Ada apa di balik
film? Seolah tidak cukup dengan novel, cerpen, dan semacamnya, aku
menggedor-gedor lagi minatku terhadap si gambar-hidup. Memoar berjudul Klub Film[1]
ini tampaknya bisa menjadi pengantar sebelum aku memulai “klub film”-ku
sendiri. Tapi ternyata esensi buku ini lebih dari sekadar cuap-cuap perfilman.
Ini adalah buku tentang parenting,
bahkan pendidikan altenatif.
Ketika anak laki-kali David Gilmour yang berusia lima
belas tahun, Jesse, mulai keteteran dalam semua mata pelajaran di sekolah, ayah
yang satu itu menawarkan perjanjian yang tidak lumrah: Jesse boleh berhenti
bersekolah … dengan satu syarat. –cover belakang
“Ayah mau kau menonton tiga film bersama Ayah setiap
minggu. Ayah yang pilih filmnya. Hanya itu pendidikan yang akan kau terima.” –halaman
10-11
Tiga film seminggu
menjadi awal bagi Pak Gilmour untuk memupuk kebersamaan dengan putranya. Ia
berusaha memilihkan film yang cocok bagi Jesse, dari film artistik Eropa The 400 Blows (1959) sampai film “bejat”
macam Basic Instinct (1992). Dari
film yang telah mereka tonton, ia menggali pelajaran sedikit demi sedikit
supaya Jesse tidak bosan.
Aku harus menemukan satu celah untuk memulainya; kalau
ingin membuat seseorang tertarik pada sastra, jangan memulainya dengan
menyuguhi orang itu Ulysses—meski,
kalau boleh jujur, sebuah dunia tanpa Ulysses
terlihat menarik bagiku. –halaman 50
Ia memberikan Jesse
kebebasan, tapi ia juga memantau kehidupan putranya mulai dari perilaku
sehari-hari di rumah (tutup mulut saat mengunyah dan tutup pintu saat kencing)
sampai kegalauan soal cewek. Jesse tipe cowok yang sedikit-sedikit resah soal
cewek. Yang dilakukan ayahnya adalah berusaha untuk menjadi teman curhat yang
baik, menghormatinya, dan memperlakukannya selayaknya orang dewasa. Kadang ada
saja ketidakcocokkan di antara mereka, semisal tanggapan Jesse terhadap The
Beatles tidak seantusias ayahnya.
Kadang Pak Gilmour
tidak yakin dengan keputusannya terhadap Jesse. Bayangan suram akan nasib Jesse
selanjutnya menghantui. Ia sendiri tidak memiliki pekerjaan yang stabil saat
itu.
Kehidupan
berangsur-angsur membaik. Ia kembali mendapatkan berbagai pekerjaan. Jesse juga
mulai bekerja setelah satu-dua tahun klub berjalan. Pada akhirnya anak itu kembali
bersekolah hingga lulus, dan kuliah, dan tidak lagi tinggal bersama ayahnya
maupun ibunya. (Kedua orangtua Jesse sudah berpisah.) “Anak-anak menghabiskan
masa kecilnya untuk bersiap-siap meninggalkan kita,” kata Pak Gilmour di
halaman 258, yang mengingatkanku pada sepenggal narasi Leo Gursky di halaman
223 novel History of Love terbitan
Gramedia Pustaka Utama tahun 2006, “… Barangkali itulah arti menjadi ayah—mengajari
anakmu hidup tanpa dirimu.”
Film memang bisa
memberikan banyak hal. Menarik untuk mengetahui bagaimana kisah di dalam maupun
di baliknya, hingga relevansinya dengan kehidupan kita sendiri. Pada akhirnya Jesse
memang memiliki pengetahuan yang luas soal perfilman, tapi di penghujung cerita
kita tidak diberitahu apakah itu membuatnya terjun ke dunia tersebut. Toh
memang bukan itu intinya. Kata Pak Gilmour di halaman 118-119, “Bisa saja kami
menyelam atau mengumpulkan perangko bersama. Film-film itu sekadar menjadi
wahana kami untuk meluangkan waktu bersama, beratus-ratus jam, dan juga sebagai
pemecah kebuntuan sehingga kami bisa mengobrol dengan topik apa pun…” Kebetulan
ia memang kritikus film. Maka lewat subjek yang dikuasainya itu, ia berusaha
menggapai kebersamaan—yang menurut endorsement
dari St. Petersburg Times adalah hal terpenting bagi orangtua dan anak.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar