Rabu, 22 Maret 2023

Gema Tanah Air (1/2)

Gambar di-screenshot 
dari Ipusnas.
Dikumpulkan dan diberi kata pendahuluan oleh : HB Jassin
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Bandung, bekerja sama dengan Bakti Budaya Jarum Foundation
Diterbitkan pertama kali oleh : Balai Pustaka, Jakarta, 1948
Edisi Pustaka Jaya cetakan pertama, 2013
ISBN : 978-979-419-391-4, (E) 978-979-419-555--0

Di Goodreads ada Gema Tanah Air, tapi tidak ada yang kover dan ISBN-nya sama dengan yang saya baca di Ipusnas sehingga saya membuat catatannya di blog sini.

Dalam rangka memupus penasaran, memecah kebosanan, menggelitik dan membangkitkan gairah kreatif kepengarangan, setelah kurang lebih setengah tahun yang pastinya terputus-putus, saya tamat membaca buku setebal 750-an halaman ini dengan berkali-kali download di Ipusnas :D (harga cetaknya di toko buku sampai seperempat juta rupiah 🥲).

Karya-karya puisi dan cerpen dalam buku ini terbit pada masa penjajahan Jepang (1942) sampai masa revolusi atau mempertahankan kemerdekaan (awal 1950-an) di sejumlah majalah dan surat kabar, ditulis oleh yang lebih tua sekaligus lebih muda daripada saya. Lebih tua karena mereka lahir sekitar seabad lalu (1910-1930-an, kurang lebih sebaya dengan mbah/kakek-nenek saya yang sudah pada meninggal dunia). Lebih muda karena usia mereka saat menulis karyanya sekitar akhir belasan sampai awal 30-an tahun--rata-rata 20-an tahun--usia ketika saya sendiri lagi di puncak keranjingan menulis. Sepertinya usia 20-an tahun ke bawah itu memang masanya bermain-main eksplorasi diri dan dunia 🤔

Dalam pembacaan ini, saya mendapati bahwa saya masih bisa menikmati dan menilai bagus-tidaknya suatu karya khususnya yang berupa cerpen. (Tentunya itu menurut standar dan selera saya sendiri; apa yang menurut saya bagus mungkin biasa saja bagi orang lain dan apa yang menurut orang lain bagus mungkin tidak kena bagi saya.) Namun, seperti yang sudah-sudah, dengan membaca saja tidak cukup merangsang diri untuk menulis lagi dengan lebih baik lagi hehehehe. Di sini saya akan mendaftar karangan dalam buku ini yang menarik buat saya terutama yang menimbulkan rasa ingin "mengkliping", disertai komentar singkat sebagaimana yang tertulis di catatan sembari membaca sesuai dengan urutan kemunculannya. Awas spoiler.

Untuk puisi, sayangnya saya masih kurang dapat mengapresiasi. Cuma beberapa saja puisi dalam buku ini yang kena. Lagipula, setelah membaca buku-buku tentang apresiasi puisi, memang "membaca" puisi tidaklah semudah membaca prosa. Di sini saya juga akan menampilkan kutipan beberapa puisi yang buat saya layak dimenungkan lebih dalam.
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara, 
Biar lahirku diancam derita,
Tidak daku sudi serupa.
("Bunglon" - Ashar Munir Samsul, 1942)
"Tinjaulah Dunia Sana" - Maria Amin
Ini karangan deskriptif tentang macam-macam ikan dalam akuarium berikut karakternya masing-masing berdasarkan penampilan fisiknya (ih, lookism banget deh). Bisakah karangan ini disebut sebagai "vinyet"? Kalau zaman sekarang, ketimbang menguraikan dengan kata-kata seperti ini, si kreator mungkin lebih suka ambil footage dari tiap-tiap ikan untuk dirangkai menjadi satu video kemudian diunggah ke YouTube. Karena dahulu belum ada teknologi videografi, maka digunakanlah kata-kata. Mungkin. Sebetulnya karangan ini tidak sepenuhnya deskriptif karena di ujung ada sedikit twist, dari akuarium ke pelelangan. Itu seakan-akan usaha untuk memberikan makna sehingga karangan ini tidak datar amat. Gaya pengarangnya sendiri terasa persuasif, mengajak pembaca untuk "melihat" melalui penggambarannya itu.

Musik yang sepertinya pas untuk
mengiringi karangan ini.

"Kenang-kenangan" - Abdulgani Abdullah Katili
Cerpen favorit pertama saya dalam pembacaan ini, cerita yang terasa unik. Nama penulisnya menampakkan dia seorang muslim, tapi dalam karangan ini dia menjadi seorang Manado dengan gaya hidup Barat dan menyebut-nyebut pastor. Apakah ini menurut pengalamannya sendiri, atau dia sedang menyaru saja? Jangan-jangan ini sebuah satire sosial, mengangkat kaum bumiputera pansos penjilat Belanda. Itulah kocaknya, saking ingin dianggap sebagai bagian dari bangsa Barat sehingga menanggung konsekuensi tertentu. Karya semacam ini sepertinya sudah banyak belakangan.

Cerpen lainnya dari pengarang ini tampak masih bernada satire dan kocak, tapi kurang kena buat saya.

"Permintaan Terakhir" - Usmar Ismail
Cerpen yang bagus dan mengharukan, kena soalnya mengenai proses kreatif.

"Radio Masyarakat" - Rosihan Anwar
Ceritanya panjang banget dan kiranya masih relevan dengan zaman sekarang. Tokoh Kus dalam cerita ini mungkin boleh dibilang The Doomer zaman Jepang: pemuda yang kepayahan terpincang-pincang menghadapi perubahan zaman, lekas putus asa tak melihat jalan. Katanya ia pun terbiasa hidup mewah dan manja -_- Vibe-nya Kus ini juga mengingatkan sama Guru Isa di Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (yang fragmennya bakal muncul di bagian belakang buku ini). 

Di bacaan atau media mainstream, biasanya digembor-gemborkan semangat kepahlawanan pemuda zaman penjajahan '45 yang patut dicontoh generasi selanjutnya dst dsb. Namun karangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tersebut seperti menyiratkan bahwa ada juga pemuda-pemuda jenis lainnya yang bertolak belakang. Luput dari semangat itu, tidak gesit menyesuaikan diri sebagaimana diperlukan. Malah kalau ditarik lebih jauh dan luas lagi, ke Rusia yang terkenal tough sampai beruang pun ngeri, ada pemuda macam Oblomov (Ivan Goncharov)

Cerita Kus ini dapat dengan mudah "diterjemahkan" ke konteks sekarang, misal dia ini mahasiswa Hukum yang gegara ada Covid-19, kuliahnya diliburkan sampai entah kapan, jadi serta-merta merasa masa depannya bakal suram dan kena mental terus berobat ke sepikolog tapi berkat kenalannya seorang super-nakes yang berjuang di garis depan, dia pun bangkit dan ikut bootcamp untuk banting setir jadi dana analyst supaya bisa work from home.

Pemecahan masalah cerita ini mengingatkan sama drama Jepang Freeter, Ie wo Kau tentang pemuda sarjana yang susah dapat kerja lagi setelah resign, terpaksa menjadi buruh kasar tapi toh pada akhirnya dapat kesempatan yang tak terduga yang lebih nyaman di hati. 

Kiranya begitulah nasib pemuda dari masa ke masa di mana saja. Sejak bergenerasi-generasi dahulu di mana pun, sudah ada pemuda model begitu. Kalau mereka hidup pada masa sekarang, bakal lebih ruwet lagi pikirannya dengan teori-teori dan informasi yang makin banyak. Ada saja yang patah semangat dan tidak adekuat dalam menghadapi perubahan zaman. Toh yang penting akhirnya ketemu jalan :) Jalan tak ada ujung.
... pembersihan jiwa haruslah dilakukan di tempat semula, yang tadinya banyak mendatangkan kesukaran itu, sebab di sanalah terbukti nanti apa tahan uji atau tidaknya, .... (halaman 138)
"Menyinggung Perasaan" - Matu Mona
Karangan yang menohok ini dimuat pada 1942. Walau kejadian-kejadiannya tampak seperti kebetulan, tertangkap intinya bahwa kesusastraan itu cuma orang tertentu saja yang dapat menghargai. Di karangan Misbach Yusra Biran tahun '50-an pun begitu. Selebihnya, menghargainya sebagai barang loak untuk pembungkus kue. Jadi sejak zaman Jepang sampai sekarang memang mending jadi juragan kos-kosan ._. 
Aku pun begitu sekarang
Jiwa kosong dan malang
Bulan bintangku hilang.
("Hampa" - Bahrum Rangkuti, 1946)
Kau takut
api dan maut? 
("Insaf" - Bahrum Rangkuti, 1946)
Dan ....
Sajakku kelak pembungkus kacang, 
Prosa puisiku pembungkus kopi,
Dewi Seni akan menangis.
("Masa Baru" - Purwa Atmadja, 1946)
Hanya siput, biasa senantiasa
bertahan dalam sempit kerangnya
dibawa melata di alam luas.
Biarpun ia hendak bebas
tak dapat juga lepas
dari sempit karangnya! 
("Dogma" - Mahatmanto, 1947)
TImbul pertanyaan yang mengerikan dalam hati
--siapa di antara kami yang paling dikasihi Ilahi
Aku ataukah anjing belang kerdil kecil ini
dengan lidah yang meraba-raba sampah
di atas tanah?
("Anjing Belang" - Mahatmanto, 1950)
"Wartawan di Desa" - Anggraito, 1946
Cerita yang sebetulnya agak membingungkan untuk diikuti. Banyak istilah Belanda. Kiranya ini cerita tentang orang katro ndeso yang belum tahu wartawan itu apa, begitu pula dengan kamera. Saking enggak pernah keluar desa kali ya, dan mungkin pada masa itu kamera belum umum sampai ada sangkaan bahwa kalau difoto nanti bagian dalam tubuhnya bisa kelihatan (ya kali rontgen wkwkwk). Selain itu, ada semacam subplot (atau pemanis cerita saja? :p) mengenai salah satu wartawan yang pernah tinggal di situ waktu kecilnya. Ada komentar lucu, wartawan kok senyum. Apa waktu itu yang dianggap orang tinggi atau orang besar itu pada enggak suka senyum, ya. Karya ini menarik karena banyak memberi tahu keadaan pada suatu tempat, masa, dan budaya.

(Karena panjangnya tulisan ini, saya potong jadi dua. Bersambung ke entri selanjutnya.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain