Senin, 06 Agustus 2012

Anak-anak itu melahap emosi negatifku


Setiap kali perasaanku memburuk, aku memasukkan uang ke dalam celengan. Kucari uang dengan nominal terkecil di dompetku. Mulai dari sekeping selawe, hingga selembar biru yang bikin aku harus ke ATM lagi setelahnya.

Sebelumnya aku mencurahkan segalanya pada kertas. Kata orang, apa yang tertulis akan abadi. Tapi apakah aku ingin dikenang sebagai orang yang gundah terus-menerus sepanjang hidupnya? Mungkin ada baiknya menyimpan kertas, alih-alih mengotorinya.

Belasan tahun kemudian, uang yang aku kumpulkan cukup untuk membiayai acara buka bersama di satu panti asuhan selama dua Ramadhan.

Ketika melihat wajah sumringah anak-anak itu, yang tengah mengunyah lauk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, apakah aku harus mensyukuri emosi negatif yang merundungiku selama ini?

Minggu, 05 Agustus 2012

Jalani Hidup dengan Ringan a la Jurnalis Narsis

Judul : Jurnalis Narsis
Pengarang : Doni Indra
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa, Jakarta, 2010

Sampul depan yang menipu. Seorang cowok dengan jambul bergaya dengan so sok iyeh. Dua mbak-mbak kece mengapitnya. Sinopsis di sampul belakang memang tidak mengindikasikan kalau novel ini merupakan kisah cinta segitiga, tapi dengan desain sampul depan yang sedemikian rupa enggak salah dong kalau pembaca berprasangka? Judul juga rada menipu sebenarnya, karena berbagai kejadian dalam novel ini tidak mengeksplorasi kenarsisan sang jurnalis semata.

Bagaimanapun sinopsis di sampul belakang sudah jujur, secara umum membocorkan apa yang bakal pembaca dapat dari novel ini: 


Selain seru dan kocak abis, kamu juga bakal dapat wawasan seputar jurnalistik dan pasar modar, eh modal, di dalam buku ini. 


Eh maaf, yang saya garis bawahi itu relatif sih.

Format novel ini cenderung seperti personal literature (pelit) sebenarnya, alih-alih fiksi. Atau mungkin pelit yang difiksikan? Lagipula pengarang pun memiliki latar belakang sebagai wartawan di mingguan bisnis dan investasi. Sudut pandang dituturkan oleh orang pertama dengan kata ganti “gue”. Lalu antara satu bab dengan bab lain tidak terdapat alur yang padu, melainkan masing-masing sebagai cerita tersendiri dengan latar yang tentu saja sama, yaitu kehidupan wartawan pasar modal. Dibilang serial pun kurang tepat. Novel ini lebih seperti kumpulan pengalaman Paijo, sejak direkrut sampai dapat cuti untuk pulang kampung.

Alkisah Paijo merupakan wartawan junior di majalah ekonomi dan bisnis yang terbit dwimingguan, Bisnis Moncer. Ia diterjunkan di dunia pasar modal, dengan redaktur bernama Mas Kendor. Dalam novel ini tidak banyak karakter yang muncul secara kontinyu selain Paijo dan redakturnya ini. Karakter-karakter lain timbul dan lenyap begitu saja, namun cukup mewarnai kehidupan Paijo. Mungkin karena situasinya memang riil, maka karakterisasi bukan hal yang begitu penting untuk diperhatikan.

Meski novel ini kurang memenuhi kaidah ke-fiksi-an (haha boleh ya sok ngasih istilah?), novel ini sangat berwawasan. Pengetahuan mengenai pasar modal dijabarkan dengan gaya yang akrab. Pembaca dibuat tahu kalau ada profesi yang dinamakan “analis”, trik-trik dalam permainan saham, sampai konsekuensi dari bermain saham yang berbuah ke-boncos-an alis apes! Boncos, moncer, bahasa dari mana sih itu? He.

Gambaran mengenai profesi wartawan sendiri diberikan melalui aksi Paijo. Ia yang lulusan agrobisnis semula buta dengan dunia pasar modal. Sang redaktur memberikannya kamus dan buku-buku agar ia belajar. Ia pun masih berpedoman pada TOR dalam melakukan wawancara dengan narasumber, meski lama-lama ia bisa jadi penanya yang jitu. DIbentak-bentak Mas Kendor tidak menjadi tekanan batin bagi Paijo, ia lanjutkan saja pekerjaannya dengan santai. Ia juga punya banyak akal. Berbagai cara ia coba untuk mengorek informasi dari narasumber yang susah ditemui, mulai dari mengaku-ngaku sebagai keponakan ahli jantung, jadi kurir tukang gorengan, sampai tukaran baju dengan mas-mas delivery service. Sempat ia ketar-ketir saat ada narasumber yang sepertinya marah karena laporan yang ia bikin, tapi siapa sih yang bisa memastikan nasib?

Biar labelnya “Fun! Fiction”, novel ini tidak bikin saya segeli saat baca novel-novelnya Arry Risaf Arisandi. Kelucuan-kelucuan yang diupayakan pengarang dalam novel ini agaknya bakal lebih mengena apabila diwujudkan dalam bahasa visual, alih-alih bahasa tulisan. Jika divisualisasikan mentah-mentah tanpa memoles alurnya agar padu, versi film dari novel ini mungkin bakal seperti film “Napoleon Dynamite.” Adegan satu dengan adegan lain seakan tidak sinkron, meski sebagai kesatuan sudah cukup untuk menceritakan kehidupan seorang karakter. Daya tariknya terletak pada aksi orang-orang dalam kehidupan karakter tersebut yang rada enggak umum.

Biarpun nanggung sebagai fiksi, tanggapan saya terhadap novel ini positif. Pengetahuan mengenai pasar modal meluaskan wawasan saya. Lika-liku profesi wartawan pun dibawakan dengan gaya yang ringan, seolah mengasyikkan, meski tentu tidak semua orang bisa menyikapi profesinya sebagaimana Paijo.

Dan biarpun belum berhasil sebagai komedi, saat membaca novel ini saya sampai pada satu titik yang menambah pemahaman saya akan komedi. Karakter dalam komedi tidak menganggap emosi negatif orang lain padanya sebagai tragedi, yang bakal terus membekas dalam sanubari (halah). Karakter tersebut malah memberikan respons enggak terduga, yang mengundang kegelian. Inilah asyiknya komedi, kita disugesti untuk enggak memusingkan hal-hal negatif di sekitar kita, melainkan menanggapinya dengan jenaka. Selama masih dikasih napas, hidup harus diperjuangkan. Kita enggak bisa cuman berkubang di satu titik, karena masih banyak titik di depan sana yang harus kita titi, dan pada tiap titik kita diharapkan bisa memperoleh sesuatu—dalam komedi itu berarti senyum atau malah tawa.***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...