Sabtu, 28 Desember 2019

Oseng-oseng Tahu Tempe Sambal

That time of the year has come. Adakalanya saya ditinggal sendirian di rumah selama berhari-hari, bersama makanan sisa serta bahan masakan di kulkas yang setengah membusuk. Inilah waktu bagi saya untuk mengasah skill memasak.

Kali ini saya ditinggalkan bersama setengah bakul nasi, tujuh potong tempe goreng tepung, serta lima potong tahu goreng polos dari semalam. Kiat andalan saya dalam "menyulap" gorengan lepek begini agar menggugah selera untuk menghabiskannya adalah meng-oseng-oseng-nya bersama sambal.

Omong-omong, pada saat menulis ini, saya tidak menemukan kata oseng-oseng baik di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/oseng-oseng maupun di https://kbbi.web.id/. Why, KBBI, whyyy??? Padahal itu suatu istilah yang sudah sangat memasyarakat sekali, bukan?

Karena tidak tersedia cabe dan hijau-hijauan (: seledri dan atau bawang daun) di kulkas, maka saya pun pergi ke warung terdekat. Saya membeli setengah ons cabe merah keriting dengan harga Rp 2.500 serta bawang daun seharga Rp 2.000 (entah berapa ons itu). Seledri tidak ada.

Di rumah, mulailah saya memotong-motong gorengan. Tempe kira-kira sebesar korek api--sebenarnya berkali-kali lipat lebih besar. Sedangkan untuk tahu, asal kecil saja--mungkin sebesar satu ruas jari. Sisihkan.

Lalu saya menyiapkan bumbu-bumbu. Karena total jumlah gorengan adalah 12 potong atau 1 lusin, maka saya menyiapkan 12 siung bawang merah. Untuk bawang putih, tadinya mau 12 juga--biar adil sama rata, gitu lo. Tapi, setelah membersihkan 6 siung bawang putih, tampaknya sudah cukup. Untuk cabe, dari 1/2 ons itu rupanya saya mendapatkan 26 buah. Dua lusin saya bersihkan, sedangkan sisanya untuk masak lain kali. 

Setelah mencuci semua bumbu yang diperlukan, mulailah saya membuat sambal. Jauh lebih praktis kalau ada blender. Karena tidak ada blender yang masih berfungsi, saya pun menggunakan cara tradisional yaitu dengan cobek dan muntu. Saya tambahkan juga garam dan merica--sekitar 1/2 sampai 1 sendok.

Lalu saya menyiapkan wajan. Saya masukkan 2 sendok makan minyak goreng bekas yang ada di rantang. Lalu saya masukkan sambal. Oseng-oseng sampai keluar aromanya. Kemudian saya masukkan potongan tempe dan tahu. 

Di sela-sela mengaduk bahan dan bumbu, saya tambahkan sekitar 1 sendok gula serta memotong-motong bawang daun untuk ditambahkan terakhir.

Jadilah!

Hasilnya kira-kira bisa untuk empat kali makan.

Bayangkan! Empat kali berturut-turut makan yang itu melulu!

Hari itu, saya memakan masakan tersebut dengan nasi untuk siang dan malam. Setelah makan malam, sisa masakan dan nasi masing-masing saya pindahkan ke wadah terpisah untuk dimasukkan ke freezer. Kalau tidak begitu, saya khawatir besok keadaannya sudah kurang layak makan.

Keesokan paginya, saya mengeluarkan kedua wadah itu untuk memanaskan isinya. Untuk nasi, saya bermaksud memasaknya jadi nasi goreng. Ketika dibuka, oseng-oseng-nya agak beku, but it's okay. Untuk nasi, ... jadi es dong. Masing-masing saya bagi menjadi dua. Sebagian untuk sarapan, sebagian lagi untuk makan siang.

Saya membaca petunjuk di bagian belakang kemasan bumbu nasi goreng instan rasa pedas. Setelah menyiapkan wajan, saya pun memasukkan 1 sendok makan minyak goreng. Setelah itu, giliran oseng-oseng terlebih dahulu baru kemudian nasi. Untuk nasi, keadaannya sudah bergumpal-gumpal dan beku. Sehingga, sembari mencampurkannya dengan oseng-oseng, saya mesti sambil memecahkan gumpalan-gumpalan itu.

Sebetulnya oseng-oseng itu sendiri karena mengandung sambal sudah cukup untuk menjadi bumbu nasi goreng. Tapi, saya tambahkan juga sedikit bubuk bumbu nasi goreng instan itu. Lagian, itu sisa--bukannya saya sengaja membuka kemasan yang baru.

Nasi pun bisa terurai dan bercampur baik dengan oseng-oseng. Saya memakannya bersama kerupuk. Rasanya? Tidak begitu buruk, mengingat prinsipnya sekadar mengolah makanan sisa agar menggugah selera untuk menghabiskannya--supaya tidak mubazir.

Karena memasak sambil memotret setiap langkahnya itu ripuh (kecuali ada asisten), maka saya cuma menghadirkan hasil akhirnya.

Merah kuning hijau cokelat di wajan yang perak.

Sabtu, 21 Desember 2019

Diary of Childhood Memories and Coming of Age

The best gift I've ever given or received

It's all the good things that God and my parents have been giving to me. I can't count it. The more I grow up, the more I am able to appreciate their kindness, that I may not be able to return them back, ever, especially to God.

To God, I can only wish. One of the wishes is to bless my parents for all their goodness to me, and also may all my good deeds become a ceaseless charity for them. And I wish that they won't be punished in the afterlife for my irresponsible deeds, naudzubillahimindzalik.

And I also should thank for my siblings, relatives, friends, even strangers that have given me all the good things.

This is going to be like an acknowledgement page in a book ....

Well, honestly, I can't remember any single of thing that I must consider as "the best gift".

I wish I am not attached to any material thing, at least spiritually, for as long as I am able to breath, I am physically dependent on various kinds of material things.

The most memorable thing I ever got in the mail

Bobo, your friend on playing and learning.
This reminds me to my hobby back then when I was a kid. I used to like snail-mailing. I got the address from Bobo, a kid magazine, especially the page where they featured drawings and poems sent by the readers. I would send my letters to persons whose works interested me. I got responses. With some of them I could maintain pretty long correspondences, but sadly not long enough. By the time I entered middle school, I don't remember that I still had any pen pal left. There was one, but ... eventually it ended not after long.

Sad. But now I get plenty of chat pals online. Hurray! Most of them are males. Lol.

Well, the most memorable thing I ever got in the mail was a package of books from the UK Embassy. It was in the middle school when I started to think of being a writer. I was writing a story about a family from the US moving to the UK etc. I realized that I should do a research about the setting. How was I going to start? I sent a letter to the UK Embassy asking for any information about the country. I didn't expect that some time later they would reply me by sending a lot of thin, big books in different topics about the places within UK areas. That's really wow. Too bad, I didn't send any reply. At least I could just say "thank you very much!" But I didn't.

And I also didn't continue to write the story. I think the notebook where I wrote that is still somewhere inside one of the boxes in my old room.

Thank you, UK Embassy, and I am deeply sorry. I was just a young, naive teenager back then. Hope for your understanding.



Nicknames I have ever gotten or given

I have a nickname that my family and neighborhood friends call me. That's not my first name. The name is derived from the last three letters of my last name.

Most of my schoolfriends call me by my first name.

When I still lived in the old neighborhood, I had two close friends. We made up new names for the three of us: Lala, Lili, and Lulu. I don't remember exactly why we created these fake names. I got Lili because I was in the middle by height. The tallest of us got Lala.

In middle school, there was a friend who started to call me Dayeuh. It's a pun of my first name. At first, I didn't like it. But in high school, when you feel like you should have a "cool" name, I introduced this nickname to my friends. I began to like it. Some of my classmates back then still call me by this name until now. Often, it's just "Day".

In university years, when I tried to write regularly by blogging--among others--I used this name as the title. That's how I came up with A DAYEUH IN A LIFE for this blog. Blog was meant to be some kind of a diary, which you might write daily. So, "a day in a life" sounded right as the title of a blog. And also it's a song of The Beatles, which seemingly would make me a bit culturally literate (uh, what?).


What I have learned in my teens

In middle school, I learned that I was ugly and liked only by a wrong boy. I learned that I really liked to write, a lot, and also to read. I learned that I liked to be invisible, sitting in the bottom corner of my class. 

In high school, I learned to be a different person. But my high school years were shorter than average, because I was in a "special gifted" class. I learned that I was the dumbest in the class and couldn't compete. I learned that my determination to change only lasted for the first few months, or a little bit more, and the rest was I just didn't give a damn. I learned that I couldn't stay in any extracurricular club more than a few months. I learned that I still wanted to be an author, and also to read books--both the dusty, oldies in the school library and the best-seller, brand new released teenlits.


In my late adolescence, ie the first years in university, I learned to practice regularly on writing, and to keep reading as many books as possible and to always review them afterwards. I learned to join organizations and managed to stay for some time. I learned to speak in front of many people. I learned to live far from my parents and siblings. I learned that eventually I have limitation.

To sum it up, in my teens, I learned about my passion, my nature, and also my position in society.

Personal achievements that make me proud

I am not a high-achiever. But I do have some achievements. I have trophies. I have good academic scores (not always, though). I have been reading, writing, translating, and clipping a lot. Almost none of my works is commercial, hence I wish I can be proud of my sincerity. But the proudness itself may harm the sincerity. So I should not be proud of everything. Instead, I may have achieved nothing but the gifts from the Almighty God. I just follow the flow, my passion. If the result is good, I am grateful. But if it is not, well, that means I should learn more or do something else that works well. What can I be proud of whilst I have nothing? Some day all I "have" in the meantime will be broken, dead, over, and such, or disappear, deteriorate, etc. Nothing will last forever. Only my spirit remains, like in that song of Dream Theater.


If I should be proud, then it should be for other people's achievements. I am proud if people are doing well, and not the opposite. If people are doing bad, especially to me, that will irritate me, for sure.



These are prompts from 500 Prompts for Narrative and Personal WritingTip: do one prompt each day to practice writing in English FOR 15 MINUTES ONLY.

Jumat, 20 Desember 2019

Bunuh Diri Ada Bukunya di Jepang

Setelah 200 tahun lebih, baru terbit satu buku lagi yang memberi petunjuk rinci untuk bunuh diri. Ditemukan jenazah yang tengah memegang buku tersebut.

SEMANGAT berani mati pada orang Jepang kambuh lagi. Cuma, berbeda dengan zaman kamikaze yang telah bikin sengsara bangsa lain hingga Perang Dunia II, di zaman komputer ini orang Jepang masih luas dilanda pikiran suntuk yang bermuara pada bunuh diri.

Menurut Keisatsucho (kepolisian Jepang), tahun lampau tercatat 22.104 kasus bunuh diri, meningkat seribu lebih dari tahun sebelumnya. Pelakunya 14.296 adalah pria. Catatan "Buku Putih Bunuh Diri" itu menunjukkan pula lonjakan korban remaja dan mereka yang separuh baya. Yaitu, mereka yang berusia di bawah 20 tahun naik 70 kasus dan yang berusia 40 tahun ke atas naik 285 kasus.

Musabab meningkatnya angka tadi, menurut polisi, adalah banyaknya penganiayaan dan kekerasan di sekolah, serta makin terasanya resesi ekonomi. Dalam buku tadi juga dirinci lokasi bunuh diri. Terbanyak terjadi di rumah sendiri, di laut, danau, dan sungai. Juga di gunung, rumah sakit, gedung tinggi, dan dalam kendaraan.

Cara menghabisi nyawa sendiri yang paling populer adalah menggantung diri. Berikutnya, ada yang terjun dari gedung jangkung, meloncat ke tebing terjal, menenggelamkan diri, atau menenggak racun dan memilih memakai gas. Kasus paling sedikit adalah menjerembapkan diri di depan kereta api yang sedang melaju.

Tradisi harakiri ini sudah berlangsung berabad-abad, dan itu bisa dilacak intinya di buku kuno Hagakure (Daun Terpendam). Buku karangan Tsunemoto Yamamoto ini memperkenalkan seni untuk mati alias bushido atau jalan samurai. Yamamoto hidup tahun 1659-1719, pernah menghamba pada Nabeshima, penguasa di daerah Saga, Pulau Kyushu, pada zaman Shogun Tokugawa.

Meski zaman samurai disilih era komputer, di tengah surga fasilitas untuk menikmati hidup, orang Jepang belum seluruhnya merdeka dari dorongan melakukan bunuh diri. Misalnya, akibat suntuk urusan keluarga, gara-gara penyakit, musabab sekolah, atau karena patah hati dalam bercinta.

Jadi, ternyata masih lumayan banyak pecandu jisatsu (bunuh diri) di negeri anak cucu Tenno Heika itu. Padahal, sudah ada pusat pencegahan, dan ada nomor telepon khusus polisi yang siap melayani mereka yang putus asa. Para calon pembunuh diri dipersilakan meminjam kuping polisi untuk menumpahkan sekeranjang keluhan. Dengan demikian, diharapkan, mereka batal menghabisi riwayatnya di dunia fana ini.

Belum diketahui, sejauh mana pusat pencegahan itu mampu menahan semangat bunuh diri di Jepang. Namun, gelagatnya kian meruyak--dan situasi ini ada yang meliriknya bagai lahan bisnis khas--yang melahirkan Hagakure abad komputer. Peluang ini diisi Wataru Tsurumi, 39 tahun, yang baru-baru ini mengarang buku The Complete Manual of Suicide.

Buku seharga 1.200 yen--sekitar Rp 20 ribu--itu seperti buku petunjuk untuk calon pembunuh diri. Segala cara bunuh diri dimuat di situ, dilengkapi contoh kasusnya. Misalnya, cara memilih obat yang tepat dijelaskan sepanjang 41 halaman. Dan obat itu ada yang mudah didapat tanpa resep dokter.

Diuraikan di situ jenis obat antimabuk kendaraan, yang mengandung zat pembunuh. "Minum saja 30 tablet. Harganya 800 yen untuk enam tablet. Lebih jitu diminum bersama obat tidur," tulis Tsurumi. Selain itu, juga ditunjukkan pelbagai benda yang amat akrab dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat yang dapat menyudahi denyut jantung.

Rokok, sabun, bensin, minyak tanah, dan garam, misalnya, menurut buku itu, bisa diramu hingga menjadi racun. Kemudian masih ada pembuka jalan ke arah kematian dengan menjerat leher di tali gantungan, terjun, menyayat nadi, dan sebagainya. Sekaligus juga ditunjukkan tempat-tempat yang layak untuk bunuh diri, seperti Aoigahara Jukai di kaki Gunung Fuji. Jatahnya sampai enam halaman.

Kawasan seluas 2.500 hektare ini, dengan pepohonan tinggi yang lebat, pernah dijuluki majalah Time sebagai belantara bunuh diri. Masuk ke rimba itu lumayan sukar, apalagi keluar, sehingga dianggap ideal oleh peminat bunuh diri. Tempat itu jadi terkenal setelah Seicho Matasumoto menulis cerita bersambung di sebuah majalah wanita 1959-1960. Di situ, lokasi tadi disebut sebagai tempat bunuh diri seorang istri yang dikhianati suaminya.

Polisi tiap tahun melakukan pemeriksaan. Mereka menemukan 30-40 mayat yang diperkirakan bunuh diri di rimba setan itu. Dan pertengahan Oktober lalu, 300 personel polisi serta petugas pemadam api menemukan lima mayat serta satu pemuda yang masih luntang-lantung di situ.

Selain itu, polisi juga menemukan, dua di antara jenazah yang terkapar memegang buku Tsurumi. Walhasil, baik polisi maupun kepala desa setempat amat jengkel terhadap buku setebal 198 halaman itu. "Ah, mereka bunuh diri bukan karena membaca buku saya, sebab dalam buku itu saya hanya menunjukkan bunuh diri sebagai alternatif," kata Tsurumi kepada koran Yomiuri.

Ed Zoelverdi dan Seiichi Okawa (Tokyo)



Sumber: Tempo Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993



Kamis, 19 Desember 2019

Bukan Ayam Kampung

TIDAK semua perusahaan swasta nasional selalu menjadi ayam kampung di arena tarung. Hal ini dibuktikan oleh PT Tripatra Engineering, perusahaan yang bergerak di bidang rancang teknik. Pekan lalu, perusahaan 100% pribumi ini berhasil menyingkirkan para pesaingnya--dua di antaranya perusahaan asing--dan muncul sebagai pemenang Proyek Telkom IV senilai US$ 10 juta.

Dan itu bukan kemenangan pertama bagi Tripatra. Sejak awal berdiri, usaha yang dibangun oleh sekumpulan insinyur lulusan ITB ini hampir tidak pernah kalah tender. Sebelum memenangkan tender Telkom IV, misalnya, Tripatra pula yang menggarap Telkom III dengan nilai proyek US$ 16 juta.

Dan September lalu, untuk kedua kalinya, mereka berhasil meraih proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) milik Caltex. Nilainya US$ 35 juta. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, lima PLTGU milik perusahaan minyak ini selalu digarap kontraktor asing--dengan penunjukan. "Sedangkan kami meraihnya melalui pertarungan tender," kata Eddy J. Danu, Direktur Eksekutif Tripatra.

Dilihat dari sejak awal berdirinya, prestasi gemilang itu bukanlah hal baru. Pada akhir tahun 1973, misalnya, Tripatra muncul sebagai perusahaan nasional pertama yang menangani proyek besar, yakni proyek perancangan teknis milik PMA di Irian Jaya, dengan nilai US$ 100 juta. Dan Tripatra pula yang pertama kali berhasil membangun anjungan minyak lepas pantai, yang kemudian disewa oleh perusahaan minyak Arco.

Wajarlah bila Eddy berani mengklaim bahwa 90% dari seluruh anjungan lepas pantai yang beroperasi di Indonesia merupakan hasil produksi perusahaannya.



Sumber: Tempo Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993

Selasa, 17 Desember 2019

Satire Situasi Kekinian di Amerika Serikat Berbungkus Cerita Detektif

Rupanya sekarang sudah memasuki waktu liburan sekolah. Ketika saya datang ke TSM XXI pada Senin siang itu, sebagian pengantre adalah anak-anak usia sekolah dibarengi ibunya. Malang bagi pihak bioskop, jaringan eror. Antrean yang sudah mah panjang, menjadi lama pula. Baru juga saya menyadari bahwa sebagian film yang sedang diputar ditujukan buat anak-anak: Jumanji, Doraemon, Frozen .... Adapun film yang saya hendak tonton dilabeli "17+". Ketika giliran saya tiba, saya takjub mendapati masih banyaknya bangku hijau. Dengan mudahnya saya pilih C9. Syukur.

Saya tergiur menonton film ini lagi-lagi setelah melihat review LIANT.


Dia bilang ini salah satu film terbagus tahun ini. Walaupun biasanya saya enggak suka cerita detektif, tapi yang satu ini tampaknya akan lain dan menyegarkan. Pelakunya enggak mudah ditebak. Saya jadi penasaran. Kalau begitu, saya mesti menonton film ini untuk tahu siapa pelakunya.

Enggak penting sih, tapi pengin aja.

Begitu duduk di dalam bioskop, saya perhatikan banyak juga calon penonton lain yang datang sendirian: rata-rata mas-mas atau bapak-bapak. Bahkan yang mengingatkan saya bahwa bangku yang saya duduki itu D9--alih-alih--C9 adalah seorang bapak-bapak paruh baya berkacamata yang tidak ditemani seorang pun. Ada juga yang mbak-mbak atau ibu-ibu. Hm, apakah mereka semua penggemar cerita detektif? Atau sekadar karena tidak ada pilihan lain ketimbang berjubel bareng anak-anak sekolahan dan para ibu?

Dimulailah film.

Cerita tentang konflik keluarga di rumah besar antik
mengingatkan pada film Ready or Not
Tapi kalau ini bergulir jadi kejar-kejaran sadis,
tentu saya enggak akan berani menonton sendirian 
Gambar dari artikel Los Angeles Times.
Dasar bukan penggemar cerita detektif, pada akhirnya ada yang lebih menarik bagi saya dari film ini ketimbang caranya mengupas fakta demi fakta sampai ditemukannya si pelaku sebenarnya.

"Amanat tersirat" ini bisa kita maklumi bila kita punya pengetahuan sedikit saja tentang keadaan di Amerika Serikat (selanjutnya "Amerika" saja), terutama soal imigrasi dan "ekonomi" (yang belakangan ini bisa menyangkut siapa saja). Sedikit banyak ini mengingatkan sama film Amerika lainnya yang belum lama ini saya tonton, Hustlers. Keluarga Thrombey mewakili kaum kulit putih yang merasa memiliki Amerika, menganggapnya sebagai warisan leluhur mereka. Adapun Marta Cabrera--perawat Harlan, kepala keluarga Thrombey--mewakili kaum imigran yang datang untuk kehidupan yang lebih baik.

Awas, bagian selanjutnya mengandung bocoran.

Warisan yang pada akhirnya jatuh ke tangan satu orang saja, dan seterusnya bergantung pada kebaikan hati pihak tersebut, seolah-olah menjustifikasi kapitalisme. Maksudnya, kapitalisme--yang kalau boleh secara kasar diartikan sebagai menumpuknya kekayaan di segelintir orang saja--itu enggak apa-apa asalkan pihak tersebut berhati emas dan tahu "hal yang benar" menurut kata hatinya (atau istilahnya mungkin filantropi).

Meskipun "ekonomi kasih" (the gift economy) yang diterapkan Harlan Thrombey selama ini kepada keluarganya (lewat pinjaman, dana tahunan, dan sebagainya) mungkin menjadikan mereka cukup manja, tapi itu pula esensinya: interdependensi; tidak ada yang benar-benar mandiri dalam menjalankan usahanya. Bahkan Harlan sang pemasok dana keluarga pun sesungguhnya membutuhkan teman, yang tidak dapat ia peroleh dari keturunannya yang pada sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, sehingga mempekerjakan Marta.

Kehadiran ibu Harlan pun menjadi ironi. Ibu Harlan tentu berusia jauh lebih tua daripada anaknya yang baru saja merayakan ulang tahun ke-85. Tidak ada yang tahu usia ibu Harlan sebenarnya. Tentunya, sebagai lansia yang lebih lansia, ibu Harlan pun kesepian. Ironisnya, alih-alih menemani ibunya untuk meredakan kesepiannya sendiri, desas-desusnya Harlan malah hendak mengirim wanita itu ke panti jompo!

Di samping itu, kombinasi Letnan Elliot yang berkulit hitam beserta ajudannya, Trooper, yang berkulit putih, seolah-olah hendak membalik stereotipe bahwa tokoh berkulit hitam paling-paling menjadi sidekick saja.

Secara keseluruhan, film ini seperti merangkum fenomena-fenomena yang tengah berlangsung di negeri Paman Sam. Bahkan ada SJW versus nasionalis sayap kanan pula. Untungnya, enggak sampai bawa-bawa isu attack helicopter malah sepasang mas-mas yang duduk di sebelah saya yang agak mencurigakan. Jangan-jangan cara Harlan mati merupakan sebentuk keputusasaan terhadap berbagai permasalahan itu, seakan-akan segalanya mesti ia tanggung sendirian sehingga merasa tak sanggup lagi--saking individualistis. Trik-trik ala cerita detektif hanyalah kemasan, biarpun bagi penggemarnya sepertinya bisalah memuaskan.

Senin, 16 Desember 2019

Kasus Batan: Menang, tapi Apa Tahan?

Iwan Kurniawan, karyawan Batan yang dipecat itu, menang di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Tapi ia masih menghadapi dilema.

INILAH perjalanan karier Iwan Kurniawan, karyawan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) yang menggugat kantornya ke PTUN karena dipecat tanpa prosedur itu. Doktor fisika nuklir eksperimental yang pertama dan satu-satunya milik Indonesia ini menang di tingkat banding. Pertengahan bulan lalu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara membatalkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Alasannya, PTUN telah keliru karena memakai dasar hukum yang sudah tak berlaku. Ini berarti, pemecatan Batan atas diri Iwan dibatalkan pengadilan.

Kemenangan ini berarti banyak bagi Iwan. Ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi biaya selama disekolahkan ke Jepang, yang jumlahnya hampir mustahil bisa diperolehnya: lebih dari setengah miliar rupiah. Selain itu, ia juga berharap uang gaji yang telah dihentikan sejak tahun lalu bakal dibayarkan.

Tapi pihak Batan mengajukan kasasi, bahkan sudah bertekad, kalau perlu, bertarung sampai tahap peninjauan kembali (PK). Padahal, untuk sampai ke tingkat ini, setidaknya makan waktu dua tahun. Karena itu, Iwan bimbang, apa mungkin mereka bisa menerimanya kembali setelah pertarungan all-out itu. "Kasasi ini bukti mereka benar-benar menolak saya," kata Iwan.

Kepala Biro Tata Usaha dan Kepegawaian Batan, Bambang Sudjadi, menyatakan bahwa pihaknya siap menerima Iwan dengan tangan terbuka kalau memang Mahkamah Agung yang memutuskannya. Hanya saja, Bambang juga ragu apakah Iwan bisa bertahan bekerja di kantor yang sudah disakitinya itu. Soalnya, jika Iwan tidak tahan dan mengundurkan diri sebelum genap bekerja 13 tahun, ia toh harus membayar ganti rugi beasiswa ikatan dinas itu.

Bagi Iwan, jika dirinya memang sudah tak diinginkan di Batan, ia mau dipindahkan ke mana saja, asalkan ilmunya bisa dipakai. Anehnya, Batan tak rela melepaskannya. Pernah Iwan diterima di instansi pemerintah yang lain, tapi Batan mengizinkannya tanpa memberinya lolos butuh, sebuah surat tanda rela dari Batan.

Kini Iwan tak tahu mesti ke mana. Untuk menopang hidupnya sehari-hari, ia memang mengajar di sebuah universitas swasta. Tapi itu tak memuaskannya. "Capek-capek belajar, kalau cuma begini, akhirnya buat apa?" katanya. Memang dilema.



Sumber: Tempo Nomor 34 Tahun XXIII - 23 Oktober 1993



Saya ikhlas kalau diberi scanner baru.
Law of Attraction, bekerjalah ...!

Minggu, 08 Desember 2019

RIP CanoScan LiDE 20 dan Ihwal Perklipingan

Scanner ini sudah berada di rumah kami sejak sekitar 2010--mungkin saja lebih awal, saya tidak ingat pastinya. 2010 itu saya ingat benar karena terekam dalam blog ini, di balik label diari grafis. Rangkaian komik setrip itu mengungkapkan kegalauan saya yang waktu itu masih berkuliah di Yogyakarta sementara terjadi bencana erupsi Merapi. Idenya tidak datang sendiri, tapi karena pada waktu itu memang sedang ada suatu event semacam NaNoWriMo hanya saja untuk diari grafis dan rentangnya lebih singkat. Karena merasa pernah bisa menggambar, saya pun terpicu untuk mencoba bikin juga.

Di samping untuk keperluan pamer pemajangan hasil kreativitas, scanner terutama berguna untuk membuat salinan dokumen-dokumen penting. Misalnya saja, ketika mengikuti seleksi CPNS, peserta akan diminta mengunggah hasil pindai pasfoto, KTP, ijazah, transkrip nilai, surat lamaran, dan sebagainya. Hasil pindai dokumen-dokumen penting tersebut juga berguna sebagai cadangan, kalau-kalau yang asli rusak atau hilang (tapi mudah-mudahan jangan sampai, ya.)

Nah, kalau sedang tidak ada keperluan formal seperti itu, dan bukan pula orang yang keranjingan berkreasi secara visual, scanner pun menganggur.

Untung, di rumah ada koleksi majalah lawas, di antaranya Matra. Cerpen-cerpen Matra ditulis oleh pengarang-pengarang ternama, baik dari Indonesia maupun mancanegara. Sayang rasanya bila dinikmati sendiri saja, sehingga timbul inisiatif untuk memindainya dan menyimpannya di tempat yang bisa diakses oleh orang lain. (Walaupun, ternyata, untuk menyebarluaskan informasi ini memerlukan usaha lain.)

Ketika mengetahui bahwa situs Kliping Sastra Indonesia mengadakan segmen cerpen lawas, saya pun menawarkan diri untuk membagi koleksi ini. Saya bisa saja sekadar memberikan hasil pindai. Tapi, dipikir-pikir, tentu enggak enak apabila mesti mengetik ulang dari hasil pindai. Maka saya pun bersukarela untuk mengetikkan ulang cerpen dari media cetak ini, sedangkan hasil pindai yang dikirim cukup ilustrasinya saja. Kegiatan ini berlangsung selama bertahun-tahun, walaupun tidak teratur. Setelah koleksi Matra habis, pindahlah saya ke Femina, Bobo, dan sebagainya judul-judul majalah lawas yang ada.

Kemudian timbul ide untuk membuat media kliping sendiri.

Ibu saya yang guru Sejarah gemar mengkliping artikel sejarah dari media cetak, entahkah koran, majalah, atau tabloid. Map-map hasil klipingnya sudah ada banyak, menyimpan artikel-artikel dari tahun 1970-an sampai belakangan, dan diberi label menurut masa atau peristiwa, sebut saja "Sejarah Islam di Indonesia", "Zaman Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan", "Perang Kemerdekaan", "Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949", "PKI & G30S", dan seterusnya. Hingga suatu kali saya mendengar ibu saya mengeluhkan kebiasaannya ini. "Capek-capek, enggak terbaca," begitu kira-kira.

Maka saya pun membuat blog yang isinya khusus kliping artikel sejarah dari media cetak. Di samping menyertakan hasil pindai artikel, saya juga mengetiknya ulang supaya lebih mudah diakses. Harapannya, barangkali ada yang sedang mencari informasi sejarah di internet lalu nyasar ke blog itu.

Belakangan terpikir untuk mengkliping tentang yang lain-lainnya juga. Kadang saya membuka koran atau majalah lawas yang tidak memuat cerpen, dan menemukan ada saja artikel menarik yang ingin saya "abadi"kan--barangkali akan ada yang menikmatinya juga. Satu lagi tema khusus yang menarik saya yaitu tentang ekonomi alternatif, khususnya cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghemat uang atau energi dan dengan begitu berdampak baik bagi lingkungan serta masyarakat. Adapun topik-topik lainnya masih menyangkut literasi atau hal-hal yang bisa bikin saya relate.

Dengan begini, scanner pun termanfaatkan terus. Walaupun yang dipindai kadang hanya gambarnya saja, sedang teksnya saya ketik ulang. Karena waktu luang saya ada banyak dan kecepatan mengetik saya lumayan, maka saya menikmatinya saja sekalian meresapkan informasi yang ada di artikel.

Di luar hobi kliping, ketika saya aktif lagi di Goodreads, adakalanya saya membaca buku yang datanya belum ada di platform tersebut sehingga mesti saya tambahkan sendiri. Gambar kover buku bisa saja dicari di Google. Tapi adakalanya buku tersebut sudah lawas sehingga tidak ada gambar kovernya yang cukup layak di internet. Kalau gambar kovernya sekadar dipotret dengan kamera smartphone, tentu kualitasnya masih kalah dibandingkan dengan hasil pindai scanner.

Sayang, rupanya masa pakai scanner ini ada batasnya. Minggu sebelumnya, saya masih dapat menggunakannya untuk suatu keperluan formal. Senin kemarin, saya masih dapat memindai satu artikel sejarah. Rabu berikutnya, ketika saya hendak mengkliping lagi, scanner ini berbunyi aneh dan yang muncul di tampilan hanya warna putih saja--tidak ada gambarnya. Saya mencoba berkali-kali, hasilnya sama saja.

Saya pun mencari informasi tentang jam buka dan lokasi service center untuk produk Canon yang ada di kota saya. Terakhir kali saya datang ke sana--sekitar pertengahan 2010 untuk menanyakan harga servis kamera digital yang layarnya pecah--lokasinya masih di sekitar Jalan Lengkong Besar, kalau enggak salah. Sekarang rupanya kantor ini sudah pindah alamat ke Paskal Hyper Square.

Kamis siang itu, di kantor yang sepi, giliran saya pun tiba setelah tidak lama menunggu. Dengan ramah tapi terlalu cepat sehingga saya terbengong-bengong, mbak-mbak di balik konter menerangkan tentang bagian dalam mesin yang pada dasarnya hanya begini dan begitu.

Mbak-mbak itu membandingkan kondisi scanner yang saya bawa ini dengan kondisi scanner milik orang lain yang pernah dibawa ke situ. Kalau jarang dipakai, barang elektronik seperti scanner bisa berkarat, sedangkan yang saya bawa ini masih bagus dan memang tidak pernah ada masalah selama menggunakannya. Diam-diam saya merasa bangga dengan kegiatan mengkliping saya, hahaha. Eh, astagfirullah.

Lalu mbak-mbak itu mengatakan bahwa karena scanner ini diproduksi lebih dari tujuh tahun yang lalu, maka suku cadangnya sudah tidak tersedia. Satu-satunya solusi adalah dengan tukar tambah atau membeli yang baru.

Eh, gimana, gimana?

Tukar tambah berarti meninggalkan scanner lama di situ untuk selama-lamanya, dan membawa pulang yang baru dengan membayar Rp 800.000--pas.

Membeli yang baru berarti membawa pulang scanner lama untuk disimpan saja di rumah, berdebu, dan berkarat, selama waktu yang tidak ditentukan, dan membeli yang baru di tempat lain yang bisa saja harganya kurang dari Rp 800.000.

"Jadi memang sudah waktunya rusak, ya?"

Mbak-mbak itu terus saja tersenyum lebar dengan ramahnya.

Seketika saya jadi ingat sama istilah built-in obsolescence, yang pernah dibahas oleh Mark Boyle dalam bukunya, The Moneyless Manifesto. Mungkinkah ...?

Setelah saya menelepon yang empunya scanner (: yang dulu membelinya dengan harga sekitar Rp 200.000), diputuskan bahwa akan membeli yang baru saja. Scanner itu pun saya bawa pulang.

Sekarang, sampai ada scanner yang baru, sepertinya kegiatan mengkliping mesti vakum.

Berdebu dan berkaratlah dalam damai, CanoScan LiDE 20.

Sabtu, 07 Desember 2019

Mengaji Orang-orang Pinggiran: Bedah Buku Kumpulan Cerpen Lea Pamungkas di Gedung YPK Bandung

Gambar diambil dari Gramedia Digital.
Pada Kamis, 5 Desember 2019, di Ruang Seminar Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) Bandung, Jalan Naripan 7-9, diadakan acara diskusi "Mengaji Orang-Orang Pinggiran". Orang-orang Pinggiran merupakan buku kumpulan cerpen karya jurnalis Lea Pamungkas yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama awal tahun ini. Di samping menghadirkan penulis, ada Ari Jogaiswara A. dan Hikmat Gumelar sebagai pembicara dan Topik Mulyana sebagai moderator, Muktimukti sebagai penampil pembuka, serta A Term Project dan Isa Perkasa sebagai penampil penutup. Acara yang diselenggarakan oleh Institut Nalar dan Institut Drawing Bandung ini berlangsung dari sekitar pukul 15.40 sampai 18.30 WIB.

Acara serupa sebelumnya telah diadakan di Universitas Leiden dan Universitas Padjajaran.

Acara di Gedung YPK ini dibuka dengan penampilan dari Muktimukti berupa musikalisasi salah satu cerpen dalam buku, diiringi dengan gitar.

Dari tempat saya duduk, kiri ke kanan: Kang Opik sebagai moderator,
Bu Lea sebagai penulis, Pak Ari sebagai pembicara pertama,
dan Pak Hikmat sebagai pembicara kedua.

Moderator kemudian mempersilakan tiap-tiap pembicara untuk memaparkan pembahasannya mengenai buku. Penulis sendiri baru angkat suara pada sesi berikutnya, yaitu untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari peserta.

Pembicara pertama yaitu Pak Ari Jogaiswara A, dosen Sastra Inggris Universitas Padjajaran. Beliau memulai dengan membahas judul, yang langsung menyatakan wacana yang hendak diangkat. "Orang-orang pinggiran" yang diangkat dalam buku ini pun mencakup berbagai isu, entahkah gender, ekonomi, sampai imigrasi. Beliau menerangkan bahwa kesusasteraan memang ruang bagi orang-orang pinggiran, sebab bidang-bidang lain pada tidak berkenan menerimanya. Tema yang lain dapat diangkat dalam berbagai bentuk ekspresi lainnya, katakanlah entertainment (mungkin yang dimaksud di sini adalah tentang sosok-sosok populer), tapi "sastra" selalu bicara tentang orang pinggiran.

Mengenai konten, cerpen-cerpen dalam buku ini walaupun ditulis dalam bahasa Indonesia tapi tidak selalu berbicara tentang keindonesiaan. Sebagian cerpen mengisahkan tentang orang-orang dari negara lain yang hidup di negara lain pula, semacam yang telah diinisiasi oleh Budi Darma dalam Orang-orang Bloomington dan Olenka. Karena keahlian Pak Ari Sastra Inggris, beliau membandingkankannya dengan tren yang ada di dunia Sastra Inggris sendiri, yaitu pergeseran dari Sastra Inggris ke Sastra Berbahasa Inggris. Maksudnya, Sastra Inggris tidak lagi hanya meliputi penulis-penulis dari Inggris Raya atau Amerika Serikat  yang menceritakan tentang kehidupan di tempat mereka, tapi juga mencakup penulis-penulis dari negara mana pun--katakanlah yang bekas koloni Inggris seperti India, Ghana, dan Jamaika--yang menulis dalam bahasa Inggris. Karena isi kumcer ini yang tidak melulu keindonesiaan, maka buku ini secara keseluruhan lebih tepat dikatakan sebagai Sastra Berbahasa Indonesia ketimbang Sastra Indonesia.

Nantinya, penulis menambahkan bahwa ketika buku ini dibahas di Universitas Leiden, ada juga profesor yang mempersoalkan hal serupa: apakah kumcer ini Sastra Indonesia atau Sastra Berbahasa Indonesia? Malah, di Belanda, telah berkembang suatu genre baru bernama Sastra Migran. Pengelompokkan sastra tidak lagi berdasarkan wilayah, tapi tema. Toh belakangan ini, sastra dalam bahasa mana pun tampaknya cenderung mengangkat tema-tema yang serupa, misalnya tentang kehidupan di kota besar, radikalisme, lingkungan hidup, dan sebagainya. Sastra tidak lagi punya batasan.

Pak Ari lalu membahas tentang penulis, yang lebih produktif sebagai jurnalis ketimbang pengarang fiksi. Cerpen-cerpen ini ditulis dalam rentang 1994-2019, dengan jeda-jeda yang lumayan lama antar tiap karya berikut latar yang berbeda-beda. Maka penulis baru menuliskan ceritanya ketika sudah siap, atau saat kata-katanya telah hadir. Gagasannya tidak keluar begitu saja, isinya tidak latah, tapi diperam terlebih dahulu. Memang itulah bedanya antara jurnalistik dan sastra. Karya jurnalistik mesti ditulis sesegera mungkin setelah peristiwanya terjadi, adapun sastra memerlukan perenungan serta diperbincangkan atau didialogkan dengan gagasan-gagasan lain terlebih dahulu.

Dalam suatu kumpulan cerita yang ditulis satu orang, tidak terhindarkan ada pola. Tapi karena cerpen-cerpen dalam buku ini ditulis dalam rentang-rentang yang cukup panjang, maka ada keragaman "musikalitas bahasa". (Saya beri tanda kutip karena enggak begitu mengerti maksudnya, hahaha. Ampun, pak dosen ) Beliau mengumpamakan gaya bahasa dalam kumcer ini seperti belahan rok yang sedikit-sedikit menyingkap, sedikit-sedikit menutup, lain dari pornografi yang serba buka-bukaan (dan para peserta pun pada tertawa). Tampak juga kedewasaan penulis, alias tidak ada kecenderungan narsistik sebagaimana yang melanda penulis-penulis muda ....

Ada satu cerpen dalam buku ini, "Anak Kami Si Pelaku", yang dari judulnya saja kita sudah dapat mengira-ngira isi cerita. Judul cerpen ini rupanya mirip dengan judul cerpen seorang penulis Iran, yang mirip dengan judul cerpen seorang penulis Yahudi AS. Beliau menamakan model ini sebagai cerpen estafet: bagaimana satu cerpen terinspirasi oleh cerpen lain dan cerpen-cerpen serupa akan terus tercipta selama permasalahannya masih ada. Kalau boleh dikaitkan, mungkin ini agak-agak seperti cerpen "Referential" Lorrie Moore (terjemahan Indonesia) yang menyerupai cerpen "Symbols and Signs" Vladimir Nabokov--setidaknya ini satu contoh semacam yang pernah saya temukan sendiri.

Selain itu, Pak Ari juga menerangkan bahwa karya fiksi bergerak dari dua modus, yaitu "melihat" serta "bertutur". (Di sini, lagi-lagi saya enggak mengerti.)

Bagaimanapun, penulis punya kemampuan untuk melihat yang jauh secara dekat. Secara keseluruhan, buku ini "empowering".

Selanjutnya, Pak Hikmat Gumelar membuka gilirannya dengan mengangkat soal perspektif poskolonial. Kalau boleh saya jabarkan sedikit dari yang saya tangkap di sini (yang bercampur dengan sedikit pengetahuan saya sendiri), agaknya tentang bagaimana kita selaku pembaca Indonesia--yang notabene negara bekas jajahan--melihat Eropa secara tinggi. Padahal di Eropa sendiri, secara keseluruhan, ada pula masyarakat yang terpinggirkan--katakanlah mereka yang berasal dari Eropa Timur. Maka kumcer ini menunjukkan suatu perspektif unik mengenai Eropa.

Oke, mungkin bukan itu yang Pak Hikmat maksudkan.

Pak Hikmat juga mengutarakan tentang kekhasan bentuk cerpen, yang acap kali dilecehkan sebagai sekadar ringkasan novel atau latihan menulis novel. Padahal cerpen itu juga suatu penghormatan terhadap kemanusiaan dengan formulanya yang "mulai dari tengah, akhiri dari tengah". Mungkin, maksudnya, kalau dibandingkan dengan roman atau novel yang cenderung mencakup rentang waktu yang lebih panjang atau sangat panjang (dari lahir sampai mati) dalam kehidupan tokoh-tokohnya, cerpen hanya mengambil peristiwa yang penting-penting saja--yang terjadi di sela-sela atau tengah-tengah sepanjang kehidupan seorang manusia.

Betul enggak sih, Pak? #keplak

(Nantinya, Pak Ari menambahkan sedikit soal cerpen yang rupanya berusia lebih muda daripada novel. Padahal novel saja sudah "novel"--dalam bahasa Inggris berarti "baru". Mungkin, karena perkembangan zaman, maka orang semakin sedikit atau malah tidak punya waktu untuk membaca sehingga bentuk narasi semakin singkat saja. Bahkan sepertinya sekarang pun cerpen sudah ketinggalan zaman. Terimalah kenyataan, wahai para penulis.)

Beliau juga menyebutkan tentang pandangan seorang sastrawan dunia ternama asal Tiongkok, Gao Xingjian, tentang seni fiksi yang memerlukan ketekunan menyimak hidup. Kemampuan ini merupakan kendaraan penulis fiksi dalam menemukan suara kemanusiaan.

Atau kira-kira begitulah.

Beliau juga menyinggung tentang Elena Ferrante yang tidak mau mengungkap identitas aslinya, sebab menurutnya, penulis tidaklah penting--seolah-olah biarlah karyanya saja yang sudah cukup berbicara. Penulis Italia ini juga dikenal sulit memberikan izin untuk mengadaptasi karyanya ke layar, hingga belakangan HBO berhasil mendapatkannya. Sepertinya, ia tidak mau karyanya sekadar jadi "film", tapi mesti dapat menangkap "musikalitas" atau apa dari karyanya, aduh saya pusing, sepertinya Elena Ferrante penulis militan yang tahu benar tentang sastra--sebaiknya saya coba baca karya-karyanya suatu saat biarpun hanya dalam terjemahan bahasa Inggris.

Orang-orang pinggiran adalah radar perubahan sosial.

Pak Hikmat menyimpulkan bahwa secara keseluruhan buku yang berisi sepuluh cerpen ini merupakan "kitab kecil yang bermakna besar".

Kemudian, dibukalah sesi tanya jawab. Seperti biasa, tiga penanya diberikan kesempatan.

Penanya pertama memberikan pendapatnya mengenai kumpulan cerpen ini. Yang saya tangkap: kita semua adalah orang-orang pinggiran.

(Ya, dan enggak semua dari orang-orang pinggiran ini mendapat tempat dalam sastra, bukan? Boleh jadi, sastra pun pada akhirnya memilih "orang-orang tertentu" saja--sama eksklusifnya seperti dalam bidang-bidang lain, eh, kok jadi sinis sih?!)

Penanya kedua menanyakan hal teknis: 1) Urutan cerpen dalam buku berdasarkan apa?; 2) Siapa yang menentukan judul dan kenapa diberi judul begitu?

Yang nantinya dijawab oleh penulis: 1) Berdasarkan pada waktu cerpen diterbitkan atau diciptakan. (Cerpen-cerpen ini sebelumnya sudah pada pernah dimuat di Kompas.); 2) Ditentukan oleh penulis sendiri berdasarkan pada substansi umum cerpen-cerpennya.

Penanya ketiga memberikan tanggapannya akan salah satu cerpen, yang menurutnya menunjukkan kemampuan untuk dapat membalut peristiwa yang sangat emosional sehingga menjadi tidak terasa emosional.

Dalam sesi ini pun penulis mendapat kesempatan untuk berbicara banyak, walaupun tidak panjang lebar. Setelah mendengarkan berbagai tanggapan atas karyanya, beliau mengungkapkan betapa ada hal-hal yang disembunyikan atau bahkan tidak disadari oleh dirinya sendiri yang dapat terlihat oleh orang lain.

Beliau juga menceritakan sedikit tentang proses kreatifnya, misalkan untuk cerpen "Anjing yang Meleleh di Ingatan Sotera". Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak perempuan yang ayahnya mengalami gangguan jiwa setelah menjadi korban peristiwa Chernobyl. Ada ketakutan bahwa dirinya juga akan menjadi gila, tapi perasaan itu tidak tampak. Kisah hidupnya ia ceritakan dengan wajah yang datar saja. Penulis menghubungkannya dengan perilaku keseharian kita sendiri--manusia pada umumnya--dalam bermedia sosial. Di balik emotikon-emotikon nan ekspresif, ada wajah datar dan kita bisa memutuskan pembicaraan dengan siapa saja kapan saja kita mau.

Masih ada beberapa peserta lainnya yang angkat tangan, meminta kesempatan untuk memberikan pertanyaan atau pendapat. Tapi, sayang, waktu terbatas.

Acara diskusi pun ditutup, tapi rupanya masih ada pertunjukan-pertunjukan lainnya. Kedua pertunjukan ini sama-sama mengambil inspirasi dari kumcer.

Pertunjukan pertama dibawakan oleh kelompok teater Pak Ari, dibuka dengan seorang pemuda duduk menyanyikan lagu "Stay" dari U2 diiringi petikan gitar. Pada layar di belakangnya pun terpampang video yang menampakkan wajah seorang perempuan yang lalu bermonolog. Itulah yang unik dari pertunjukan ini. Penggunaan media video call menunjukkan adanya jarak antara yang dilihat dan melihat, seperti yang terkesan dari cerpen yang diangkat, yaitu "Setengah Hari Hidup Dita". Dita bekerja sebagai pembersih hotel di Belanda. Tiap hari ia membersihkan sampah-sampah yang ditinggalkan oleh para tamu di kamar. Dari sampah-sampah itu ia dapat "melihat" kehidupan tiap-tiap tamu. Tapi tamu-tamu itu sendiri tidak dapat melihat dia. Oh, ya, Dita juga suicidal.

Ada kutipan yang menarik: "Kuat enggak kuat, sama aja."

Pertunjukan terakhir merupakan kolaborasi antara Pak Hikmat  dan Pak Isa Perkasa. Di latar ditaruh lukisan besar yang menampakkan seraut wajah. Sementara Pak Hikmat membacakan cerpen pilihannya dari buku penulis, Pak Isa menambahkan warna-warna pada lukisan itu: merah, biru, hijau, dan seterusnya.

Pembacaan cerpen diiringi pencoret-coretan lukisan.

Sementara itu, di luar turun hujan deras.

Senin, 02 Desember 2019

Belajar Menulis Cerita Sains Anak dari Acara Peluncuran Buku Aku dan Alam Semesta Karya de Laras

Pada Sabtu, 30 November 2019, saya berkesempatan menghadiri acara peluncuran buku di Perpustakaan ITB. Saya datang sekitar pukul setengah dua, sementara menurut jadwal acara baru dimulai pukul dua. Setelah menandatangani daftar hadir, saya mencari tempat strategis untuk duduk dan membaca sembari menunggu. Sesekali saya celingukan memerhatikan yang sudah hadir atapun yang baru datang, mencari kalau-kalau ada yang saya kenal, sekalian menerka-nerka yang mana yang akan berbicara tentang apa.


Sementara itu, di depan, layar proyektor menampilkan ilustrasi dalam buku secara berganti-ganti. Gambar-gambarnya sangat khas anak-anak, beberapa tampaknya diwarnai dengan krayon.

Grrr, maaf, kamera ponsel saya kurang asyik.
Kurang lebih beginilah gambaran samar-samar ilustrasinya.
Pandangan saya lalu bertumbuk pada seorang mbak-mbak berbaju kuning. Dengan ramah ia menyalami saya. Saya mengira ia mengajak berkenalan, sehingga saya menyebutkan nama saya tapi saya tidak dapat mendengar namanya dengan jelas.

Menakjubkan, acara dimulai tepat pukul dua. Sementara MC mulai bercuap-cuap, para pembicara pun duduk di kursi-kursi yang telah disediakan di depan. Saya masih menduga-duga yang mana yang siapa.

Ternyata mbak-mbak berbaju kuning yang menyalami saya tadi adalah penulisnya.



Menakjubkan lagi, buku cerita anak ini rupanya diterbitkan oleh ITB Press.

Tunggu, tunggu, tunggu, bukannya ITB Press itu penerbit buku-buku kuliah?

Lebih menakjubkan lagi, penulis sampai mendatangi profesor ahli astronomi untuk riset bakal bukunya.

Karena profesor yang bersangkutan tidak dapat hadir, maka digantikan oleh putranya, Bapak Arif Arianto. Beliau dipersilakan untuk memberikan sambutan pertama. Rupanya beliau dan penulis sama-sama bekerja sebagai perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Beliau juga memberikan gambaran (atau "resensi", kata beliau) mengenai isi buku. Misalnya saja, dalam buku ini ada sepuluh cerita dan salah satu di antaranya memuat rumus tentang bintang ....

What ....

Di samping itu, terdapat banyak pengetahuan lainnya tentang kearifan lokal, tata bintang, cara menyangrai kopi, dan lain sebagainya. Singkatnya, ini merupakan buku kumpulan cerita anak ilmiah.

Setidaknya, ada dua pesan dalam buku ini. Yang pertama, yaitu tentang ilmu pengetahuan. Yang kedua, yaitu mengenai soft skills--nilai-nilai kepribadian seperti cermat, jujur, dan integritas.

Bapak Edi Warsidi selaku editor ITB Press kemudian maju untuk memberikan sambutan kedua. Beliau menerangkan bahwa karya ini memang buku anak pertama yang diterbitkan ITB Press.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh perwakilan dari Kumpulan Emak Blogger (KEB), yang sepertinya merupakan komunitas utama yang diundang dalam acara ini, di samping sebagai sponsor. Tampaknya sebagian besar peserta yang hadir merupakan anggota KEB. (Lah, saya siapa?)

Kemudian tibalah giliran penulis untuk menceritakan tentang proses kreatifnya. Rupanya karya ini bukan buku anak-anak pertama beliau. Ada beberapa karangan lainnya yang telah diterbitkan, di antaranya oleh penerbit DAR! Mizan. Beberapa buku itu selalu berjudul Misteri Hantu Sesuatu, hingga kali ini beliau mendapat ide untuk membuat yang lain. Cikal-bakalnya terinspirasi dari obrolan masa kecil dengan ayahnya tentang bintang kejora yang ternyata bukan bintang, melainkan Planet Venus. Beliau pun mencari alamat ahli astronomi, Profesor Bambang Hidayat. Ketika datang ke rumahnya, rupanya Profesor Bambang tidak sendirian tapi disertai profesor-profesor lain .... Wow.

Pemandangan dari bangku saya, bila saya berdiri.
Dari kiri saya ke kanan: Pak Arif, ilustrator, penulis, Pak Ali, dan Pak Edi.
Penulis pun lalu membicarakan tentang ide ceritanya ini kepada ilustrator, Mbak Tanti Amelia. Mbak Tanti lalu mengusulkan untuk membuat kumpulan cerita tematik tentang alam semesta. Maka cerita dalam buku ini pun bukan hanya tentang astronomi, melainkan berkembang menjadi berbagai soal termasuk isu lingkungan hidup seperti cara menanam tumbuhan dan menyikapi sampah plastik. Pada akhirnya, buku ini terdiri dari 161 halaman dan 41 gambar. Proses pengembangan cerita sampai penerbitan memakan sepuluh bulan. Sementara itu, beliau intens dikirimi bahan dan buku terkait oleh para profesor.

Bapak Edi Warsidi lalu berbicara lagi, menerangkan tentang proses penyuntingan. Pertama-tama, dilakukan pembacaan dari awal sampai akhir. Baru setelah itu dilakukan penyuntingan bila ada yang perlu. Penyuntingan di sini lebih pada hal teknis seperti tata bahasa dan tanda baca. Adapun soal konten telah dilakukan oleh profesor.

Kemudian tiba giliran Bapak Ali Muakhir dari Forum Lingkar Pena (FLP) sebagai pengulas. Nah, di sini yang seru. Beliau tidak sekadar membahas tentang buku ini, tapi juga menyertakan "aturan-aturan" dalam menulis cerita anak.

Pertama-tama, alih-alih konten, kita semestinya memikirkan tentang sasaran pembaca. Ada semacam kategorisasi dalam dunia bacaan anak. Misalnya saja, ada "kelas rendah" untuk anak-anak kelas 1-3 SD dan "kelas tinggi" untuk kelas 4-6 SD. Cara menuliskan cerita untuk kelas rendah berbeda dengan untuk kelas tinggi.

Adapun buku Aku dan Alam Semesta ini, menurut Pak Ali, cocoknya bagi pembaca kelas akhir atau usia praremaja.

Kedua, di samping usia, ada juga soal tempat. Misal, bacaan untuk anak Bandung berbeda dengan untuk anak Papua--pada rentang usia yang sama. Pak Ali memberikan contoh dari kunjungannya ke Kalimantan, di sana picture book yang sedianya untuk anak TK malah dikonsumsi oleh anak kelas 3 SD.

Kemudian beliau memaparkan tentang kriteria fiksi anak yang baik, kurang lebih sebagai berikut.

1) Inspiratif

2) Cara penyampaian sesuai dengan sasaran pembaca 

3) Tidak mengandung unsur negatif

Unsur negatif ini misalnya soal body shaming, menyebutkan ciri fisik tertentu seperti "gendut", "pincang", dan sebagainya.

4) Fokus pada satu masalah atau gagasan saja

Adapun dalam buku ini ada banyak sekali hal yang ingin disampaikan.

5) Kalimat mudah dipahami, misalnya tiap kalimat dapat dibaca dalam satu tarikan napas

Dalam buku ini ada penjelasan-penjelasan teknis yang cukup berat.

6) Tokoh harus anak-anak, biarpun ada juga cerita anak-anak bertokoh orang dewasa yang bagus

Pak Ali memberikan beberapa contoh cerita anak lainnya yang bagus dan kreatif dalam menyampaikan wawasan sains. Misalkan saja, ada suatu cerita berisi pelajaran perkalian yang disampaikan melalui tokoh vampir. Ada juga cerita yang menjelaskan tentang gelombang ultrasonik melalui adegan pesta para kelelawar.

Hmmm, saya jadi ingat bahwa saya sendiri pernah mencoba untuk menyampaikan pengetahuan tertentu dalam kemasan cerita anak, walaupun saya tidak tahu apakah sudah berhasil atau belum. Cerita yang satu saya ikutkan dalam lomba, tapi tidak menang. Cerita yang lainnya saya buat untuk lomba yang lainnya lagi, dan menang, tapi lingkupnya kecil-kecilan saja. Pada waktu itu memang saya belum tahu aturan-aturan dalam membuat cerita anak, (sekarang juga belum sih).

Kata Pak Ali, referensi dalam membuat cerita anak di Indonesia hanya Bobo. Eh, lagi-lagi saya ingat pada percobaan saya untuk mengkliping cerpen dan dongeng Bobo di Wattpad--mudah-mudahan bisa menjadi manfaat bagi mereka yang ingin belajar menulis cerita anak.

Terakhir, Mbak Tanti Amelia selaku ilustrator diminta menceritakan tentang proses kreatifnya. Untuk buku ini, beliau telah membuat banyak gambar, walaupun tidak sampai seratus. Dari 41 gambar yang dipilih, ada yang sebenarnya hanya sketsa tapi mengandung ekspresi yang pas. Pengalaman yang sulit yaitu untuk tiga cerita terakhir; tulisannya belum ada tapi beliau sudah diminta untuk menggambar. Malah ada gambarnya yang di"koreksi" (: dicoret-coret) oleh profesor.

Sesi tanya jawab pun dibuka sampai dua kali. Pada sesi pertama ada tiga penanya, dan pada sesi kedua ada empat. Pertanyaan-pertanyaan ini memancing penulis, ilustrator, dan editor untuk membeberkan lebih lanjut mengenai proses behind-the-scene mereka.

Bagi penulis, dalam penulisan buku ini, beliau sesungguhnya sempat agak BT karena ada banyak koreksi. Adapun inspirasinya dalam menulis yaitu buku-buku bacaannya dulu, seperti karya Nh. Dini, serial Lima Sekawan, Nicholas Sparks, dan Danielle Steel. Beliau menganjurkan agar bergabung dengan komunitas-komunitas, untuk menjaga keaktifan dan ketertiban berkreasi.

Setelah saya melihat-lihat blog penulis, ternyata beliau memang perempuan luar biasa. Di samping perekayasa BPPT dan penulis 17 buku antologi serta 8 buku solo, beliau juga seorang istri dan ibu tiga anak. Hobi beliau pun bukan hanya menulis, melainkan juga menggambar, jalan-jalan, bahkan bermusik. Malah beliau bisa bertemu dengan ilustratornya karena sama-sama memenangkan lomba doodle Google.

Ilustrator menceritakan tentang kesenangannya menggambar semasa sekolah dan kuliah yang sempat terhenti. Aktivitasnya menggambar dimulai lagi saat beliau mencela kalender produksi kantornya, sehingga beliau ditantang oleh atasannya untuk membuat yang lebih bagus. Beliau tidak suka menggunakan cara digital dalam menggambar, yang justru sesuai dengan proyek buku yang mengusung kearifan lokal ini. Ilustrator dan penulis berencana untuk membuat buku-buku lainnya.

Menurut Mbak Tanti, tidak ada gambar yang jelek atau istilahnya "there's no mistake in art". Beliau menyarankan untuk memulai dari doodle dulu atau vignette, semacam coret-coret bebas.

Adapun editor menjelaskan tentang diterbitkannya buku ini dalam dua versi, yaitu versi berwarna dan versi hitam putih. Sederhananya, kata beliau, versi hitam putih itu edisi ekonomis sedangkan versi berwarna itu edisi luks. Dalam buku ini, penekanannya lebih pada cerita atau renungan sehingga warna pada ilustrasi tidak begitu penting. Beliau juga menerangkan bahwa apa yang bisa dijelaskan lewat ilustrasi sebaiknya tidak perlu dideskripsikan lagi melalui tulisan. Misalkan saja, bagian-bagian tumbuhan kelapa dapat ditunjukkan lewat ilustrasi, sehingga dalam tulisan dipaparkan saja mengenai fungsi-fungsinya.

Selain itu, misi ITB Press sebenarnya memang menerbitkan keperluan kuliah dalam lingkup fakultas-fakultas yang ada di ITB. Tapi toh buku fiksi anak karya de Laras ini memang mencakup pokok-pokok yang diajarkan di ITB, yaitu sains, teknologi, dan seni. Penerbitan buku semacam ini bisa dibilang merupakan program pengayaan yang mudah-mudahan bisa diakomodasi mulai 2020.

Acara pun ditutup tapi belum selesai. Ada banyak suguhan lainnya, seperti pesan sponsor, bagi-bagi hadiah untuk peserta, pemberian kenang-kenangan kepada pembicara, foto bersama, pembagian goodie bag, serta coffee break.

Hampir semuanya yang hadir berfoto bersama.
Acara ini memang didukung oleh banyak sponsor. Selain komunitas KEB, ada juga Faber Castell, Dunkin Donuts, MQTV, Harris (hotel), Tiara (online book store), Musafir (hotel), dan RedDoorz. Karena itu, ada banyak suguhan untuk para peserta. Hanya beberapa peserta yang beruntung yang mendapatkan buku edisi berwarna dari penulis serta voucer menginap di Harris dan Musafir. Tapi semua peserta mendapatkan voucer dari RedDoorz, goodie bag yang isinya incredibly amazing (yang jelas ada produk-produk Faber Castell, ITB Press, serta beberapa lagi yang spesial dari penulis), kopi/teh/air putih, dan aneka snack yang di antaranya donat Dunkin Donuts.

Peserta juga dapat langsung membeli buku penulis di tempat; yang berwarna seharga Rp 150.000 adapun yang hitam-putih Rp 50.000. Bagi yang tidak sempat, buku dapat dipesan melalui Tiara.

Gambar diambil dari blog Mbak Tanti Amelia.
Berikut liputan dari MQTV.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...