Ibu
Aku akan
minggat dari rumah. Aku akan mengakhiri hidupku.
Dini hari
itu seluruh penghuni rumah telah anteng di kasur masing-masing. Aku mengendap
dalam keremangan. Kututup pintu depan tanpa kukunci lagi. Tidak kugubris
teguran penjaga komplek. Pakaianku sama dengan yang biasa kukenakan di
rumah. Memang sudah berhari-hari ini aku tidak salin. Kuterjang embusan angin
dengan tatapan nanar. Aku akan mencari jembatan. Sembari jalan kutimbang-timbang
lebih tinggi mana antara jembatan di Balaikota dengan jembatan di Pasarbaru.
Mungkin aku jalan saja sampai tepi Sungai Cikapundung, lalu menerjunkan diri
ke dalam gejolak air yang sewarna susu Milo itu.
Tepian
jaket dan rok yang kukenakan berkibar-kibar didera angin. Gejolak air di bawah
sana tampak buas. Siap melahap sewaktu-waktu. Benarkah… Benarkah akan
kulakukan ini…? Lagipula sudah tidak guna diriku bagi dunia ini. Ada atau
tiada keberadaanku sama saja. Bagaimanapun ada segumpal kepercayaan yang tidak
bisa kuenyahkan tentang kehidupan setelah mati. Kamu pikir kehidupan di sana bakal lebih baik daripada kehidupan di
sini? Bagaimana kalau di sana lebih menyiksa?
Selagi
pikiran-pikiran itu berkecamuk kembali dalam kepala, kurasakan embusan panas
di sisi wajah. Lamat-lamat kusadari bukan sungai yang menerkamku sebagaimana
inginku semula, tapi manusia. Tubuhku dibawa oleng. Terhuyung-huyung.
Terempas. Samar-samar kucium aroma menusuk. Sesekali aku berusaha menahan
napas agar tidak menghirupnya lagi. Beberapa lama orang itu hanya meraba-raba,
mengecup-ngecup, mendengus-dengus, bahkan menjilat-jilat. Bagai kucing memainkan
tangkapannya. Selalu saja aku kalah cepat tiap kali berupaya mengelit
darinya. Kupejamkan mata erat-erat. Mau apa orang ini. Duh. Tuhan. Kurasakan
sesuatu yang menonjol pada bagian bawah tubuhnya mendesak-desak bagian
bawah tubuhku. Usapannya semakin jauh menyusup ke balik pakaianku. Dekapannya
begitu kokoh mengunci tubuhku.
Ah.
Sudah. Skenario yang bagus, Tuhan. Aku hanya ingin menenggelamkan diri di
sungai. Tapi Kau memberiku bonus. Setelah menodaiku, ia akan
memotong-motongku dulu baru melemparkanku ke sungai.
Kulitnya
bertemu kulitku. Hangat. Yang kurasakan selanjutnya terlalu janggal untuk
kujabarkan.
Apa ini
yang dinamakan orgasme…
Mataku
terbuka lebar setelah tertutup rapat-rapat tak tertahankan. Langit-langit
jembatan Pasopati menghalangi pandanganku ke arah cakrawala kelam yang lapang.
Selapang tubuhku. Seakan-akan apa yang selama ini membebaniku telah tercerabut.
Sesaat aku terbenam dalam sensasi tersebut. Baru kutengok orang yang terkulai
di sampingku. Ia telungkup. Tidak jelas terlihat wajahnya. Lagipula aku tidak
ingin. Cepat-cepat aku benahi pakaianku. Hasrat untuk mengakhiri hidup sirna
sudah entah bagaimana. Aku berjalan kembali ke rumah. Hanya makan waktu
sekitar tiga jam ternyata kepergianku itu. Tidak satupun penghuni rumah yang
menyadarinya. Aku segera mengucurkan air di kamar mandi. Aku bilas tubuhku
dari ubun-ubun sampai ujung kaki. Terutama daerah selangkanganku yang ternyata
berdarah-darah. Tidak banyak.
Keadaan
di rumah masih sama beberapa lama setelah itu. Aku masih mengurung diri di
kamar. Orangtuaku masih berupaya agar aku kembali meneruskan hidup. Padahal
hidup yang baru tengah tumbuh dalam perutku. Bukannya aku tidak menyadari.
Akhirnya aku memutuskan untuk meminta Mama menemaniku memeriksakan diri.
Setelah itu orangtuaku kaget luar biasa. Papa berteriak-teriak. Mama
menangis-nangis. Adik-adikku juga. Aku juga. Lalu aku bercerita kalau suatu
malam aku pergi dari rumah. Lalu seseorang mendekatiku. Lalu aku karang saja
dengan memposisikan diriku sebagai korban. Oh. Papa marah-marah. Mama
menangis-nangis. Tapi kurasakan simpati mereka padaku.
Sejujurnya
hidupku jadi terasa lebih berarti sejak itu. Sekarang ketika aku bergelung di
kamar sendirian, sebagaimana biasa, aku merasa agak senang karena menyadari
kalau aku tidak betul-betul sendirian. Dulu aku tidak bernafsu makan,
sebagaimana aku tidak bernafsu atas hidup itu sendiri. Aku biarkan bobotku
susut kilo demi kilo. Tapi sekarang aku tidak boleh begitu lagi, karena hidup
bukan lagi milikku sendiri. Sebelumnya aku jarang ke dapur. Tapi sekarang ada
yang menggerakkanku untuk ke warung, memilih sendiri mana yang baik untuk
kumakan dan mana yang tidak. Mana yang baik untuk janinku, bayiku, anakku,
hidupku. Sekarang aku punya alasan untuk hidup. Perlahan tapi pasti harapan
kembali menghangatkan jiwaku.
Buah
hatiku lahir dalam keadaan sehat. Tentu saja. Ternyata aku bukan manusia tanpa
daya sebagaimana kupikir dulu. Papa ingin menyerahkannya ke panti asuhan
karena ayahnya tidak jelas. Tapi aku menangis habis-habisan sambil memeluk
bayiku erat-erat. Papa pun luruh hati. Aku dibiarkan membesarkan bayiku.
Seringkali
saat menimangnya, kuamati wajahnya, kucari-cari kemiripannya denganku. Apa
yang tidak mirip, mungkin aku akan menemukannya pada wajah seseorang suatu
hari nanti.
.
Anak
Nama yang
tertera sebagai papaku di akte kelahiran tentu saja fiktif. Mama bahkan tidak
mengakuinya. Itu Kakek yang urus. Tiap kali aku menanyakan soal papaku,
jawaban Mama selalu mengecewakan. Kadang ia bilang papaku dedemit sungai.
Kadang ia bilang wajah papaku kelewat ganteng hingga sulit dideskripsikan.
Kadang ia bilang pertemuan mereka berlangsung di bawah naungan
bintang-bintang, di tepi sungai yang alirannya cemerlang, dihiasi benderang
cahaya kunang-kunang. Penjelasan dari kakek-nenekku lain lagi. Mereka bilang
papaku yang konon almarhum itu gugur saat sedang menjalankan tugas di
pedalaman Papua. Aku bisa mengarang skenario yang lebih baik dari itu. Sudah
kutuangkan dalam bentuk puisi, cerpen, novel, skrip, dan lagu, walau semua
masih draf. Aib ini malahan bikin aku kreatif.
Aku tahu
Mama berusaha mendidikku dengan sebaik mungkin. Dulunya ia siswa yang
berprestasi, tapi saking pintar ia lalu depresi. Katanya sih begitu. Memang
kadang pengetahuanku melebihi anak-anak sebayaku. Tapi karena cerita itu, aku
tidak ingin menjadi terlalu pintar. Lagipula aku tidak sama dengan anak-anak
itu, yang bisa pamer papa tiap pembagian rapor. Aku lebih suka bergaul dengan
mereka yang sama-sama “tidak utuh”. Entah kepintarannya. Entah orangtuanya.
Entah moralnya.
Itu cukup
menjelaskan kenapa aku berada di balik jeruji malam ini.
Ternyata
selain tidak punya papa, aku juga tidak punya kegesitan. Cuman aku dong yang
tertangkap. Mereka yang selama ini mengaku teman-temanku berhasil lari bersama
botol-botol miras (dan tentunya berbungkus-bungkus camilan) dari minimarket
yang kami bobol.
Aku
memilih untuk ditahan, ketimbang mereka, polisi-polisi ini, menelepon ke
rumah dini hari begini dan bikin gempar seantero penghuninya.
Pada
dinding sel aku bersandar seraya berjongkok. Seolah hanya aku tahanan malam
ini. Suasananya sunyi sekali. Kondusif untuk merenungkan hidup. Semuda ini
usiaku tapi yang bisa kuterawang hanya kesuraman.
“Berat ya
hidup?”
Aku
mendongak. Polisi yang tadi menginterogasiku. Sebelah tangannya menggenggam
jeruji.
Apa sih.
Mau sok simpatik nih.
Ia
berlalu. Lama kemudian ia kembali. Aku masih terjaga. Ia menawariku kopi.
Beberapa teguk cairan pekat itu menghangatkan tubuhku. Ia lalu menggeret
lantai dengan kursi plastik hingga dekat selku. Lalu basa-basi semacam itu.
Aku meladeni dengan enggan.
“Dulu
pernah ada kejadian. Di bawah jembatan Pasopati, tahu? Di pinggir Sungai
Cikapundung. Yah… Biasa anak muda. Stres kali dia. Keluyuran sambil
minum-minum. Mabuklah dia. Terus tumbang di sana. Sadar-sadar waktu pagi, dia
lagi dikelilingin warga. Ternyata dia tuh udah enggak pakai celana.”
Aku
terbahak. Kacau banget itu orang.
“Serius?”
“Iya..!
Bugil aja gitu dari pinggang sampai mata kaki.”
Aku
terkekeh. Polisi itu juga.
“Ya
untunglah. Habis kejadian itu dia kapok. Enggak mabok-mabok lagi deh. Ya
gitulah kalau mainannya sama miras.”
Hm.
Sepertinya ia mau menyinggung ulahku dengan teman-temanku
tadi. Sialan.
.
Polisi
Aku
bangkit seraya menarik kursi plastik kembali ke tempatnya. Betapa pemuda itu
mengingatkanku akan masa lalu. Sampai sekarang masih membayang dalam memoriku.
Awal masa dewasa yang terasa begitu berat. Sayup-sayup gumaman orang-orang di
atas kepalaku. Deburan air nan deras entah di mana. Permukaan kasar di bawah
kakiku yang telanjang. Sampai sekarang aku masih belum habis pikir kenapa
celanaku bisa sampai melorot begitu…[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar