Selasa, 25 Juni 2013

Menggugah Kebersamaan lewat Film

Ada apa di balik film? Seolah tidak cukup dengan novel, cerpen, dan semacamnya, aku menggedor-gedor lagi minatku terhadap si gambar-hidup. Memoar berjudul Klub Film[1] ini tampaknya bisa menjadi pengantar sebelum aku memulai “klub film”-ku sendiri. Tapi ternyata esensi buku ini lebih dari sekadar cuap-cuap perfilman. Ini adalah buku tentang parenting, bahkan pendidikan altenatif.

Ketika anak laki-kali David Gilmour yang berusia lima belas tahun, Jesse, mulai keteteran dalam semua mata pelajaran di sekolah, ayah yang satu itu menawarkan perjanjian yang tidak lumrah: Jesse boleh berhenti bersekolah … dengan satu syarat. –cover belakang

“Ayah mau kau menonton tiga film bersama Ayah setiap minggu. Ayah yang pilih filmnya. Hanya itu pendidikan yang akan kau terima.” –halaman 10-11

Tiga film seminggu menjadi awal bagi Pak Gilmour untuk memupuk kebersamaan dengan putranya. Ia berusaha memilihkan film yang cocok bagi Jesse, dari film artistik Eropa The 400 Blows (1959) sampai film “bejat” macam Basic Instinct (1992). Dari film yang telah mereka tonton, ia menggali pelajaran sedikit demi sedikit supaya Jesse tidak bosan.

Aku harus menemukan satu celah untuk memulainya; kalau ingin membuat seseorang tertarik pada sastra, jangan memulainya dengan menyuguhi orang itu Ulysses—meski, kalau boleh jujur, sebuah dunia tanpa Ulysses terlihat menarik bagiku. –halaman 50

Ia memberikan Jesse kebebasan, tapi ia juga memantau kehidupan putranya mulai dari perilaku sehari-hari di rumah (tutup mulut saat mengunyah dan tutup pintu saat kencing) sampai kegalauan soal cewek. Jesse tipe cowok yang sedikit-sedikit resah soal cewek. Yang dilakukan ayahnya adalah berusaha untuk menjadi teman curhat yang baik, menghormatinya, dan memperlakukannya selayaknya orang dewasa. Kadang ada saja ketidakcocokkan di antara mereka, semisal tanggapan Jesse terhadap The Beatles tidak seantusias ayahnya.

Kadang Pak Gilmour tidak yakin dengan keputusannya terhadap Jesse. Bayangan suram akan nasib Jesse selanjutnya menghantui. Ia sendiri tidak memiliki pekerjaan yang stabil saat itu.

Kehidupan berangsur-angsur membaik. Ia kembali mendapatkan berbagai pekerjaan. Jesse juga mulai bekerja setelah satu-dua tahun klub berjalan. Pada akhirnya anak itu kembali bersekolah hingga lulus, dan kuliah, dan tidak lagi tinggal bersama ayahnya maupun ibunya. (Kedua orangtua Jesse sudah berpisah.) “Anak-anak menghabiskan masa kecilnya untuk bersiap-siap meninggalkan kita,” kata Pak Gilmour di halaman 258, yang mengingatkanku pada sepenggal narasi Leo Gursky di halaman 223 novel History of Love terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2006, “… Barangkali itulah arti menjadi ayah—mengajari anakmu hidup tanpa dirimu.”

Film memang bisa memberikan banyak hal. Menarik untuk mengetahui bagaimana kisah di dalam maupun di baliknya, hingga relevansinya dengan kehidupan kita sendiri. Pada akhirnya Jesse memang memiliki pengetahuan yang luas soal perfilman, tapi di penghujung cerita kita tidak diberitahu apakah itu membuatnya terjun ke dunia tersebut. Toh memang bukan itu intinya. Kata Pak Gilmour di halaman 118-119, “Bisa saja kami menyelam atau mengumpulkan perangko bersama. Film-film itu sekadar menjadi wahana kami untuk meluangkan waktu bersama, beratus-ratus jam, dan juga sebagai pemecah kebuntuan sehingga kami bisa mengobrol dengan topik apa pun…” Kebetulan ia memang kritikus film. Maka lewat subjek yang dikuasainya itu, ia berusaha menggapai kebersamaan—yang menurut endorsement dari St. Petersburg Times adalah hal terpenting bagi orangtua dan anak.[]



[1] Terjemah P. Herdian Cahya Khrisna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain