jam, aku mendengar
tilawah. Terdengar seperti seorang anak kecil yang melakukannya. Sangat merdu,
sangat indah. Kepala Vira masih menghadapku. Raut wajahnya begitu polos seperti
bayi. Aku mengangkat ponsel. Sudah lewat subuh rupanya, namun tilawah itu
begitu membuai hingga aku lelap lagi.
Aku gelagapan saat bangun lagi.
Seberkas rasa bersalah menggerogotiku karena dengan sengaja melewatkan subuh.
Tirai di seberang kasur telah digeser dan memperlihatkan terang cahaya matahari
di luar.
Kursi
di samping tempat tidur berputar dan menampakkan keceriaan Vira. Laptop di atas
meja di depannya—kemudian aku tahu kalau itu laptop mamanya. Aku beringsut
mendekat. Ia sedang main The Sims. Ia meraih mouse lalu memperlihatkan sesuatu
di layar padaku. Kursor menunjuk pada gambar bayi dalam timangan seorang wanita
berambut panjang. “Lihat, Papa sama Mama Vira udah punya adek lagi…”
Papanya sedang membaca koran. Ada
sepasang anak laki-laki dan anak perempuan lagi yang tinggal di rumah itu.
Mereka sedang bermain.
“Yang bikinin rumah Kak Ari. Persis
banget sama rumah yang dulu.” Aku tidak melihat lagi kesedihan yang sempat
mampir semalam di matanya yang jernih. Mungkin miniatur dunia ideal dalam
permainan ini yang telah menyirnakannya. Atau hanya kepolosan bocah yang tidak
membawa prahara sebelum tidur sampai pagi.
Ketika kami turun, kakak Vira sedang
diajak jalan-jalan eyang putranya. Ya, eyang putra, bukan eyang kakung, begitu
pria bertubuh gempal itu disebut. Tante Ice dan Mama Vira berusaha melayaniku
selayak mungkin. Namun aku sendiri mengusahakan agar bisa cepat pamit, selain
karena aku ingin tidak ingin merepotkan mereka. Mungkin karena aku telah mengetahui
sesuatu, meski hanya itu, ada kekosongan terasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar