Kamis, 27 Juni 2013

Pendidikan Alternatif ala Summerhill School

Di Summerhill kamu bebas bermain-main, selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun! Kamu boleh tidak mengikuti pelajaran kalau kamu tidak ingin. Kamu bahkan tidak harus bisa membaca, apalagi menulis. Kamu boleh merokok, mengumpat. Di sini kita tidak bicara soal baik dan buruk. Kami tidak peduli apa agamamu. Kita merumuskan aturan bersama-sama. Kamu boleh menentang usul kepala sekolahmu, dan ia tidak akan merasa terhina sama sekali! Kami hanya ingin memberikanmu kebebasan dan kasih sayang, mengganti kebencian dan ketakutan di dalam dirimu dengan kebahagiaan dan keberanian!

Tidak mengherankan apabila kebijakan Sumerhill menuai banyak kontroversi. Inspektorat Pendidikan Inggris sulit memberikan akreditasi untuk sekolah ini. Harold Hart, editor buku tentang Summerhill edisi Amerika Serikat, melakukan banyak penyesuaian supaya buku tersebut diterima pasar di sana. Bagaimanapun juga Summerhill mampu berdiri hingga puluhan tahun, bahkan menarik banyak murid dari berbagai negara di luar Inggris.

Alexander Sutherland Neill telah berpengalaman sebagai guru maupun kepala sekolah sebelum mendirikan sekolah slengean ini pada tahun 1921. Di sekolah-sekolah umum ia mendapati guru bagaikan dewa kecil yang memperlakukan siswa bak tentara di barak-barak militer. Sistem yang otoriter akan membuat siswa tidak bahagia, sedang ketidakbahagiaan adalah sumber kejahatan, kebencian, dan perang. Anak bermasalah akibat perlakuan salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah, sehingga sepatutnya orangtua dan gurulah yang bertanggung jawab.

Neill percaya bahwa kebebasan akan membawa kebahagiaan. Untuk membersihkan anak dari sifat buruk, kita harus membiarkan mereka menyalurkan hasrat-hasratnya. Mengekang egoisme anak hanya akan membuatnya lebih buruk lagi saat dewasa. Di Summerhill penerapan ide ini menimbulkan kekacauan tentu saja. Banyak barang yang rusak dan hilang. Banyak yang terganggu atas ulah yang lainnya. Untuk itulah setiap malam Minggu diadakan Rapat Umum yang dihadiri seluruh siswa dan staf sekolah. Dengan demikian kebebasan dikendalikan secara demokratis melalui prinsip swakelola.

Aku pribadi sebetulnya ragu dengan yang dinamakan “kebebasan”. Walaupun aku tidak yakin untuk mengklaim diri sebagai moralis, religius, dan responsif, tapi agaknya pendidikan yang kuterima selama ini telah membentukku menjadi orang yang masih mengindahkan baik-buruk, agama, dan respek. Hal-hal seperti itu yang malah disingkirkan Neill demi “kebebasan”.

…kami berupaya menciptakan sekolah yang membiarkan anak-anak bebas jadi diri mereka sendiri. Untuk itu, kami mesti membuang jauh-jauh semua ketertiban, semua arahan, semua anjuran, semua pengajaran moral, semua pengajaran agama. –halaman 43

Sejak awal pembacaan buku ini aku menangkap kebebasan yang diterapkan di Summerhill tetap menuai masalah yang harus diatasi. Setiap orang bertingkah semaunya, membuatku ngeri. Anak-anak merusak bengkel dan kebun Neill. Neill menendang balik anak yang menendangnya.

Pada akhirnya Summerhill memang berhasil mencetak alumni-alumni yang percaya diri, bahagia dengan pekerjaannya, dan disenangi atasannya. Tapi ada pula siswa yang tidak berhasil dididik sehingga dipulangkan, atau lulus namun merasa tidak cukup memperoleh sesuatu bahkan mengatakan Summerhill telah menghancurkan hidupnya. Seolah sama halnya dengan aku yang menderita selama bersekolah di SMAN *, tapi toh banyak alumni sealmamater yang sukses.

Di sisi lain ulasan Neill mengenai psikologi perkembangan anak membuatku lebh memahami keadaanku sekarang. Aku juga suka dengan pendapatnya berikut.

…saya lebih suka sekolah yang mencetak tukang sapu yang bahagia daripada sekolah yang menghasilkan sarjana neurotik. –halaman 44

Jikalau Anda mempunyai filosofi hidup yang bagus, jenis pekerjaan yang Anda tekuni niscaya bukan hal terpenting bagi Anda. –halaman 112

Buku tentang Summerhill edisi Indonesia diterbitkan Serambi dengan judul Summerhill School – Pendidikan Alternatif yang Membebaskan (cetakan I tahun 2007). Terjemahannya enak, walau pembacaanku tersandung banyak kata yang bikin aku heran. Untuk apa teks ini diterjemahkan kalau pembacanya masih perlu buka kamus, walau dalam kasus ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Adakah dikau mafhum kata-kata berikut: arkian, ahmak, kasdu, kalis, lamun, lelawa, makul, alufiru, dan banyak lagi yang akan menambah perbendaharaan kita, namun akan menyusahkan pembaca-praktis.

Keinginan untuk membaca buku ini timbul setelah aku menyadari isu pendidikan alternatif dalam buku yang sebelumnya kutamatkan, Klub Film. Aku juga menyetel ulang film Alangkah Lucunya (Negeri Ini)[1], yang menyuarakan pendidikan alternatif khususnya bagi para bocah pencopet. Tentunya masih banyak contoh yang menunjukkan bahwa pendidikan (formal) tidak bisa berlaku bagi setiap anak, entah tidak mampu atau tidak cocok.

Bagiku “pendidikan” adalah bidang yang labil. Kita tidak bisa menerapkan metode yang sama pada semua anak. Metode yang tidak tepat malah akan membuat anak membenci kehidupannya[2]. Kalau kita ingin mengoptimalkan potensi seorang anak, maka ia perlu diperlakukan secara khusus. Ada metode untuk setiap anak. Tapi adakah setiap anak mendapat orang dewasa yang peduli dan bisa membimbingnya?[]




[1] Tontonan wajib sarjana menganggur
[2] Ya. Ini kata Neill yang menurutku tepat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...