Tetapi
dirimu itu payah!
Memang, jawabnya memelas, tapi hanya itulah yang kumiliki.
—hal. 187
…Tak
punya cewek itu buruk. Tetapi, mati itu sepuluh kali lebih buruk daripada tidak
punya cewek.
—hal. 206
Rasa takut
membunuh pikiran.
—diulang
dua kali di halaman-halaman yang tidak aku catat
Bandung Book Center seberang
Palasari obral sampai penghujung Juli kemarin. Satu dari buku-buku yang
kuborong berjudul The Brief Wondrous Life
of Oscar Wao, karangan Junot Díaz[1]. Lihatlah, sampulnya
yang memikat. (Apalagi harganya yang barangkali hanya sepertiga harga asli).
Seorang bocah gemuk membuka bagian atas bajunya lebar-lebar, memperlihatkan
lapisan lain yang melekat baliknya. Dengan latar biru, dan embem serupa celana
dalam menempel di dada dengan inisial ala Superman. Tunggu dulu. Ia pasti Oscar
Wao yang hendak diceritakan dalam novel ini. Bukan huruf "S" yang
tertera di sana, melainkan "OW". Bagaimana dengan sinopsisnya…
"...SEORANG KUTU BUKU... KELEBIHAN BERAT BADAN...
BERMIMPI MENJADI THE NEXT J. R. R. TOLKIEN... TERUS MENERUS MENDAMBAKAN CINTA
(DAN TERUS-MENERUS DITOLAK)... BLA BLA BLA BLA..." Cocok.
source |
Rada segan ketika hendak memulai
pembacaan novel yang tampak menarik ini. Karena ada "Kata Pengantar Editor
Edisi Bahasa Indonesia" segala, yang menceritakan kesukaran penerjamah dalam menghadapi novel ini. Novel ini dijejali dengan banyak istilah berbahasa Spanyol dan semacamnya, juga yang berkenaan
dengan dunia fiksi ilmiah. Catatan kaki di mana-mana, membentuk cerita baru,
bahkan ada yang panjangnya mencapai hampir satu halaman. Tidak ada tanda kutip
yang membedakan dialog dengan narasi. Bahkan para pembaca Oscar Wao sampai
membuat situs khusus yang menyediakan penjelasan
dalam memahami novel ini, yaitu www.annotated-oscar-wao.com. Memang, pembuka
novel ini saja sudah bikin aku puyeng dengan kata-kata yang dimiringkan, dibesarkan, maupun catatan kaki sepanjang lebih dari setengah halaman.
Maka aku letakkan novel ini dan membaca setumpuk buku lain. Selama itu novel
ini mengiang-ngiang dalam kepala. Hingga aku memutuskan untuk menaruhnya lagi
di meja di hadapanku, dengan niat akan membacanya sambil duduk tegak. (Yah
sesekali tiduran boleh kan.)
Rupanya novel ini tidak sekadar
menceritakan tentang Oscar de León, pemuda kutubuku penggila fiksi ilmiah nan
obesitas dan tunacinta, yang ketika bertemu dengan perempuan yang menumbuhkan kembali harapannya, (akhirnya), rela berjuang
sampai titik darah penghabisan, maksudnya, benar-benar habis, Oscar meninggal
di penghujung novel oleh antek-antek kekasihnya itu (sorry, spoiler). Di lapisan berikutnya, kemalangan Oscar tidak hanya menimpa dirinya, tapi juga kakaknya,
ibunya, hingga kakeknya. Seolah menyingkap akar dari kemalangan itu, sekaligus
sejarah kelam Republik Dominika.
Kisah sesungguhnya bermula dari
kakek Oscar, Abelard Luis Cabral, yang menolak mempertemukan putrinya dengan
penguasa Dominika pada masa itu, Rafael Leónidas Trujillo Molina. Trujillo,
yang punya julukan Maling Ternak yang Gagal, punya kegemaran berburu gadis-gadis
tercantik Dominika untuk digagahinya. Ia juga diktator yang akan menumpas
orang-orang yang melawannya dengan keji. Upaya Abelard untuk menjaga kehormatan
putrinya pun dibalas tanpa ampun. Kemapanan Abelard
berbalik jadi kehancuran. Ia dipenjara selama empat belas tahun. Istrinya
menabrakkan diri ke truk yang tengah melaju. Ketiga putrinya kemudian hidup
terpencar. Yang sulung bunuh diri. Yang tengah tewas misterius. Yang terakhir menjadi ibu yang otoriter bagi Oscar dan kakaknya.
Trujillo itu nyata, silahkan cek
di Wikipedia. Dan kakek Oscar hanyalah satu dari puluhan ribu orang yang
menjadi korban rezim Trujillo, yang imbasnya sampai ke anak-cucu. Kenestapaan
beruntun ini menimbulkan anggapan bahwa keluarga Oscar dijangkiti fukú. Fukú
adalah kepercayaan rakyat Dominika dan sekitarnya yang berarti Kutukan. Antara Trujillo
dengan fukú terdapat kaitan yang erat. Siapapun yang melawan Trujillo akan
terkena fukú.
Fiksi ilmiah, sejarah, dan
budaya lokal. Bayangkan unsur-unsur tersebut menyusun narasi setebal tiga
ratusan halaman: novel ini.
Bagaimana kehidupan Oscar dikaitkan
dengan sejarah Dominika, mengingatkanku akan karya-karya sastra Indonesia yang mengangkat
isu semisal 1965 atau Orba. Barangkali Oscar
Wao adalah karya setipe. Tapi Oscar
Wao dibawakan dengan gaya yang ringan, bahkan ngepop, mungkin. Tentu saja
karena referensi mengenai budaya pop yang bertaburan di mana-mana, yang agaknya
membuat novel ini terkesan tidak begitu serius, kendati isu yang diusung
menunjukkan sebaliknya. Juga coba simak gambaran mengenai Rafael Leónidas
Trujillo Martínez alias Ramfis, putra Trujillo, dalam catatan kaki di halaman
112 ini.
...(Dalam
sebuah laporan rahasia yang diserahkan oleh seorang konsul Amerika Serikat—dewasa
ini dapat ditemukan di Perpustakaan Kepresidenan JFK—Ramfis digambarkan sebagai
pribadi yang terganggu otaknya; seorang anak muda yang semasa kanak-kanak
menghibur diri dengan meledakkan kepala ayam dengan revolver kaliber .44.)
Ramfis melarikan diri dari negerinya setelah tewasnya Trujillo, hidup mewah
dari hasil korupsi ayahnya. Hidupnya berakhir dalam sebuah kecelakaan mobil pada
1969; penumpang yang ditabrak mobilnya adalah Duchess of Albuquerque, Teresa
Beltrán de Lis, yang tewas seketika; si Kecil Buruk Rupa terus saja membunuh
hingga akhir hayatnya.
Gaya yang satir serta gambaran
mengenai negara Dunia Ketiga dalam Oscar
Wao mengingatkanku akan hal serupa yang kutemukan dalam The White Tiger. Oscar Wao mengangkat Dominika, sedang The White Tiger mewakili India. Mungkin karena Oscar Wao lebih tebal, aku merasa kalimat-kalimat lucu (menyentil)
di dalamnya tidak sebanyak di The White
Tiger. Kesamaan lainnya adalah cerita dibawa ke klimaks dengan adegan
kekerasan yang menyebabkan pembunuhan. Kalau boleh dibandingkan lebih lanjut,
menurutku The White Tiger lebih
mencerahkan dan secara moral mendingan. Seksualitas menjadi motivasi Oscar, ia
tidak ingin mati perjaka. Sedang dalam The
White Tiger kukira seksualitas bukan isu penting
bagi si tokoh. Pada akhirnya kedua tokoh mencapai apa yang mereka dambakan,
tapi dalam kondisi berbeda.
Dengan tidak terlalu menganggap
berbagai istilah asing yang sedikit-sedikit muncul, novel ini ternyata tidak
sukar dibaca. Setidaknya menurutku. Malah saat pembacaan novel ini, aku sampai
pada kesadaran untuk melihat diri sebagai bagian dari sesuatu yang besar.
Seperti Oscar, yang ternyata bukan sekadar kutubuku-penggila-fiksi-ilmiah-obesitas-tunacinta
yang hidup di penghujung abad 20. Kehidupannya bukan sekadar mengenai budaya
pop, dan mengemis-ngemis asmara. Ia bagian dari Dominika walau lahir dan besar di Amerika Serikat. Nasib dirinya terhubung
dengan (kalau bukan "ditentukan", secara tidak langsung oleh) pemimpin
terbrutal yang pernah hidup di benua Amerika. Beginilah cara memulai penyusunan novel
yang dapat memenangkan Pulitzer!, kukira. Barangkali aku bisa mulai dengan memikirkan,
bagaimana kaitan antara keadaanku kini dengan suatu peristiwa yang terjadi 68
tahun lalu, yang menyebabkan hari ini bertanggal merah. Hm…[]
[1] Terjemah oleh A. Rahartati Bambang Haryo, diterbitkan Penerbit Qanita, Bandung, 2011, cetakan pertama.
NB. Sedikit ulasan yang bisa ditemukan melalui Google mengenai novel ini dalam bahasa Indonesia:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar