Sabtu, 17 Agustus 2013

Kemalangan Individu, Kemalangan Negara

Tetapi dirimu itu payah!
Memang, jawabnya memelas, tapi hanya itulah yang kumiliki.
—hal. 187

…Tak punya cewek itu buruk. Tetapi, mati itu sepuluh kali lebih buruk daripada tidak punya cewek.
—hal. 206
  
Rasa takut membunuh pikiran.
—diulang dua kali di halaman-halaman yang tidak aku catat

Bandung Book Center seberang Palasari obral sampai penghujung Juli kemarin. Satu dari buku-buku yang kuborong berjudul The Brief Wondrous Life of Oscar Wao, karangan Junot Díaz[1]. Lihatlah, sampulnya yang memikat. (Apalagi harganya yang barangkali hanya sepertiga harga asli). Seorang bocah gemuk membuka bagian atas bajunya lebar-lebar, memperlihatkan lapisan lain yang melekat baliknya. Dengan latar biru, dan embem serupa celana dalam menempel di dada dengan inisial ala Superman. Tunggu dulu. Ia pasti Oscar Wao yang hendak diceritakan dalam novel ini. Bukan huruf "S" yang tertera di sana, melainkan "OW". Bagaimana dengan sinopsisnya… "...SEORANG KUTU BUKU... KELEBIHAN BERAT BADAN... BERMIMPI MENJADI THE NEXT J. R. R. TOLKIEN... TERUS MENERUS MENDAMBAKAN CINTA (DAN TERUS-MENERUS DITOLAK)... BLA BLA BLA BLA..." Cocok.

source
Rada segan ketika hendak memulai pembacaan novel yang tampak menarik ini. Karena ada "Kata Pengantar Editor Edisi Bahasa Indonesia" segala, yang menceritakan kesukaran penerjamah dalam menghadapi novel ini. Novel ini dijejali dengan banyak istilah berbahasa Spanyol dan semacamnya, juga yang berkenaan dengan dunia fiksi ilmiah. Catatan kaki di mana-mana, membentuk cerita baru, bahkan ada yang panjangnya mencapai hampir satu halaman. Tidak ada tanda kutip yang membedakan dialog dengan narasi. Bahkan para pembaca Oscar Wao sampai membuat situs khusus yang menyediakan penjelasan dalam memahami novel ini, yaitu www.annotated-oscar-wao.com. Memang, pembuka novel ini saja sudah bikin aku puyeng dengan kata-kata yang dimiringkan, dibesarkan, maupun catatan kaki sepanjang lebih dari setengah halaman. Maka aku letakkan novel ini dan membaca setumpuk buku lain. Selama itu novel ini mengiang-ngiang dalam kepala. Hingga aku memutuskan untuk menaruhnya lagi di meja di hadapanku, dengan niat akan membacanya sambil duduk tegak. (Yah sesekali tiduran boleh kan.)

Rupanya novel ini tidak sekadar menceritakan tentang Oscar de León, pemuda kutubuku penggila fiksi ilmiah nan obesitas dan tunacinta, yang ketika bertemu dengan perempuan yang menumbuhkan kembali harapannya, (akhirnya), rela berjuang sampai titik darah penghabisan, maksudnya, benar-benar habis, Oscar meninggal di penghujung novel oleh antek-antek kekasihnya itu (sorry, spoiler). Di lapisan berikutnya, kemalangan Oscar tidak hanya menimpa dirinya, tapi juga kakaknya, ibunya, hingga kakeknya. Seolah menyingkap akar dari kemalangan itu, sekaligus sejarah kelam Republik Dominika.

Kisah sesungguhnya bermula dari kakek Oscar, Abelard Luis Cabral, yang menolak mempertemukan putrinya dengan penguasa Dominika pada masa itu, Rafael Leónidas Trujillo Molina. Trujillo, yang punya julukan Maling Ternak yang Gagal, punya kegemaran berburu gadis-gadis tercantik Dominika untuk digagahinya. Ia juga diktator yang akan menumpas orang-orang yang melawannya dengan keji. Upaya Abelard untuk menjaga kehormatan putrinya pun dibalas tanpa ampun. Kemapanan Abelard berbalik jadi kehancuran. Ia dipenjara selama empat belas tahun. Istrinya menabrakkan diri ke truk yang tengah melaju. Ketiga putrinya kemudian hidup terpencar. Yang sulung bunuh diri. Yang tengah tewas misterius. Yang terakhir menjadi ibu yang otoriter bagi Oscar dan kakaknya.

Trujillo itu nyata, silahkan cek di Wikipedia. Dan kakek Oscar hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang menjadi korban rezim Trujillo, yang imbasnya sampai ke anak-cucu. Kenestapaan beruntun ini menimbulkan anggapan bahwa keluarga Oscar dijangkiti fukú. Fukú adalah kepercayaan rakyat Dominika dan sekitarnya yang berarti Kutukan. Antara Trujillo dengan fukú terdapat kaitan yang erat. Siapapun yang melawan Trujillo akan terkena fukú.

Fiksi ilmiah, sejarah, dan budaya lokal. Bayangkan unsur-unsur tersebut menyusun narasi setebal tiga ratusan halaman: novel ini.

Bagaimana kehidupan Oscar dikaitkan dengan sejarah Dominika, mengingatkanku akan karya-karya sastra Indonesia yang mengangkat isu semisal 1965 atau Orba. Barangkali Oscar Wao adalah karya setipe. Tapi Oscar Wao dibawakan dengan gaya yang ringan, bahkan ngepop, mungkin. Tentu saja karena referensi mengenai budaya pop yang bertaburan di mana-mana, yang agaknya membuat novel ini terkesan tidak begitu serius, kendati isu yang diusung menunjukkan sebaliknya. Juga coba simak gambaran mengenai Rafael Leónidas Trujillo Martínez alias Ramfis, putra Trujillo, dalam catatan kaki di halaman 112 ini.

...(Dalam sebuah laporan rahasia yang diserahkan oleh seorang konsul Amerika Serikat—dewasa ini dapat ditemukan di Perpustakaan Kepresidenan JFK—Ramfis digambarkan sebagai pribadi yang terganggu otaknya; seorang anak muda yang semasa kanak-kanak menghibur diri dengan meledakkan kepala ayam dengan revolver kaliber .44.) Ramfis melarikan diri dari negerinya setelah tewasnya Trujillo, hidup mewah dari hasil korupsi ayahnya. Hidupnya berakhir dalam sebuah kecelakaan mobil pada 1969; penumpang yang ditabrak mobilnya adalah Duchess of Albuquerque, Teresa Beltrán de Lis, yang tewas seketika; si Kecil Buruk Rupa terus saja membunuh hingga akhir hayatnya.

Gaya yang satir serta gambaran mengenai negara Dunia Ketiga dalam Oscar Wao mengingatkanku akan hal serupa yang kutemukan dalam The White Tiger. Oscar Wao mengangkat Dominika, sedang The White Tiger mewakili India. Mungkin karena Oscar Wao lebih tebal, aku merasa kalimat-kalimat lucu (menyentil) di dalamnya tidak sebanyak di The White Tiger. Kesamaan lainnya adalah cerita dibawa ke klimaks dengan adegan kekerasan yang menyebabkan pembunuhan. Kalau boleh dibandingkan lebih lanjut, menurutku The White Tiger lebih mencerahkan dan secara moral mendingan. Seksualitas menjadi motivasi Oscar, ia tidak ingin mati perjaka. Sedang dalam The White Tiger kukira seksualitas bukan isu penting bagi si tokoh. Pada akhirnya kedua tokoh mencapai apa yang mereka dambakan, tapi dalam kondisi berbeda.

Dengan tidak terlalu menganggap berbagai istilah asing yang sedikit-sedikit muncul, novel ini ternyata tidak sukar dibaca. Setidaknya menurutku. Malah saat pembacaan novel ini, aku sampai pada kesadaran untuk melihat diri sebagai bagian dari sesuatu yang besar. Seperti Oscar, yang ternyata bukan sekadar kutubuku-penggila-fiksi-ilmiah-obesitas-tunacinta yang hidup di penghujung abad 20. Kehidupannya bukan sekadar mengenai budaya pop, dan mengemis-ngemis asmara. Ia bagian dari Dominika walau lahir dan besar di Amerika Serikat. Nasib dirinya terhubung dengan (kalau bukan "ditentukan", secara tidak langsung oleh) pemimpin terbrutal yang pernah hidup di benua Amerika. Beginilah cara memulai penyusunan novel yang dapat memenangkan Pulitzer!, kukira. Barangkali aku bisa mulai dengan memikirkan, bagaimana kaitan antara keadaanku kini dengan suatu peristiwa yang terjadi 68 tahun lalu, yang menyebabkan hari ini bertanggal merah. Hm…[]



[1] Terjemah oleh A. Rahartati Bambang Haryo, diterbitkan Penerbit Qanita, Bandung, 2011, cetakan pertama. 
NB. Sedikit ulasan yang bisa ditemukan melalui Google mengenai novel ini dalam bahasa Indonesia:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain