Minggu, 23 Juni 2013

Another Coming-of-Age Story

Frits van Egters ingin menyatakan sesuatu kepada orangtuanya pada malam akhir tahun. Niat itu membuatnya tegang hingga bermimpi buruk. Dalam film De Avonden (Inggris: The Evenings) selama 1 jam 55 menit kita akan menyaksikan bagaimana Frits mengisi hari-harinya (dari tanggal 22 hingga 31) menjelang pelaksanaan niatnya itu.

http://www.veerkamp.nl/webgal/pages/de%20avonden.C1.htm
Frits sudah be­ker­ja di se­bu­ah kan­tor yang su­nyi dan mem­bo­san­kan, se­o­lah pe­ga­wai­nya ha­nya ia dan se­o­rang wa­ni­ta. Sung­guh­pun de­mi­ki­an Frits ma­sih ting­gal ber­sa­ma ayah-ibu­nya. Ke­bia­sa­an jo­rok sang ayah ke­rap bi­kin Frits gu­sar. Pa­da­hal Frits pun do­yan ber­ting­kah ko­nyol semisal me­lu­dahi bah­kan me­ngen­cingi pe­ra­pi­an. Frits bi­lang pa­­da te­man­nya, ha­rus ada yang men­ja­ga ke­dua orang­tua­nya ter­se­but. Ta­pi li­hat ba­gai­ma­na ayah-ibu ter­se­but ba­hu-mem­ba­hu meng­gan­­ti pa­kai­an Frits ke­ti­ka anak itu pu­lang da­lam ke­ada­an ma­buk. Frits ju­ga me­mi­liki ri­tu­al se­be­lum ti­dur, se­per­ti me­nyen­tuh pu­sar­nya de­­ngan te­lun­juk la­lu mem­baui ja­ri­nya itu; ser­ta meng­hi­tung de­tik-de­­tik per­gan­ti­an ha­ri. Ia su­ka ber­ma­in-ma­in de­ngan ke­lin­ci—ke­lin­ci-bo­­ne­ka dan ke­lin­ci-por­se­len. Se­se­ka­li ia me­li­hat so­sok yang se­­be­­nar­nya su­dah ti­dak ada, dan meng­gi­ring ki­ta pa­da kha­yal­an-kha­yal­an­nya yang mengecoh bahkan tak senonoh.     

De Avonden semula berbentuk novel. Saya tertarik menelusurinya berkat informasi berikut dari buku ini.

Dalam tahun 1947, hanya dua tahun sesudah berakhirnya perang dunia, terbit sebuah roman yang sangat menarik perhatian dunia sastra Nederland. Roman itu berjudul ‘De avonden’ dikarang oleh seorang pemuda umur 23 tahun yang bernama Simon van het Reve. Yang menarik perhatian adalah gambaran dari sebuah keluarga Belanda dalam tahun-tahun sesudah perang yang baru saja berlalu. Tokoh utama roman itu, Frits van Egters, tidak cocok dengan gambaran ideal dari seorang anak muda seperti yang dikehendaki oleh para akhli pendidik.

            Frits tidak ingin tahu bagaimana masadepannya, dia tidak membentuk suatu karier yang mantap, ia tidak mengimpikan seorang gadis yang kelak bakal dipinangnya. Dalam roman ini Frits, seorang pemuda yang biasanya mengikuti gerak-gerik ayahnya dengan pandangan dingin, sedang si ayah digambarkan sebagai orang yang berpakaian tak sepatutnya dan makan dengan cara yang tak pantas. Pembicaraan di rumah itu bernada membosankan, segala sesuatu mencerminkan skeptisisme dan pessimisme.


Buku ini menarik ratusan ribu pembaca, karena ia rupanya mengungkapkan apa yang hidup di lubuk hati anak-anak muda termasa. Banyak orang tua marah dan mengecam sikap pengarang yang menurut mereka salah. Reve mengaku bahwa pandangan hidupnya jauh daripada optimis, tapi ia membela filsafat hidupnya sebagai berikut: “Saya kira, bahwa kebenaran baru terungkapkan oleh sesuatu yang runtuh. …” (halaman 35)

Ada yang bilang De Avonden merupakan versi Belanda dari The Catcher in the Rye. Barangkali sebagaimana The Catcher in the Rye tidak penah difilmkan (konon) karena narasinya yang khas[1], De Avonden pun sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berkat alasan senada. Agaknya popularitas De Avonden hanya merebak di kalangan yang paham bahasa Belanda. Penulisnya bahkan termasuk writers no one reads versi tumblr ini. Simon van het Reve sesungguhnya bernama Gerard Reve. Di Google kita akan menemukan nama tersebut dalam artikel-artikel yang membahas isu penistaan agama.

Bagi yang tidak paham bahasa Belanda (seperti saya -_-) dan ingin mengetahui cerita novel tersebut secara (rada) utuh, bukan sekadar garis besarnya, bolehlah tengok dulu versi filmnya di Youtube. Film yang diproduksi pada tahun 1989 ini juga berbahasa Belanda, tapi subtitle bahasa Inggrisnya tersedia kok di Google (walau butuh usaha lebih untuk menemukan yang pas).

Frits van Egters di film tampak sepuluh tahun lebih tua dari usia seharusnya. Selain itu saya tidak menyarankan film ini untuk ditonton siapapun yang tidak nyaman (dan aman) dengan adegan-adegan yang mengumbar seksualitas. Selebihnya film ini cukup menjawab kepenasaranan saya. Kita bisa terhibur dengan tingkah Frits yang kekanak-kanakkan maupun interaksinya dengan sang ayah. Agaknya tidak bijak untuk memberitahu apakah Frits berhasil mengutarakan maksudnya pada orangtuanya, atau malah dengan lain cara; juga apa sebetulnya yang ingin Frits ungkapkan (karena saya juga tidak yakin :P). Tapi salah satu adegan di penghujung film bagi saya cukup menyentuh, yang menurut saya sih menunjukkan bagaimana perasaan Frits yang sesungguhnya pada orangtuanya.

De Avonden menambah perbendaharaan saya soal bildungsroman bernuansa angst, di samping Welcome to the N. H. K., Norwegian Wood, The Catcher in the Rye, It’s Kind of a Funny Story, The Perks of Being Wallflower, bahkan mungkin… Drop Out? Belum lagi jika cerpen pun disertakan: A & P dan Araby. Dan seluruhnya menggunakan perspektif laki-laki dengan kisaran umur 15 – 23 tahun, eh, karakter sentral dalam Araby sepertinya berusia lebih muda (12 tahun?) sedang khusus Drop Out mah dirahasiakan. Khusus De Avonden, karena seyogianya tulisan ini fokus pada judul tersebut, di mana karakter sentralnya berusia 23 tahun, lagu “What’s My Age Again?” dari Blink 182 amat tepat sebagai pengiring. Nobody likes you when you’re twenty three, begitu penggalan liriknya, yang bikin saya bertanya-tanya seperti apakah usia 23 tahun bagi saya nanti. Isu yang muncul baik dari novel/film maupun lagu tersebut adalah betapa sulitnya kita menghentikan perilaku kekanak-kanakkan di saat kita dituntut untuk mulai bersikap dewasa. Katanya sih: tua itu pasti, dewasa itu pilihan.




[1] Yeah! Coba cari di IMDb…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...