Ruang
Accidental Poetry
(1)
aktivitas lain
(39)
Babakan Siliwangi dan sekitarnya
(10)
bahasa rupa-rupa
(27)
bebas
(40)
belajar terjemah
(13)
cerita foto
(19)
cerita pendek
(60)
cuplikan diary SMP
(12)
diari grafis
(7)
gegambaran
(18)
hehijauan
(26)
intrapersonal
(29)
jalan-jalan
(44)
Jelajah Ujung Kulon
(12)
kekebun-kebunan
(15)
kenangan merapi
(14)
kesehatan mental
(11)
kliping
(28)
kontemplasi
(34)
liTERASI
(50)
musik
(55)
news
(5)
pardon my english
(12)
pembacaan
(182)
proyek nyonya teladan
(17)
puisi
(51)
rimbawan kota
(13)
Science Film Festival 2014 YPBB Bandung
(6)
The Harper Anthology of Fiction
(30)
tontonan
(32)
WARBUNG
(9)
Senin, 06 Agustus 2012
Anak-anak itu melahap emosi negatifku
Setiap kali perasaanku memburuk, aku memasukkan uang ke dalam celengan. Kucari uang dengan nominal terkecil di dompetku. Mulai dari sekeping selawe, hingga selembar biru yang bikin aku harus ke ATM lagi setelahnya.
Sebelumnya aku mencurahkan segalanya pada kertas. Kata orang, apa yang tertulis akan abadi. Tapi apakah aku ingin dikenang sebagai orang yang gundah terus-menerus sepanjang hidupnya? Mungkin ada baiknya menyimpan kertas, alih-alih mengotorinya.
Belasan tahun kemudian, uang yang aku kumpulkan cukup untuk membiayai acara buka bersama di satu panti asuhan selama dua Ramadhan.
Ketika melihat wajah sumringah anak-anak itu, yang tengah mengunyah lauk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya, apakah aku harus mensyukuri emosi negatif yang merundungiku selama ini?
Minggu, 05 Agustus 2012
Jalani Hidup dengan Ringan a la Jurnalis Narsis
Judul : Jurnalis Narsis
Dan biarpun belum berhasil
sebagai komedi, saat membaca novel ini saya sampai pada satu titik yang
menambah pemahaman saya akan komedi. Karakter dalam komedi tidak menganggap
emosi negatif orang lain padanya sebagai tragedi, yang bakal terus membekas
dalam sanubari (halah). Karakter tersebut malah memberikan respons enggak
terduga, yang mengundang kegelian. Inilah asyiknya komedi, kita disugesti untuk
enggak memusingkan hal-hal negatif di sekitar kita, melainkan menanggapinya
dengan jenaka. Selama masih dikasih napas, hidup harus diperjuangkan. Kita
enggak bisa cuman berkubang di satu titik, karena masih banyak titik di depan
sana yang harus kita titi, dan pada tiap titik kita diharapkan bisa memperoleh
sesuatu—dalam komedi itu berarti senyum atau malah tawa.***
Pengarang :
Doni Indra
Penerbit : PT Lingkar Pena Kreativa, Jakarta, 2010
Sampul depan
yang menipu. Seorang cowok dengan jambul bergaya dengan so sok iyeh. Dua mbak-mbak kece mengapitnya. Sinopsis di sampul
belakang memang tidak mengindikasikan kalau novel ini merupakan kisah cinta
segitiga, tapi dengan desain sampul depan yang sedemikian rupa enggak salah
dong kalau pembaca berprasangka? Judul juga rada menipu sebenarnya, karena
berbagai kejadian dalam novel ini tidak mengeksplorasi kenarsisan sang jurnalis semata.
Bagaimanapun
sinopsis di sampul belakang sudah jujur, secara umum membocorkan apa yang bakal
pembaca dapat dari novel ini:
Eh maaf, yang saya garis bawahi itu relatif sih.
Selain seru dan kocak abis, kamu juga bakal dapat wawasan seputar jurnalistik dan pasar modar, eh modal, di dalam buku ini.
Eh maaf, yang saya garis bawahi itu relatif sih.
Format
novel ini cenderung seperti personal
literature (pelit) sebenarnya,
alih-alih fiksi. Atau mungkin pelit yang difiksikan? Lagipula pengarang pun memiliki latar belakang sebagai
wartawan di mingguan bisnis dan investasi. Sudut pandang dituturkan oleh
orang pertama dengan kata ganti “gue”. Lalu antara satu bab dengan bab lain
tidak terdapat alur yang padu, melainkan masing-masing
sebagai cerita tersendiri dengan latar yang tentu saja sama, yaitu kehidupan wartawan
pasar modal. Dibilang serial pun kurang
tepat. Novel ini lebih seperti kumpulan pengalaman Paijo, sejak direkrut sampai
dapat cuti untuk pulang kampung.
Alkisah Paijo merupakan wartawan junior
di majalah ekonomi dan bisnis yang terbit dwimingguan, Bisnis Moncer. Ia diterjunkan di dunia pasar modal, dengan redaktur
bernama Mas Kendor. Dalam novel ini tidak banyak karakter yang muncul secara
kontinyu selain Paijo dan redakturnya ini. Karakter-karakter lain timbul dan
lenyap begitu saja, namun cukup mewarnai kehidupan Paijo. Mungkin karena
situasinya memang riil, maka karakterisasi bukan hal yang begitu penting untuk
diperhatikan.
Meski novel ini kurang memenuhi kaidah
ke-fiksi-an (haha boleh ya sok ngasih
istilah?), novel ini sangat berwawasan. Pengetahuan mengenai pasar modal
dijabarkan dengan gaya yang akrab. Pembaca dibuat tahu kalau ada profesi yang
dinamakan “analis”, trik-trik dalam permainan saham, sampai konsekuensi dari
bermain saham yang berbuah ke-boncos-an
alis apes! Boncos, moncer, bahasa
dari mana sih itu? He.
Gambaran mengenai profesi wartawan sendiri
diberikan melalui aksi Paijo. Ia yang lulusan agrobisnis semula buta dengan
dunia pasar modal. Sang redaktur memberikannya kamus dan buku-buku agar ia
belajar. Ia pun masih berpedoman pada TOR dalam melakukan wawancara dengan
narasumber, meski lama-lama ia bisa jadi penanya yang jitu. DIbentak-bentak Mas
Kendor tidak menjadi tekanan batin bagi Paijo, ia lanjutkan saja pekerjaannya
dengan santai. Ia juga punya banyak akal. Berbagai cara ia coba untuk mengorek
informasi dari narasumber yang susah ditemui, mulai dari mengaku-ngaku sebagai
keponakan ahli jantung, jadi kurir tukang gorengan, sampai tukaran baju dengan
mas-mas delivery service. Sempat ia
ketar-ketir saat ada narasumber yang sepertinya marah karena laporan yang ia bikin,
tapi siapa sih yang bisa memastikan nasib?
Biar labelnya “Fun! Fiction”, novel ini
tidak bikin saya segeli saat baca novel-novelnya Arry Risaf Arisandi. Kelucuan-kelucuan
yang diupayakan pengarang dalam novel ini agaknya bakal lebih mengena apabila
diwujudkan dalam bahasa visual, alih-alih bahasa tulisan. Jika divisualisasikan
mentah-mentah tanpa memoles alurnya agar padu, versi film dari novel ini mungkin
bakal seperti film “Napoleon Dynamite.” Adegan satu dengan adegan lain seakan
tidak sinkron, meski sebagai kesatuan sudah cukup untuk menceritakan kehidupan
seorang karakter. Daya tariknya terletak pada aksi orang-orang dalam kehidupan
karakter tersebut yang rada enggak umum.
Biarpun nanggung sebagai fiksi, tanggapan saya terhadap novel ini positif.
Pengetahuan mengenai pasar modal meluaskan wawasan saya. Lika-liku profesi
wartawan pun dibawakan dengan gaya yang ringan, seolah mengasyikkan, meski tentu
tidak semua orang bisa menyikapi profesinya sebagaimana Paijo.
Langganan:
Postingan (Atom)