Senin, 15 April 2013

Kejujuran dan Keutamaan Kerja dalam Cerpen "Robohnya Surau Kami" (AA Navis) dan "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" (Kuntowijoyo) – Interpretasi Bebas

Kejujuran adalah salah satu kriteria dalam menilai suatu fiksi (Pu­ji­harto, 2010), di samping inovasi/kebaruan, orisinalitas/keaslian, koherensi/kepaduan, kompleksitas/kerumitan, in­te­lek­tu­ali­tas/­ke­ma­tangan, serta eksploratif/kedalaman (sumber lain yang aku lu­pa ca­tat).

“Sebuah karya fiksi dikatakan jujur apabila peristiwa-peristiwa yang tampak mengkontradiksi prinsip-prinsip utamanya diizinkan masuk ke dalamnya, dikatakan koheren apabila peristiwa-pe­ris­ti­wa yang mengkontradiksi tersebut mampu berekonsiliasi dengan prinsip-prinsip utamanya tersebut. …. Sejauh mana pergerakan da­ri pe­ris­ti­wa-peristiwa yang mengkontradiksi prinsip-prinsip utama ke yang merekonsiliasi dan sebaliknya menunjukkan tingkat kom­pleksi­­tas­nya. Semakin kompleksi relasi bolak-balik keduanya itu di­hadirkan, akan semakin cendekia pula karya fiksi itu. Meskipun de­mikian, kompleksitas tersebut tentulah harus tetap memberi du­kungan pa­da keseluruhan cerita.” (hal. 80)

Robohnya Surau Kami (AA Navis) dan Dilarang Mencintai Bunga-bu­nga (Kuntowijoyo) merupakan dua cerpen dalam buku Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi (Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Bu­daya UGM dengan Penerbit Elmatera, Yogyakarta, 2010), yang ku­kira me­rupakan contoh bagaimana kejujuran ditampilkan dalam suatu karya fiksi. Di samping itu aku menemukan ke­sa­maan lain dalam dua cerpen tersebut. Sebelumnya mari kita si­mak ringkasan ma­sing-masing cerpen.


Ringkasan Robohnya Surau Kami (AA Navis)

Cerpen ini mengisahkan seorang kakek penjaga surau (selanjutnya kusebut Kakek) yang dibikin murung oleh Ajo Sidi. Ajo Sidi bercerita pada Kakek soal Haji Saleh yang tidak diterima masuk surga oleh Tu­han. Padahal Haji Saleh adalah orang yang sangat rajin ber­i­ba­dah—menyembah-Nya, berdoa pada-Nya, membaca kitab-Nya, tak se­ka­li­pun berbuat jahat. Sebab Haji Saleh masuk neraka dijelaskan oleh malaikat sebagai berikut.

“…Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat ber­sem­bahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, me­lupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu ku­car-ka­cir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Pa­dahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” (hal. 91)

Tidak lama setelah Kakek diceritakan Ajo Sidi tersebut, Kakek di­te­mukan mati dalam keadaan mengenaskan. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur.

Aku kira tidak ada yang tidak kenal dengan cerpen ini. Kritiknya be­gi­tu tajam terhadap umat yang beriman: segiat-giatnya kau ber­i­ba­dah, kalau hanya demi dirimu saja, kau akan tetap masuk ne­ra­ka.


Ringkasan Dilarang Mencintai Bunga-bunga (Kuntowijoyo)

Cerpen ini mengisahkan seorang anak laki-laki (selanjutnya ku­se­but si Anak) yang pindah ke suatu lingkungan baru bersama kedua orangtuanya. Ayahnya sangat maskulin, keras dan kasar, senang kerja, tapi kurang suka bersosialisasi. Sebaliknya, Ibu lembut dan senang bersosialisasi.

Si Anak penasaran dengan tetangga sebelah rumahnya, yang ko­non seorang kakek yang hidup sendiri dan jarang keluar rumah. Be­be­ra­pa kali ia coba mengintip pagar rapat yang menutupi rumah itu, tampak halaman yang penuh bunga.

Akhirnya si Anak dapat bersahabat dengan si Kakek. Layang-layang yang si Anak mainkan putus, kakek tersebut muncul dan meng­hi­bur­nya. Si Kakek suka memberi bunga, dan petuah mengenai ke­te­nang­an jiwa. Namun ayah si Anak tidak suka anaknya lelaki me­nyimpan bunga. Si Anak diperingatkan berkali-kali, tapi tetap main ke rumah si Kakek jua. Anak tersebut mulai terpengaruh pemikiran si Kakek, yang memengaruhi sikapnya kepada kedua orangtuanya. Ba­gi si Kakek hidup adalah permainan sedang bagi si Ayah hidup ada­lah kerja. Si Ayah pun membuat bengkel di rumah, supaya anaknya bisa lang­sung belajar kerja.

Yang menakjubkan adalah sikap si Anak terhadap pertentangan ni­lai-nilai yang ditunjukkan oleh ujaran dan sikap si Ayah, si Ibu, dan si Kakek. Satu sama lain bertentangan, namun aku menyimpulkan bah­wa semua adalah bagian dari kehidupan yang mesti kita te­ri­ma dan seimbangkan. Antara ketenangan yang dielu-elukan si Ka­kek, se­ma­ngat kerja yang ditunjukkan si Ayah, dan kelembutan yang diberikan si Ibu.

Begini akhir cerita ditutup.

“Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun, bunga, ayah kerja-bengkel, ibu me­ngaji-mesjid. Terasa aku harus memutuskan sesuatu. Sampai jauh malam aku baru tertidur. 
Bagaimana pun, aku adalah anak ayah dan ibuku.” (hal. 116)


Kontradiksi Karakter

Melalui kedua cerpen tersebut (selanjutnya masing-masing ku­se­but RSK dan DMB) aku coba memahami kejujuran dalam karya fik­si. Ber­dasarkan pengertian yang telah aku cantumkan di atas, aku meng­ar­tikan kejujuran sebagai kontradiksi. Dalam RSK dan DMB kita me­li­hat adanya kontradiksi antara karakter lelaki tua yang mencari ke­te­nangan jiwa baik lewat ibadah (RSK) maupun bunga (DMB), dengan karakter lelaki yang lebih muda yang sibuk dengan pekerjaannya ya­i­tu Ajo Sidi di RSK dan si Ayah di DMB. Ajo Sidi se­nang membual se­dang si Ayah tidak sempat bersosialisasi. Pada karakter Ajo Sidi pun kutemukan kontradiksi, karena sebagai pem­bual omongannya ma­lah begitu dipercaya oleh si Kakek.


Keutamaan Kerja

Selain kontradiksi karakter, kemiripan yang aku dapatkan dari ke­dua cerpen adalah pesan bahwa kita sebaiknya tidak khusyuk de­ngan diri sendiri saja melainkan melakukan sesuatu untuk ke­pen­tingan banyak orang, itulah yang dimaksudkan dengan “kerja”.

Walaupun si Ayah dalam DMB tidak suka bersosialisasi, tapi ia be­kerja untuk kemaslahatan banyak orang.

“Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk me­lu­nakkan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dam di­ba­ngun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus di­su­bur­kan…” (hal. 115)

Menurutku si Kakek dan halaman berbunganya bak menyimbolkan ketenangan jiwa yang terisolir, yang mana secara halus hendak di­tolak oleh pengarang antara lain melalui judul dari cerpen itu sen­diri: Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Akhir cerpen pun me­nge­san­kan bahwa si Anak lebih memihak kedua orangtuanya yang seolah menyimbolkan keseimbangan antara semangat kerja (Ayah) de­ngan spiritualitas (Ibu) melalui asosiasi si Anak terhadap mereka di paragraf sebelum kalimat terakhir. Si Kakek dan bunga-bu­nga­nya memang sempat memengaruhi si Anak, sehingga si Anak se­o­lah-olah berpihak kepada si Kakek. Tapi kukira pada akhirnya kon­tradiksi yang dimunculkan si Kakek lah yang membuat si Anak da­pat memahami nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orang­tu­a­nya.

Lalu kita bisa tengok kembali di ringkasan RSK, apa yang dikatakan Malaikat kepada Haji Saleh dan orang-orang “saleh” lainnya yang dimasukkan ke dalam neraka.

Sebetulnya kukira si Kakek bukan tidak bermanfaat sama sekali ba­gi orang lain, toh ia mau mengasahkan benda-benda tajam serta merawat surau. Tapi pandangan lain, bisa jadi pengarang mengan­jurkan agar kita menjadi orang yang lebih aktif dalam me­me­cah­kan masalah alih-alih menunggu saja permintaan orang lain untuk menolong mereka.

Keutamaan tersebut ditegaskan oleh pengarang RSK di akhir cer­pen.

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar se­gala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun ber­tanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”  
“Kerja.” 
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. 
“Ya, dia pergi kerja.” (hal. 92)

Ajo Sidi mungkin pembual, tapi ia memegang bualan yang ia ce­ri­takan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...