Jumat, 21 Juni 2013

Ada piano. Seorang gadis kecil suka menaiki piano. Kaki-kakinya melangkah, menginjak tuts demi tuts. Kedua lengannya terentang, membentuk lintasan yang tak imbang. Ayahnya takut pijakan gadis kecil itu goyah, lalu terjatuh. Sayang, ayo turun. Gadis kecil itu tak mendengar. Ia terlalu girang mendapati langkah-langkahnya mampu menghasilkan nada. Nada-nada mengalun, tang teng tong tang. Gadis kecil itu sampai ke tepi, lalu ia kembali. Ayahnya mendekat. Ayo, Sayang. Gadis kecil itu menepis tangan ayahnya. Ayahnya garuk-garuk kepala, jidat. Gadis kecil itu mengulangi lagi gerakan yang sama, berlalu di depan sang ayah dengan rawan. Tapi lihat binar di wajahnya, berpendar-pendar. Lelaki itu pun merengkuh anaknya, yang lantas meronta-ronta begitu kaki-kakinya lepas dari pijakan. Dipukulinya pundak sang ayah. Sebentar bagai pijatan, tapi lalu Ayah kembalikan sang gadis kecil ke tempat semula. Hati-hati, Cantik, dipeganginya tangan sang anak. Berdua mereka melangkah. Kaki anak bersuara nada. Kaki ayah berirama tap, tap, tap. Mereka sampai di tepi. Mereka kembali lagi. Jreng-jreng-jreng. Tap-tap-tap. Di tengah-tengah sang gadis kecil berhenti, menghadap sang ayah sembari tangan-tangannya memegang tangan-tangan yang besar milik Ayah.  Gadis kecil itu mengangkat salah satu tangan ayahnya, lalu berputar melewatinya. Oh ho ho, kau ingin berdansa? Anak itu hampir oleng, namun dengan sigap sang ayah menangkap. Kita berdansa di lantai saja. Sang anak menggeleng kuat-kuat. Sembari memeluk pinggang anaknya, dengan kepala gadis kecil itu bersandar di pundaknya, sang ayah menerawang ke jendela besar di belakang piano. Tirainya terbuka, menampilkan malam berbintang. Langit yang indah, ya? Ia menyesap harum anaknya. Sayangnya kita hanya berdua, katanya tapi dalam hati saja. Tapi lebih merana lagi jika aku sendiri. Kau karunia terindah dalam hidupku. Sang anak menoleh pada ayahnya. Tersenyum. Walaupun kau selalu diam. Ayahnya juga tersenyum. Hei, ayo kita main piano sama-sama. Anak itu berhenti tersenyum, apalagi ketika sang ayah mendorong sofa mendekat. Sofa menghadap piano. Ayah mencopot kaos kaki dan sepatu. Punggung ayah bersandar sofa, seraya mengangkat kedua kakinya yang telanjang hingga jemari-jemarinya menyentuh tuts. Ha ha, ia menertawakan kesulitannya. Ia coba memainkan nada-nada. Sang anak duduk saja di atas tuts mengamati. Mungkin begini rasanya kalau tidak punya tangan, gumam Ayah. Anak itu ikut bersandar sofa. Kakinya tidak sampai. Punggungnya pun melorot. Dipanjang-panjangkannya kaki hingga dapat menggapai tuts, dengan tumit, dengan jari. Ayahnya menonton dengan girang. Ada dua pasang kaki, memainkan melodi terliar yang pernah ada. Jreng-jreng-jreng. Trang-trang-trang. Jreng— Sang Ayah berimprovisasi dengan suara mengaduh, duh, duh, duh. Ia mengangkat sebelah kakinya, berusaha meluruskannya dengan tumit bertumpu kap piano. Sementara kakinya sebelah lagi ganti beradu dengan lantai. Tinggal sang anak bermain tunggal dengan wajah tercenung-cenung, lalu lamat-lamat melodi lenyap. Kaki sang anak menapak udara. Beginilah akhirnya kalau kau main piano dengan kaki, Nak. Sang Ayah mengurut-urut kaki dengan kernyitan tak putus-putus di wajahnya.[444]


gara-gara gambar ini #nulisapaansihkamu

http://anonymouslegacy.blogspot.com/2013/06/visdare-25-precarious.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...