Rabu, 30 April 2014

Kucing Biola!

O lihat bokongnya yang gepeng itu...!
Ternyata selama ini di antara adik-adikku terdapat istilah "kucing biola". Memang sudah lama ini aku tidak mendengar ada yang berseru, "Kucing biola...! Kucing biola...!" Ketika terucap oleh salah seorang dari mereka baru-baru ini barulah aku mengonfirmasikan apa sebenarnya "kucing biola". Ternyata istilah ini sudah ada sejak zaman Cimeng, kucing pertama yang tinggal cukup lama di rumah kami dan menjadi induk daripada kucing-kucing berikutnya yang lahir dan pergi. Entah kini sudah generasi keberapa. Adikku pernah menggambar silsilah mereka di whiteboard, lengkap dengan wajah masing-masing. Kembali ke "kucing biola". Ini merupakan exercise yang menarik untuk dilakukan bersama kucingmu dan cukup mudah pula melakukannya. Caranya: Telentangkan kucingmu hingga perutnya menghadap ke atas lalu gesek-gesekkan lidi pada bagian tubuhnya itu sambil teriak, "Kucing biola...! Kucing biola...!" O dijamin kucingmu bakal menggeliat-geliat lalu lari terbirit-birit. Tapi sesudahnya dia akan mengawasimu diam-diam dari tempat tersembunyi sembari berharap-harap cemas kamu akan melakukan itu lagi padanya. Bagaimanapun aktivitas ini baik untuk mengikis lemak di perutnya. Kalau di rumah tidak ada lidi, atau ada tapi ditaruh di halaman dan kamu malas mengambilnya karena hari sudah malam, coba gunakan penggaris plastik sebagai penggantinya. Barangkali gesekan yang bertubi-tubi antara penggaris plastik dengan rambut kucingmu akan menghasilkan medan magnet yang akan menarik rambut kucingmu hingga berdiri. Ow, kucingmu akan tampak keren sekali. Kucing spikey. Kalau di samping malas mengambil lidi kamu juga tidak menemukan penggaris plastik namun ada seperangkat biola yang bersandar di sofa tempat kucingmu sedang duduk, kamu bisa saja menggunakan penggesek biola betulan. Tapi kalau kamu sayang menggunakannya, tidak mengapa, kamu tetap bisa ber"kucing biola" dengan memanfaatkan jari tanganmu. Paling bagus jari yang paling panjang. Tapi pastikan dulu kucingmu sedang dalam kondisi prima. Kucing yang sedang doyan muntah seperti kucing kami, si Embul, yang namanya sedang menjadi si Engkus karena susah makan dan sudah seharian ini tidak mau makan sama sekali, (jadi terbayang kan punya anak kecil--manusia--yang sulit diatur apalagi dalam urusan makan), tidak baik untuk diajak melakukan permainan tersebut atau bisa-bisa penyakitnya yang belum terdiagnosis itu akan bertambah parah. (Untungnya di samping kuleuheu (sunda: kucel, kumal) dia juga kucing yang pandai sehingga memilih tempat-tempat yang kotor untuk muntah, dan untungnya banyak tempat kotor di rumah kami sehingga dia bisa muntah di mana-mana, namun untungnya sejauh ini baru di tujuh titik di empat ruangan--tidak termasuk yang kemarin-kemarin.) Selamat ber"kucing biola"! Semoga terhibur :D

Mencium... aku tidak tahu apa itu isinya :-|
disclaimer: Produk yang terpajang tidak ada hubungannya dengan penghasilan yang tidak kuterima.


Selasa, 29 April 2014

Pembacaan Cerpen Pikiran Rakyat & Kompas April 2014

Baru April 2014 ini aku terpikir untuk mengumpulkan cerpen dan membacanya secara bulanan. Cara yang lebih ringan ketimbang mengumpulkan cerpen dalam setahun sekaligus dari lima harian nasional, yang per tahun bisa mencapai dua ratusan, dan membacanya mau-tak-mau di layar komputer pula sehingga tentunya mata lama-lama akan berat. (Tapi aku mungkin akan melakukan lagi yang seperti itu, kapan-kapan). Tapi blog Lakon Hidup tempat aku mengunduh cerpen-cerpen itu tidak selalu bisa diharapkan, tahun 2013 sempat jarang update. Sementara, di rumah orangtuaku berlangganan Pikiran Rakyat (selanjutnya kusingkat jadi PR) dan Kompas. Pernah dulu Republika tersedia secara kontinyu juga di rumah. Dulupun sewaktu SD aku pernah menyobeki cerpen dari PR, Kompas, Nova, dan entah apa lagi, lalu mengumpulkannya dalam satu map. Kubawa ke kasur untuk dibaca sebelum tidur. Tapi sudah amat lama aku tidak ingat memegangnya lagi. Sepertinya map itu sudah dibuang oleh Mama. Sayang sekali. Pengumpulan cerpen sebenarnya sudah kulakukan lagi sejak bertahun-tahun terakhir ini, dari Kompas dan PR itu. Tapi aku melakukannya kalau sedang ingin saja. Akibatnya koleksiku tidak lengkap dan aku tidak peduli untuk melengkapinya. Lagipula setelah terkumpul, bundel itu terbenam saja di dasar rak, ditimpa tumpukan kertas yang isinya macam-macam, tak terbaca. 

Pada April 2014 ini terdapat empat hari Minggu (tanggal 6, 13, 20, dan 27) sehingga ada delapan cerpen yang kudapatkan dari dua harian. Harian pertama yaitu PR. Lingkupnya  regional Jawa Barat (dan Banten?). Cerpen dimuat di halaman 23, yang judulnya PERTEMUAN KECIL, bersama-sama puisi dan “Wisata Bahasa”. Harian kedua berlingkup nasional yakni Kompas. Cerpen terdapat di halaman 20, SENI, bersama-sama esai yang tidak selalu bicara soal sastra, tapi juga meliputi berbagai bentuk seni lainnya seperti teater, wayang, atau patung, dan tidak selalu kubaca karena tidak mengerti. Aku membaca cerpen-cerpen itu secara berurutan berdasarkan tanggalnya, yaitu mulai dari tanggal yang termuda, selang-seling antara PR dan Kompas. Agaknya aku mendahulukan PR karena proximity. Mungkin...



Tadinya aku terpikir untuk menulis pembacaan untuk tiap-tiap cerpen sepanjang satu halaman buku tulis. Tapi setelah membaca cerpen pertama, aku kehilangan minat. Setelah membaca cerpen keempat, aku melipat kumpulan cerpen itu lagi dan meletakkannya di depan untuk dibaca lagi, entah kapan. Kuduga aku punya masalah dengan cerpen. Tapi aku tidak hendak meruwetkannya di sini. Bagaimanapun dari empat cerpen pertama, ada satu cerpen yang menurutku mending, membuatku senyam-senyum sesudah membacanya, yaitu “Bidadari Serayu” dari Sungging Raga (Kompas, 6 April 2014). Kalau bukan kereta, yang dibicarakannya adalah sungai, Sungging Raga itu, tapi tidak selalu. Menarik ketika seorang penulis tampaknya senang mengangkat satu hal secara terus-menerus. Entah itu tema, atau latar tempat, atau malah karakter—seperti Nick Adam (atau Adams? Atau Addams?) dalam cerpen-cerpen Hemingway. Seolah satu hal itu begitu penting atau begitu sering dia temui dalam hidupnya sehari-hari, sehingga dia memikirkan atau terpikirkan olehnya terus-menerus.

Awalnya aku kurang begitu senang dengan cerpen ini. Bagaimana ya... Baru-baru ini aku membaca beberapa tulisan di internet tentang kalimat pertama yang menjerat, sebagaimana dalam novel Metamorfosis Kafka, yang memengaruhi sastrawan termasyhur yang sedang banyak dibicarakan karena belum lama ini meninggal, Gabriel Garcia Marquez. Dalam artikel tentang Marquez yang ditulis Anton Kurnia di PR, 28/04/14, dikatakan bahwa banyak pengarang Indonesia yang terpengaruh oleh Marquez. Dan mungkin juga Kafka. Aku pernah membaca Metamorfosis dalam edisi bahasa Indonesia di perpustakaan kota Jogja. Aku tamatkan buku itu nyaris dalam sekali duduk karena tipis. Sedang Marquez, aku baru membaca cerpennya, “A Very Old Man with Enormous Wings” dan beberapa tulisan tentang novelnya yang tampaknya paling digembar-gemborkan, Seratus Tahun Kesunyian, yang kalimat pertamanya sama memikat dengan kalimat pertama dalam Metamorfosis. Dengan pembacaanku yang baru sedikit dan tidak mendalam itu, aku tidak punya kapasitas menjelaskan bagaimana karakteristik karya Kafka, Marquez, maupun para pengarang Indonesia yang terpengaruh oleh salah satu dari mereka atau malahan keduanya. Hanya dengan feeling dan kesoktahuan karena beberapa kali membaca tulisan yang menyebut-nyebut “realisme magis”, ciri yang dikatakan melekat pada kesusastraan Amerika Latin dan Marquez termasuk di antaranya, tanpa benar-benar memahaminya, aku menerka-nerka agaknya cerpen “Bidadari Serayu” ini terpengaruh oleh hal-hal yang tersebut tadi itu. Coba baca kalimat pertamanya: Di sungai Serayu, pada suatu pagi tahun 1886, ditemukan sesosok mayat lelaki mengambang, tubuhnya tersangkut di salah satu besi penyangga bendungan. Oh, bukankah ini menarik? Kita ingin tahu mengapa bisa sampai ada mayat yang tersangkut di bendungan. Ini seperti pembuka berita kriminal: "Ditemukan Mayat di Bendungan", atau semacam itu. Kemudian unsur realisme magis ada pada masuknya legenda tentang Sunan Kalijaga dan penunggu sungai yang berkepala gadis namun tubuhnya menyerupai makhluk lain, juga tentang bidadari-bidadari yang suka menumpang mandi. Nah, keberadaan mahkluk gaib inilah yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya mayat. Maka, warga pun mengotori sungai yang tadinya berwarna hijau hingga menjadi cokelat agar bidadari-bidadari itu enggan mandi lagi di sana, dan demikian menghindari jatuhnya lebih banyak korban. Namun setelah bidadari tidak mandi di sungai lagi, warga kebingungan bagaimana mengubah warna sungai kembali menjadi hijau. Mereka pun memutuskan untuk tidak menceritakan pada keturunan mereka bahwa sungai Serayu dulunya berwarna hijau. Setelah sampai pada bagian ini dan menangkap adanya satir yang halus, barulah aku menikmatinya.

Selain itu, aku terganggu dengan pengarang yang tiba-tiba masuk ke dalam cerita ketika “scene” berganti: Sejenak kita tinggalkan warga di balai desa. Sambil menunggu perundingan itu selesai, saya—sebagai penulis cerita—akan menyajikan beberapa intermeso sebagai berikut:… Paragraf baru. Alkisah, dalam sudut pandang lain, dalam platform cerita yang berbeda, para bidadari… dan seterusnya. Mengapa paragraf yang pertama itu harus ada sih? Mengapa pengarang tidak langsung saja pada Alkisah…? Seolah dia ingin pembaca ngeh akan keberadaan dirinya, atau mengingatkan bahwa “cerita ini cuma dongeng lo, saya bisa menceritakannya sesuka saya” atau semacam itu. Padahal dari pengarang yang sama, dalam cerpennya yang lain, “Biografi Kunnaila” (Jawa Pos, 4 November 2012), aku justru tergeli-geli ketika diingatkan bahwa yang kubaca adalah cerita pendek belaka: Namun Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf. Bedanya, dalam cerpen yang kedua aku jadinya merasa Watono betulan “hidup” sehingga bisa mengadakan perjanjian dengan penulis cerita.

Di satu sisi, tiru-meniru dalam menulis disarankan sebagai bentuk pembelajaran. Di sisi lain, aku bertanya-tanya mengapa kita tidak mengembangkan kreativitas sendiri. Walaupun, katanya, kreativitas memang akan muncul dengan sendirinya seiring kita menguasai teknik-teknik yang “diajarkan oleh guru kita”, atau pengarang yang karyanya kita jadikan sumber belajar sehingga kita merasakan kedekatan emosional dengannya dan menganggapnya sebagai “guru”, atau bisa juga pengarang tersebut mengajarkan secara langsung, tatap-muka, teknik-teknik menulis pada kita, manapunlah. Maka sebetulnya aku kurang senang dengan perkataan “si ini terpengaruh oleh si itu” atau “si itu terpengaruh oleh si anu”, karena rasanya seperti tuduhan, walaupun si tertuduh mungkin saja mengakui kalau dia memang belajar dari si ini, itu, atau anu. Tapi jikapun tiru-meniru ini memang lazim dalam dunia kesusasteraan yang telah terbangun selama… lama sekali, menjadi pertanyaan, yang dimaksud dengan “gaya yang orisinal” itu seperti apa sih?



Aku merasa siap untuk membaca sisa cerpen pada pagi hari berikutnya. Dari empat cerpen kloter kedua, ada satu cerpen lagi yang memikatku, yaitu “Angela” dari Budi Darma (Kompas, 20 April 2014). Karya pengarang ini yang pertama aku baca adalah novel Olenka, yang membuatku tertakjub-takjub, entah mengapa, mungkin karena… keanehannya. Mungkin terutama dengan bagaimana beliau memasukkan cerita dari karya-karya pengarang lain, bahkan potongan koran, ke dalam karyanya sendiri sehingga tampak seperti kolase, tapi bahan yang utama berasal dari imajinasinya sendiri tentunya. Ajaib. Sejak itu aku tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain. Rafilus, cerpen-cerpennya dalam Kritikus Adinan yang belum kubaca semua, maupun yang terserak di koran. Tapi aku tidak menjadi lebih tertarik lagi. Ada satu cerpennya yang termasuk ke dalam kumpulan cerpen Koming 2010-2012 pilihanku yaitu “Pohon Jejawi” (Kompas, 20 Juni 2010). Hingga bertemulah aku dengan “Angela”. Aku teringat kembali akan gaya sang pengarang yang terasa “heboh”, entah terpengaruh oleh pengarang yang mana, dan karakternya yang aneh. Di paragraf kelima, setelah dalam paragraf-paragraf sebelumnya narator dengan tenang mengantar kita memasuki cerita, tahu-tahu Angela yang baru muncul di paragraf ketiga itu “menggigil, kemudian jatuh, menggelepar-gelepar, nafasnya mendengus seperti nafas penghabisan sapi seperti disembelih”. Angela kemudian bercerita bahwa dirinya dijaga bak porselen oleh orangtuanya. Bahkan ketika ada lelaki lewat, “jendela dan pintu rumah harus ditutup rapat”. Setelah dewasa Angela menjadi tidak bisa dekat dengan lelaki manapun.

Dalam pelarian dia bergulat melawan bajingan, penjual manusia, biarawan palsu, polisi berhati anjing, iblis bertopeng manusia, dan semua bernafsu untuk memperkosa. Mula-mula dia selalu memberontak, tapi akhirnya dia hanya menyerah, karena baik memberontak maupun menyerah hasilnya sama: dia tetap perawan. Pada saat mereka hampir berhasil memperkosa, siapa pun laki-laki jahat itu, pasti mendadak lunglai. Seluruh tulang tubuh mereka seolah-olah kehilangan tulang, dan jadilah tubuh mereka onggokan daging.

...

...laki-laki Ethiopia itu, sama saja. Gagah. Tapi tidak mampu menjebol harta karun saya.

Dalam interpretasiku, Angela sebenarnya ingin merasakan hasrat seksual sebagaimana manusia normal.

“Tanganmu selalu dingin. Tidak seperti orang lain.”

“Tangan? Kamu kan belum pernah meraba-raba seluruh tubuh saya. Tangan boleh dingin, siapa tahu bagian-bagian lain hangat.”

Namun penjagaan yang ketat sedari masa kecilnya entah bagaimana menjadikannya frigid, atau malahan menjadikan pihak lelaki "loyo", tidak bisa "bangun", atau semacam itu (ngertilah... :-P). Entah ada berapa kata “dingin” yang tersebar di sepanjang cerpen ini. Dia ingin lelaki yang bisa membangkitkan hasratnya tapi tidak kunjung menemukannya. Malah lelaki itu jadi ikut-ikutan "dingin". Kalau interpretasiku benar, cara pengarang mengungkapkan wanita frigid, dan entah bagaimana dia menjadi frigid, menurutku wow. Tidak lurus, begitu. Dan bagaimana cerpen ini ditutup—aku menyarankanmu untuk membacanya sendiri—dengan kata “mampus” membuatnya terasa diakhiri secara begitu saja namun membekas. Entahlah. Kurasa kekuatan pengarang ini ada pada diksinya dan karakter yang suka bertindak seolah di luar kesadarannya dan karena itu, aneh.

“…  Angela merasa dirinya tidak kotor, tanpa sadar berseru: ‘Santiago Nasar’. Maka disembelihlah Santiago Nasar oleh Pablo dan Pedro Vocario.”

Aku teringat karakter wanita dalam novel Rafilus juga tampaknya membuat pengakuan seperti Angela dalam cerpen ini. Kalau karakter dalam Rafilus mengungkapkan hasrat kewanitaannya untuk memiliki anak dan sebagainya—tolong beritahu kalau ingatanku kabur, Angela mengatakan bahwa dirinya mewarisi darah pembunuh dan penjudi. Aku juga teringat bahwa satu-dua cerpen Danarto yang kubaca di majalah MATRA edisi akhir era ’80-an memiliki gaya tutur yang juga heboh, namun cerpen-cerpen Budi Darma masih bisa ditoleransi oleh akalku, dan aku tidak hendak membahasnya lebih jauh karena kurangnya pendalamanku atas keduanya—apalagi yang pertama.   


***
Kuduga aku punya masalah dengan cerpen, dan fiksi pada umumnya. Tapi aku tidak hendak meruwetkannya di sini. Kukira dengan terus membaca dan menyoroti yang menarik menurut perasaan kita sendiri (walau jumlahnya hanya segelintir dari keseluruhan yang kita baca), dan bukannya mengikuti saja pendapat orang lain (semisal kita mengapresiasi Metamorfosis Kafka atau Seratus Tahun Kesunyian Marquez karena kita sendiri merasakannya sebagai karya yang menarik, dan bukan karena orang-orang mengatakannya demikian), merupakan usaha untuk menjaga agar hasrat itu tetap menyala.[] 

Minggu, 27 April 2014

Kuantitas


http://duniawiie.blogspot.com/2011/09/alat-peraga-peluang-bangau.html



Dari Jepang ada kepercayaan: harapan kita akan terkabul kalau kita membuat seribu bangau (dari kertas, tentu saja, bukannya hasil ternak). Kukira itu tidak mesti dipraktikkan secara harfiah. Seribu tidak mesti berupa bangau-bangauan dari kertas. (Bagaimana dengan orang yang tidak menguasai origami—sepertiku?). Seribu bisa berbentuk apa saja, dan tidak mesti dari kertas! Seribu bisa berupa jumlah kata, kalau harapan kita adalah menghasilkan suatu tulisan untuk dipajang di blog. Seribu bisa berupa jumlah lembaran uang seribu yang kita sumbangkan ke kotak amal setiap tahunnya, kalau harapan kita adalah membangun rumah bata di surga. Seribu bisa berupa jumlah lembaran uang sepuluh ribu yang kita habiskan setiap bulannya, kalau harapan kita adalah berpenampilan habis-habisan untuk memikat lelaki mapan nan rupawan. Kalau harapan kita adalah memberangkatkan orangtua berhaji, seribu bisa berupa jumlah lembaran uang seratus ribu yang kita simpan di balik bantal lalu diambil diam-diam oleh saudara yang "lagi butuh". Seribu bisa berupa jumlah teman di Facebook atau pengikut di Twitter, kalau harapan kita adalah ingin dianggap gaul. Kalau harapan kita adalah diliput dan ditayangkan di TV, seribu bisa berupa jumlah kucing yang kita pelihara. (Pernah tayang di NGC tentang wanita yang menampung 700 kucing, jangan kalah!) Seribu bisa berupa jumlah putaran yang kita tempuh tiap kali berenang, atau jumlah langkah yang kita angkat tiap kali sengaja berkeluyuran, kalau harapan kita adalah mengurangi berat badan (dan mencegah osteoporosis). Kalau harapan kita adalah diakui publik sebagai pengarang, seribu bisa berupa jumlah cerpen dan novel yang kita tulis dan publikasikan dan mendapat tanggapan dari orang-orang entah sekadar kata "SEMANGAT!!!" atau "ga greget", maupun honor untuk menyambung nyawa selama seminggu. Seribu bisa berupa jumlah jam dikali sepuluh sehingga menjadi Kaidah 10.000 Jam Gladwell yang mengungkapkan bahwa orang-orang sukses menghabiskan amat banyak waktu pada masa muda mereka untuk satu hal yang menentukan kesuksesan mereka itu. (Baca bukunya yang berjudul Outliers. Ah, aku juga belum membacanya secara tuntas, hanya bagian tentang itu, sekilas.) Angka-angkaan ini juga bisa berupa sepuluh kali seribu jam berdoa, kalau dalam perjalanan mencapai harapan itu maupun sesudahnya kau tetap merasa tidak ada artinya.



:especially for itsumi
Seribu bisa jumlah segala yang kau baca dan tulis, kalau harapanmu adalah untuk melupakan sepi.
(...juga jumlah jam yang mesti dihabiskan di berbagai komunitas untuk menjadi luwes 10% dalam pergaulan :-/)
Semoga lekas bangkit dari koma.

Sabtu, 26 April 2014

Di satu perguruan tinggi terkemuka di Kota Bandung...













Di lokasi terpisah:






Harusnya gini:
MASA MILAH AJA GABISA



Dan ada ini juga. Bisa aja bikin penasaran :-9 Sayang kagak buka.

Minggu, 20 April 2014

Kucing Lompat Kesohor dari Kodya Bandung

Cerita yang kutulis untuk menyenangkan diriku, terkarang selagi bermain dengan si Embul (yang kalau kurus namanya akan berubah menjadi si Engkus sedang kalau sedang-sedang saja ya si Endang--hasil utak-atik nama bersama adikku).

Aku melambai-lambaikan selembar kaos kaki lalu anak kucing itu berusaha menyambarnya dengan kaki depan namun malah mengenai mata kananku. Aku meraung seraya menutupi mataku yang terkena cakarnya itu. Ketika kulepas tanganku, merah di sana.

Dokter menawariku bola mata palsu, namun aku lebih memilih penutup mata ala bajak laut. Aku memakai penutup mata itu ke mana-mana sehingga orang-orang menganggapku eksentrik. Tadinya aku ingin sekalian mengganti tanganku dengan kait dan membeli seekor nuri yang pandai berbicara lalu menjadikan pundakku sebagai tempat bertenggernya, namun setelah kupikir-pikir lagi rasanya belum perlu.

Bagaimanapun juga aku tetap mengasihi anak kucing itu karena dia adalah Kucing Lompat Kesohor Dari Kodya Bandung. Itu nama lengkap yang kuberikan padanya. Untuk singkatnya, aku biasa memanggilnya: Kucing. Aku mencoba untuk melatih Kucing sebagaimana Smiley dalam cerpen Mark Twain, "The Notorious Jumping Frog from Calaveras County", mendidik kodoknya agar bisa melompat paling tinggi di antara kodok manapun di daerah tempatnya tinggal. Mengingat implikasi serius daripada pengalamanku melatih Kucing dengan kaos kaki kapan itu, selanjutnya aku melatihnya selama berjam-jam setiap hari dengan berhati-hati. Targetnya adalah dia harus menjadi kucing yang lompatannya paling tinggi di antara kucing manapun di Kodya Bandung. Bagaimana aku tahu rekor lompatan tertinggi yang diperoleh kucing manapun di Kodya Bandung, itu lain perkara. Saluran Animal Planet pernah menayangkan seekor kucing yang bisa melompat sampai langit-langit. Kalau target itu sudah dapat dipenuhinya, selanjutnya dia harus bisa mencapai atap rumah yang bertingkat dua.

Tidak hanya itu, juga kuajari Kucing trik-trik lain yang menghibur. Kubuat dia berguling-guling, berjumpalitan di udara berkali-kali, menirukan salakan dan gonggongan anjing, memakan habis cicak dan kecoak yang acap dikejar-kejarnya tiap malam, serta pura-pura kaget lalu melompat-lompat miring bahkan zigzag (jumlah lompatannya harus bertambah secara berkala).

Kalau dia sudah mahir, ini akan merintis bisnis "Doger Kucing". Akan kupertunjukkan kebisaannya ini di perempatan-perempatan. Monyet-monyet akan tersingkir. Kucing akan membuktikan bahwa spesiesnya tidak kalah cerdas dari monyet, IQ-nya pun tinggi. Kalau bisnis ini berhasil, akan kubuka Padepokan Doger Kucing yang misinya adalah memberdayakan baik sumber daya manusia maupun sumber daya kucing yang dengan demikian mengurangi jumlah pemuda pengangguran dan kucing pengangguran yang berkeliaran di jalanan, adapun visinya adalah menyemarakkan dunia pertunjukan dengan membuktikan bahwa kucing pun mampu unjuk gigi. Namun sebelum impian spektakuler ini terwujud, terlebih dulu akan kugegerkan panggung Indonesia Got Talent atau acara-apa-itu. Bersiaplah. Lirik lagu The Panasdalam, "Bencong Sapoy", akan berubah. Dari yang tadinya "Wanita sekodya Bandung punya saingan, sejak si Jono jadi bencong" menjadi "Monyet sekodya Bandung punya saingan, sejak si Kucing jadi doger". Judulnya pun akan diganti menjadi "Kucing Sapoy". Karena dengan kemampuannya yang luar biasa itu, Kucing akan disewa untuk tampil di tempat-tempat ternama termasuk Hotel Savoy Homann, hotel peninggalan Belanda yang pernah menjadi tempat menginap para delegasi Konperensi Asia-Afrika pada 1955 itu. Penampilannya akan sangat menghebohkan sampai-sampai yang menontonnya memanjatkan doa, "Ya Allah lindungilah kami dari kucing terkutuk."

Namun melatih Kucing agar dapat mencapai target yang telah kutetapkan membutuhkan waktu berbulan-bulan. Kucing yang tadinya seekor anak lamban laun tumbuh menjadi seekor dewasa. Dia menjadi pemalas dan membosankan. Jika dulunya dia aktif menekuni pelajaran yang kuberikan, kini dia mangkir dan malahan aktif memburu kucing-kucing betina untuk dikawini. Ya, dia telah menjadi semacam playboy komplek.

Pekerjaannya adalah mengencingi setiap sudut rumah dan halaman, termasuk rumah dan halaman tetangga. Kencing kucing jantan lain dia tampal dengan kencingnya sendiri untuk mengukuhkan bahwa segala penjuru RT 01 adalah wilayah kekuasaannya. Aku yakin dia sedang berencana untuk menginvasi RT sebelah. Kalau sudah dikuasainya RT sebelah, dia akan merambah ke RT di sebelahnya lagi hingga lama-lama mencapai satu RW. Kalau sudah dikuasainya satu RW, dia akan meluaskan teritorialnya hingga mencapai satu kelurahan. Dari kelurahan ke kecamatan. Lama-lama sekodya dia kuasai. Di kalangan kucing dia tidak kalah tenarnya dari walikota di mata warga Kodya Bandung. Benar-benarlah dia Kucing Playboy Kesohor Dari Kodya Bandung. Eongannya terdengar makin samar dari malam ke malam; menandakan makin menjauhnya daerah kekuasaannya sebagaimana persangkaanku.

Kucing telah memilih jalannya sendiri dan tampaknya itu mengandaskan harapanku, tapi tidak. Kuduga keturunan Kucing mestilah mewarisi keunggulan bapaknya. Kelincahannya. Kecerdasannya. Kemauannya untuk belajar, sebelum birahi merenggutnya dariku untuk selama-lamanya. Maka kucoba untuk menelusuri kucing-kucing betina yang bisa jadi telah dikawini oleh Kucing. Kupancing mereka dengan makanan agar tinggal di rumah dengan demikian aku bisa memantau kehamilan mereka. Begitu anak-anak itu lahir, kupilah-pilih mana yang kiranya mewarisi ciri yang dimiliki Kucing, dan kubuang sisanya. Kutunggu sampai mereka agak besar dan cukup mandiri--tidak begitu bergantung pada tetek induk mereka lagi, sampai keadaan yang memungkinkan bagiku untuk mulai melatih mereka.

Mungkin karena orang-orang memandangku sebagai seorang eksentrik, yang mula-mulanya karena penutup mataku lalu karena ambisiku untuk mengibarkan industri pertunjukan kucing, aku menjadi tersugesti untuk bertingkah sebagaimana anggapan itu. Aku memang tidak jadi menancapkan kait ke tangan maupun memelihara nuri yang pandai berbicara untuk kupasang di pundak, namun entah ada apa pada keeksentrikanku ini yang membuat seseorang menyatakan ketertarikannya padaku dalam konteks romantis. Barangkali karena penutup mataku. Sesekali kuganti penutup mata yang biasanya hanya berupa potongan kulit berwarna hitam itu dengan potongan kain berwarna cerah yang di atasnya kububuhkan mata-mataan. Aku bisa membuat mata-mataan tersebut dari potongan-potongan kain atau spidol dan krayon atau yang sudah jadi yang dijual di toko-toko yang biasa dilekatkan pada boneka yang bisa bergoyang-goyang kalau terguncang yang bulatnya seperti mata ikan. Yang menyenangkan adalah dengan memodifikasi ukuran aku bisa menempelkan mata-mataan itu sebanyak apapun yang kuinginkan sehingga mataku bisa tampak tiga seperti Dewa Er Lang di sinetron Kera Sakti atau ribuan seperti ikan yang mengalami mutasi akibat limbah Sungai Citarum. Aku juga mengubah warna iris-irisanku sesuka hati. Dia bilang dia menyukai iris-irisanku yang bermotif hitam-putih seperti kulit bola sepak. Dia tidak perlu tahu kalau aku menirunya dari motif lensa kontak Melly Goeslaw kala muncul di infotainment bertahun-tahun lalu.

Namun bagaimana kalau dia semakin dekat lalu kutunjukkan padanya bahwa aku memakai penutup mata bukan untuk bergaya dan di baliknya hanya ada rongga? Dan meski begitu aku tetap menyayangi Kucing yang telah merenggut apa yang dulunya ada di sana, yang memungkinkan semua ini terjadi hingga menginspirasi seseorang untuk menuliskannya.[]

Sabtu, 05 April 2014

Matinya Seekor Anak Kucing

Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara di rumah kami sejak lahirnya. Agak rumit ya. Tapi terlalu panjang kalau saya ceritakan mulai dari awal sekali adanya dinasti kucing di rumah. Kembali ke kucing betina. Dia tidak diberi nama. Padahal kami memanggil saudara kandungnya—kucing hitam-putih jantan yang amatlah manja dan rumahan serta doyan kencing di mana-mana—Federer. Maka kami menyebut kucing betina itu dengan “Kucing yang Perempuan”, “Kucing yang Cewek”, “Kucing yang Betina”, dan baru-baru ini “Induk Kucing”. Kucing berambut loreng ini sudah tiga kali melahirkan dan tidak ada satupun anak-anaknya yang berhasil bertahan hidup hingga besar.

Dini hari ini kami lagi-lagi kehilangan anaknya. Yang terakhir. Pergi menyusul dua saudaranya yang telah tamat riwayatnya belum lama berselang. Setelah berhari-hari bertahan tanpa makan dan minum. Selama berhari-hari itu anak itu hanya mengeong-ngeong dan berjalan tertatih-tatih dengan tubuh kian lemah kian kurus mencari kehangatan. Ketika eongannya yang nyaring dan memelas itu terdengar, itu seolah menjadi alarm bagi kami untuk mencari-cari ibunya. Lalu begitu ibunya ditemukan, kami dekatkan mereka. Lega sesaat ketika si ibu sudah menjilati anaknya. Tapi sebentar kemudian kami cemas karena anak itu sama sekali tidak menetek. Entah mengapa. Matanya pernah sesekali terbuka. Salah satu atau keduanya. Tapi seringnya tertutup karena belek. Begitupun hidungnya basah karena ingus. Sempat muncul dugaan dia tidak mau menetek karena dia memakai mulutnya sebagai ganti indra pernapasannya yang tersumbat. Kalau dia menetek dengan mulutnya itu, bagaimana dia hendak bernapas? Muncul pula dugaan kalau susu si ibu tidak keluar. Kami hanya memberinya nasi campur ikan. Apa kurang bergizi? Tapi dari dulu begitu. Dari sejak zaman “Induk Kucing” satu itu belum lahir, setiap induk kucing sebelumnya yang tinggal di rumah selalu kami berikan menu itu saja.

Belum lama setelah melahirkan. Kini semua, kecuali yang besar, sudah tiada.

Kami mulai berpikir untuk menyuapi anak kucing yang malang itu dengan susu lain atau Whiskas yang dicairkan. Tapi baru hari ini kami mewujudkan pikiran itu. Ketika eongan anak kucing itu telah makin lemah. Bahkan untuk berjalan-jalan mencari kehangatan pun dia sudah tidak kuasa. Mama membeli pipet plastik sebagai ganti dot di apotek terdekat dan dengan alat itu diberikannya cairan Whiskas, namun sepertinya tidak berhasil. Menjelang tengah malam adik saya pulang dengan membawa susu khusus bayi kucing dan dot khusus hewan-hewan kecil yang dibelinya dari petshop di dekat kampusnya. Kami memutuskan untuk memberi susu saat itu juga walaupun anak kucing itu tengah tidur. Adik saya yang menyiapkan susu sedang saya mendapat bagian menyalurkannya ke mulut.

Anak kucing itu masih bernapas. Perutnya masih kembang-kempis. Kepalanya tidak terlihat karena tertutup jaket Mama yang dijadikan alas. Saya singkap penutup kepalanya. Saya senggol-senggol dia agar bangun. Namun dia tidak bereaksi. Lalu saya palingkan kepalanya agar terlihat mulutnya. Saya tempelkan dot itu pada mulutnya. Dia diam saja. Tampak gerakan pada lehernya. Saya kira ada harapan. Tidak lama kemudian saya sadari kalau air susu itu tidak sepenuhnya masuk ke dalam mulutnya.

Anak kucing itu tersedak lalu mengeluarkan suara melengking. Seperti marah karena dibangunkan—saya kira begitu. Dia bergerak hingga menampakkan tungkai kaki-kakinya dan tulang rusuk di sepanjang perutnya, begitu ceking, mengingatkan saya pada gambaran mengerikan tentang korban Gulag dalam buku Solzenitzyn (maaf kalau salah tulis). Posisinya berganti. Seperti berjalan menjauh. Tubuhnya meregang dengan lengkingan panjang, lalu berlabuh di sisi lain keranjang yang beralaskan koran. Adik saya membuatkan susu lagi karena yang sebelumnya memang hanya dibuat sedikit sebagai percobaan dan ternyata cepat habisnya, sementara itu saya meraba-raba tubuh anak kucing itu yang sudah mulai dingin.

Kali berikutnya saya mencoba untuk memberikan susu secara pengertian. Dengan syal adik saya sebagai alas, saya angkat kepala kucing itu hingga posisinya agak seperti duduk. Saya kuak mulutnya pelan-pelan dengan dot lalu menekan-nekan botol susu agar cairan di dalamnya masuk. Kepalanya masih bergerak-gerak sedikit seperti tersedak atau menelan. Sampai saya sadari kalau cairan putih itu entahkah masuk ke dalam mulut atau tidak, namun malah mengalir membasahi koran. Saya lepaskan kepala anak kucing itu pelan-pelan. Terkulai begitu saja di atas basahnya koran. Perutnya sudah tidak tampak kembang-kempis lagi. Apakah dia benar-benar sudah mati?

Di pinggir ranjang itu duduk pula Induk Kucing yang sedari tadi mengamati kami melakukan upaya-penyelamatan-coba-coba pada anaknya. Kami pun sadar bahwa ketika anak kucing itu sempat bergerak-gerak dan bersuara seperti marah, pada saat itulah nyawanya mungkin sedang dicabut. Atau mungkin dia mati karena keselak susu yang kami (saya) coba berikan? Kami terdiam beberapa lama di tempat, merenungi nasib anak kucing sakit-sakitan yang berhasil mempertahankan umurnya hingga sekitar sebulan itu.

“Coba lihat besok pagi. Siapa tahu hidup lagi,” putus saya. Lalu kami mematikan lampu ruangan di mana anak kucing itu ditempatkan. Adik saya ingin membuang kucing betina itu karena setiap anaknya yang mati berarti kesedihan baginya. Sebetulnya kami sedari dulu sudah ingin membuangnya bersama saudaranya yang jantan dan doyan kencing di mana-mana tapi terlalu malas untuk mewujudkannya. Perkataan adik sedikit menenangkan saya (atau mungkin untuk menenangkan dirinya sendiri), bahwa ada baiknya juga anak kucing itu mati lebih cepat, sehingga dia tidak harus menahankan derita lebih lama.

Saya melanjutkan menonton TV. Adik saya di kamar. Induk Kucing tampak berjalan-jalan. Memasuki ruang tamu entah untuk apa. Namun tidak lama. Dia keluar lagi lalu memasuki ruangan di mana anaknya mendekam. Dia mengeong-eong. Saya panggil adik saya siapa tahu dia mendengarkan juga. Eongannya yang cukup panjang itu mungkin berarti dia tengah berkabung atau bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada anaknya. Sempat pula saya berpikir jangan-jangan setelah mendapati anaknya tidak lagi bernyawa, kucing itu malah memakannya saking lapar karena sedari tadi dia mendekati saya—yang saya artikan sebagai “pasti minta makan deh”—tapi saya abaikan. Kucing betina itu akhirnya keluar dan mendekati saya, mengikuti saya ke mana-mana. Karena pikir saya anaknya baru saja meninggal saya pun membuatkan makanan untuknya.

Sampai sesudahnya saya belum berani memasuki ruangan itu lagi untuk mengecek keadaan anak kucing. Kalau benar dugaan kami bahwa ketika dia sempat bersuara seperti marah tadi ialah karena tengah sekarat, berarti untuk pertama kalinya saya menyaksikan proses kematian. Malaikat Izrail berada begitu dekat dengan kami, bahkan mungkin tepat di samping saya, menembus saya, saat tangannya menarik nyawa itu keluar dari seonggok tubuh ringkih. Jika benar begitu, mengapa harus terjadi saat itu juga, tepat ketika saya mencoba menyambung hidup anak kucing itu dengan memberinya susu? Kenapa tidak dari sebelumnya, atau lama setelahnya? Seolah malaikat menanti-nanti kesempatan itu untuk menunjukkan kepada saya, Begini lo reaksi makhluk sewaktu nyawanya dicabut… Apa kucing ini kelihatan menikmatinya?

Karena saya memikirkannya seperti itu, rasanya jadi berbeda dengan kalau saya mematikan nyamuk di lengan saya, menepuknya sampai darahnya muncrat. Itu pun suatu proses kematian walau berlangsungnya cepat sekali dan melalui perantaraan tangan saya sendiri. Malaikat pun ada di dekat saya melaksanakan tugasnya tanpa kasat mata mengambil nyawa serangga kecil itu.[] 

Kamis, 03 April 2014

Terjemah Lebih Mudah dengan Memecah-mecah Kalimat

Yang saya harapkan dari buku berjudul Teknik Membaca Textbook dan Penterjemahan (ya, pakai “t”) tentunya adalah mengenai “penterjemahan”-nya. Karena belakangan ini saya telah mencoba-coba menerjemahkan sejumlah cerpen dengan segenap kesoktahuan dan pemahaman bahasa Inggris yang pas-pasan. Barangkali saya bisa mendapatkan semacam insight (???) yang akan memperbaiki kemampuan saya dalam pratik penerjemahan.

Sebelumnya saya beberkan dulu sedikit mengenai perawakan buku ini: di sudut kanan atas tercatat 6/2-87 dan 1700—kita bisa berasumsi deretan angka yang pertama adalah tanggal sedangkan yang kedua adalah harga; ukurannya sekitar satu senti lebih pendek daripada ukuran buku tulis biasa; tebalnya 83 halaman; diterbitkan oleh Kanisius yang beralamat di Yogyakarta; yang ada pada saya adalah cetakan ketiga, 1986; di balik sampul depan terselip buklet Biro Kursus Tertulis (Bahasa Inggris) “AIDA” yang beralamat di Jakarta; dan kalau bagian tengah sebelah bawah dihirup, ada aroma semacam minyak angin yang entah sudah berapa lama terserap di sana.

Dalam “KATA PENGANTAR”, dikatakan bahwa buku ini ditulis akibat serba keterbatasan yang dialami penulisnya selama mengajar di dua perguruan tinggi negeri di Bandung. Salah satunya adalah: keterampilan membaca dalam bahasa Inggris masih kurang dimiliki oleh para mahasiswa. Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi mereka yang ingin meningkatkan “ketrampilan membaca buku maupun majalah, novel yang ditulis dalam bahasa Inggris”. Tapi ternyata penerjemahan teks sastra disinggung hanya sedikit sekali. Hanya satu paragraf! Boro-boro bicara novel…

Begini katanya, di halaman 32, terjemahan teks sastra itu agak sulit dibandingkan teks ilmiah. Dalam teks sastra terdapat ungkapan-ungkapan yang tidak bisa begitu saja diterjemahkan secara harfiah. Kalau dipaksakan, hasilnya, selain tidak lazim dalam bahasa sasaran, juga bisa-bisa memiliki makna yang menyimpang dari maksud bahasa aslinya. Sebagai contoh, kalimat dalam bahasa Inggris “He kicks the bucket” tidak bisa serta-merta diterjemahkan menjadi “Dia menyepak ember”, sebab ungkapan “to kick the bucket” mempunyai pengertian “to die”. Contoh lainnya, ketika mencoba untuk menerjemahkan cerpen “Solid Objects” dari Virginia Woolf, saya menemukan ungkapan “ghost of chance”. Kalau saya terjemahkan sekenanya saja, menjadi “hantu kesempatan, o, tentu ganjil bukan kedengarannya? Untung ada Google—kamus sagala aya!

Nah, adapun jenis teks yang dibicarakan dalam buku Teknik Membaca Textbook dan Penterjemahan ini, ya tentu saja… textbook. Mulai dari bidang CIVIL ENGINEERING, CHEMISTRY, BIOLOGY, sampai LANGUAGE. Masing-masingnya disertai contoh kalimat yang berkaitan dengan bidang ilmu tersebut. Kiat menerjemahkannya yakni dengan memotong-motong kalimat menjadi kelompok-kelompok kata yang dinamakan frasa dan klausa, serta menentukan mana subject, verb, object, adverbial, complement, dan sebagainya. Karena itulah bab mengenai penerjemahan ini didahului oleh bab mengenai tata bahasa Inggris agar pembaca dapat membedakan unsur-unsur kalimat tersebut—lengkap dengan diagram-diagram berisikan pola, rumus, apa yang semacam itu. Masing-masing potongan daripada kalimat itu kemudian diartikan, lalu disambung-sambungkan hingga tersusun menjadi kalimat baru dalam bahasa yang dimengerti oleh pembaca sasaran.

Contohnya begini, saya ambil dari halaman 59 di mana ada kutipan teks dari bidang DENTISTRY.

The exposed part of a tooth is the crown, the concealed part is the root.

Kita cacah-cacah menjadi:

The exposed part of a tooth/ is/ the crown/ the concealed part/ is the root.

Kelompok kata pertama adalah subject. Kelompok kata kedua adalah verb, sedang yang ketiga adalah complement. Urut-urutan ketiganya disebut main clause.  Begitupun urut-urutan kalimat berikutnya, adalah main clause kedua. (Ini contoh kalimat yang mudah. Banyak contoh yang jauh lebih rumit dan panjang dari ini.) Masing-masing kelompok kata tersebut kemudian diartikan.

The exposed part of a tooth = bagian gigi yang terbuka/ is the crown = adalah kepala gigi/ the concealed part = bagian yang terselubung/ is the root = adalah akar/

Disambung menjadi:

Bagian gigi yang terbuka adalah kepala gigi dan bagian yang terselubung adalah akar.

Saya pernah menerapkan cara yang hampir mirip saat mencoba untuk menerjemahkan paragraf-paragraf pertama “Solid Objects” yang keterluan panjangnya. Tapi tidak sampai membedakan ini subject, ini verb, dan seterusnya, melainkan hanya memotong-motongnya jadi kelompok-kelompok kata. Agaknya penulis berbahasa Inggris punya kecenderungan menggemukkan kalimat. Jangan tanggung-tanggung sebagai penulis—jangan pelit kasih informasi! Semisal, tidak cukup Anda mengatakan “The boy is a student”. Perkaya kalimat Anda menjadi “The lazy, dirty, tall boy who came here last night is a student.” (Halaman 18-19)

Sebaliknya dengan bahasa Indonesia. Oleh dosen pembimbing skrispi saya (oh, masa itu sudah lama berlalu…), saya diajarkan untuk menulis dengan kalimat-kalimat sederhana yang bisa berdiri sendiri. (Hindari “ini” atau “itu” sebagai pengganti subjek—subjek harus disebutkan dengan jelas!). Pokoknya strukturnya harus S-P-O-K. Satu kalimat satu gagasan. Hindari kalimat majemuk yang bertingkat-tingkat. Anak kalimat jangan mendahului induk kalimat. Kalau kita lihat karya ilmiah pada umumnya, tentu saja aturan ini tidak mesti berlaku. “Tergantung dosen pembimbing masing-masing,” begitu sering kita dengar di kalangan mahasiswa skrispi.

Dengan memecah-mecah kalimat seperti itu boleh jadi kita agak mudah dalam mencerna teks. Teknik lainnya dalam membaca textbook adalah: Pertama-tama, bacalah sepintas bagian pendahuluan, daftar isi, teks, daftar istilah, daftar pustaka, dan indeks; Kedua, gunakan metode SQ3R alias SURVEY, QUESTION, READ, RECITE, dan REVIEW. SURVEY berarti membaca sepintas (skimming) bagian yang ditugaskan untuk dibaca dengan tujuan menangkap ide dalam teks tersebut. QUESTION berarti mengajukan pertanyaan yang hendak dicari jawabannya di dalam teks. READ berarti membaca lagi untuk menemukan jawaban daripada pertanyaan yang telah dibuat—kalau perlu tandai hasilnya. RECITE berarti mengungkapkan lagi hal-hal yang telah didapatkan dan merenungkannya. Dan REVIEW berarti membuat ringkasan teks secara keseluruhan dengan mengumpulkan ide utama dari tiap bagian. Ada buku tersendiri mengenai metode membaca ini. (Adapun dalam buku ini penjelasannya hanya 1,5 halaman.) Dalam bahasa Indonesia ada buku berjudul Speed Reading, tampaknya sudah dicetak ulang berkali-kali, tapi saya lupa apa saja isinya ha-ha-ha, barangkali ada pula mengenai SQ3R.

Membaca buku ini seperti menyegarkan ingatan akan pelajaran bahasa Inggris. Bagaimanapun pada saat buku ini ditulis kebanyakan textbook yang tersedia ditulis dalam bahasa Inggris. (Sepertinya sekarang pun masih begitu. Kalau dalam bahasa Indonesia, namanya “diktat” dan jauh lebih tipis… atau tebal tapi terjemahan dari bahasa Inggris...) Oleh karena itu penguasaan bahasa Inggris amatlah penting demi transfer ilmu pengetahuan (jyah!). Biarpun begitu, kalau Anda tergolong kaum yang tidak mudah dalam hal mempelajari bahasa, berarti kita bisa saling bersimpati. Dengan membaca teori saja, yang menempel pada ingatan hanya sedikit sekali. Lebih praktis dengan praktik (cuman beda satu huruf di belakang toh… hehe…): Bergabung dengan klub bahasa Inggris di RRI; Menjalankan program Terrible English Journal (eh, betul enggak ya, istilahnya, pokoknya menulis catatan harian dalam bahasa Inggris biarpun hasilnya kacau-balau!); Atau coba-coba menerjemahkan.[]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain