Berapa kali aku
mengeluh pada orang-orang di satu-dua grup “apresiasi sastra” yang
kutimbrungi, “Cerpen koran susah dimengerti!” Tapi mereka membicarakannya
seolah nasib sastra Indonesia ditentukan oleh selembar halaman dari koran
Minggu (selanjutnya: koming). Dari tampang mereka, sepertinya mereka tidak
mengalami kesusahan. Dengan responsif mereka merekomendasikan nama-nama
cerpenis yang karyanya mudah diikuti. Pada waktu itu aku memang jarang
membacai cerpen koming. Bahkan sebetulnya aku tidak menggemari cerpen.
Pembacaan cerpen tidak memberikan pengalaman seintens pembacaan novel.
Cerpen bagaikan pertemuan singkat dengan orang(-orang) yang kita jumpai pada
saat itu saja, yang kesannya segera berlalu seusai pembacaan.
Walau demikian,
menurut Joe Bunting dari The Write Practice, ada beberapa
alasan kenapa cerpen layak untuk dipelajari, apalagi oleh penulis pemula.
Ernest Hemingway dan Stephen King merintis karier kepenulisan dengan menulis
cerpen. Cerpen menjadi sarana berlatih menulis yang efisien. Cerpen dapat
lebih cepat diselesaikan ketimbang novel, baik dalam penulisan maupun pembacaan.
Dengan demikian, kita dapat memperoleh feedback
yang lebih cepat pula. Dari feedback,
kita tahu bagaimana harus memperbaiki penulisan kita. (Lebih cepat dapat honor
juga?)
Maka akupun mencanangkan
proyek “Pembacaan Cerpen Koming”. Karena proyek ini dimulai pada tahun 2013,
maka untuk mengetahui bagaimana tren baru-baru ini, aku mengumpulkan
cerpen-cerpen koming tahun sebelumnya dari Lakon Hidup. Blog ini memang dikenal
sebagai “gudangnya” cerpen koming, menayangkan cerpen-cerpen koming yang
sebelumnya dimuat di beberapa koran besar seperti KOMPAS, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Suara Merdeka,
dan belakangan Media Indonesia. Orang-orang dari satu-dua grup yang
kumaksud itupun membacai cerpen-cerpen koming melalui blog tersebut. Di
Facebook, blog ini terhubung dengan grup “Cerpen Koran Minggu”. (Tapi
belakangan blog ini sepertinya jarang update.)
Total cerpen koming
2012 yang kuunduh dari Lakon Hidup mencapai 238 buah. Kukira tidak ada yang
terlewat. Kalau dihitung-hitung antara jumlah hari Minggu dalam setahun
dengan jumlah media yang menjadi sumber sepanjang tahun 2012, jumlah ini
seharusnya lebih. Tapi tidak apa-apa lah, inipun sudah banyak.
Supaya pembacaan
yang dilakukan tidak menguap begitu saja, aku membekali diri dengan buku
tulis. Setiap habis satu cerpen yang tersusun menurut abjad itu, aku
menuliskan pembacaannya dalam delapan baris. Baris pertama diisi dengan judul
cerpen setrip nama cerpenis, baris kedua dengan nama media dan tanggal pemuatan,
baris ketiga dengan jumlah kata, dan lima baris berikutnya berupa komentar.
Dari proyek ini, diharapkan
terpilih cerpen-cerpen yang paling disuka untuk disayang-sayang. Jelas sudah,
penilaian akan amat sangat subjektif sekali. Memang, dari penelusuranku
terhadap buku-buku mengenai kritik sastra, berhasil ditemukan
kriteria-kriteria yang dipakai untuk menilai keberhasilan/kegagalan suatu
karya, yaitu inovasi/kebaruan, orisinalitas/keaslian, kompleksitas/kerumitan,
kematangan, dan kedalaman (maaf, lupa kutip dari mana). Tapi mengingat
cara tersebut bakal jelimet bagiku yang notabene tidak berkapasitas sebagai
sarjana sastra ini, maka metode subjektif dengan kriteria sebagai berikut
yang kugunakan: 1. Aku suka; 2. Kalau aku tidak suka walaupun cerpen tersebut
ditulis dengan apik, lihat poin 1. Heh heh heh. Mengingat bacaan yang menumpuk
bukan hanya rombongan cerpen ini saja, (dan sepertinya ini masalah yang
dialami kutubuku-keblinger di manapun jua), maka komentar diberikan hanya berdasarkan
sekali pembacaan. Tidak ada pembacaan ulang untuk mencoba menangkap lagi isi
cerpen. Dengan demikian, kriteria paling utama adalah: mudah diikuti.
Maka setelah
menghabiskan 86 halaman buku tulis, dipilih sepuluh cerpen sebagai berikut, disertai
dengan komentar sebagaimana tertera di kertas.
Banjir di Cibaresah – Aba Mardjani
KOMPAS, 28 Oktober 2012
1622
kata
“Asa lucu. Asa
simbolik. Tentang desa yang kena banjir, diceritakan dari sudut pandang
penjaganya yang sekiranya justru berada di tempat paling aman. Dan akibat
banjir itu, berbagai macam hewan jadi menyerbu desa, dengan incaran dan efek
berbeda. Di bagian yang asa lucu itu kayak obrolannya Cepot dengan Dawala
atau siapa. Dan tempat berkumpulnya hewan-hewan itu justru di rumah kepala
desa.”
Biografi Kunnaila – Sungging Raga
Jawa Pos, 4 November 2012
1299
kata
“Sukaa…! XD
Lancar tenan bacanya. Enak. Jenaka. Bahkan sampai ‘keluar jalur’, seolah ada kesepakatan
antara tokoh dengan pengarangnya. Kocak! Menceritakan tentang nasib Kunnaila,
menjelang dipersunting masinis hingga peristiwa buruk menimpa. Dan ada
pernyataan yang pas banget dengan saya. Woah. Akhirnya nemuin favorit. Kya…”
Gadis Penjual Bantal – Thohar Budiharto
Suara Merdeka, 9 Desember 2012
1659
kata
“Aku suka cerpen
ini karena keanehan-keanehan di dalamnya yang bikin aku berhah? heh?, walau
di akhir hampir semua jelas karena si karakter memang gila. Yang ga jelas adalah
kenapa dia ketika berhasil ngajak keluar gadis yang disukainya, kok mendadak
urung, setelah ditanya apa pekerjaannya. Dasar orang gila.”
Jack dan Bidadari – Linda Christanty
KOMPAS,10 Juni 2012
1816
kata
“Penuturannya
seperti yang acak-acakan, tapi aku suka karena simpel, seolah memberitahuku
sebentuk cara penyampaian walau kehidupan yang ditampilkan mungkin rumit.
Dan ketika aku tengah termenung mengikuti kehidupan si narator sebagaimana
yang ia tuturkan, ada unsur pengejut kalo yang dimaksud dengan Bidadari itu
mungkin bukan cewek sebagaimana lazimnya kita bayangkan seperti apa bidadari.”
Keluarga “Z” – Mardi Luhung
Jawa Pos, 27 Mei 2012
1620
kata
“Kocaak…! :D Lucu!
Suka! Makanya itu… dan ada nilai-nilai kekeluargaan juga yang dikemas dengan…
ya kocak itu. Bandingkan dengan cerpen-cerpen yang mengangkat tentang
keluarga di *upssorisensor, kesannya
tragis, terlalu serius, gitulah… Ah senang menemukan cerpen yang seperti ini.
Barangkali cerpen semacam inilah yang ingin aku hasilkan?”
Lagu Tanglung Ungu – Beni Setia
Jawa Pos, 12 Februari 2012
2311
kata
“Kukira ini
cerpen memikatku, walau aku pingin mbuleti tiap ‘si’ dalam teksnya, untuk apa
sih?, aku suka dengan tuturannya yang seolah merepet, padat, nyinyir, seolah
menyajikan kerumitan pikiran. Walau sempat aku mengira diksinya terlampau
canggih untuk karakter si naratornya, tapi intrik-intrik dalam ceritanya
kupikir juga menarik.”
Mengharap Kematian – Dadang Ari Murtono
Republika, 22 April 2012
1334
kata
“Aku suka cerpen
ini. Temanya menarik. Dan lucu. Tentang seseorang yang menanti-nanti kematian
tapi tidak dengan kemuraman, melainkan persiapan agar nantinya indah. Intinya,
kematian itu bukan hal yang bisa diprediksi (inget lagu Que Sera Sera, the
future not us to see atau apa, juga novelet Aki [kalo ga salah] dari Idrus).”
Pahlawan Tersisa di Makam Tua – Danang Probotanoyo
Republika, 11 November 2012
1561
kata
“Setuju. Ini
cerpen yang bagus, menurutku. Sosok pahlawan yang dilupakan, pahlawan ’45 keknya
emang udah cukup sering diangkat. Ini juga. Cuman secara khusus agaknya aku
tersentuh aja dengan gambarannya yang realis. Aku yang tinggal di ‘rumah
bagus’ ini tersindir. Dan ada satu paragraf yang menurutku lucu. Aku juga
pingin bisa mengangkat sosok rakyat kecil.”
Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi – Eka Kurniawan
Koran Tempo, 18 November 2012
1560
kata
“Entah kenapa
aku suka cerita ini. Bagian awalnya kek ‘Someone Like You’-nya Adele. Kisah
perempuan patah hati yang lari ke kota kecil itu kayak di On a Journey-nya Mbak
Desi. Trus aku pun punya pikiran kalo jangan-jangan dalam mimpi itu kita
ketemu orang-orang beneran yang belum kita kenal, lalu bisa saja sebetulnya
kita kopi darat. Mungkin juga karena aku suka main ke situs penulisnya? Contoh
bahwa cerpen mungkin berangkat dari satu momen, tapi ga mesti menceritakan
tentang momen itu sendiri, bisa saja merangkum kisah yang dalam situasi lain
orang berpikir untuk menjadikannya novel. Inget pengarang yang belajar untuk
meng-compress cerita setelah baca cerpen Anton Chekhov.”
Semarang Suatu Hari – Bre Redana
Suara Merdeka, 22 April 2012
1471
kata
“Ini cerpen
mungkin bisa dibilang slice of life, abis kek cuman penggalan keseharian aja
tapi enak diikuti, nyaman bacanya, sambil geli-geli dikit. Tentang nganterin Mama
ke Semarang, jalan-jalan. Mama cerewet. Untung ada teman, Mulyadi, yang bisa
meladeni kecerewetan Mama. Yah… suka sih… Oya, latarnya lingkungan Tionghoa
nih.”
Setelah dua ratusan
cerpen kubaca, tepatnya ketika sampai pada cerpen seorang pengarang yang pernah
dipuja-puji karena sangat nyastra atau entah apa, namun karyanya itu malah membingungkanku,
tidak berkesan buatku, aku menyadari kalau aku tidak mengerti bagaimana
menentukan mana yang bagus dan mana yang tidak. Dan bahwa, lazimnya cerpen
yang kusuka adalah yang menurutku lucu. Aku juga cenderung tertarik dengan
gaya.
Sebetulnya ada
beberapa cerpen lain yang juga mengena, tapi kubatasi sampai sepuluh supaya
sesuai dengan jumlah malaikat dan jumlah jari, terutama yang sekaligus bikin
aku geli alih-alih sedih. Begitupun dengan film, favoritku adalah yang bisa
membuatku terkekeh-kekeh bahkan terkakak-kakak seperti trilogi Naked Gun (terutama yang 2 ½), Kwalitet II, Setan Kredit, dan semacamnya.
Sebetulnya juga, aku
ragu ketika hendak memasukkan “Jack dan Bidadari”. Aku sangat terpikat dengan
penuturan dalam cerpen ini. Namun keistimewaannya memudar ketika kemudian aku
menemukan sekitar lima cerpen lain yang akhirannya mirip. Maka ini menjadi
pembelajaran, simaklah baik-baik, bahwa ketika lain kali kita menemukan
cerita yang mengeksplorasi hubungan di antara dua insan yang galau atau semacam
itu, bisa jadi kejutannya ada di orientasi seksual mereka.
Demikianpun dengan “Banjir
di Cibaresah”, sepertinya aku temukan juga dalam cerpen lain, di mana di akhir
sorotan ditujukan pada sosok pemimpin, entah kepala desa atau ketua RT. Tapi
bagaimanapun aku suka Cepot dan Dawala. (!?)
Sebetulnya lagi, masih
banyak penemuan yang kudapatkan dari pembacaan ini, meliputi jumlah kata,
ragam tema, cara penyampaian (teknik), terjemahan, pemuatan dobel,
cerpen-cerpen yang dimaksudkan untuk menjadi novel, frekuensi kemunculan
karya dari tiap-tiap cerpenis, sampai muatan-muatan dalam cerpen yang (secara
pribadi sih) bikin pembacaan jadi enggak enak. Tapi membahas semua satu per
satu akan lama. Dan lagi, apalah aku yang awam dalam jagat persastraan ini. Hanya
bisa menilai keokean suatu cerpen dari kocak atau tidak. Barangkali Pembaca
pun tertarik untuk mencoba. Jika ingin coba mempelajari sesuatu, mulailah
dari apa yang mudah bagimu. Demikianlah bagiku.
Ngomong-ngomong,
mana cerpen koming 2012 favoritmu?[]
Ini main ke blog-nya Sungging Raga. Kisah Sepasang Rangka kamu bakalan ngakak-ngakak lagi:
BalasHapushttp://surgakata.wordpress.com/
iya cerpennya absurd juga ^^ terima kasih mbak desi. ditunggu loh di bandung.
Hapus