Senin, 08 April 2013

Menemani Orang Jogja Jalan-jalan di Bandung

Wilujeng sumping di Bandung,” kusalami Ncan. Dia sampai di Stasiun Kiaracondong sekitar ¾ jam lalu. Hujan deras yang turun sejak semalam baru reda sekitar jam enam pagi itu. Dia bertolak dari Jogja sekitar pukul tujuh malam dengan menggunakan kereta ekonomi AC Kahuripan—harga tiket Rp 100.000. Tidurnya tidak nyaman semalaman karena sandaran kursi yang begitu lurus.

“Udah liat itu?” Kutunjuk jembatan layang dengan latar kelabu di kejauhan. Aku sangat ingin Ncan melihat panorama tersebut, dan barangkali kekumuhan di bawahnya. Dia mau.

Maka Ncan terpukau menyaksikan hujan merembes dari jalan layang, hingga pasar, manusia, dan kendaraan yang berjejalan di sebidang jalan sempit. Aku membeli empat serabi oncom seharga masing-masing seribu, bonus satu. Sejak kami masih di Jogja aku sudah membicarakan serabi oncom yang kupikir penganan khas Bandung. Dia cuman makan satu.

Tidak banyak lagi yang bisa dilihat, tapi cukup banyak yang bisa aku ceritakan tentang Kiaracondong. Hampir tiap pagi selama tiga tahun aku melewati kawasan tersebut untuk menuju ke SMP yang berlokasi cukup jauh dari rumahku. Aku merekam dengan inderaku jembatan layang yang dari tiada menjadi ada. Sampah menumpuk hingga dasar jembatan, lalat besar bermata hijau mengerubunginya, dan jarakku yang duduk di dalam angkot dengan gunungan hama tersebut tidak sampai semeter.

Ketimbang menunggu angkot sembari berdiri di bawah rintik, kami lanjut berjalan ke utara. Ncan menangkap seekor kodok, yang juga bisa ditemukan di solokan samping Graha Sabha Pramana UGM. Kami mampir ke pom bensin terdekat, sehingga Ncan bisa mencuci tangannya yang bekas pegang kodok dengan air berkarat. Kami menembus kerumunan karyawati pabrik tekstil di bawah payung-payung mereka.

“Pagi-pagi tekanannya udah tinggi,” komentar Ncan. Aku mesem membayangkan suasana pagi di Jogja yang agaknya ayem saja.

Seperti aku lahir dan besar di Bandung, Ncan juga lahir dan besar di Jogja. Dia ke Bandung baru sekitar dua kali: saat SMP mengunjungi Sabuga serta Museum Geologi dan sekitarnya; saat Kuliah Lapangan beberapa tahun lalu mengunjungi sentra oleh-oleh yang seperti Malioboro tapi dia tidak ingat namanya. Denganku pada Sabtu nan berhujan itu, tiga bulan setelah usiaku 22 tahun atau dua bulan sebelum usianya 24 tahun, perjalanannya di Bandung kali ini memberikan kesan yang menurutnya seru ketimbang di kota-kota lain.

Dengan angkot Riung-Dago aku membawanya ke sekitar Monumen Pancasila. Bandung masih rintik dan kelabu. Dia pegang payung biru ukuran sedang berlogo UGM milikku, tidak ingin bajunya basah. Sesekali aku memegangkan payung untuknya, untuk DSLR miliknya, ketika dia ingin memotret. Kami menyusuri pulau demi pulau taman yang menghubungkan monumen dengan lapangan Gasibu, yang menurutnya mirip boulevard (di UGM). Dia melihat rongsokan besi yang ternyata bangku karatan. Dia ragu ada ikan di kolam bulat yang berair hijau itu, tapi kok banyak orang yang memancing. Dia senang berjalan di atas bebatuan kecil untuk pijat-pijat kaki. Dia pikir orang bakal celaka kalau lari-lari di lapangan Gasibu—lihat permukaan sirkuitnya yang pecah-pecah. Kami berbagi nasi tim ayam Sizi di pinggir Gedung Sate. Kami jalan-jalan sebentar di Taman Lansia di mana dia kecewa karena tidak menemukan kodok di habitat sepas itu. Dia tidak menemukan taman seperti Taman Lansia di Jogja, dan kutunjukkan bahwa taman itu juga rumah bagi gelandangan. Dia mengenang kunjungannya dahulu di Museum Geologi. Aku membelikannya kue cubit yang menurutnya enak tapi dia tidak makan banyak. Dia ingin menyingkirkan sampah yang dia lewati di jalan tapi tidak tahu ke mana, jalan tersebut sepertinya sudah merupakan tempat sampah besar. Dia duduk di depan pagar Monumen Pancasila dan tertegun ketika seorang cewek berdandan menarik melintas.

Baru sekitar tiga jam sejak aku menggiringnya menapaki jalanan Bandung. Dia sudah melihat kontradiksi antara penampilan orang Bandung yang menurutnya wah, dengan lingkungan sekitarnya yang berserakkan sampah. “Seperti yang hanya memedulikan penampilan sendiri, tapi cuek sama sekitarnya ya?” simpulku. Dia bandingkan dengan orang Jogja dan lingkungan di sana yang menurutnya selaras saja.

Kami melewati UNPAD di mana trotoar bukannya berada di sisi jalan melainkan diapit oleh deretan warung dan solokan, barangkali menakjubkan juga bagi Ncan. Kami melalui RS Borromeus yang kukatakan sebagai Panti Rapihnya Bandung. Kami singgah di Masjid Salman, yang kukatakan dirancang oleh pemilik radio KLCBS—Ardianya Bandung, di mana ia menemukan colokan. Aku mengajaknya ke Ijzerman Park (cmiiw) di mana ia menemukan kodok kemerahan di kolam, papan identifikasi burung di kawasan tersebut, dan tentu saja becek, gelandangan, dan sampah. Di bagian atas taman kutunjukkan plat yang memberikan informasi mengenai gunung-gunung yang mengitari Bandung di selatan.

Dia terkesan dengan bangunan ITB yang unik, yang kukatakan sebagai peninggalan Belanda dan rancangannya menyesuaikan beberapa bangunan adat di Indonesia. Hari itu bertepatan dengan wisuda sehingga kami bisa menyaksikan kehebohan mahasiswa ITB menyambut wisudawan/watinya dengan arak-arakan, dia tampak iri. Dia memotret Indonesia Tenggelam dan beberapa objek lain di tengah kampus. Di Tokema dia melihat-lihat suvenir khas ITB sementara aku menunggunya di luar sambil makan Sariroti isi cokelat dan menjaga DSLR. Kami menuju Saraga dengan melewati terowongan Sunken. Dia mengeluarkan Rp 15.000 untuk setengah jam renang di kolam standar olimpiade di lantai dua dengan panorama tajuk pepohonan di Babakan Siliwangi, sementara aku menungguinya di seberang musala sambil berusaha menulis. Setelah salat kami minum susu murni di gerbang Saraga, lalu dia melahap lumpia basah sementara aku coba memotret kucing bercorak unik dengan DSLR. Perjalanan dilanjutkan dengan aku mendongeng Babakan Siliwangi, namun sayang dia tidak tertarik untuk menjelajahi kawasan tersebut keseluruhan. Dia lebih tertarik pada variasi mural di dinding seng yang mengitari hutan mini itu.

Kami lanjut menyusuri Sabuga—dia mencicipi donat Polandia isi keju, BATAN, Pasar Seni dan Kebun Binatang, di tempat pembuangan sampah dia memotret manuk japati dan burung gereja yang mencari makan, kutunjukkan bagaimana pemukiman padat nan kumuh, hotel-mal-apartemen, dan hutan berdampingan dari tepi jalan tersebut, kami mengaso sebentar di dekat Bappeda sembari minum kelapa muda campur susu.

Dia tertarik dengan jembatan Pasopati, sementara aku takjub akan lapangan di bawah jembatan tersebut. Bagian bawah jembatan Pasopati juga berisi area parkir, area street soccer yang disponsori berbagai pihak, dan ornamen-ornamen yang tidak terbengkalai. Kami turun terus hingga mencapai taman yang terawat cukup baik, dan membatasi kami dari aliran deras Sungai Cikapundung yang mengingatkanku akan iklan susu Milo.

Tujuan selanjutnya adalah Taman Cikapayang dengan instalasi D, A, G, dan O besar, di mana orang-orang suka bermain skateboard di depannya, “di tempat sekotor ini?” tanggapannya mulai sinis. Beberapa saat kemudian dia malah geli karena melihat mbak-mbak cantik memasuki angkot. "Mau dandan mau lusuh, sama-sama naik angkot," komentarnya. Kami lalu menyeberang ke instalasi lain, lalu titik henti kami selanjutnya adalah Dukomsel, Dago Plaza, dan Gramedia, sebelum mencapai masjid di samping Balaikota untuk salat ashar.

Sepanjang hari itu hujan sesekali rintik sesekali mendung saja, dan jelang petang itu rintik lagi. Masih sekitar empat jam sebelum Kahuripan yang akan membawa Ncan kembali ke Jogja datang, tapi malam Minggu yang berpotensi macet bikin aku khawatir kalau kami menjelajahi Braga dan sekitarnya dulu tidak bakal keburu. Lagipula Ncan sepertinya sudah sangat capek.

Aku tidak tahu angkot mana dari sekitar Balaikota yang sekali jalan ke Kiaracondong. Jadi aku mengajak Ncan naik angkot St. Hall-Gedebage di dekat Bank Indonesia, untuk disambung dengan angkot Kalapa-Caheum di sekitar Jalan Martanegara. Dengan angkot St. Hall-Gedebage kami tetap bisa melewati objek menarik seperti bangunan tua ala Pecinan hingga Alun-alun—yang berkali-kali Ncan singgung seharian itu. Masih Ncan tertegun-tegun ketika melihat cewek-cewek berkulit, istilahnya, “transparan”, yang kukira istilah yang lebih lazim adalah “bening”. Dia heran kenapa kulitku tidak transparan seperti cewek-cewek di Bandung yang dia lihat. Hei, bukankah iklan pencerah kulit di TV sudah mengajarkan kalau yang terang memang yang lebih terlihat? Banyak juga kok cewek berkulit cokelat di Bandung. Setelah kutunjukkan Alun-alun beserta masjid agung, Ncan terkantuk-kantuk.

Kami makan nasi, “pecel” lele, dan kol goreng di warung tenda di Jalan Turangga yang sudah dekat rumahku sebetulnya, tapi aku tidak mungkin mengajaknya bertandang. Hujan deras kembali. Magrib lewat. Angkot Kalapa-Caheum pun kami naiki, yang selanjutnya bikin Ncan was-was sepanjang jalan. Berkali-kali sopir angkot yang berkacamata itu (sopirnya, bukan angkotnya) menginjak rem sampai bikin laju kendaraan tersentak-sentak. Jalanan gelap bergelimang air dan remang-remang cahaya. Kutunjukkan gemerlap kawasan Trans Studio, kali ini Ncan tidak lantas tertidur.

Bagian depan Stasiun Kiaracondong begitu ramai malam itu. Ncan mengajakku duduk dulu di bangku yang tersisa. Kami mengobrol ditimpali deras hujan. Lagipula penumpang Kahuripan belum diperbolehkan memasuki peron.

Sesekali suara keras seorang pria muncul seakan memberikan pengumuman, tapi tidak jelas. “Kenapa enggak pake speaker aja sih?” keluhku. “Tahu tuh, kotamu,” sahut Ncan. Aku pun geli. Sejak pagi aku menyarankan Ncan untuk menuliskan kesannya atas kota ini di kertas, lalu aku akan memasukkannya di KOTAK ASPIRASI di Balaikota—ketimbang jadi wadah debu saja. Padahal baru sedikit dari sekian titik di Kota Bandung yang kami susuri seharian itu, yang sepertinya sudah cukup membikin Ncan mensyukuri Jogjanya.

Sekitar pukul setengah delapan malam akhirnya penumpang Kahuripan diperbolehkan memasuki peron. Aku mengantarnya sampai ke meja pengecapan tiket. Sebelum berlalu dia menyalamiku. “Sampai ketemu di Jogja.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...