Minggu, 31 Desember 2023

Catatan Pembacaan 2023

Membandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini ada peningkatan. Dari 79 buku, 3 majalah, dan 1 skripsi atau taruhlah 83 jadi 86. Jumlah ini termasuk majalah (cuma 3 biji) dan draf tulisan sendiri (catatan harian dan novel). Di Goodreads ada 45 buku, selebihnya di blog ini dan blog satunya (khusus majalah dan draf fiksi karangan sendiri). Ketika mulai merekap, tak terduga ternyata jumlahnya sudah sebanyak itu. Soalnya, sebagaimana yang dikeluhkan di catatan pembacaan tahun sebelumnya, saya merasakan stamina baca sudah turun. Saya sudah tak kuat membaca 1 buku saja selama 1 jam nonstop. Pola membaca pun jadi terasa acak-acakan, tak seteratur tahun-tahun sebelumnya. Pada 2023 ini, ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi atau mengakali supaya habit ini bertahan.

Klub buku

Awalnya, saya meminta seorang teman untuk mengabari saya bila ada acara menarik lagi. Ia menanggapi dengan memberi tahu tentang adanya klub buku yang kebetulan banget lokasinya tidak jauh dari rumah saya—kurang dari setengah jam bersepeda. Klub buku ini diselenggarakan oleh seorang akang yang saya kenal sudah dari lama (tapi entah apa selama itu beliau ingat saya hahaha) bekerja sama dengan seorang lainnya yang sedang jadi ketua komunitas kepenulisan yang pernah saya ikuti. Ketika itu klub telah berjalan selama sebulan, mulai Februari 2023. Saya pertama kali datang pada pertemuan kelima yang sudah memasuki Maret, kala itu membahas buku Orang dan Bambu Jepang (Ajip Rosidi) yang, lagi-lagi kebetulan banget, sudah pernah saya baca. Sejak itu, saya pun mendatangi pertemuan mingguan ini walaupun sesekali rehat. Kerap kali buku yang akan dibahas sudah saya miliki atau ada di Ipusnas, sehingga menggenjot semangat saya untuk ikut membacanya. Sampai akhir Desember 2023, klub sudah mengadakan 44 pertemuan yang berarti membahas lebih dari 44 buku (soalnya ada pertemuan yang membahas lebih dari satu buku). Dari jumlah itu hampir separuhnya, yaitu 21 buku, saya ikut baca. Kalau bukan karena klub ini juga saya tidak akan menamatkan beberapa buku sastra Sunda.

20 Minute Rule

Kemudian saya keranjingan untuk menerapkan 20 Minute Rule dalam berbagai kegiatan, termasuk membaca buku. Saya mendapatkan angka 20 dari filter YouTube. Ketika mau mencari video dengan topik tertentu tapi tetap random, biasanya saya memasang filter penelusuran dengan durasi 4 – 20 menit. Kalau kurang dari 4 menit, terlalu pendek. Lebih dari 20 menit, kepanjangan. Dua puluh menit terasa pas, tidak singkat amat tapi juga tidak begitu lama. Jadi, setelah membaca 1 buku selama 20 menit—kecuali buku itu benar-benar menarik sehingga saya tidak mau menjedanya—saya beralih ke buku lain selama 20 menit berikutnya, dan seterusnya tergantung keleluasaan.

Ray Bradbury Challenge

Saya mengetahui challenge ini sudah dari lama, tahun ini baru tergerak menerapkannya tapi cuma untuk membaca 1 esai, 1 cerpen, dan 1 puisi per hari, sedang untuk menulis 1 cerpen/minggu, entar dulu lah ya. Ada berbagai sensasi ketika mencoba cara ini, tetapi ujungnya saya kewalahan karena jadi menambah kategori bacaan. Sudah begitu, panjang esai/cerpen/puisi kan tidak menentu: ada yang rata-rata, sangat singkat, atau panjang sekali.

Setelah telanjur menamatkan dua buku kumpulan puisi, saya skip dulu challenge ini dan menentukan jalan tengahnya adalah dengan membuat kategori baru di tabel rekap pembacaan. Jadi, sudah bertahun-tahun ini, saya menggunakan tabel rekap pembacaan. Mulanya sih untuk menyeimbangkan jumlah buku cetak dan buku digital yang dibaca. Soalnya buku digital sering kali lebih menggoda untuk dibaca, sementara buku cetak (termasuk majalah) yang untuk memilikinya harus ditebus dengan uang itu malah jadi pajangan saja di dalam lemari. Tabel ini kemudian berkembang sehingga kategorinya bukan cuma cetak dan digital, melainkan juga nonfiksi dan fiksi serta tema umum dan tema khusus. Tema umum adalah yang bersangkutan dengan kehidupan saya sehari-sehari, sedangkan tema khusus katakanlah yang berhubungan dengan kehidupan imajiner dalam kepala saya. Dari tabel ini, saya mendapati telah membaca jauh lebih banyak buku digital khususnya dari Ipusnas. (Kadang itu tak terhindarkan, kalau mau mengikuti rencana buku yang akan dibahas di klub.) Karena itulah, selama beberapa bulan pertama pada 2024, saya ingin berfokus untuk mengisi gap di tabel lama (alias mengutamakan-baca buku cetak) sebelum berlanjut ke tabel baru yang mana sudah ditambahkan kategorinya sehingga di samping nonfiksi dan fiksi (yang mana di dalamnya termasuk esai dan cerpen yang sudah dibukukan tentu saja), ada puisi. Selain untuk mengikuti Ray Bradbury Challenge (dengan penyesuaian), membaca puisi rasa-rasanya perlu juga supaya mana tahu saya bisa lebih ekspresif dan kreatif dalam berkata-kata(?). Entahlah, seumur hidup saya belum pernah menekuni-baca buku kumpulan puisi—selama ini random saja lagi jarang.

Jalan tengah lainnya adalah stick to 20 Minute Rule, alias targetnya bukan 1 esai, 1 cerpen, dan 1 puisi per hari melainkan ikuti saja pergiliran di tabel. Ketika gilirannya buku kumpulan puisi, baca selama 20 menit lalu pindah ke buku lain yang entahkah nonfiksi atau fiksi, kumpulan esai atau majalah, kumpulan cerpen atau novel ….

Selain tabel, tahun ini juga saya mulai membuat daftar buku yang telah tuntas tiap bulannya. Karena ingin tahu saja. Itu mempermudah untuk melihat tren dan menghitung, misalnya, ternyata saya masih membaca lebih banyak nonfiksi (44) daripada fiksi (40).

Buku-buku yang cepat dituntaskan

Buku-buku tersebut ibarat seteguk air segar di sela-sela maraton (kayak yang pernah ikut saja) membaca buku tebal yang seakan tak selesai-selesai. Contohnya adalah buku kumpulan artikel (misalnya dari Tempo dan Trubus) yang terdapat di Ipusnas, buku komik, buku anak-anak, dan lain-lain yang tebalnya tidak sampai 100 halaman.

Goodreads

Seperti biasanya, pada awal tahun saya pasang target 52 buku dengan perkiraan selesai 1 buku/minggu. Namun, setelah beberapa bulan, saya mendapati bahwa target itu sepertinya tidak akan tercapai karena bukan berarti saya tidak sanggup menyelesaikan 1 buku/minggu, melainkan sebagian buku yang saya baca tidak ada di Goodreads sedang sekarang sudah tidak bisa lagi manually add book. Maka saya turunkan target jadi 36 saja, alias 3 buku/bulan—3 buku yang ada di Goodreads, maksudnya. Ini tercapai, bahkan terlampaui (125%) tapi memang tidak sampai 52.

Penilaian

Karena saya membaca bukan untuk kepentingan akademis/profesional/dsb melainkan sebagai penikmat saja, 86 buku tahun ini atau 1 – 2 buku/minggu sudah bagus banget. Itu saja saya masih ada perasaan bersalah karena memang hobi saya bukan cuma membaca, melainkan juga berbagai turunannya yang mau sekalian saya bicarakan di bawah, sehingga mesti ada waktu juga buat yang lain-lainnya itu. Kalau sampai tembus lebih dari 2 buku/minggu, rasa-rasanya sudah berlebihan. Malah terpikir setelah sampai di angka 78 (dari 52 + 26 alias pas 1,5 buku/minggu), mungkin saya setop saja dan beralih ke hal lain misalnya menulis novel? (hahahaha~) kemudian baru mulai membaca buku lagi setelah masuk tahun berikutnya. Entahlah.

TURUNAN DARI MEMBACA

Menulis

Yang rutin adalah menulis review tiap kali menamatkan satu buku (atau majalah kadang juga karya lainnya yang benar-benar menarik), alhamdulillah berhasil dipertahankan sejak 2019. Tahun ini saya menambahkan rutin baru, dengan menerapkan 20 Minute Rule itu, yaitu menulis catatan harian. Sebetulnya ini tidak sama sekali baru. Sejak SD saya suka menulis catatan harian. Tiap ada pikiran, segera saya tuliskan. Pada satu titik, saya mengira kebiasaan ini mengembangkan sifat overthinking. Maka itu saya berhenti. Yah, tidak sama sekali sih (memang bisa?) tapi mengurangi, sampai-sampai menurut catatan harian tahun kemarin saja, saya menulisnya tidak sampai setengah halaman F4 per hari. Namun, setelah membaca semua diary semasa SMP, saya justru mendapatkan pandangan lain. Menulis catatan harian justru merupakan suatu coping. Dengan itu saya mengatasi kesepian, menghibur dan menyemangati diri, serta menghargai kehidupan yang acap kali tak mengenakkan. Saya yang sekarang pun jadi sangat mengapresiasi saya yang dulu. Kenapa tidak melakukannya lagi? Namun kali ini secara teratur dan terbatas, agar tak merasa berlebih-lebihan lagi. Lalu saya mulai begitu saja, tak ingat dari tanggal berapa pokoknya enggak persis 1 Januari 2022. Ada hari-hari yang bolong, tak apa.

Setelah berhasil melakukan rutin itu beberapa lama, timbul pikiran: kenapa tidak melakukan ini juga untuk menulis fiksi? Saya sudah mencobanya, mempertahankannya beberapa lama tapi menulis kehidupan imajiner tetap saja tak seenteng menuliskan pengalaman pribadi yang nyata. Saya tak berhasil mempertahankannya. Percobaan-percobaan lainnya untuk kembali menulis fiksi juga belum ada yang persisten lagi seperti semasa kuliah. Entahlah. Pelik sih. Keadaannya sudah beda. Maka status masih “pura-puranya mau menulis novel”.

Menerjemahkan

Pada 2023 ini saya menyadari bahwa sudah 1 dekade saya menerjemahkan. Jejaknya terekam di blog ini, sebelum dibuat blog lain khusus untuk terjemahan dengan tujuan menjaga kesinambungan, yang dijadwalkan mulai 2014, yang berarti blog itu akan genap 1 dekade juga. Sampai sekarang saya masih menikmati menerjemahkan sebagai hobi saja. Malah tahun-tahun belakangan terjadi penurunan aktivitas sebenarnya. Pernah ada target ambisius untuk memosting mingguan, tapi yang realistis sebulan sekali saja lah ya. Sedang mencoba menerapkan 20 Minute Rule juga untuk kegiatan ini, lebih banyak bolongnya daripada menulis catatan harian wkwkwk. Sebenarnya lagi mau mengukur sih: kalau bisa rutin 20 menit/hari tanpa banyak bolong, akan ada rata-rata berapa judul yang bisa dihasilkan dalam sebulan.

Mengkliping

Ini biasanya saya lakukan sekalian dengan menerjemahkan. Mengkliping dulu, baru menerjemahkan. Keduanya sama-sama soal menyalin. Mengkliping adalah menyalin teks dari cetak ke digital tanpa perubahan berarti (paling-paling menyesuaikan ejaan atau tanda baca yang biasanya refleks saja), sedangkan menerjemahkan juga menyalin tetapi dengan mengubah bahasa yang sering kali memerlukan berpikir, mengecek arti ke beberapa kamus sekaligus, googling, dan Google Translate hihihi. Baru mulai menerapkan 20 Minute Rule juga untuk ini, dari yang tadinya menarget 1 artikel/hari (menginsafi panjang artikel yang berbeda-beda).

Bahasa-bahasa

Pelajaran bahasa Arab di Duolingo sudah tamat. Bukan karena saya begitu rajin, melainkan karena itu termasuk bahasa yang baru ditambahkan sehingga pelajarannya belum banyak dan cepat dituntaskan asal rutin. Karena itu saya merasa perlu move on ke sumber belajar lain, seperti buku dan video. Ada satu buku pelajaran bahasa Arab yang sudah saya mulai, tapi tersendat-sendat. Begitu pula dengan bahasa Jerman. Saya telah mengumpulkan buku-buku berbahasa Jerman yang saya ingin baca, kalau bisa menjadikannya bahan latihan menerjemahkan. Namun itu muluk-muluk banget sih. Kalau bukan karena Duolingo, aslinya saya belum betah belajar bahasa asing. Selain Arab dan Jerman, di Duolingo saya juga belajar bahasa Jepang dan Belanda. Biar apa? Biar menghayati perjuangan bangsa selama masa penjajahan dan lebih menghargai kemerdekaan(?) Sudah, empat itu sajalah.

REAL LyFE

Setelah menonton beberapa video ‘cleaning’, saya mendapat pencerahan bahwa DECLUTTERING adalah kunci. Itu yang harus saya fokuskan pada 2024 ini. DECLUTERING yang ORGANIC maupun yang ANORGANIC. DECLUTTERING ORGANIC untuk menghasilkan ecoenzyme dan kompos, yang kemudian berguna untuk bebersih dan berkebun. DECLUTTERING ANORGANIC dengan menggunakan panduan dari bank sampah. (Untuk sementara ini, panduan dari Bank Sampah Bersinar di Bojongsoang tampak yang paling bisa diandalkan; bisa cek di situs webnya). Barulah sisanya—baik karena tidak ditampung bank sampah maupun yang sengaja disisihkan—disyukuri sebagai sarana berkreasi dan berusaha. Cita-citaku sekarang tak muluk-muluk, sekadar ingin membangun sistem sirkular skala rumah tangga agar meninggalkan sesedikit mungkin kerusakan di dunia dan meringankan hisab di akhirat. Bismillah.

Jumat, 29 Desember 2023

Anak-anak Malam

Klub buku yang saya ikuti mau membahas buku sastra anak karya Soekanto S. A., yang berjudul Anak-anak yang Bahagia. Saya kira tidak punya satu pun buku Soekanto S. A., sehingga mencarinya di Ipusnas. Dengan mengetikkan nama "Soekanto" di kolom penelusuran, keluar 8 buku (urutan berikut menurut preferensi saya).

Terbitan Pustaka Jaya
1. Anak-anak Malam
2. Cokli Ikut Bergerilya
3. Dunia Penuh Tawa
4. Bayi Ajaib Jabang Tutuka: Cerita Wayang untuk Anak-anak
5. Jayamada: Dongeng Rakyat Blitar
6. Dongeng-dongeng Asia Bacaeun Barudak

Terbitan Mizan
7. I Love You, Ayah
8. Si Pitung Superhero Betawi Asli

Saya mau saja membacai semuanya, terutama dari Pustaka Jaya. Selain Balai Pustaka, Pustaka Jaya adalah yang bila saya tidak sengaja menemukan bukunya di Ipusnas selalu saya screenshot gambar kovernya untuk mengingatkan agar membacanya entah kapan. Namun karena sudah ada beberapa bacaan yang ongoing, serta beberapa buku lain mengisi kepala saya seakan-akan mendesak agar segera dituntaskan juga, jadi sepertinya satu buku saja dulu, yang judulnya paling mendekati yang akan dibahas di klub yaitu Anak-anak Malam. Sempat saya menduga bahwa Anak-anak yang Bahagia itu jangan-jangan cetak ulang dari Anak-anak Malam oleh penerbit Kiblat. Tapi, dari penelusuran sekilas sih, sepertinya kedua buku ini isinya berbeda. Sayang, karena suatu hal, saya berhalangan datang ke klub sehingga belum dapat memastikan :')

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Anak-anak Malam
pertama-tama diterbitkan pada 1973, kemudian dicetak ulang pada 1974 lalu 1976, dan Edisi Elektronik keluar pada 2019 (ISBN PDF 978-623-221-343-2.) Gaya narasinya mengingatkan pada yang pernah saya temui dalam bukunya Ajip Rosidi, sepertinya Di Tengah Keluarga karena sama-sama bercerita tentang kehidupan anak. Mungkin karena mereka kurang lebih sepantaran (sama-sama lahir pada 1930 ke atas) dan kalau tidak salah berteman juga (perlu cek lagi Hidup Tanpa Ijazah yang tebal sekali itu~) maka gayanya mirip, atau memang itu gaya khas pada masanya.

Buku ini terdiri dari 13 cerita yang tiap-tiapnya pendek sekali. Tebalnya saja hanya 54 halaman. Kendati tiap cerita mengangkat tokoh yang berbeda-beda, ada benang merah atau sejumlah kesamaan.

Kebanyakan cerita mengenai anak-anak yang harus mencari nafkah sejak dini

Ada yang ayahnya masih kukuh badannya tapi entah apa sebabnya tidak bekerja, seperti dalam cerita pertama, "Anak-anak Malam". Ada yang membantu ayahnya mencari nafkah dengan melakukan atraksi-atraksi berbahaya, dalam cerita berikutnya, "Asih Warga". Ada pak guru yang mengenang masa kecilnya, sepeninggal ayah, harus membantu ibunya berkebun dan bersawah, dalam "Daun Turi". Cerita selanjutnya, "Pabrik Getuk!", masih mengenai anak yang telah ditinggal ayah sehingga harus membantu ibunya, kali ini dengan membuat dan berjualan getuk serta aneka jajanan pasar lain. Ada yang bekerja sebagai pengurus kuda, sekalian mengambili rumput, membersihkan kandang, mengumpulkan kotoran, dan mengerok hewan itu, dalam "Salamku kepada Eman!". Hampir-hampir pengecualian dalam "Bergandengan" karena hanya menceritakan peristiwa ketika si anak baru ditinggal ayahnya ke alam baka, belum sampai harus bekerja. Demikian juga dalam "Jejak Ayah", tetapi di sini ayahnya koruptor yang telah disekap polisi sehingga si anak harus pindah ke rumah buruk dan mungkin harus bekerja lebih dini juga. "Centeng" juga tidak menceritakan anak bekerja, tetapi anak bertemu pekerja yang tepatnya seorang centeng dan bertukar cakap. Dalam "Setandan Pisang", ada ayah yang mencuri pisang dari kebun orang untuk memberi makan keluarganya. Dalam "Karya" dan "Berani Hidup", sama-sama ada anak yang bekerja sebagai pesuruh di rumah orang dan sering mengalami penyiksaan. Pengecualian dalam "Feri Tersedan Menangis" serta "Indung Gudang Hampura" yang mana bukan tentang anak bekerja, melainkan anak yang berperilaku tidak sepantasnya.
"... penderitaan di masa kecil kadang-kadang besar artinya bagi kehidupan masa dewasa." (halaman 16)
Berdasarkan isi cerita pada umumnya itu, kiranya bisa ditarik pengertian bahwa Anak-anak Malam yang menjadi judul buku dapat berarti anak-anak yang memang masih keluyuran malam-malam (entahkah untuk mencari nafkah ataupun karena doyan jalan-jalan saja pada waktu tersebut), atau anak-anak yang nasibnya sekelam malam karena sekecil itu sudah harus mengalami kerasnya hidup. Sekali lagi ini mengingatkan pada buku Ajip Rosidi, Di Tengah Keluarga, yang bagian pertamanya dijuduli "Hari-hari Punya Malam", berisikan kisah-kisah yang cenderung menyoal penderitaan dalam keluarga (sementara bagian kedua, "Hari-hari Punya Siang", bernuansa riang).

Sudut pandang yang berjarak dengan tokoh yang jadi objek cerita

Cerita biasanya disampaikan secara tidak langsung atau melalui tokoh lain, entahkah perannya sebagai penolong, teman, orang asing, atau tetap tokoh yang sama hanya saja sudah dewasa. Dengan begitu, timbul kesan bahwa cerita-cerita itu seperti hasil pengamatan ketimbang pengalaman langsung. Kalaupun tidak begitu, penggunaan sudut pandang orang ketiga tetap menunjukkan adanya jarak. Seakan-akan penulis tahu bahwa pembaca kemungkinan adalah anak dengan privilese, persisnya berupa akses terhadap bacaan entahkah beli atau pinjam, sedikitnya ada waktu luang untuk membaca yang kemungkinan tidak dimiliki anak-anak yang harus mencari nafkah sejak dini.

Tokoh umumnya laki-laki

Baik orang dewasa maupun anak-anak, entahkah yang jadi pembingkai cerita ataupun objeknya, biasanya laki-laki. Mungkin karena penulisnya sendiri laki-laki. Sosok ayah sangat berperan, entahkah sebagai tulang punggung/pencari nafkah ataupun pembimbing moral. Ini menarik karena dengar-dengar Indonesia termasuk negara fatherless, di mana ayah umumnya kurang berperan dalam perkembangan anak. Entah itu data dari mana dan kapan, saya tidak hendak repot menelusurinya juga sih. Mengingat ini cerita-cerita dari setengah abad silam, itu menunjukkan apa? Apakah ayah 1970-an lebih ngemong, atau cerita-cerita ini justru untuk mengisi kekosongan itu? Kalau bukan ayah sendiri, sosok lelaki dewasa yang jadi pembina moral itu bisa seorang kawan yang lebih tua, guru, atau pemuka agama. Kebetulan ini relevan dengan buku yang lagi saya baca, The Wonder of Boys (terjemahan dari karya Michael Gurian, terbitan Serambi), mengenai cara membesarkan anak laki-laki. Anak-anak Malam pun seakan-akan merupakan bentuk fiksi dari buku tersebut, yang mana ditunjukkan cara mengajari anak laki-laki adalah dengan mengajaknya untuk mengalami sendiri; sekalipun hanya sebagai pengamat, tetap ada persinggungan langsung dengan pelaku dari berbagai ranah kehidupan. Yang kemudian menyusupkan nasihat kepadanya adalah sesama laki-laki yang telah dewasa. Tentunya ada pengecualian. Dalam "Bergandengan" dan "Feri Tersedan Menangis", tokoh perempuan dewasa (ibu atau guru) yang menjadi pembimbing moral.

Cerita mengandung pengetahuan dan pelajaran

Sebagai bacaan anak-anak, ini sudah jelas wkwk.

Dari "Anak-anak Malam", kita dapat belajar agar menjadi orang yang solutif seperti Pak Haji. Dalam "Daun Turi", ada sedikit pengetahuan botani mengenai manfaat daun turi untuk pakan kambing dan cara menyiapkannya untuk dijual ke pasar. "Pabrik Getuk!" menggugah supaya makan getuk segera setelah bangun tidur tanpa gosok gigi dulu, karena katanya enak begitu ketika mulut masih asin (Ya, bakteri-bakteri yang naik ke mulut selama tidur itu rupanya jadi bumbu penyedap rasa :p). "Salamku kepada Eman!" menunjukkan cara-cara merawat kuda. Dalam "Centeng", terdapat perjuangan seorang ayah yang siang-malam kudu bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarganya. "Jejak Ayah" memberikan pesan agar tidak mendiskriminasi anak yang orang tuanya tersangka korupsi, alih-alih kasih dia kesempatan untuk menebus kesalahan. "Setandan Pisang" mengamanatkan kesadaran atau tanggung jawab sosial kepada kalangan yang berkecukupan, agar berbagi kepada kalangan ekonomi lemah bukan cuma dalam hal materi (seperti makanan dsb) melainkan juga nonmateri (misalnya pengetahuan untuk memperbaiki kehidupan). Cerita tersebut beserta "Berani Hidup" mengandung cambuk agar bekerja lebih keras, mencari cara lain jika keadaan yang sekarang kekurangan atau menyiksakan. Berani hidup berarti hidup yang keras. Memiliki kepedulian sosial bukan berarti bersikap lembek.

Standar moral(?) lainnya yang berbeda antara dulu dan sekarang

Yang membuat saya tertegun pertama-tama adalah ilustrasi di halaman 18 yang menggambarkan seorang ibu berkebaya dengan belahan dada, didampingi dua anak lelaki yang sedang membantunya membuat getuk. Dalam ilustrasi buku anak-anak jaman now kemungkinan si ibu akan dipakaikan jilbab atau setidaknya pakaian yang lebih tertutup. Dalam beberapa cerita lainnya pun terdapat adegan-adegan yang bersinggungan dengan rokok. Misalnya, di halaman 34, disebutkan ada bapak guru sedang memberikan pelajaran di depan anak-anak di dalam ruangan kelas sambil merokok(!) Dalam "Berani Hidup", si tokoh yang berusia 13 tahun sudah merokok sekalipun dalam narasi disisipkan permakluman "ia sebetulnya terlalu kecil untuk merokok". Tokoh ini berteman dengan seorang mantan romusa yang kini berjualan rokok dan mengajak si tokoh untuk berjualan rokok juga. (Kalau zaman sekarang, kemungkinan rokok diganti dengan tisu atau kostum badut.) Memang ada jarak sekitar 50 tahun atau setengah abad antara keluaran pertama buku ini dan sekarang (ketika saya membacanya). Malah di salah satu buku Lupus Kecil keluaran awal '90-an (sekitar 30 tahun silam), tepatnya Lupus Kecil #5 Sakit, Lah, Dekh, Donk, Weew! (bisa dibaca di Ipusnas), juga pernah saya temukan ilustrasi ibu-ibu (atau waria??) sedang merokok. Walaupun kenyataannya tetap (atau tambah?) banyak anak kecil perokok, saya tidak begitu yakin media anak-anak masa kiwari masih demikian blak-blakan memampang adegan orang merokok. Belahan dada di televisi saja diblur.

Beberapa cerita berhasil mengharukan

Kesan ini muncul sejak cerita pertama. Cerita lainnya yang juga mengharukan buat saya adalah "Jejak Ayah" dan "Karya".

Beberapa cerita tampak seperti belum selesai

Kesan ini juga saya rasakan sejak cerita pertama: kaget tahu-tahu sudah selesai, saking pendeknya. Jalan ceritanya pun sangat sederhana, setelah disodorkan masalah langsung diberi penyelesaian tanpa melalui konflik yang berliku-liku. Yang paling tidak memuaskan adalah "Feri Tersedan Menangis", mengenai si anak Ambon Frits Soplanik alias Feri, yang telah bersikap tidak sopan terhadap guru yang memperingatinya karena mengganggu anak-anak perempuan. Padahal, menurut Feri, anak-anak perempuan itu yang memulai dengan mengejeknya. Maka saya rasa cerita ini tidak adil terhadap Feri karena mesti begitu saja tunduk kepada guru, sedang anak-anak perempuan yang memulai itu tidak diceritakan akan ditindak juga. (Mungkin ini justru satu lagi standar moral yang berbeda antara dulu dan sekarang, yang mana dulu apa pun perkataan guru--tanpa peduli pembelaan diri murid--adalah harga mati. Malah sekarang anak berikut orang tuanya berani melawan guru.) Karena kesan belum selesai itulah, cerita-cerita ini seperti potret atau sketsa saja.

Kamis, 28 Desember 2023

Memimpikan Nike Ardilla

Yang teringat: kami memasuki sebuah area parkir sambil menyanyikan "Panggung Sandiwara". Rupanya itu parkiran sebuah mal. Kami memasuki mal itu, menghampiri area permainan. Ada mesin Dance Dance Revolution yang tampak lebih canggih daripada yang saya mainkan sekian tahun lalu. Untuk memainkannya pun sudah cashless. Saya tidak punya e-money, tapi Nike punya kartu. Selebihnya saya tidak ingat, atau mimpi sudah berakhir. Lalu terpikir, usia saya dan Nike, atau semestinya saya sebut almarhumah Teteh Nike, terpaut belasan tahun. Ia lebih tua. Namun dalam mimpi itu kami tampak sepantaran, sepertinya mengenakan seragam SMA. Seperti kami baru pulang sekolah lalu jalan bareng ke mal yang entah mal mana. Ia terasa seperti teman yang baik; sayang, hanya sekejap dalam mimpi. 

Kamis, 21 Desember 2023

Tiga Buku Terkait Ca Bau Kan di Ipusnas

Klub buku yang saya ikuti berencana untuk membahas novel Remy Sylado lagi, yaitu Ca Bau Kan (selanjutnya CBK). Judul tersebut saya sudah dengar dari lama, tahu bahwa itu novel yang kemudian diadaptasi jadi film oleh sutradara Nia DiNata. Namun sampai belakangan itu belum ada ketertarikan untuk memiliki buku cetaknya, dan ternyata di Ipusnas pun tidak ada. Alih-alih, di Ipusnas saya menemukan buku-buku yang masih ada hubungannya dengan CBK. Awalnya saya menemukan dua buku, yaitu Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan dan Imlek dan Budaya Cina di Indonesia. Namun, setelah menuntaskan kedua buku itu, dan novelnya pun sudah dibahas di klub, ketika mau membuat catatan pembacaan dan mengambil gambar kovernya di Ipusnas, saya malah menemukan satu buku lagi terkait CBK yang sepertinya baru saja ditambahkan, yaitu Pengaruh Budaya dan Karya Remy Sylado. Jadi ada tiga buku yang mau saya sekaliankan (apakah ini kata kerja?) catatannya di sini. Membaca buku yang membahas tentang buku lain (biasanya karya sastra) mengingatkan saya pada kegemaran semasa kuliah. Dengan begitu, sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui: Kita tidak hanya mendapatkan bocoran mengenai jalan cerita, karakter, dsb, tetapi juga sembari memperoleh penjelasan yang belum tentu akan terjangkau oleh kita ketika membaca sendiri buku yang dibahas.

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Buku pertama, Tionghoa dalam Novel Ca-Bau-Kan, asalnya merupakan tesis Sainul Hermawan di Universitas Gadjah Mada pada 2003 yang diterbitkan oleh Basabasi (cetakan pertama, April 2018; ISBN 978-602-5783-03-6). Melihat tahun dibuatnya tesis, berarti pada waktu itu masih ada kebaruan karena CBK baru saja difilmkan pada tahun sebelumnya. 

Bagian awal buku ini tentu saja terlebih dahulu menerangkan wacana ketionghoaan di Indonesia: posisinya sebagai kaum minoritas yang unik (karena banyak yang tidak mengikuti agama mayoritas sebagaimana Arab dan India), keteguhannya dalam mempertahankan kebudayaan leluhur, sifatnya yang cenderung tertutup, sampai persoalan istilah "Tionghoa" atau "Cina" yang mana yang pertama itu dianggap lebih sopan atau beradab daripada yang kedua. Bagian awal juga merunut riwayat diskriminasi terhadap Tionghoa di Indonesia yang berujung pada tragedi 1998, dan setelah segala huru-hara itu berlalu alias memasuki masa reformasi, presiden berikutnya yakni Gus Dur mereformasi pula peraturan-peraturan menyangkut Tionghoa, yang di antaranya membolehkan mereka merayakan tradisi secara terbuka. CBK terbit sekitaran masa itu, mula-mula sebagai cerita bersambung di Republika (1997), lalu diterbitkan KPG (1999), dan akhirnya difilmkan (2002). Jadi dalam lima tahun saja cerita itu telah direproduksi oleh tiga media komunikasi yang berbeda: koran, buku, dan film. Melalui CBK, Remy Sylado seperti mau memberikan suatu perspektif terhadap Tionghoa. Namun Remy sendiri tidak diketahui merupakan keturunan Tionghoa, sehingga kemungkinan ada bias dalam novelnya itu. Buku ini bermaksud membaca CBK secara kritis. 
"Karya sastra adalah hasil sulingan, atau penyederhanaan, atau serangkaian pilihan yang dibuat oleh seorang pengarang, yang jauh lebih kacau dan campur aduk daripada realitas itu sendiri." (Edward Said, halaman 47)
Kemudian tesis ini mengidentifikasi tokoh-tokoh Tionghoa dalam CBK menurut bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, religi, pengetahuan, kesenian, dst. Secara umum, mereka terbagi jadi Tionghoa totok dan Tionghoa peranakan yang dalam novel ini digambarkan menggunakan bahasa yang berbeda, memiliki mata pencaharian yang berbeda, ada yang bergabung dalam organisasi ada juga yang tidak, menganut kepercayaan yang berbeda, mempunyai selera seni yang berbeda, dst. Dari sini, CBK menunjukkan bahwa Tionghoa terdiri dari individu yang beragam.

Sekalipun sudah berusaha menampilkan keberagaman, CBK tidak lepas dari stereotipe terhadap Tionghoa. Malah ia seperti mengukuhkan wacana yang mengasosiasikan Tionghoa dengan kejahatan dalam bidang ekonomi Indonesia. Tesis ini banyak menyoroti sifat-sifat tokoh Tionghoa yang dominan dalam CBK, yaitu Tan Peng Liang Semarang, yang dalam berbisnis menghalalkan segala cara (menyuap pejabat, menjual candu, mencetak uang palsu, bahkan menumbalkan anak perempuannya sendiri!). Malah peranannya dalam kemerdekaan Indonesia pun lebih dilandasi cinta kepada keluarga, ketimbang sungguh-sungguh peduli pada perjuangan bangsa. Ia adalah manusia yang bisa membawakan diri secara berbeda-beda, tergantung kepada siapa dia berhadapan. Ia memiliki etika "binatang bercelana". Melalui kompleksitas tokoh Tan Peng Liang Semarang sebagaimana ditunjukkan dalam tesis ini, saya mengambil banyak inspirasi mengenai pengembangan suatu karakter.
"Ketionghoaan semacam itu digambarkan melalui Tan Peng Liang Semarang yang memiliki kultur yang kompleks. Ketionghoaan, kejawaan, kapitalisme, nasionalisme, superioritas, inferioritas, kecintaan, kejahatan, kebaikan, dan pengkhianatan, lebur dalam dirinya dan diperankan dalam momentumnya sendiri." (halaman 159) "Cbk menginklusi ketionghoaan dalam segi perilaku mereka yang primitif, rakus, licik, individualis, anti-sosial, tidak setia, dan bukan nasionalis." (halaman 185)
Tesis ini pun mengkritisi ketiadaan Tionghoa muslim yang padahal sudah ada di Jawa sejak abad ke-15 atau 16. Dengan begitu, timbul "kesan-kesan umum yang mengidentikkan agama dan marga dengan kejahatan Tionghoa". Padahal novel ini "berusaha menghadirkan masa lampau Tionghoa seotentik mungkin dalam media estetik." (halaman 190) Ini menarik karena di novel Remy lainnya yang saya sudah tuntaskan, Parijs van Java (selanjutnya PVJ), kalaupun ada tokoh muslim, ia digambarkan secara hampir-hampir sempurna--karakternya baik banget. Karena Remy Sylado sudah menulis banyak karya fiksi, saya pun bertanya-tanya adakah di antara karangannya itu yang menampilkan tokoh muslim secara kompleks juga--tidak cuma baiknya, tetapi juga ada buruknya? 

Dari tesis ini juga saya belajar mengenai sikap pengarang terhadap materi ceritanya. Menurut tesis ini, narasi di CBK lahir dari prasangka terhadap minoritas Tionghoa yang sangat mendalam sehingga yang ditonjolkan adalah tindakan buruk mereka. CBK merupakan "keinginan terpendam dan ketakutan pengarang untuk mengisi ruang kosong", cara untuk "menafsirkan masa kini dengan menengok kembali masa lalu." Lebih lanjut, "sikap seperti itu tidak hanya digerakkan ketidaksetujuan terhadap atau mengenai apa yang terjadi pada masa silam, melainkan juga didorong oleh keinginan untuk mencari jawaban apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih berlanjut meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda?" Melalui novelnya, pengarang "melihat aktualitas ... masa kini dengan berpaling ke masa silamnya." (halaman 188) 

Jadi, sebetulnya CBK membela Tionghoa atau tidak? Penerbit KPG menganggapnya iya, menyoroti peran tokoh Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, setelah dikuliti dalam tesis ini, "Di satu sisi, Cbk menunjukkan keberagaman kebudayaan masyarakat Tionghoa melalui narasi diversitas identitas bahasa, ekonomi, dan sistem religi yang mereka anut .... Namun, di sisi lain, ia tampak tetap melanjutkan penggambaran dominan Tionghoa sebagai pelaku ekonomi yang harus diwaspadai perannya." (halaman 197) Walaupun demikian, tesis ini memaklumi bahwa kehidupan Tionghoa-Indonesia terlalu kompleks kalau harus diuraikan secara menyeluruh melalui novel yang penuh keterbatasan (halaman, waktu dan tenaga penulisan, pertimbangan nonestetik lain), sehingga wajar jika novelis memilih fokus tertentu akan timbul generalisasi. Maka novel ini sekadar mengikuti wacana yang ada di masyarakat (halaman 197-198). 

Sembari membaca tesis ini, saya sambil sedikit-sedikit menonton filmnya di YouTube. Kualitas film yang di YouTube itu tidak begitu bagus (maksimal 240p), dan sampai ketika membuat catatan ini, saya masih belum menamatkannya :v Membandingkan dialog yang dikutip dalam tesis ini dengan dialog dalam filmnya, saya menduga bahwa dialog dalam film bersetia dengan dialog dalam novel. Saya juga sambil meraba-raba kesamaan antara novel ini dengan PVJ, yaitu (CMIIW):
  • Narator mahatahu dengan latar Belanda, namanya sama-sama berawalan huruf G (huruf yang susah diucapkan secara Belanda kalau buat saya :'))
  • Terdapat selipan pepatah-pepatah; kalau di PVJ dalam bahasa Belanda dan Italia, dalam CBK bahasa Cina,
  • Terdapat sedikitnya satu tokoh yang kompleks, sedangkan tokoh-tokoh selainnya sekadarnya (di PVJ ada Gertruida, di CBK Tan Peng Liang Semarang),
  • Sama-sama ada peristiwa pembakaran,
  • Sama-sama ada perkumpulan pria antagonis (di PVJ Bandung Vooruit, di CBK Kong Koan),
  • Sama-sama ada pelacuran,
  • Sama-sama ada anak yang diambil orang lain, 
  • Ada lagi enggak, ya?
Gambar screenshot dari Ipusnas.
Buku kedua yaitu Imlek dan Budaya Cina di Indonesia merupakan kumpulan artikel Tempo yang tidak hanya menyangkut CBK tetapi juga meliputi jejak-jejak kebudayaan Cina yang masih ada di Indonesia. Ada delapan artikel dalam buku ini. Enam artikel pertama bertanggal 24 Februari 2002, sedangkan dua artikel terakhir dari 2004.

Artikel pertama, "Setelah Sang Naga Bebas Menari", sebagaimana yang disampaikan juga dalam buku sebelumnya, memaparkan riwayat komunitas Cina di Indonesia yang sejak Orde Baru (TNI versus PKI) dilarang mengekspresikan kebudayaannya secara terbuka. Barulah setelah OrBa lengser, presiden Gus Dur mengeluarkan peraturan yang membebaskan mereka. Maka dalam tahun-tahun setelah reformasi ini, kebudayaan Cina kembali naik menampakkan diri. Yang paling populer adalah barongsai, sedang yang lain-lain seperti wayang potehi sudah telanjur tenggelam. Rupanya ada berbagai praktik dan budaya lain yang merupakan warisan Cina, mulai dari jenis-jenis sayuran (caisim dan kol) hingga bentuk-bentuk kesenian (gambang kromong dan lenong) yang kini sudah dianggap sebagai bagian dari Indonesia.

Artikel berikutnya, "Cina Kreol Model Para Desainer", mengkritik habis-habisan film CBK yang kesimpulannya mirip drama televisi padahal bujetnya miliaran. Kritik ini juga membandingkan film tersebut dengan novelnya. Film ini dianggap terlalu bersetia tetapi juga melencengkan wacana yang dominan dari novelnya. "Novel Remy sedari awal tidak menampilkan cerita seorang peranakan Cina yang sadar pergerakan, seperti banyak aktivis Cina yang giat mengelola bacaan liar melawan propaganda Hindia Belanda saat itu. Ia hanya mendongengkan seorang pedagang yang membantu militer dan kelak kemudian hari hidupnya terjamin saat zaman berganti. Tapi sesungguhnya, tanpa memfokuskan ke arah itu, ia menyentil sesuatu yang susbtansial. Bukankah kedekatan Lim Soei Liong dengan Orde Baru berawal dari persahabatan penyelundupan semacam ini?" (halaman 43-44)

Artikel-artikel selanjutnya, kecuali yang "Cina Menghina, Tionghoa Menghibur", tidak menyinggung CBK walau masih menyangkut kecinaan. 

"Kala 'Cinta' Terhalang Industri Kejar Tayang" menceritakan sutradara N. Riantiarno yang menggarap sinetron Cinta Terhalang Tembok, adaptasi dari novel Cinta Bersemi Terhalang Tembok karya Bagin terbitan Balai Pustaka, mengenai kisah cinta antaretnis. Sinetron ini digarap secara kejar tayang, sehingga membuat sutradara berikut krunya frustrasi dan mendapatkan kritik tajam karena hasilnya tidak memuaskan. Proses produksi pun terasa dikejar-kejar. Mengenai Bagin, di Ipusnas ada beberapa novelnya tetapi tidak ada judul yang diangkat dalam artikel ini. Tampaknya novel-novel Bagin berlatar sejarah.

"Dulu Terpasung, Kini Merana", "Wajah Ramah Naga Itu", serta "Mengantar Dewa Dapur Menapak Langit" meliput bentuk-bentuk warisan budaya Cina yang masing-masing berupa wayang potehi, barongsai, dan kuliner. "Dulu Terpasung, Kini Merana" dan "Wajah Ramah Naga Itu" mengangkat sosok-sosok yang masih berusaha menghidupkan, yang satu di Semarang yang lain di Jakarta. Akibat dari pemasungan selama Orde Baru, popularitas wayang potehi tenggelam sehingga hanya bisa tampil jarang di lingkungan tertutup. Barongsai lebih disukai, sering ditanggap di mal-mal, bahkan dilestarikan oleh warga setempat. Namun terdapat penyesuaian seperti desainnya yang aslinya seram menjadi lucu. "Mengantar Dewa Dapur Menapak Langit" menyorot restoran-restoran halal yang menyajikan kuliner Cina dengan harga mahal.

"Cina Menghina, Tionghoa Menghibur" ditulis oleh novelis CBK, Remy Sylado, yang melacak jejak Cina di Indonesia. Ada penjelasan mengenai sebabnya istilah "Tionghoa" lebih disukai daripada "Cina" (halaman 72-73). Padahal, dalam praktiknya, sekitar 20 tahun sejak ditulisnya artikel ini, sepertinya orang umumnya masih lebih suka menggunakan "Cina" daripada "Tionghoa", bahkan sekarang ada istilah "Chindo"--China-Indonesia. Kiranya kata "Cina" lebih mudah diucapkan daripada "Tionghoa". Artikel ini juga memaparkan sejarah interaksi Cina dengan Indonesia yang sudah sejak lama sekali, lebih lama daripada masa Borobudur masih aktif digunakan; bagaimana Cina menjadi saudara tua yang mengajarkan hal teknis kepada pribumi, serta memengaruhi budaya (cerita rakyat dan bahasa) bahkan ciri fisik.

Artikel penutup, "Etnis Cina di Zaman yang Berubah", seperti merangkum informasi-informasi yang telah diutarakan dalam artikel-artikel sebelumnya dengan ujungnya menyoal Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang masih menunjukkan diskriminasi terhadap etnis Cina. 

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Buku ketiga, Pengaruh Budaya dan Karya Remy Sylado, juga merupakan kumpulan artikel Tempo. Ada enam artikel, tiga yang terakhir sudah ada di buku sebelumnya yang Imlek dan Budaya Cina di Indonesia, sehingga dalam buku ini saya hanya mendapat tiga artikel "baru" (= belum dibaca).

Artikel pertama, "Sumbangan Seorang Kiau-Seng untuk Republik Baru", adalah tinjauan singkat (Yusi A. Pareanom, 3 Mei 1999) mengenai novel CBK. Menurutnya, dalam separuh pertama buku, detail karakter-karakternya mengesankan terutama penggambaran Batavia 1920-an. Namun, setelah itu, stamina penulis terasa menurun tajam. Pengarang mulai lebih fokus pada detail-detal yang kurang penting yang dapat mengganggu alur cerita. Kritik selebihnya persis seperti yang sudah diulas dalam tesis terbitan Basabasi itu.

Artikel kedua, "Menunggu Tinung di Layar Perak" (Seno Joko Suyono dan Ecep S. Yasa, 27 Mei 2001), mengantisipasi film adaptasi novel CBK yang masih dalam proses produksi, rencananya akan diluncurkan seiring dengan Imlek (Januari 2002 atau sekitar setengah tahun lagi sejak tanggal tulisan ini). Ada sekilas profil Nia DiNata yang lulusan Amerika Serikat, dan sampai waktu itu masih sutradara kecil yang belum dikenal. Upayanya tampak maksimal. Di antara beberapa novel sejarah yang ia gemari (selainnya yaitu karya Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam), CBK lah yang paling menimbulkan imaji visual. Proses lobi dengan Remy Sylado untuk mendapatkan izin memfilmkan pun tidak begitu mudah.

Artikel ketiga, "Ferry Salim: Cina Tradisi" (17 Februari 2002), sepertinya dari rubrik liputan artis karena singkat sekali. Artikel ini menampilkan tanggapan Ferry Salim terhadap perannya dalam film CBK. Rupanya ia bukan sepenuhnya Cina, tidak fasih dengan hal-hal kecinaan pun tidak menguasai bahasanya, dan merayakan tradisi cuma ikut-ikutan.

Membandingkan kedua buku yang sama-sama disusun oleh Tim Penyusun Pusat Data dan Analisa Tempo serta diterbitkan TEMPO Publishing ini, buku yang pertama (2019) cakupannya agak meluas tidak semua terkait CBK sedangkan buku yang kedua (2023) semuanya bersangkutan dengan CBK. Buku yang pertama disertai dengan gambar-gambar, sedangkan buku yang kedua tidak ada tapi dari halaman 49 sampai 59 kosong melompong bahkan halaman 48 sebetulnya cuma memuat nama penulis dan tanggal terbit.

Kamis, 14 Desember 2023

Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya, Bandung
Edisi Elektronik, 2018
ISBN : 978-979-419-563-5 (PDF)

(Di Goodreads ada buku ini, tapi tidak ada edisi dengan kover yang sama dengan yang saya baca di Ipusnas.)

Dalam buku ini terdapat 20 artikel yang ditulis pada awal 1960-an sampai awal 1970-an, yang tampaknya diurutkan dengan alur tertentu.

Masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastera Indonesia

Masalah yang dijadikan sebagai judul buku ini merupakan artikel pembuka. Jujur, artikel ini tidak menarik buat saya. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Namun artikel inilah yang justru dikupas paling panjang lebar dalam pertemuan Klub Buku Laswi kemarin (14/12/2023) oleh pemantik yang sekaligus wartawan Bandung Bergerak, M. Akmal Firmansyah. Ditambah tanggapan dari beberapa peserta lain, kupasan ini memahamkan saya bahwa masalah angkatan dan periodisasi ini rupanya penting bagi peneliti sastra. Artikel ini juga menjadi titik awal dari kritik terhadap HB Jassin, yang bakal berkali-kali lagi diangkat dalam beberapa artikel lain di buku ini.

Pembahasan mengenai penyair dan karyanya

Gambar screenshot dari Instagram.
Berikutnya ada 5 artikel mengenai penyair dan karyanya, mulai dari penyair yang sudah beberapa lama tiada (Chairil Anwar), beberapa penyair yang baru saja tiada (JE Tatengkeng dan Armijn Pane), hingga penyair yang sampai ketika saya membuat catatan ini masih ada (Taufiq Ismail). 

Tulisan pertama mengenai Chairil Anwar, "Menempatkan Chairil Anwar pada Proporsinya" (1967), menjabarkan sosok sang sastrawan individualis yang berdedikasi penuh pada keseniannya sehingga menjadi contoh baik sekaligus buruk. Pandangan terhadap sang penyair pun berubah-ubah, tergantung pada musim politik. Tulisan berikutnya, "Chairil Anwar dan Politik" (1968) mengandai-andaikan Chairil Anwar masih hidup, kira-kira partai politik mana yang bakal dipilihnya di era Nasakom? Dalam tulisan ini, dengan mengutip sajaknya untuk Bung Karno, Pak Ajip menunjukkan bahwa Chairil Anwar tidak buta politik. Namun, Pak Ajip berpendapat, Chairil Anwar sepertinya akan tetap pada sikap menjunjung kebebasan.

Selanjutnya tulisan-tulisan yang mungkin boleh dianggap sebagai "obituarium", karena diawali dengan "In Memoriam". "In Memoriam: J. E. Tatengkeng (1907-1968) tampak seperti upaya penebusan dosa Pak Ajip karena dalam berkorespondensi dengan JE Tatengkeng kerap mengalami kesalahpahaman. Pada masa itu, pos tidak aman sehingga surat-surat balasan dari JE Tatengkeng kepada Pak Ajip tidak sampai sehingga Pak Ajip mengira JE Tatengkeng tidak suka membalas. Tulisan ini sekalian mengangkat dan membahas puisi-puisi JE Tatengkeng untuk menunjukkan tema utama karya-karyanya, serta riwayat hidupnya baik dalam kepenyairan maupun selainnya. Saya ingat JE Tatengkeng termasuk yang menarik buat saya, sepertinya dari membaca buku Bimbingan Apresiasi Puisi. Di Ipusnas ada bukunya yang Rindu Dendam. "In Memoriam: Armijn Pane (1908-1970)" juga memuat riwayat hidup pengarang roman Belenggu yang terkenal itu. Sampai usia 60-an, beliau masih berusaha menulis roman. Di Ipusnas ada kumpulan esainya yang merupakan bunga rampai bersama Haris Djohan, Hamka, dan Pram. Sampai di sini saya silap ternyata Armijn Pane bukan termasuk penyair, cuma diapit XP

Yang dimaksud dengan "segi lain" dalam tulisan berikutnya, "Segi Lain: Sajak-sajak Taufiq Ismail" (1968) adalah segi keislaman Taufiq Ismail, yang lebih dikenal dengan sajak-sajak demonstrannya. Tulisan ini menunjukkan penghayatan keislaman (terutama kerasulan Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam) dalam sajak-sajak Taufiq Ismail.

Persoalan tentang respons terhadap karya sastra dan pengarangnya

Sebelum terus membahas karya-karya, diselipkan mengenai persoalan pendidikan apresiasi sastra serta pelarangan pengarang. 

"Sedikit Catatan tentang Pendidikan Apresiasi Sastra" (1968) membuat saya membandingkan dengan keadaan sekarang. Sekarang ini yang laku sepertinya masih cenderung bacaan hiburan (semisal yang ada di platform-platform) sementara untuk yang dianggap sebagai "karya sastra" sepertinya banyak pembaca cenderung mengikuti yang lagi diangkat saja. Untuk buku-buku pengajaran sastra dan pendidikan apresiasi, sebetulnya sudah ada banyak. Paling tidak, semasa kuliah belasan tahun lalu saya menemukan banyak buku semacam, baik di perpustakaan pusat kampus maupun di perpustakaan kota, baik yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Indonesia, yang jejak-jejaknya terekam di blog ini. Tahun-tahun belakangan ketika sudah tidak bisa mengakses perpustakaan kampus dan malas juga menyengajakan diri untuk sering bertandang ke perpustakaan setempat, saya terus menemukan lebih banyak buku tentang itu di media digital (Ipusnas). Jadi dalam 55 tahun ini menurut saya sudah ada kemajuan dalam ketersediaan buku penunjang pengajaran sastra dan pendidikan apresiasi, cuma kalau boleh saya tebak buku-buku itu sedikit pembaca/pemakainya. Saya sendiri bukan pendidik di sekolah/penggerak di komunitas sehingga kurang tahu pasti keadaannya, cuma saya pikir yang ada di posisi-posisi tersebut punya peran lebih agar buku-buku ini banyak dimanfaatkan. 

"Laranglah Buku, Jangan Pengarang" (1969) menanggapi polemik(?) antara panitia pertimbangan seni sastra dan menteri yang berkepentingan untuk memberikan Anugerah Seni 1969. Panitia mengajukan karya-karya yang ditolak menteri karena pengarangnya memiliki hubungan politik tertentu yang bertentangan dengan pemerintah masa itu. Pak Ajip mendukung sikap panitia yang memisahkan karya dari pengarangnya. Alasannya, pengarang masih mungkin berkembang dan berubah paham pemikirannya, sedang buku seperti sekadar produk dari suatu fase yang mungkin saja kelak ditinggalkan si pengarang. Melarang pengarang dapat memutus hajat hidupnya, yang sepertinya bukan tindakan manusiawi(?). Tulisan ini mengingatkan saya pada buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Persoalan yang diangkat Pak Ajip ini sebetulnya lumrah, malah dalam buku itu disebutkan bahwa adakalanya pengarang disiksa dengan keji sampai mati. Kedua bacaan ini sama-sama mengatakannya sebagai ketidakdewasaan penguasa.

Pembahasan mengenai kritik

Tulisan-tulisan selanjutnya boleh dibilang merupakan kritik terhadap kritik, bahkan ujungnya menyasar master dari para kritikus sastra Indonesia yakni HB Jassin. Yang saya tangkap, jadi pada awal 1960-an Gunung Agung menerbitkan seri Esai dan Kritik Sastera dengan HB Jassin sebagai redaksi. Buku-buku dalam seri itu sepertinya merupakan skripsi untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang disorot dalam buku ini adalah Boen S. Oemarjati dengan Atheis ("Boen Membahas Atheis", 1963), Fachruddin Ambo Enre dengan puisi-puisi Indonesia tahun 1920-an ("Puisi Indonesia dalam Masa Dua Puluhan", 1963), M. S. Hutagalung dengan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963) dan Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) ("Dua Buku Hutagalung"), serta Junus Amir Hamzah dengan Hamka ("Junus Amir Hamzah tentang Hamka sebagai Pengarang Roman", 1964). HB Jassin yang menjadi redaksi pun tak luput dari kritik Pak Ajip terhadap kritiknya terhadap Amir Hamzah. Pak Ajip pada akhirnya menyoal kritik sastra Indonesia pada umumnya, yang menurut beliau terlalu bergantung kepada HB Jassin. 
"Sebanyak itu orang yang mengarang dan mencoba menjadi sasterawan tetapi sedikit sekali yang menulis kritik dan esai. Apalagi yang benar-benar bernilai. ... untuk menulis kritik tidaklah hanya diperlukan kepandaian menulis padat belaka, melainkan juga keluasan pandangan dan pengetahuan sosial yang mendalam. Lebih daripada sasterawan, kritikus haruslah seorang yang mengetahui benar tentang soalnya (sastera) baik secara teknis maupun secara historis, dengan latar belakang pengetahuan (terutama estetika, sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi dll) yang cukup luas." (halaman 86)
HB Jassin dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia karena dominansinya dalam kesusasteraan Indonesia, menentukan lulus atau tidaknya seorang pengarang menjadi sastrawan. Karya-karya bunga rampainya dijadikan barometer perkembangan sastra Indonesia. Padahal, menurut Pak Ajip, ada banyak pengarang yang tak kalah berkualitas tetapi tidak disertakan HB Jassin dalam karya-karya bunga rampainya itu, misalkan karena karyanya dimuat di media yang bukan HB Jassin sebagai redaksinya. Ini menarik buat saya karena saya berminat untuk membacai karya-karya bunga rampai HB Jassin itu yang tersedia di Ipusnas, begini saya coba mengurutkan judul-judulnya mengikuti periodisasi yang saya tahu:

Pujangga Baru (1963)
Kesusastraan Indonesia Masa Jepang (1948)
Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968)

Antologi ini kemudian dilanjutkan oleh Ajip Rosidi dengan judul Laut Biru Langit Biru (1977). Malah kalau mau merunut dari lebih awal lagi, di Ipusnas tersedia pula Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (terbitan KPG sampai 10 jilid!). Rupanya di luar antologi-antologi yang tersedia itu ada pengarang/karya berkualitas yang luput. 

Kalau tulisan yang mencakup kritik-kritik terhadap HB Jassin itu dijuduli "Lampu Merah buat Jassin" (1963), maka tulisan selanjutnya yang masih mengenai tokoh yang sama seakan-akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan itu sudah kebablasan alias menerobos lampu merah. "Jassin Cari Mujtahid Ketemu Gambar Burak" (1969) mengkritik Jassin yang sungguh berani menganjurkan untuk menggambar Nabi Muhammad menuruti kemajuan peradaban kiwari, yang mana ia mencari landasannya bukan dari sumber Islam langsung melainkan karya orientalis Barat. Buat saya pribadi, ini merupakan pelajaran dan pengingat akan tabiat manusia yang susah puas sehingga berbuat melampaui batas dalam hal ini menuruti nafsu visual.  
" ... mencari untuk mencari dan bukan mencari untuk menemukan apa yang dicarinya itu semacam tabi'at yang hanya diturunkan Allah SWT. kepada failusuf-failusuf jumhur atau sarjana-sarjana besar yang harus senantiasa merasa tidak puas dengan apa yang sudah diperolehnya dan yang sudah ditemuinya!" (halaman 127) "Buat mereka yang ingin mencari tetapi tidak ingin menemukan apa yang dicarinya, saya persilakan untuk membaca buku Buah-buah di Kebun Rumah karangan Slamet Soeseno atau Kesehatan Mental karangan Dr. Zakiah Daradjat--keduanya terbitan tahun 1969 ini!" (halaman 128) "Kemajuan teknik kiranya tidaklah sejalan dengan perkembangan jiwa manusia." (halaman 130)
Pembahasan mengenai roman dan pengarangnya

Artikel-artikel yang belakangan ini barulah mulai benar-benar menarik buat saya. Dalam kritik terhadap roman-roman sekalian pengarangnya itu terkandung pelajaran mengarang, relevan buat saya yang masih terombang-ambing dalam pergulatan untuk kembali menulis karangan panjang tapi kali ini dengan lebih baik dan meyakinkan. Tulisan-tulisan ini menunjukkan apa-apa yang harus diperhatikan. Misalnya, saya bisa saja memulai lagi dari cerpen-cerpen sebagai latihan atau persiapan. Namun, sekalian dengan itu, saya perlu sambil belajar efisiensi serta membuat pelukisan yang meyakinkan dalam segala aspek yang caranya dengan menguasai materi bahan. 

"Potret yang Samar-samar" (1964) membahas roman Satyagraha Hoerip, Sepasang Suami Istri, dengan pengantarnya terlebih dahulu menyoal cerpen sebagai sarana berlatih sebelum menulis karya panjang.  Salah satu pengarang yang melakukan ini adalah Satyagraha Hoerip. Beberapa cerpennya pernah dimuat di majalah sebelum terbit buku-buku romannya. Namun latihan-latihan membuat cerpen tidak lantas membuat Sepasang Suami Istri jadi roman yang efisien karena masih banyak bagian yang samar, tidak meyakinkan, baik dalam suasana batin tokoh, latar tempat dan waktu, dan seterusnya. 
"Penulisan roman itu dianggap perkembangan lebih lanjut dari penulisan cerita pendek, hal mana menimbulkan kesan membekasnya teknik penulisan cerita pendek dalam roman yang ditulisnya sehingga roman itu tak ubahnya dengan cerita pendek yang diperpanjang. .... Penguasaan penulisan cerita pendek secara teknis akan merupakan dasar-dasar yang baik bagi penguasaan teknis penulisan karya yang lebih panjang. Salah satu sifat cerita pendek yang khas yaitu bentuknya yang menuntut penulisnya ekonomis dengan kata dan kalimat adalah dasar-dasar yang baik bagi penulisan roman--sesungguhnya efisiensi ini ciri umum sastra modern yang dengan kata sesedikit mungkin, hendak menjangkau pengertian dan memberikan pelukisan yang seluas-luasnya." (halaman 132) "Efisiensi ini boleh dikatakan tak begitu diperhatikan oleh kebanyakan para pengarang kita dalam usahanya memberikan tulisan yang lebih panjang." (halaman 133) "Tapi semuanya itu terasa sangat samar, agaknya disebabkan oleh karena penulisnya kurang menguasai materi bahannya." (halaman 134) 
"Kemerdekaan Individu Menurut Nasjah Djamin" memuat dua tulisan pendek, masing-masing mengenai satu karya Nasjah Djamin. Tulisan pertama (1964) mengangkat Hilanglah Si Anak Hilang, yang menurut Pak Ajip merupakan karya matang sehingga cerpen dan drama yang dibuat pengarangnya sebelum itu seakan-akan dipersiapkan untuk lahirnya roman ini. Dari roman ini pun Pak Ajip mengutip kalimat dialog yang menarik, "Kurasa saling menyiksa dan menciptakan neraka di bumi ini, itulah yang disebut perikemanusiaan." Akibatnya saya jadi penasaran untuk turut membaca karya tersebut, alhamdulillah ada di Ipusnas. Tulisan berikutnya mengenai Di Bawah Kaki Pak Dirman (1967), yang sayangnya tidak ada di Ipusnas hiks. 

"Sejuta Matahari" (1964) mengingatkan saya pada momen ketika diajak seseorang memasuki ruangan Perpustakaan Ajip Rosidi (itu yang pertama sekaligus yang terakhir sampai waktu membuat catatan ini). Sementara dia melihat-lihat, saya mengambil satu novel Moetinggo Boesje lalu duduk membacanya di pinggir jendela. Saya tidak ingat judul novel itu, pun tidak sampai tamat membacanya. Kalau tidak salah, ceritanya mengenai seorang artis wanita dan berlatar 1960-an. Jangan-jangan novel itu termasuk karya Moetinggo Boesje yang disebutkan dalam tulisan ini. 

"Rosihan Menulis Roman" (1967) merupakan kritik terhadap roman sejarah karangan Rosihan Anwar. Pak Ajip mencantumkan kutipan dari W. Somerset Maugham (halaman 147): "Pengarang, dengan cara apa pun ia berurusan, memperlihatkan kode moral zamannya sendiri. Ini kesalahan besar novel-novel sejarah: watak-watak yang dilukiskan, walaupun mereka menjalankan perbuatan-perbuatan yang bersifat tarikhi, bertingkah laku sesuai dengan ukuran moral zaman pengarang ...", seketika jadi perhatian saya bila mau mengarang dengan latar masa silam.

"Permasalahan Islam dalam Roman Indonesia" (1967) mengingatkan bahwa dulu semasa kuliah saya pernah ngefans sama AA Navis sampai mencari dan membacai buku-bukunya yang ada di perpustakaan pusat kampus, dan sudah pula membeli buku antologi lengkap cerpennya yang diterbitkan Kompas yang sampai sekarang belum dibaca hahahaha (tapi sudah saya cari dan pindahkan ke lemari dalam kamar supaya segera dibaca setelah sekian buku lain yang lebih dulu masuk antrean ...). Keistimewaan AA Navis, seperti yang dikemukakan dalam tulisan ini, adalah karena suka mengangkat persoalan umat Islam dan menganjurkan sikap beragama yang benar menurutnya, misal tidak taklid buta dan tidak menyerah saja kepada takdir, tetapi juga harus bekerja dan berinovasi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di dunia. Tulisan ini mengingatkan saya supaya kembali menengok dan mengambil inspirasi dari AA Navis, toh dari dulu sampai sekarang alhamdulillah saya masih ada perhatian dengan keislaman serta senantiasa ingin memperbaiki pemahaman dan pengamalan. Tulisan ini juga meringkaskan jalan cerita roman Kemarau yang sepertinya rame (saya belum baca), Pak Ajip sendiri mengakuinya. Saya pun jadi mencari AA Navis di Ipusnas dan yang tersedia di sana adalah:

Kabut Negeri Si Dali (kumcer)
Bertanya Kerbau pada Pedati (kumcer)
Kemarau (novel, 0 copy hiks)
Pemikiran Minangkabau: Catatan Budaya AA Navis (nonfiksi, kayaknya)

Karena cerpennya banyak, AA Navis memang layak dijadikan model untuk mengarang cerpen secara produktif dan idealis(?). Seperti yang dikatakan Pak Ajip dalam tulisan ini, "roman menyajikan sifat-sifat manusia dalam kehidupan (hal-hal klasik), tapi bukan realita belaka, melainkan juga menyuguhkan suatu idea (kebaruan)" (halaman 152, yang di dalam kurung itu tambahan/pengertian dari saya sendiri). Maksudnya, karya-karya AA Navis sekalipun realis tetap mengandung gagasan-gagasan (idea) untuk mengatasi permasalahan yang diangkatnya.

Saran untuk penelitian sastra Indonesia

Sebagai penutup, "Perlu Peningkatan Penelitian Sastra Indonesia" (1972) menyinggung bahwa berkesusasteraan asalnya merupakan kebudayaan Eropa, yang dalam masyarakat kolonial mempunyai status lebih tinggi (termasuk Tionghoa). Karena itulah, kalangan tersebut yang mula-mula menghidupkan kesusasteraan Indonesia termasuk dalam penelitian. Terlintas pikiran bahwa kalau ingin ada lebih banyak orang mengapresiasi sastra, maka tingkatkan dulu taraf perekonomiannya sehingga mereka setidaknya memiliki waktu luang untuk itu (bisa pula untuk meningkatkan daya beli, tapi memanfaatkan perpustakaan pun jadi). Membaca tulisan terakhir ini diliputi keinsafan-keinsafan. Bagi Pak Ajip, beliau seperti mengakui bahwa dirinya tidak selalu menguasai segala informasi yang begitu luasnya. Di akhir tulisan ini ada tambahan: "Apa yang pada kita baru merupakan pikiran atau saran, orang lain telah mengerjakannya" (halaman 159). Bagi saya sendiri, tampak bahwa keleluasaan membaca adalah suatu kemewahan nonmateri. Jadi bermewah-mewahan bukan cuma dengan harta (materi), melainkan juga bagaimana memanfaatkan waktu luang (nonmateri). Di sisi lain, membaca termasuk upaya meraih ilmu yang adalah kewajiban (jadi bukan sekadar kenikmatan). Memiliki banyak harta pun tak mengapa kalau rajin bersedekah. Maka, bolehkah menulis ulasan setiap buku yang sudah tuntas dibaca dianggap sebagai suatu sedekah--agar orang yang mau baca mana tahu kecipratan manfaatnya juga? 

Minggu, 26 November 2023

Pelajaran Mengarang Cerpen dari Us Tiarsa

Gambar screenshot dari Instagram.
"Perkenalan" saya dengan penulis Us Tiarsa ternyata sudah dimulai sejak cukup lama, yaitu ketika mengikuti acara tapak tilas buku Basa Bandung Halimunan. Hampir sepuluh tahun setelah itu, perkenalan baru dilanjutkan dengan membaca sendiri kumpulan cerpen beliau, Halis Pasir, alhamdulillah sampai tuntas dan dapat menangkap isinya secara garis besar sekalipun saya tidak menguasai bahasa Sunda XD Jadi kuat motivasi saya untuk turut beranjangsana ke rumah beliau bersama Klub Buku Laswi. Posternya menampilkan kedua buku tersebut. Versi cetak Halis Pasir masih tersedia di Toko Buku Bandung depan Perpustakaan Ajip Rosidi, sedangkan Basa Buku Halimunan sudah tidak ada; tapi di Ipusnas keduanya bisa ditemukan.

Beliau bermukim di komplek perumahan wartawan yang ada di Baleendah. Kami bertolak dari Perpustakaan Ajip Rosidi selepas zuhur, merayap dalam kemacetan selama sekitar 1,5 jam; katanya hari itu ada 7 universitas sedang menyelenggarakan wisuda, salah satunya Telkom University yang berlokasi kurang lebih di tengah-tengah perjalanan. Tiba menjelang pukul 2 siang, kami baru kembali dari sana setelah azan magrib. Acara utamanya sendiri hanya sekitar 2 jam, setelah itu keramahan tuan rumah menjamu kami dengan yamin manis. 

Acara berlangsung dalam bahasa Sunda, yang secara umum masih bisa saya pahami walau adakalanya menanyakan arti kata kepada teman di sebelah. Dalam 2 jam itu, tentu banyak poin yang disampaikan oleh Abah Us Tiarsa; beberapa di antaranya dipantik oleh pertanyaan dari kawan-kawan peserta. Kami mendengar tentang riwayat kepenulisan/kewartawanan beliau, proses di balik buku-bukunya, perkara bahasa jurnalistik, anekdot mengenai tokoh-tokoh yang dikenal, masukan dalam menulis, dan sebagainya. 

Poin yang paling menarik bagi saya adalah proses kreatif di balik Halis Pasir, kumpulan cerpen yang sudah dibaca-tuntas-dan-ulas itu. Kebetulan, saya sendiri dalam pergulatan untuk menulis cerpen (atau karangan fiksi apapun) lagi. Berikut beberapa masukan beliau yang tercatat.

Ketika penulis menganggap karyanya yang terdahulu jelek tapi toh diakui media, itu berarti ia telah mengalami kemajuan.

Cerpen-cerpen di Halis Pasir pernah dimuat di Mangle dan mendapat penghargaan. Namun, dengan menyatakan yang di atas itu, apakah beliau punya anggapan sendiri mengenai cerpen-cerpennya itu? Sepertinya saya kurang menangkap penjelasan beliau soal ini. Kalau boleh saya kaitkan dengan pengalaman saya sendiri, selama saya masih menganggap karangan-karangan yang terdahulu rada-rada lumayan, itu berarti saya masih mandek atau bahkan mengalami kemunduran XD

Cerita yang isinya kebetulan belaka tidak bernilai sastra.

Beliau mencontohkan dengan menceritakan suatu kejadian yang menimpa seorang pedagang di pinggir jalan. Pedagang itu diminta pindah lapak ke tanah kosong, karena tempatnya semula dianggap dapat membahayakan. Namun, setelah pindah ke tanah kosong itu, pedagang tersebut malah tewas ditabrak kendaraan yang entah bagaimana menyelonong ke sana. Itu suatu kejadian menarik, tapi berunsur kebetulan yang jika dituliskan menjadi cerpen menurut Abah Tiarsa teu nyastra

Masukkan elemen kejutan (plot twist).

Dapat dilihat contohnya dalam Halis Pasir, banyak cerpen beliau dalam buku tersebut yang mengandung unsur kejutan. 

Setiap unsur dalam cerita harus ada alasannya.

Ini pun dapat dilihat contohnya dalam cerpen-cerpen di Halis Pasir. Dalam cerpen pertama yang sekaligus menjadi judul buku tersebut, "Halis Pasir", diceritakan mengenai seorang ibu yang bungkuk. Ibu tersebut bungkuk bukan asal bungkuk, melainkan akibat dari pekerjaannya membuat batu bata; pekerjaan itu pun punya peran yang kuat dalam menentukan jalan cerita. Dalam "Diantos di Sarayevo", tokoh utama bertemu dengan sesosok "hantu". Namun, hantu itu sebetulnya halusinasi belaka, yang kerap dialami orang dari iklim tropis kala pergi ke tempat dengan iklim ekstrem (dalam cerita ini adalah orang Sunda yang sedang ada hajat ke negara Eropa bersalju). 

Mahasiswa bertanya kepada Abah.
Gunakan kata arkais.

Contohnya, dalam cerpen "Incok", terdapat kata "enggah" yang jadi pertanyaan salah satu peserta yang notabene mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Sunda. Kata ini digunakan oleh kalangan menak untuk menyebut "kakek". Kata ini sudah tidak digunakan karena sejak zaman Revolusi sudah tidak ada kaum menak (kurang lebih begitulah yang saya tangkap). Sisi positif dari penggunaan kata arkais adalah untuk menunjukkan dan melestarikan kekayaan bahasa. Pembaca yang berdedikasi akan menelusuri arti kata yang sebetulnya kuno tapi terasa baru itu untuk menambah perbendaharaannya; apalagi kalau ia sekaligus penulis yang berdedikasi, mungkin akan tergerak untuk menggunakan juga kata tersebut dalam karangannya sendiri.

Dalam mengarang tidak harus menggunakan pengalaman pribadi, tapi lebih mengandalkan pengalaman batin.

Yang dimaksud dengan pengalaman batin sepertinya adalah imajinasi. Pengarang tidak harus mengalami sendiri yang ia tuliskan dalam cerpennya. Maka untuk bisa mengarang imajinasi harus kuat dan kaya, yang itulah problem saya sekarang sehingga susah mengarang fiksi lagi XD Ketika imajinasi tidak lagi muncul secara intuitif, bagaimana memulihkannya? Saya mendengar Abah Tiarsa memberi masukan agar terus membaca dan tidak berhenti menulis. Abah Tiarsa sendiri semasa mudanya giat membaca, menjadi anggota berbagai perpustakaan termasuk perpustakaan keliling. Pekerjaannya sebagai wartawan pun menuntut beliau untuk selalu menulis. Malah sejak kelas 4 SD (tahun 1950-an) beliau sudah menjadi "wartawan" dengan melaporkan suatu peristiwa di tempat tinggalnya (tepatnya, kedatangan pengungsi dari Tasikmalaya ke Kebon Kawung) dalam kartu pos ke Pikiran Rakyat, yang setelah itu menurunkan wartawannya sendiri untuk meliput secara langsung. Buku Basa Bandung Halimunan pun dikatakannya bukan merupakan kumpulan esai atau autobiografi, melainkan suatu karya jurnalistik. 

Tidak ada kata ketuaan.

Ini bukan masukan langsung dari Abah Tiarsa, melainkan saya tarik sendiri dari beberapa cerpennya yang dalam buku Halis Pasir bertanda "2007". Jika beliau lahir pada 1943 (yang sebetulnya 1942, ungkap beliau), itu berarti cerpen-cerpen tersebut ditulis ketika beliau sudah berusia 60-an tahun. Enam puluhan tahun dan imajinasi masih mengalir, bagaimana dengan yang usianya baru sekitar separuh usia Abah Tiarsa waktu itu? XD

(Catatan untuk diri sendiri: Untuk membaca, alhamdulillah sudah bertahun-tahun cukup intens dan konsisten dijalankan; insya Allah ingin dipertahankan sampai akhir hayat. Untuk menulis, mengingat pengalaman selama ini, sepertinya tidak cukup dengan catatan harian, ulasan, dan terjemahan tapi perlu ada sesi khusus membangkitkan imajinasi alias menulis yang semata khayalan yang tidak terputus-putus. Ada olah raga, ada pula olah imajinasi. Olah raga yang terputus-putus kurang efektif, begitu pula dengan olah imajinasi. Stay creative!)

Kamis, 23 November 2023

Jiwa Bahari dan Jiwa Pelaut

Kalau kita telusuri nama "Moerwanto" di Ipusnas, akan keluar 5 judul buku. Empat di antaranya mungkin boleh dianggap sebagai satu serial, yang judulnya sama-sama diawali dengan "Jiwa"--The Jiwa Series. Melihat tahun cetakan pertama dan akhir cerita, urutannya kira-kira begini:
  1. Jiwa Bahari, cetakan 1, 1985, 66 halaman,
  2. Jiwa Patriot: Pertempuran Lima Hari di Semarang, cetakan 1, 1992, 130 halaman,
  3. Jiwa Pejuang: Para Pelaut Remaja Membentuk Armada, cetakan 1, 1992, 126 halaman,
  4. Jiwa Pelaut, cetakan 1, 1995, 130 halaman.
Gambar screenshot dari Instagram.
Yang dikupas di Klub Buku Laswi pada 22 November 2023 hanya dua buku, yang pertama dan terakhir, yaitu Jiwa Bahari dan Jiwa Pelaut. Buku-buku ini berisikan kenang-kenangan Anto (nama kecil penulis) kala menjadi pelaut remaja pada masa seputaran proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, mulai dari masuknya Jepang sampai mempertahankan kemerdekaan dari Belanda. 

Dalam Jiwa Bahari, cerita dimulai dengan peristiwa penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Jepang kemudian mendirikan sekolah-sekolah yang mendidik pemuda untuk membantu angkatan perangnya, di antaranya adalah sekolah pelayaran yang terdiri dari Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) dan Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT). Siswa SPR berasal dari lulusan Sekolah Dasar. Di SPT ada dua jurusan, yaitu Bagian Dek untuk mendidik calon mualim, serta Bagian Mesin untuk mendidik calon ahli mesin kapal. Siswa Bagian Dek berasal dari lulusan SMP atau MULO (sekolah menengah pada zaman Belanda), sedang Bagian Mesin kebanyakan dari Ambachtschool yaitu sekolah pertukangan pada zaman Belanda. Lama belajarnya hanya 6 bulan karena tuntutan kebutuhan pada masa perang (halaman 8). Sekolah Pelayaran ini rupanya cikal-bakal Angkatan Laut Republik Indonesia, lulusannya banyak yang menjadi tokoh sebut saja Laksamana Martadinata, Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin, Laksamana Sudomo, Letnan Kolonel Slamet Riyadi (kemudian Brigjen Anumerta), dan Yos Sudarso (halaman 9).

Anto sendiri masuk ke SPT. Dalam Jiwa Bahari, masa pendidikannya kira-kira hanya 2 bab sedang selebihnya ia berikut siswa-siswa lainnya langsung diterjunkan ke lapangan--maksudnya, ke lautan--menggunakan kapal kayu sederhana dengan mesin yang juga sederhana menghadapi kapal selam canggih milik musuh Jepang. Selama itu, terdapat kisah-kisah lucu (misalnya ketika mengakali sensei Jepang yang lagi mabuk) dan kisah-kisah tragis (ada di antara rekan mereka yang tewas). Pada akhirnya, para remaja ini menyadari posisi mereka; pekerjaan ini mengorbankan nyawa dan mereka melakukannya pun untuk bangsa lain yang sedang menjajah. Memang sedari awal cerita sudah ditampakkan keengganan tokoh utama dan kawan-kawannya dalam mengikuti aturan Jepang yang sangat keras dan main kasar. Maka terjadilah rapat sembunyi-sembunyi yang berujung pada aksi "pemberontakan" berupa sabotase kapal supaya tidak bisa jalan. Namun ketika pihak Jepang mulai curiga akan adanya sabotase itu dan para awak kapal terutama ahli mesin selalu dibayangi ketakutan, keburu bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki sehingga mengakhiri perang. 

Entah apa saja yang terjadi dalam Jiwa Patriot dan Jiwa Pejuang, loncat dulu ke Jiwa Pelaut. Dalam buku ini, cerita terjadi pada awal 1946 ketika Indonesia belum lama merdeka. Anto dkk mendapat misi mengantarkan anak-anak Ambon petugas khusus didikan Badan Rahasia Negara (halaman 33) dalam dua buah kapal yang dinamai "Semeru" dan "Sindoro". Kapal ini masih kapal kayu yang sebelumnya dimiliki tentara Jepang, dengan keadaan mesin yang memprihatinkan. Dalam buku ini kembali Anto menunjukkan kecerdikannya yaitu menggunakan ganjalan kayu untuk mengatasi suatu masalah mesin.

Dalam menceritakan perjalanan ini berikut tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa di dalamnya, Jiwa Pelaut menggunakan diorama di Museum Satria Mandala (dulunya Wisma Yaso yang ditempati Bung Karno) sebagai suatu bingkai. Cerita ini seperti hendak mengklarifikasi diorama tersebut, misalnya dengan menerangkan adanya tokoh-tokoh yang juga memiliki peran penting tetapi namanya tidak turut diangkat. Maka buku ini merupakan tribute terhadap para pahlawan yang tak tercatat itu. 

Dalam pembahasan di Klub Buku Laswi, Kang Deni selaku pemantik membuat perbandingan bacaan anak antara dulu dan sekarang dari aspek penulis, tampilan, dan konten. Yang dimaksud dengan dulu ialah masa ketika buku-buku ini diterbitkan pertama kali, sekitar 20-30 tahun lalu. Dari aspek penulis, bacaan anak dulu ditulis oleh orang dewasa sehingga bisa jadi cenderung menggurui sedangkan bacaan anak sekarang ditulis oleh anak-anak sendiri sehingga pastinya lebih mewakili perspektif anak-anak. Dari aspek tampilan, bacaan anak sekarang jelas tampak lebih menarik dengan banyak gambar yang berwarna-warni sedangkan bacaan anak dulu hampir-hampir teks melulu yang sesekali saja disisipi gambar hitam-putih ala kadarnya. Dari aspek konten, bacaan anak dulu pun sepertinya belum mengenal "sensor" yang ketat; mungkin karena ditulis orang dewasa maka sesekali terselip adegan "dewasa" contohnya dalam Jiwa Bahari dan Jiwa Pelaut ini beberapa kali disebutkan adanya tokoh remaja yang mabuk oleh minuman keras juga ada yang merokok kretek. 

Saya sendiri ketika membaca buku-buku ini dalam usia yang tidak boleh disebut anak remaja lagi merasakannya sebagai bacaan yang cukup memusingkan. Alur ceritanya kurang lancar saya ikuti. Nama tokoh-tokoh beserta detail-detail sejarah dan mesin kapal seperti diserakkan penulis begitu saja sembari bercerita, seakan-akan tanpa perhatian bahwa pembaca (apalagi usia anak remaja!) mungkin belum memiliki banyak wawasan sejarah khususnya kemaritiman apalagi soal permesinan.

Untuk tokoh, tidak memungkiri bahwa dalam membaca buku-buku ini membekas kesan beberapa di antaranya. Sebut saja Mursid yang suka bolos jaga mesin dengan alasan mabuk laut, Yos Sudarso yang walau Katolik kerap mengingatkan salat, Anna Luhukay yang satu-satunya perempuan di kapal, lalu ada yang tidak pernah lepas dari kretek dan ada pula yang keturunan Tiongkok, tidak lupa Anto yang cerdik, suka membaca, dan ingin jadi pengarang kelak, dan lain-lainnya. Belum lagi karena tokoh utama dkk pada dasarnya masih remaja adakalanya mereka bertingkah slengean, suka saling mengejek bahkan beberapa suka mangkir tugas. Namun kesan-kesan itu tertangkap secara acak, seiring dengan mengalirnya cerita saja alih-alih melalui perkenalan yang rapi perlahan-lahan.

Mengingat para tokoh yang hampir semuanya lelaki berikut adanya adegan-adegan "dewasa", sepertinya bacaan ini lebih tepat bagi remaja pria atau laki-laki muda yang mulai beranjak dewasa. Terlebih kalau mereka punya minat khusus terhadap sejarah, mesin, kapal, perang, dan sebagainya. Karena sebagai bacaan relatif berat oleh detail-detail yang cenderung segmented itulah, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas, saya setuju andaikan saja buku ini dialihwahanakan, misalnya sebagai film, yang lebih mengedepankan alur, misi, petualangan, pengembangan karakter, diselipi kejadian-kejadian jenaka maupun tragis.

Minggu, 19 November 2023

Mengenal Rumphius di Jante

Gambar screenshot dari Instagram.
Baru pada H-2 saya mengetahui telah terbit terjemahan buku Rumphius oleh Komunitas Bambu yang harganya hampir 800K, dan akan diperbincangkan di Kedai Jante. Bukannya saya tahu benar tentang Rumphius, sebetulnya hanya samar-samar dari bacaan sana-sini bahwa ia seorang penulis alam di suatu kawasan nusantara berabad-abad silam yang mengalami berkali-kali tragedi dalam hidupnya seperti kebutaan dan kebakaran. Samar-samar wawasan itu kiranya saya dapatkan dari buku Kepulauan Nusantara Alfred Russel Wallace yang juga diterbitkan oleh Komunitas Bambu (yang saya sudah baca tapi terhenti dan itu sudah bertahun-tahun lalu entah kapan akan lanjut mungkin bakal mengulang dari awal :v). Rumphius menarik karena saya ada sedikit ketertarikan sama alam; kebetulan pula baru menamatkan Priangan Andries de Wilde. Kalau de Wilde menulis tentang alam Priangan, maka Rumphius mengenai Ambon. Ingin saja meraup khazanah alam nusantara sebelum negara api datang menyerang. Tapi, aduh, harga buku Rumphius itu bisa untuk memberi makan kucing-kucing kelaparan di sekitar rumah selama beberapa bulan, atau menabung 1 batang emas Antam 0,5 gram dan sisanya untuk pecahan yang lebih mungil dari Galeri 24 :')

Karena penasaran, setidaknya datang dahulu ke acara bincang-bincangnya untuk mendapat gambaran mengenai buku itu. Acaranya pada Jumat, 18 November 2023, dari jam 16.00 sampai sekitar magrib WIB. Pembicara utama adalah Pak T. Bachtiar dan Pak JJ Rizal. Pak Bachtiar saya baru "kenal" dari bukunya, Menjelajah Taman Nasional Ujung Kulon, sedangkan Pak Rizal yang punya Komunitas Bambu.

Gambar dokumentasi Nurul Maria Sisilia.

Sebelum menyoal buku, Pak Bachtiar mengantar dengan membagikan pengalamannya pada 2016 ketika melawat ke Ambon khususnya ke tempat-tempat yang berhubungan dengan Rumphius. Ada foto-foto pemandangan yang sangat cerah sekali. Nantinya beliau bilang bahwa di Indonesia belahan timur sana pada jam-jam tertentu (kalau tidak salah, sekitar siang sampai sore) sinar mataharinya sangat baik menampakkan pemandangan alam yang indah. Beliau juga menerangkan bahwa pembentukan alam di Indonesia timur lebih rumit makanya hasilnya "aneh-aneh", lautnya pun dalam-dalam. Dari pemaparan beliau, saya menangkap bahwa Rumphius bukan hanya menulis tentang flora dan fauna tetapi juga bencana alam yang pernah terjadi seperti gempa dan tsunami. Tulisannya itu mengandung informasi yang dapat dikembangkan untuk mitigasi, agar kelak tidak kaget ketika terjadi lagi lazimnya suatu siklus. Dari Rumphius kita dapat belajar pentingnya mencatat; ia teladan dalam menuliskan kebanggaan alam dan budaya. Tak luput Pak Bachtiar menampilkan serangkaian tragedi yang menimpa Rumphius dalam usahanya itu (disalin dari slide beliau dengan sedikit penyesuaian):

  • Naskah bukunya dicekal untuk terbit oleh VOC karena memuat hal yang dipandang dapat mempengaruhi persaingan dagang.
  • Kapal yang mengirim naskah bukunya ke Belanda ditenggelamkan Perancis pada 1692.
  • Kantong pemukiman orang Belanda terbakar sehingga menghanguskan semua catatan, naskah, dan gambar; ia pun mengulang pekerjaan menulis dan membuat gambar.
  • Terjadi gempa dan tsunami yang dahsyat yang merenggut nyawa istri dan putri bungsunya.
  • Pada usia 43 tahun, matanya terkena glaukoma sehingga pandangannya buram.
Pantaslah buku ini dibanderol begitu mahal, toh baik naskah maupun penulisnya telah mengalami banyak tragedi! 

Penampakan buku 
Rumphius terbitan 
Komunitas Bambu.
Gambar dokumentasi
Nurul Maria Sisilia.
Bagaimana dengan penerbitan buku ini sendiri khususnya untuk terjemahan bahasa Indonesia? Selanjutnya Pak Rizal menceritakan perburuannya mendapatkan buku Rumphius. Beliau mencari ke sana kemari, sampai mendatangi rumah tokoh-tokoh yang katanya punya buku tersebut, dan akhirnya menemukan edisi berbahasa Inggris di museum depan Kebun Raya Bogor sebelum kemudian membeli hak ciptanya. Rupanya buku terjemahan yang diterbitkan Komunitas Bambu ini tidak mencakup semua karya Rumphius karena kalau selengkapnya itu banyak sekali. Buku terjemahan ini saja sudah cukup besar dan tebal dengan harga yang kalau menurut kebanyakan orang "mahal". Kalau boleh saya bandingkan buku ini hampir-hampir seukuran dengan terjemahan The History of Java yang diterbitkan Narasi. 

Pak Rizal menambahkan hal lain yang patut diapresiasi dari Rumphius yaitu sangat menghargai "scientist" lokal. Mereka membantu Rumphius mencarikan bahan dan memberitahukan segala pengetahuan lokal untuk dicatatnya. Karyanya tidak akan jadi tanpa peranan masyarakat setempat, belum lagi orang-orang Belanda yang membantu membuatkan gambar. Rumphius juga punya jaringan yang sangat luas. Ia mengaku diri sebagai amatir dan menganggap kerja sunyi menuliskan sejarah alam ini suatu labour of love, tetapi cintanya ini didukung oleh banyak orang beragam bangsa. Makanya, terlepas dari berbagai tragedi yang menimpa, ia tak putus asa mengulang-ulang pembuatan karya ini. Walaupun berasal dari Jerman, bisa dikatakan ia cuma menumpang lahir di sana tetapi jiwanya anak Ambon. Sikap Rumphius ini tidak seperti naturalis lain contohnya yang disebut-sebut yaitu Junghuhn dan Wallace, yang katanya rasis terhadap pribumi sudah begitu mendukung tanam paksa.

Dalam acara ini saya perhatikan beberapa kali Pak Rizal "diolok" bahwa buku ini tak akan laku. Dilempar pertanyaan seperti, "Pernahkah memikirkan pengaruh nyata buku yang diterbitkan?' Kasarnya kurang lebih kayak: "Memangnya bakal ada yang baca?" Yang saya kagumi dari beliau adalah dengan tegasnya menyatakan, "Tidak memikirkan! Bukan urusan!" Beliau sudah kebal dengan usikan macam itu, termasuk soal pembajakan. Penerbit hanya memproduksi dan ide itu macam punya "kaki" sendiri, setelah dilepas biar saja berjalan-jalan entah ke mana menjadi apa. "Kalau memikirkan entar jadi putus asa. Realitanya bikin gila." Demikian saya kutip sepatah-sepatah dari beliau. Sikap "ikhlas" begini yang saya pribadi lagi berusaha miliki, relevan jika kita punya kebutuhan menulis; kegalauan bakal ada yang baca atau tidak itu tidaklah perlu. Apalagi bila ada cita-cita yang diperjuangkan, yang bagi Pak Rizal berupa kepentingan sains dan budaya.

Pak Rizal mengakui bahwa Komunitas Bambu punya reputasi menerbitkan buku tebal dan enggak laku. Salah satunya buku Kepulauan Nusantara yang katanya baru terjual habis dalam sepuluh tahun (memang itu buku sangat besar dan hard cover). Namun ada juga buku-buku terbitan Komunitas Bambu yang populer, laris (bajakannya), bahkan diadaptasi jadi suatu program, di antaranya Mustikarasa dan Sejarah Rempah. Beliau tidak pesimistis soal minat baca masyarakat, bahkan menemukan bahwa minat baca generasi muda sebetulnya tinggi; akses terhadap bacaan yang tidak selalu mudah. Pak Bachtiar pun di awal sempat mengungkit bahwa beliau melihat di toko buku anak muda membeli buku tebal sehingga optimistis pula soal minat baca masyarakat. Lagi pula ada sebagian masyarakat yang beli sepatu seharga jutaan saja mampu (belum lagi tiket konser dsb you name it), masak untuk pengetahuan yang "cuma" ratusan ribu sungkan? 

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain