Senin, 12 Agustus 2013

Hikmah

Ibu

Aku akan minggat dari rumah. Aku akan mengakhiri hidupku.

Dini hari itu seluruh penghuni rumah telah anteng di kasur masing-ma­sing. Aku mengendap dalam keremangan. Kututup pintu depan tan­pa kukunci lagi. Tidak kugubris teguran penjaga komplek. Pa­kai­an­ku sama dengan yang biasa kukenakan di rumah. Memang sudah ber­hari-hari ini aku tidak salin. Kuterjang embusan angin dengan ta­tap­an nanar. Aku akan mencari jembatan. Sembari jalan kutimbang-tim­bang lebih tinggi mana antara jembatan di Balaikota dengan jem­bat­an di Pasarbaru. Mungkin aku jalan saja sampai tepi Sungai Ci­ka­pun­dung, lalu menerjunkan diri ke dalam gejolak air yang sewarna su­su Milo itu.

Tepian jaket dan rok yang kukenakan berkibar-kibar didera angin. Ge­jolak air di bawah sana tampak buas. Siap melahap sewaktu-wak­tu. Benarkah… Benarkah akan kulakukan ini…? Lagipula sudah tidak gu­na diriku bagi dunia ini. Ada atau tiada keberadaanku sama saja. Ba­gaimanapun ada segumpal kepercayaan yang tidak bisa ku­e­nyah­kan tentang kehidupan setelah mati. Kamu pikir kehidupan di sana ba­kal lebih baik daripada kehidupan di sini? Bagaimana kalau di sa­na lebih me­nyiksa?

Selagi pikiran-pikiran itu berkecamuk kembali dalam kepala, ku­ra­sa­kan embusan panas di sisi wajah. Lamat-lamat kusadari bukan su­ngai yang menerkamku sebagaimana inginku semula, tapi manusia. Tu­buhku dibawa oleng. Terhuyung-huyung. Terempas. Samar-samar ku­cium aroma menusuk. Sesekali aku berusaha menahan napas agar ti­dak menghirupnya lagi. Beberapa lama orang itu hanya meraba-ra­ba, mengecup-ngecup, mendengus-dengus, bahkan menjilat-jilat. Ba­gai kucing me­ma­in­kan tangkapannya. Selalu saja aku kalah cepat ti­ap kali berupaya meng­elit darinya. Kupejamkan mata erat-erat. Mau apa orang ini. Duh. Tu­han. Kurasakan sesuatu yang menonjol pa­da bagian bawah tu­­buh­nya mendesak-desak bagian bawah tu­buh­ku. Usapannya se­ma­kin ja­uh menyusup ke balik pakaianku. De­kap­an­nya begitu kokoh me­ngunci tubuhku.

Ah. Sudah. Skenario yang bagus, Tuhan. Aku hanya ingin me­neng­ge­lam­kan diri di sungai. Tapi Kau memberiku bonus. Setelah me­no­dai­ku, ia akan memotong-motongku dulu baru melemparkanku ke su­ngai.

Kulitnya bertemu kulitku. Hangat. Yang kurasakan selanjutnya ter­la­lu janggal untuk kujabarkan.

Apa ini yang dinamakan orgasme…

Mataku terbuka lebar setelah tertutup rapat-rapat tak tertahankan. La­ngit-langit jembatan Pasopati menghalangi pandanganku ke arah ca­krawala kelam yang lapang. Selapang tubuhku. Seakan-akan apa yang selama ini membebaniku telah tercerabut. Sesaat aku ter­be­nam dalam sensasi tersebut. Baru kutengok orang yang terkulai di sam­pingku. Ia telungkup. Tidak jelas terlihat wajahnya. Lagipula aku ti­dak ingin. Cepat-cepat aku benahi pakaianku. Hasrat untuk meng­ak­hiri hidup sirna sudah entah bagaimana. Aku berjalan kembali ke ru­mah. Hanya makan waktu sekitar tiga jam ternyata kepergianku itu. Tidak satupun penghuni rumah yang menyadarinya. Aku segera me­ngucurkan air di kamar mandi. Aku bilas tubuhku dari ubun-ubun sam­pai ujung kaki. Terutama daerah selangkanganku yang ternyata ber­darah-darah. Tidak banyak.

Keadaan di rumah masih sama beberapa lama setelah itu. Aku masih me­ngurung diri di kamar. Orangtuaku masih berupaya agar aku kem­bali meneruskan hidup. Padahal hidup yang baru tengah tum­buh dalam perutku. Bukannya aku tidak menyadari. Akhirnya aku me­mutuskan untuk meminta Mama menemaniku memeriksakan di­ri. Setelah itu orangtuaku kaget luar biasa. Papa berteriak-teriak. Ma­ma menangis-nangis. Adik-adikku juga. Aku juga. Lalu aku ber­ce­ri­ta kalau suatu malam aku pergi dari rumah. Lalu seseorang men­de­kat­iku. Lalu aku karang saja dengan memposisikan diriku sebagai kor­ban. Oh. Papa marah-marah. Mama menangis-nangis. Tapi ku­ra­sa­kan simpati mereka padaku.

Sejujurnya hidupku jadi terasa lebih berarti sejak itu. Sekarang ke­ti­ka aku bergelung di kamar sendirian, sebagaimana biasa, aku me­ra­sa agak senang karena menyadari kalau aku tidak betul-betul sen­di­ri­an. Dulu aku tidak bernafsu makan, sebagaimana aku tidak ber­naf­su atas hidup itu sendiri. Aku biarkan bobotku susut kilo demi kilo. Ta­pi sekarang aku tidak boleh begitu lagi, karena hidup bukan lagi mi­likku sendiri. Sebelumnya aku jarang ke dapur. Tapi sekarang ada yang menggerakkanku untuk ke warung, memilih sendiri mana yang ba­ik untuk kumakan dan mana yang tidak. Mana yang baik untuk ja­nin­ku, bayiku, anakku, hidupku. Sekarang aku punya alasan untuk hi­dup. Perlahan tapi pasti harapan kembali menghangatkan jiwaku.

Buah hatiku lahir dalam keadaan sehat. Tentu saja. Ternyata aku bu­kan manusia tanpa daya sebagaimana kupikir dulu. Papa ingin me­nye­rahkannya ke panti asuhan karena ayahnya tidak jelas. Tapi aku me­nangis habis-habisan sambil memeluk bayiku erat-erat. Papa pun lu­ruh hati. Aku dibiarkan membesarkan bayiku.

Seringkali saat menimangnya, kuamati wajahnya, kucari-ca­ri ke­mi­rip­annya denganku. Apa yang tidak mirip, mungkin aku akan me­ne­mu­kannya pada wajah seseorang suatu hari nanti.

.

Anak

Nama yang tertera sebagai papaku di akte kelahiran tentu saja fiktif. Ma­ma bahkan tidak mengakuinya. Itu Kakek yang urus. Tiap kali aku me­nanyakan soal papaku, jawaban Mama selalu mengecewakan. Ka­dang ia bilang papaku dedemit sungai. Kadang ia bilang wajah pa­pa­ku kelewat ganteng hingga sulit dideskripsikan. Kadang ia bilang per­temuan mereka berlangsung di bawah naungan bintang-bintang, di tepi sungai yang alirannya cemerlang, dihiasi benderang cahaya ku­nang-kunang. Penjelasan dari ka­kek-nenekku lain lagi. Mereka bi­lang pa­paku yang konon almarhum itu gugur saat sedang men­ja­lan­kan tu­gas di pedalaman Papua. Aku bisa me­ngarang skenario yang le­bih baik dari itu. Sudah kutuangkan da­lam bentuk puisi, cerpen, no­vel, skrip, dan lagu, walau semua masih draf. Aib ini malahan bikin aku kreatif.

Aku tahu Mama berusaha mendidikku dengan sebaik mungkin. Du­lu­nya ia siswa yang berprestasi, tapi saking pintar ia lalu depresi. Ka­ta­nya sih begitu. Memang kadang pengetahuanku melebihi anak-anak sebayaku. Tapi karena cerita itu, aku tidak ingin menjadi ter­lalu pin­tar. Lagipula aku tidak sama dengan anak-anak itu, yang bi­sa pa­mer papa tiap pembagian rapor. Aku lebih suka bergaul de­ngan me­re­ka yang sama-sama “tidak utuh”. Entah kepintarannya. En­tah orang­tuanya. Entah moralnya.

Itu cukup menjelaskan kenapa aku berada di balik jeruji malam ini.

Ternyata selain tidak punya papa, aku juga tidak punya kegesitan. Cu­man aku dong yang tertangkap. Mereka yang selama ini mengaku te­man-temanku berhasil lari bersama botol-botol miras (dan ten­tu­nya berbungkus-bungkus camilan) dari minimarket yang kami bobol.

Aku memilih untuk ditahan, ketimbang mereka, polisi-polisi ini, me­ne­lepon ke rumah di­ni hari begini dan bikin gempar seantero peng­hu­ninya.

Pada dinding sel aku bersandar seraya berjongkok. Seolah hanya aku ta­hanan malam ini. Suasananya sunyi sekali. Kondusif untuk me­re­nung­kan hidup. Semuda ini usiaku tapi yang bisa kuterawang hanya ke­suraman.

“Berat ya hidup?”

Aku mendongak. Polisi yang tadi menginterogasiku. Sebelah ta­ngan­nya menggenggam jeruji.

Apa sih. Mau sok simpatik nih.

Ia berlalu. Lama kemudian ia kembali. Aku masih terjaga. Ia me­na­war­iku kopi. Beberapa teguk cairan pekat itu menghangatkan tu­buh­ku. Ia lalu menggeret lantai dengan kursi plastik hingga dekat selku. La­lu basa-basi semacam itu. Aku meladeni dengan enggan.

“Dulu pernah ada kejadian. Di bawah jembatan Pasopati, tahu? Di ping­gir Sungai Cikapundung. Yah… Biasa anak muda. Stres kali dia. Ke­luyuran sambil minum-minum. Mabuklah dia. Terus tumbang di sa­na. Sadar-sadar waktu pagi, dia lagi dikelilingin warga. Ternyata dia tuh udah enggak pakai celana.”

Aku terbahak. Kacau banget itu orang.

“Serius?”

“Iya..! Bugil aja gitu dari pinggang sampai mata kaki.”

Aku terkekeh. Polisi itu juga.

“Ya untunglah. Habis kejadian itu dia kapok. Enggak mabok-mabok la­gi deh. Ya gitulah kalau mainannya sama miras.”

Hm. Sepertinya ia mau menyinggung ulahku dengan teman-temanku ta­di. Sialan.

.

Polisi

Aku bangkit seraya menarik kursi plastik kembali ke tempatnya. Be­ta­pa pemuda itu mengingatkanku akan masa lalu. Sampai sekarang ma­sih membayang dalam memoriku. Awal masa dewasa yang terasa be­gitu berat. Sayup-sayup gumaman orang-orang di atas kepalaku. De­bur­an air nan deras entah di mana. Permukaan kasar di bawah ka­ki­ku yang te­lanjang. Sampai sekarang aku masih belum habis pikir ke­na­pa ce­la­naku bisa sampai melorot begitu…[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain