Minggu, 31 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Minggu 3 Memulai Lagi

H16 CMB, KH, CMK, KT
H9 ptTG
H9 C, F
H7 ptSC
H4 L
H3 A
H2 M
H2 KM
H2 ptGJ
H2 tCB1

Hari ini saya mengeluarkan compost bag yang kedua, dan mengisinya dengan seluruh sampah cokelat yang tersisa di plastik besar. Tapi saya mesti memilah terlebih dahulu, sebab ada saja sampah plastik atau karet yang terselip. Compost bag itu pun langsung terisi sampai hampir separuhnya. Selain sampah cokelat, ada juga sedikit sampah dapur yang saya masukkan.

Tampak pucuk baru di tomat gantung. Kondisi selebihnya masih sama seperti sebelumnya.

Saya belum menanam lagi, tapi sekadar mencampur media tanam (tanah, sekam bakar, dan pupuk kandang, masing-masing tiga gayung di dalam ember).

Sisa pupuk kandang saya bagikan di antara pot pepaya dan pot-pot jeruk, kemudian saya tutupi dengan semak bakar yang masih lebih banyak tersisa.

Saya memerhatikan sudah dua minggu lebih sejak saya menanam cabai dan kacang. Ada beberapa yang tumbuh, tapi sedikit sekali dibandingkan dengan jumlah biji yang saya tanam. Saya masih tetap menyiraminya, dan membersihkannya dari kotoran kucing--kalau ada. Tapi saya sudah tidak begitu memedulikan atau mengharapkan yang kemarin saya tanam akan tumbuh. Kalau mereka benar-benar tumbuh, saya berpikiran untuk menanaminya dengan caisim dan selada (yang entah kapan, karena sampai sekarang belum saya semai). Itu juga kalau saya sudah membeli batu koral sebagai penolak kucing, yang entahkah akan ampuh atau tidak.

Gingseng jawa yang saya pindah tanam baru-baru ini pun tampak hopeless.

Tanpa bilang-bilang terlebih dahulu kepada saya, ibu saya membelikan paket benih sayuran. Mumpung lagi murah, katanya. Tetap saja saya curiga akan kemahalan. Dia sudah mencetakkan e-book berisi petunjuk menanam dan merawat tiap-tiap jenis--ada belasan. Sekarang tinggal menunggu kiriman paketnya. 

Seharusnya saya berterima kasih, ya.

Thank you, Ma.

H18 CMB, KH, CMK, KT
H11 ptTG
H11 C, F
H9 ptSC
H6 L
H5 A
H4 M
H4 KM
H4 ptGJ
H4 tCB1
H0 Krisan (Kr)

Kemarin saya hampir-hampir tidak melakukan aktivitas kekebunan, selain menyemprot yang ada di dalam rumah. Penyebabnya:

1. Saya tidur siang, hanya sebentar dan bangun sekitar azan asar. Tapi, setelahnya saya bukan main malasnya melakukan apa pun.

2. Tidak terpungkiri, belanja dapat membangkitkan semangat. Kebetulan stok makanan kucing basah sudah habis dan saya baru saja mempromosikan agar mengganti spongebob dengan loofah kepada ibu saya. Akhirnya, saya pun menghabiskan waktu untuk mencari-cari produk di Sh*p** kemudian pergi ke ATM untuk mentransfer bayaran.

Ini tidak bisa dibiarkan! Memang tidak setiap hari saya tidur siang ataupun belanja. Bagaimanapun, ini menimbulkan gagasan untuk menetapkan tugas harian menyangkut kekebunan sebagai berikut.
  • mengisi compost bag dan mengaduknya
  • membersihkan kotoran kucing dari bedeng tembok
  • menanam beberapa biji baru, atau menyiapkan wadah/medianya jika belum ada
  • mengidentifikasi sedikitnya satu jenis tumbuhan (terutama yang ada di halaman) dan mempelajari keterangannya
Alhamdulillah, hari ini saya bisa menerapkan semuanya kecuali untuk poin terakhir karena keburu hujan lagi.

Biji krisan yang juga lumayan menyenangkan
untuk ditanam.
Saya memulai dengan menanam semua biji krisan yang ada. Ada empat varian, dan masing-masing terdapat tiga biji. Walaupun tidak sebesar (atau sepanjang) biji marigold, biji krisan tidak sekecil biji bunga-bunga lain sehingga termasuk menyenangkan untuk ditanam.

Untuk memberikan tempat kepada wadah-wadah baru ini, saya memindahkan sebagian wadah lainnya (tepatnya yang amanthus) ke kosen jendela terdekat.

Kemudian saya keluar untuk mengisi compost bag, mengaduk-aduk isinya, memeriksa kotoran kucing di bedeng tembok, menyiraminya dan beberapa tanaman lain.

Wadah-wadah amanthus yang sementara waktu
ditempatkan di kosan jendela.
Saya menemukan ada cangkang siput separuh terbenam di salah satu wadah sirih cina. Saya curiga dialah yang memakan daun-daun sirih cina itu.

Di samping itu, selagi mengisi air untuk menyiram, saya mendapati ada suatu benda cokelat. Awalnya saya mengira itu daun kering. Baru kemudian saya menyadari bahwa itu ... siput berukuran sedang tanpa cangkang (._.). Ya ampun, sedari tadi saya berada sedekat itu dengan makhluk semenjijikkan itu!!!

Omong-omong, siang ini telah datang paket biji sayuran. Ada 16 jenis yang masing-masingnya berisi puluhan sampai ratusan biji. Selain biji, kami juga mendapatkan 200 gram pupuk NPK, sebotol kecil hand sanitizer, 16 lembar polybag dalam dua ukuran, serta e-book petunjuk penanaman, perawatan, dan sebagainya, yang kemarin sudah ibu saya cetak dan jilidkan itu. 

Katanya, waktu kedaluwarsa bijinya 2021. Dengan begini, saya tidak perlu membeli bebijian lagi (kecuali yang bebungaan, kalau ingin mencoba lagi) sampai setahun ke depan. Kalau ada uang, pengeluaran bisa saya fokuskan pada media tanam (termasuk batu koral sebagai upaya penolak kucing) dan compost bag saja.

Mengenai pupuk NPK, saya pernah membaca bahwa ini zat kimia (buatan pabrik?) yang berarti tidak organik. Karena sudah telanjur ada, sayang juga kalau tidak dimanfaatkan. Maka sore ini saya mencampurkannya ke air untuk menyiram. Saya menyiram dengan botol ukuran 1 liter yang tutupnya dilubangi. Untuk tiap 1 liter itu, saya masukkan beberapa butir pupuk. Entah bagaimana efeknya nanti.

H19 CMB, KH, CMK, KT
H12 ptTG
H12 C, F
H10 ptSC
H7 L
H6 A
H5 M
H5 KM
H1 Kr
H0 Caisim (Ca)
H0 Kacang Merah 2 (KM2)

Wadah bekas Oreo yang entah apakah
tepat untuk menyemai.
Hari ini saya menanam 26 butir caisim, masing-masing dua butir dalam satu lubang. Saya menanamnya di wadah bekas Oreo yang terdiri dari 14 lubang, dan 1 lagi di wadah yang saya kira bekas puding. Sebetulnya saya merasa wadah yang Oreo khususnya terlalu rendah. Tapi, coba-coba sajalah.

Masih ada sisa 24 butir lagi; rencananya besok akan saya tanam di 8 wadah yang beragam ukurannya tapi lebih besar daripada yang hari ini. Satu wadah untuk tiga biji.

Biji caisim cukup mudah ditanam, maksudnya tidak sekecil biji beberapa jenis bunga. Meski begitu, tetap saja ukurannya kecil. Saya jadi merasa tidak enak hati, teringat pernah mengungkapkan ketidaksabaran saya karena pengemasan biji ini begitu lama--sampai batas waktu pengiriman. Kebayang lah, ribetnya ngitungin biji semungil ini (apalagi biji bunga!) satu demi satu sampai menepati jumlah yang ditetapkan dalam satu paket pesanan.

Anyway, ada kabar gembira. Saya mendapati ada yang tumbuh di salah satu gelas marigold.

Si mungil marigold mengintip dunia.
I love marigold!

Sebenarnya, jenis apa pun yang tumbuh cepat sih.

Saya berpikiran untuk mengurangi takaran air yang disemprotkan ke wadah semai. Biasanya saya menyemprot 10 kali per wadah. Apa 3 kali semprot saja sebenarnya cukup, ya? Lima kali, untuk yang sudah ada tumbuhannya.

Tomat gantung telah bertambah daunnya, walau masih pada kecil-kecil.

Kabar gembira lainnya, saya mendapati ada tumbuhan baru yang "aneh" di bedeng tembok. Saya curiga itu kacang tanah. Jumlahnya hanya satu, tapi. Entah apakah nantinya bakal raib dimakan siput atau bekicot.

Si kacang merah yang juga mengintip.
Kacang merah yang iseng saya tanam di salah satu wadah bekas minyak pun telah menampakkan pertumbuhan. Selain itu, lagi-lagi saya mendapati ada kacang merah dalam air bekas cucian yang dipakai untuk menyiram. Satu saya tanam di wadah bekas minyak yang tersisa yang masih kosong, sedangkan yang lain yang tidak begitu utuh saya biarkan begitu saja di bedeng tembok.

Kemudian saya menyadari bahwa dua tumbuhan baru (yang sebenarnya sudah saya lihat sejak kemarin-kemarin) di ujung satunya bedeng tembok itu jangan-jangan pepaya, alih-alih kacang. Kok bisa nyasar, ya?

Salah satu compost bag tadinya sudah saya cukupkan pengisiannya untuk ditunggu satu bulan kemudian. Tapi sebenarnya compost bag itu belum benar-benar penuh; masih ada ruang yang bisa dioptimalkan di bagian atas. Maka saya membuka salah satu karung yang telah diisi sampah cokelat, kemudian memindahkannya ke compost bag itu sampai bagian atasnya agak gembung sedikit lah. Kiranya sih compost bag itu masih bisa memuat sedikit lagi. Tapi agak repot memindahkan yang tersisa di dalam karung tanpa berjatuhan. Untuk membuka karung yang satunya lagi, saya sudah malas. Akhirnya saya cukupkan saja dulu untuk hari ini. Sisa di dasar karung saya masukkan ke compost bag yang satunya lagi saja.

Jangan-jangan pepaya ...?
Untuk identifikasi tumbuhan di halaman rumah, sore ini saya mengunggah gambar yang sepertinya Jatropha integerrima Jacq. Menurut Wikipedia Indonesia, tumbuhan ini punya nama lain peregrina, bunga betawi (batavia), atau jarak cina, dari keluarga Euphorbiaceae. Tumbuhan ini memang dikenal sebagai tanaman hias dan sangat disukai oleh berbagai jenis kupu-kupu dan burung kolibri (hmmm, rasa-rasanya tidak pernah melihat ada burung yang satu ini di sekitar rumah, haha!). Bunganya yang merah jambu kecil-kecil memang terlihat indah bertebaran baik di tajuk maupun pada permukaan tanah di bawahnya.

Perbanyakannya dengan stek atau biji. Omong-omong soal ini, sepertinya tumbuhan ini memang menjatuhkan banyak bijinya. Selain itu, saya mendapati pada akarnya ada tumbuhan baru. Justru tumbuhan itulah yang menarik perhatian saya untuk mengidentifikasinya pertama-tama. Setelah saya memerhatikannya betul, rupanya dia tumbuh dari akar yang menjulur.

Si bunga betawi, keindahan
yang diam-diam beracun ....
Sayangnya, selain untuk tanaman hias, jenis ini tidak memiliki kegunaan lain. Malah, semua bagiannya bersifat racun jika tertelan! Aduh, padahal tadinya saya mau coba menanam sayuran di bawah naungan tajuknya. Mungkin enggak, ya, racunnya sampai ke tanaman sayuran di sekitarnya?

Gingseng jawa yang dipindahtanamkan saya hapus dari daftar karena keadaannya yang semakin mengenaskan.

H20 CMB, KH, CMK, KT
H13 ptTG
H13 C, F
H11 ptSC
H8 L
H7 A
H6 M
H6 KM
H2 Kr
H1 Ca
H1 KM2
H0 Caisim 2 (Ca2), Selada Chris (SC)

Karena terlalu malas untuk melakukan pekerjaan lain, saya menanam saat pagi (tepatnya menjelang siang): sisa caisim yang 24 biji serta selada yang entah kenapa diberi nama Chris sebanyak 60 biji. 

Caisim part 2.
Caisim menggunakan 2 mangkuk bekas seblak yang dibeli saat hujan-hujan di samping Yogya Kepatihan, 4 gelas bekas teh gelas (2 merek), serta 1 gelas bekas yogurt. Masing-masing diberi 3 biji.

Selada menggunakan 3 wadah bekas telur, yang masing-masing terdapat 10 lubang. Sebenarnya saya merasa wadah ini terlalu kecil. Satu lubang hanya muat satu sendok makan media tanam. Tapi karena pernah melihat di suatu media sosial ada yang memanfaatkannya, saya pun penasaran untuk mencobanya.

Biji selada lumayan besar, tapi pipih. Yah, seenggaknya cukup mudah diambil dengan pinset.

Kebeneran, sepanjang sore hujan. Jadi saya tidak turun ke halaman. Saya hanya menyemproti yang ada di dalam, serta melubangi wadah-wadah sampai terdengar azan magrib. 

Let's see apakah wadah bekas telur ini tepat
digunakan untuk menyemai.
Wadah-wadah bekas makanan dan es krim ini sebenarnya saya pikir kerendahan juga, kedalamannya hanya beberapa sentimeter. Yah, paling enggak, enggak sekecil wadah bekas telur.

Selain itu, plastiknya cukup tebal dan tahan dalam microwave dengan suhu 100 derajat. Sayang juga dilubangi begini. Tapi, kalaupun tidak, wadah-wadah ini tidak termanfaatkan. Bahkan sebenarnya beberapa wadah merupakan hasil pulungan ibu saya. (Naluri dibuang sayang, tea.)

Saya juga merasa sayang kepada lilin-lilin yang habis untuk memanaskan ujung obeng demi melubangi wadah-wadah ini. Juga kepada bahan bakar di dalam lighter. Kalau mau berhemat, sebenarnya bisa menumpang api kompor gas ketika lagi ada yang memasak. Tapi, di samping soal timing dan mood, malas juga membawa wadah-wadah ini bolak-balik. Di dapur sudah ada begitu banyak barang pula.

H21 CMB, KH, CMK, KT
H14 ptTG
H14 C, F
H12 ptSC
H9 L
H8 A
H7 M
H7 KM
H3 Kr
H2 Ca
H2 KM2
H1 Ca2, SC
H0 Selada Merah (SM)

Hari ini saya menyemai selada merah. Saya menggunakan wadah-wadah bekas es krim, makanan, serta Nata de Coco. Untuk wadah bekas es krim dan makanan tampaknya terlalu rendah, tapi mati coba saja. Adapun wadah bekas Nata de Coco seems perfect.

Dalam satu bungkus mestinya ada 20 biji. Saya sudah mempersiapkan wadah-wadah itu untuk 1 lubang 2 biji. Tapi saya mendapati ada 29 biji. Karena malas menunda (:mencari wadah dsb) lagi, maka yang sisa 9 biji itu saya bagikan saja ke masing-masing lubang. Jadilah dalam 1 lubang ada 3 biji.

Sebetulnya sedari kemarin sprayer saya rada macet. Apa jangan-jangan itu karena saya menambahkan 1 butir pupuk NPK ketika isi ulang? Tapi kan pupuk NPK larut dalam air. Agak sebal sih, dan pegal juga karena mesti menyemprot lebih banyak.

Setelah itu, karena media tanam campuran untuk semai dalam ember sudah habis, maka saya membuat yang baru. Pupuk kandangnya basah :((

Ketika hendak memasukkan sampah cokelat ke compost bag, saya mendapati bahwa di balik penutupnya ada siput melekat. Kontan saya menjerit. Saya pun memukul-mukul bagian atas penutup itu dengan spatula (yang sudah tidak digunakan sehingga difungsikan untuk ngebun saja), sehingga dia jatuh ke dalam sampah. Meski begitu, tetap saja ini memberikan nuansa mengerikan dalam mengompos. Saya tidak mau bertemu benda itu lagi!!!

Kabar si tomat gantung yang menanti kawan.
Tomat gantung dan tumbuhan yang saya curigai sebagai kacang tanah tumbuh dengan bagusnya, alhamdulilah. Ada lagi satu tumbuhan mungil muncul di gelas chamomile 5. Semai-semai pepaya dari hari ke hari bertambah besar saja. Saya menunggu sampai batang mereka terlihat kuat baru hendak memindahkannya. Sementara itu, sirih cina tidak menunjukkan perkembangan berarti. Di bedeng tembok paling ujung ada banyak tumbuhan baru yang sepertinya liar, tapi masih terlalu kecil untuk dicabuti. (Di samping saya penasaran jadinya akan berupa apa.)

Karena sudah mulai gelap, saya malas berada lebih lama di luar untuk mengidentifikasi tanaman dan sebagainya. Jadilah saya masuk dan lanjut melubangi wadah-wadah. Saya juga melubangi tutup botol 1,5 L untuk alat penyiram tanaman-tanaman di lantai atas. 

Saya melakukan kebodohan saat mencoba melubangi polybag dengan obeng yang dipanaskan. Yang lebih bodoh lagi, kebodohan ini sudah pernah saya lakukan dulu. Saya pun mencoba melubangi polybag dengan semacam capitan--sebetulnya alat jahit untuk memutus benang. Lumayan juga, asal ada lubangnya. Tapi baru 1 polybag yang saya coba karena sudah magrib.

Sebelum memulai segala aktivitas di atas sebenarnya saya coba menentukan rencana menanam dalam hari-hari ke depan, dengan mempertimbangkan ketersediaan wadah dan media tanam. Ada beberapa hal yang menggalaukan. Setelah dipikir-pikir, enggak perlu terburu-buru beli media tanam baru. Kalaupun mau, paling-paling beli batu koral dan pupuk. 

Soalnya, masih ada media tanam di wadah-wadah bekas percobaan berkebun yang lalu. Mungkin sebaiknya saya membereskan yang ada itu terlebih dahulu:

1. Membersihkan wadah-wadah itu dari tumbuhan liar.

2. Memindahkan media tanam di dalamnya ke baskom besar yang sudah dipersiapkan. Kondisinya ada yang kering dan ada yang basah. Yang basah diamankan terlebih dahulu supaya kering, sehingga mudah memindahkannya ke baskom.

3. Mengaduk-aduk media tanam itu supaya tercampur baur dan gembur, kalau perlu tambahkan pupuk.

4. Setelah itu, baru dimasukkan lagi ke wadah-wadah untuk ditanami tomat, bayam, kangkung, cabai, dan sebagainya.

5. Sebelumnya, bersihkan terlebih dahulu area yang akan ditempati wadah-wadah tanaman itu dari tumbuhan liar.

6. Kalau media tanam yang digunakan ulang itu sudah habis, barulah membeli yang baru sesuai dengan keperluan dan anggaran.

H22 CMB, KH, CMK, KT
H15 ptTG
H15 C, F
H13 ptSC
H10 L
H9 A
H8 M
H8 KM
H4 Kr
H3 Ca
H3 KM2
H2 Ca2, SC
H1 SM

Hari ini saya ingin mengerjakan yang pokok-pokok saja, seperti menyiram dan mengisi compost bag, supaya ada waktu untuk membereskan dan mempublikasikan entri ini (berasa sok sibuk, ya?). Kebeneran, sore ini hujan.  Di halaman saya hanya sempat menyiram 5/6 bedeng tembok, sebelum tempias hujan membasahi.

Selagi menyirami bedeng tembok, saya berpikir ulang soal membeli batu koral. Tadinya, kalau caisim dan selada sudah pada tumbuh agak besar, saya hendak memindahkannya ke bedeng tembok ini dan memagarinya dengan batu-batu koral itu. Entah apakah itu ide cemerlang atau ide bodoh lainnya. Hingga barusan terpikir: Yakin nih, mau nanem sayur-sayuran di sini? Apa enggak lebih baik yang gitu-gitu ditanam di balkon saja? Kemungkinan di balkon agak lebih aman dari gangguan hama, khususnya bekicot dan kucing. Paling enggak, saya enggak ingat pernah menemukan bekicot di balkot. Enggak tahu deh kalau nanti sudah ada banyak tanaman. Saya juga enggak yakin kucing bakal mengacak tanah di wadah yang paling-paling sebesar wadah bekas minyak goreng. Kalau memang prioritas menanam di balkon, maka saya lebih membutuhkan media tanam baru berikut wadah-wadahnya (kalau yang sudah ada ternyata kurang) ketimbang batu koral.

Di samping ide menanami bedeng tembok dengan sayuran, ada juga ide memindahkan semai pepaya ke ban. Untuk itu, kemungkinan rumput di dalam lingkaran ban itu mesti dibersihkan barulah bagian tengahnya ditanami pepaya dan ditambahi media tanam bila perlu. Nah, terpikir untuk mengitari permukaan di sekitar pepaya itu dengan batu-batu. Tapi, kalau untuk keperluan ini saja, saya sudah mengumpulkan sekitar setengah ember batu-batu agak besar di halaman rumah. Memang batu-batu itu tidak seestetis batu koral, lebih menyerupai pecahan berangkal. Tapi, bolehlah; tiada rotan, akar pun jati. Kalau begini, lagi-lagi media tanam lebih diperlukan daripada batu koral.

Saya amati pot besar berisikan semai-semai pepaya itu. Akarnya yang putih sudah pada tampak ke permukaan. Apakah ini tandanya mereka sudah pada layak untuk dipindahkan? Tapi, saya kira batangnya belum begitu kuat.

Ide-ide begini berkeliaran di dalam kepala. Padahal waktu untuk melaksanakannya dibatasi, sehingga mesti mencicil. Dalam sehari pun belum tentu ada kemajuan berarti. Dengan begitu, tampak akan selalu ada pekerjaan dalam banyak hari ke depan. Mungkin karena itu juga prioritas adalah memanfaatkan yang ada terlebih dahulu (wadah, media tanam, dan sebagainya). Kalau ada kurangnya, barulah menentukan mana yang paling perlu dibeli.

Kamis, 28 Mei 2020

Kenapa Mendengarkan Lagu-lagu Nike Ardilla Itu Berbahaya

Kita tahu, she's a legend. Ia memiliki banyak fans setia, yang terus mendoakannya walaupun sudah seperempat abad meninggalkan dunia. Tapi apakah kita pernah benar-benar mendengarkan lagunya?

Saya tidak benar-benar tahu lagu-lagu Nike Ardilla sampai belakangan ini. Ada begitu banyak lagu yang dapat kita dengarkan di mana-mana, kenapa harus dia? Lagi pula, dengan begitu banyak fans yang masih mengelu-elukannya sampai sekarang, she sounds so mainstream, mr8?

Tapi sekarang ini saya lagi mengeksplorasi dunia '90-an. Mulai dari membaca majalah-majalah sampai menemukan lagu-lagu hip-hop yang hip pada masa itu. Pikiran untuk meninjau Nike Ardilla baru muncul belakangan. Pada awalnya saya agak malas, menunda-nunda.

Sampai tiba juga dorongan itu. Saya memutarnya di YouTube. Ada beberapa album kompilasi lagunya--ciptaan penggemarnya, sepertinya.

Lagu demi lagunya masuk ke telinga. Ada beberapa yang saya merasa familier. Saya teringat pada seorang mbak yang pernah bekerja di rumah saya, dari saya SD sampai SMA. Sepertinya mbak itu penggemar Nike Ardilla juga dan pernah menyanyikan lagu-lagunya ...?

Lagu-lagunya, kalau boleh saya nilai (padahal tahu apa saya soal musik!?), sebenarnya sederhana dan kemelayu-melayuan. Dari segi instrumen tidak istimewa, dibandingkan dengan musik Italia era '60-'70-an yang saya suka dengarkan (njir, berasa snob padahal enggak seorang pun tahu musik yang saya maksud). Dari segi lirik, begitu-begitu saja: semacam curhat cecintaan yang sama sekali tidak relatable buat saya, malah cenderung memelas dan cengeng.

Contohnya saja dalam lagu "Mama, Aku Ingin Pulang". Lagu ini tampaknya bercerita tentang seorang gadis belia lagi naif yang dijebak pacarnya agar mau kawin lari. Mamanya sudah memperingati dia, tapi apa daya bujuk rayu lelaki itu lebih membuai. Akhirnya, benarlah, disia-siakanlah dia. Simak saja liriknya:

Cincin emas melingkar, ia berikan dulu
Untuk apa, kalau ia tak cinta ....
("Mama, Aku Ingin Pulang")


Untuk apa? Ya, untuk mengisap madumu, Neng. Sudah begitu, habis manis sepah dibuang. Begitulah laki-laki, bak udang di balik batu, pasti ada maunya *eh kok kayak curcol.

Ketika saya tanyakan kepada teman yang lahir pada 1975 (alias sebaya dengan almarhumah), dia bukan penggemar NA tapi tahu bahwa lagu-lagunya kerap mengandung kata "sinar", "kehidupan", semacam itu. Saya tambahkan lagi, "iman".

Anyway.

Entah dalam sekali atau beberapa kali dengar saja (pokoknya enggak sampai banyak), beberapa lagunya sudah terngiang-ngiang di kepala saya sampai tahu-tahu saja saya menyanyikannya sepenggal-sepenggal--khususnya bagian-bagian yang catchy banget.

Malam-malam aku sendiri, 
tanpa cintamu lagi ... ooo ....
("Bintang Kehidupan")


Aku bagai nelayan ...
Yang kehilangan arah ....
("Tinggallah Ku Sendiri")


Tidak cukup, timbul hasrat untuk mengajak teman ke tempat karaoke sehingga saya bisa berteriak-teriak sepuasnya membawakan lagu-lagu itu. Tapi, entah suara saya akan sampai atau enggak dan pastinya mereka bakal takjub. Entahkah ada di antara mereka yang akrab dengan lagu-lagunya atau enggak.

Lagian, sementara ini masih dalam pandemi. Hasrat karaoke mau tidak mau dipenuhi dengan memutar lagu-lagu Teh Nike yang cantik jelita di Spotify atau YouTube saja, yang subhanallah dilengkapi dengan lirik berjalan! Hanya saja, sambil lirih-lirih karena malu kalau kedengaran sama orang rumah apalagi tetangga 

Meski telah lama tiada, bagi penggemarnya, ia terus hidup melalui lagu-lagunya. Bahkan sekarang ia hidup juga di dalam kepala saya, sampai kadang-kadang sulit sekali menyuruhnya berhenti menjerit-jerit. Memang tidak semua lagunya enak, dan sebenarnya belum semuanya pula saya dengarkan. Tapi, untuk beberapa lagu, betapa mudahnya menempel dan kuatnya melekat bak tumbuhan liar yang tak dikehendaki tapi muncul lagi muncul lagi.

Betapa sayang ia telah pergi dalam usia sebelia itu. Semoga hidupnya tenang di alam sana. Aamin.

Dan serta-merta, timbul ide cerita tentang seorang pemuda penggemar Nike Ardilla yang tanpa sadar lalu menjadi cowok seperti yang diceritakan dalam lagu-lagu Nike Ardilla bagi ceweknya, sehingga ceweknya itu membatin,

Ku tak akan bersuara,
walau dirimu kekurangan,
hanya setiamu itu kuharapkan ....
("Ku Tak Akan Bersuara") 



sampai,

Bosan, mungkin itu sifatmu!
Benci, bila ingat dirimu!
("Sandiwara Cinta")


Senin, 25 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Minggu 2 Memulai Lagi

Seperti yang sudah diduga, euforia itu berlangsung di awal saja. Semangat berkebun yang tadinya meluap-luap, saya coba kendalikan dengan memindahkan waktunya yang sekalian untuk membatasi. Memang, semangat itu menyurut, haha. Tapi biji-biji sudah telanjur dibeli. Bergeraklah terus, biarpun selambat bekicot ngesot! Membuat jurnal pun sebenarnya malas, tapi setidaknya untuk menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas baru yang dilakukan setiap harinya.

H9 CMB, KH, CMK, KT
H2 ptTG
H2 C, F
H0 pindah tanam Sirih Cina (ptSC)

Masih sulit untuk membatasi kegiatan di halaman dengan sekadar mengisi komposter serta membersihkan dan menyirami bedeng tembok. 

Hari ini saya menambah dengan beberapa pekerjaan lain:

- Mengeluarkan beberapa ban di garasi yang berukuran beda dengan ban-ban yang sebelumnya, mencoba menatanya. 

Rencana penataan ban.
Timbul ide untuk menyelang-nyeling penempatan ban-ban itu karena ukurannya yang berbeda. Isinya juga akan dibedakan. Maksudnya, ban yang berukuran lebih besar sepertinya bisa diisi oleh pepaya.

Ketika saya tanyakan kepada papa saya soal penempatan ban-ban ini, beliau malah menaruhnya di beberapa tanaman yang sudah ada.

- Membersihkan sekadarnya area yang hendak ditempati pot-pot tanaman jeruk dari tumbuhan liar, dan jadinya "panen" sirih cina; sebagiannya saya coba tanam di dua pot kecil.

Ada beberapa video YouTube tentang cara memasaknya, yang ternyata cukup mudah karena tinggal ditumis atau dipecel--sesuai selera. Tapi sirih cina yang saya lihat di video-video itu pada besar-besar sedangkan yang saya punya pada kecil-kecil. 

- Memindahkan pot-pot tanaman jeruk ke tempat yang lebih terbuka.

Beberapa ban yang sementara waktu begini dulu.
Kebetulan tanaman-tanaman ini dari kemarin-kemarin sudah saya jarangi daunnya. Untuk mengangkatnya, saya mesti meminta bantuan adik saya. Pot berisi tanaman yang berukuran kecil (alias enggak tumbuh-tumbuh) cukup mudah diangkat. Pot berisi tanaman yang berukuran jauh lebih besar sulit diangkat karena rupanya akarnya telah keluar dari lubang drainase, menghunjam dan menjulur ke balik permukaan tanah di bawahnya. Saya mesti menarik kedua akar itu sekuat tenaga baru copot dan potnya bisa diangkat. Kasihan sih, tapi kalau pot-pot itu diletakkan di situ terus bikin kagok kita-kita. Di samping itu, area tersebut relatif ternaungi, tidak seleluasa area satunya.

Setelah dipindahkan, saya coba menutupi akar-akar yang menjulur keluar dari lubang pot itu dengan batu-batu kerikil (yang memang mengalasi area tersebut). Cukup sulit. Mudah-mudahan mereka.bisa survive, lebih happy dengan tempat barunya, dan ... menghasilkan buah, mungkin?

Tempat penyimpanan yang saya masih belum mantap
menatanya. Sepertinya ada sebagian daun tanaman hias yang
mesti disingkirkan.
- Membereskan tempat penyimpanan di halaman, memindah-mindahkan barang, membersihkan, dan sebagainya.

Sekalian saja. Sebetulnya tempat itu masih belum benar-benar bersih dan beres. Timbul ide untuk mengalasi permukaan sebagian bedeng tembok di situ (tergantung pada ketersediaan alasnya sih) sehingga bisa digunakan sebagai tempat persemaian.

Saya masih bingung soal menempatkan komposter. Sepertinya tempatnya mesti leluasa, agar ketika waktunya matang, komposter bisa direbahkan untuk dibuka bagian bawahnya. Karena itulah area ini masih perlu pengaturan.

Banyaknya sampah halaman mengakibatkan komposter cepat terisi, sekarang sudah hampir penuh. Ada satu komposter lagi yang masih kosong, tapi saya sudah memikirkan untuk membeli sedikitnya dua lagi yang baru! Tapi sepertinya saya mesti memprioritaskan media tanam dan batu-batu koral (untuk penolak kucing) terlebih dahulu? Anggaran terbatas!

Pot-pot tanaman jeruk di tempatnya yang baru.
- Mengumpulkan batu-batu besar yang siapa tahu dapat berguna sebagai "mulsa"/penolak kucing atau alas media tanam.

Alternatif dari batu koral.

Terlepas dari aneka manfaat berkebun, membatasi waktu kegiatan ini penting buat saya. Kegiatan ini lumayan melelahkan secara fisik dan makan waktu, sehingga tidak ada cukup energi untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah yang sebaiknya tidak saya tinggalkan. Di samping itu, ada hobi-hobi yang sudah menjadi rutinitas bahkan kebutuhan mau tak mau dikesampingkan.

Baru terpikir bahwa saya bisa menggeser waktu di halaman dari pagi ke sore. Apalagi sebetulnya saya menyiram bedeng tembok hanya sekali sehari. Jadi pagi saya kerjakan rutinitas yang biasanya terlebih dahulu, baru sore--yang durasi waktunya lebih pendek--saya menyiram dan sebagainya. Sore kadang cerah, kadang hujan, dan kadang becek karena siangnya hujan. Saya keluar pada waktu cerah saja, sehingga itu akan semakin mempersingkat waktu "berkebun".

Panen sirih cina yang masih pada terlalu
kecil, akhirnya hanya sedikit yang
termanfaatkan.
Mungkin ada trik lain soal mengairi tanaman jika hanya punya sedikit waktu (atau mesti membatasinya), mudah-mudahan nanti saya akan menemukannya dan dapat menerapkannya.

H10 CMB, KH, CMK, KT
H3 ptTG
H3 C, F
H1 ptSC

Hari ini saya berhasil menunda waktu kekebunan sampai sore.

Paginya saya sekadar menyemprot isi gelas-gelas chamomile dan floxglove. 

Ada yang tumbuh di gelas chamomile nomor 5. Anehnya, letaknya di pinggir gelas sedangkan kemarin kan saya menanam bijinya di tengah-tengah. Saya curiga jangan-jangan itu biji tanaman lain dari percobaan sebelumnya. Wallahualam. 

Daunnya yang mungil berwarna kuning. Saya curiga itu karena kekurangan sinar matahari. Siangnya, saya pun memindahkan semua gelas itu ke kosen jendela supaya kena hangat sinar matahari tanpa terpapar langsung. Benar saja, beberapa waktu kemudian saya lihat daunnya jadi hijau.

Semai yang saya masih belum tahu jenisnya,
baru dipindahkan ke kosen jendela.
Memang kemarin-kemarin saya sempat menonton video tentang cara menanam marigold dan chamomile. Dalam video itu ditunjukkan bahwa sejak baru ditanam, biji-biji itu sebaiknya kena cahaya matahari.

Yeah, let's see.

Sorenya, hujan turun. Alamat enggak jadi nyiram, pikir saya. Kebetulan, hari ini ada banyak sampah kulit buah. Jadi sejak siang dan sore itu saya menyelesaikan tiga toples kecil ecoenzyme, dan hendak membuat satu toples besar.

Mungkin karena yang saya bikin hari ini lebih banyak daripada biasanya, saya mulai memikirkan tentang gula pasir. Beberapa hari lalu, ketika baru mencoba membuat ecoenzyme lagi, saya menunjukkan fotonya kepada beberapa teman. Salah seorang dari mereka berkomentar tentang mahalnya harga gula pasir sekarang ini. Baru sekarang terpikir oleh saya, benar juga, sayang juga .... Tapi toh saya enggak sengaja membeli gula ini. Saya hanya memanfaatkan yang tersedia cukup banyak di rumah. Nanti juga kalau gula atau toplesnya sudah habis, saya akan berhenti. Hehehe. 

Done with ecoenzyme, for now.
(Padahal ada orang-orang yang bikin ecoenzyme sampai bertong-tong. Gulanya sebanyak apa, ya? Apalagi kalau pakai gula jenis tertentu, sebab sebetulnya gula jenis pasir tidak begitu diremomendasikan. Mereka pasti orang kaya. Halah. Berkorban sedikit lah, demi lingkungan. Kan lingkungan sudah berkorban banyak buat kamu. Gantian :v)

Terpikir hal yang sama untuk komposter. Sebenarnya daripada beli compost bag "mahal-mahal" 50.000 rupiah per item (belum termasuk ongkos kirim), kenapa tidak menggunakan wadah yang sudah ada seperti karung, ember, dan semacamnya? Memang pada percobaan mengompos yang pertama--karena enggak mau ngemodal--saya sudah menggunakan barang-barang itu. Gagalnya mungkin karena pada waktu itu saya kurang menambahkan sampah cokelat serta mengaduk-aduknya. Selain itu, wadah komposter mesti ditempatkan di area yang kering tapi bagian bawahnya dapat menyerap rembesan air lindi. Yah, nanti deh saya pikirkan.

Hujan tampak mereda. Sambil menunggu hujan benar-benar berhenti, saya melubangi wadah-wadah untuk semai sambil mendengarkan podcast Bandung Permaculture episode pertama. Mendekati pukul lima, hujan benar-benar sudah berhenti, saya merasa harus segera keluar untuk menyiram atau hari keburu magrib.

Membentengi kacang hijau dengan garam, yang sepertinya
terlalu banyak?
Saya cuma mengisi komposter dan menyiram bedeng tembok. Untuk tomat, sirih cina, dan jeruk yang baru dipindahkan kemarin, karena sudah kena air hujan, saya tidak perlu lagi menyiraminya.

Ada penemuan menggembirakan (?) lainnya di bedeng tembok, yaitu satu biji kacang hijau telah tumbuh. Sebetulnya di dekatnya sekali ada satu lagi tumbuhan mungil, tapi saya tidak yakin itu dari jenis apa. Setelah beres menyiram, satu biji kacang hijau yang akhirnya tumbuh itu pun saya "amankan" dengan menaburi garam di sekitarnya. Saya enggak mau besok ketika menengoknya lagi tanaman mungil itu sudah raib dilahap bekicot seperti sebelum-sebelumnya ☹️

Ada sedikitnya dua kebodohan baru yang saya sadari baru-baru ini, setelah sharing pengalaman ini kepada seorang teman chat saya.

Tomat gantung yang saya khawatir
jangan-jangan salah perlakuan.
1) Teman chat saya bilang dia pernah menanam tomat, tapi kesulitan setelah tumbuhan itu memerlukan penopang. Saya pun mengirimkan link ke video YouTube yang menunjukkan tentang cara bikin tomat gantung. Pada thumbnail video itu tampak bahwa sekujur bodi botol sepertinya diberi banyak lubang, dan seketika saya sadar bahwa saya tidak melakukannya. Pikir saya, bagian atas dan bawah botol sudah cukup bolong. Mungkin lebih banyak lubang lebih baik?

2) Ketika saya memberi tahu si teman chat tentang jenis-jenis yang saya tanam, dia bertanya, "Kacang itu tumbuhnya di bawah tanah, ya?" Saat melihat ada kacang hijau yang akhirnya tumbuh tadi, saya pun tersadar betapa begonya saya menanam jenis itu dan cabai dalam jarak yang begitu dekat. Nanti, misalkan, semuanya berhasil tumbuh besar sampai layak panen, untuk mengambil hasil kacang (yang jenis kacang tanah) berarti mesti ada cabai yang dikorbankan .... Atau, bisa saja sebelum itu terjadi, saya memindahkan cabai yang masih kecil ke wadah lain yang lebih layak. No worries, lol.

H12 CMB, KH, CMK, KT
H5 ptTG
H5 C, F
H3 ptSC
H0 Lavender (L)

Setelah beberapa sore kemarin hujan, hari ini cerah. Tapi ada beberapa kabar menyedihkan.

Saya mendapati daun tomat gantung pada jelek. Saya pun teringat bahwa daun mesti dikurangi sehingga hanya menyisakan dua cabang dan pucuk teratas. Saya pun melakukannya dengan gunting. Lagi pula salah catu cabang yang di bawah itu daunnya jelek. Saya tidak tahu penyebabnya.

Saya mendapati bahwa ada lubang dan bekas digerogoti pada sirih cina yang saya tanam di pot serta ginseng jawa yang tumbuh sendiri di bedeng tembok. Siapa yang melakukannya? Entah apakah itu ada hubungannya dengan saya menjadi gatal-gatal seusai dari halaman.

Satu-satunya kacang hijau yang sudah tumbuh kini mati. Saya curiga penyebabnya gara-gara kemarin saya membubuhkan garam terlalu dekat di sekitarnya. Pada hari sebelumnya, dengan menggunakan sendok, saya menaburkan garam agak jauh, membentuk kotak, tapi lalu saya merasa itu boros. Garam itu lalu hilang kena hujan, hanya menyisakan sedikit sekali. Saya lalu menaburkannya lagi, kali ini dengan jari dan dekat-dekat tanaman saja, membentuk lingkaran. Tapi, kemudian ....

Meski begitu, tampaknya ada beberapa (masih sedikit sekali) cabai yang tumbuh. Saya menaburkan garam di sekitarnya juga, walau tidak yakin apakah bekicot juga menyukai daun cabai. Esoknya saya mendapati mereka masih utuh, tidak melepuh seperti daun kacang hijau.

Wadah-wadah semai selesai dilubangi, kecuali yang kaleng. Soalnya, saya baru tahu bahwa kaleng tidak bisa dilubangi pakai obeng dipanaskan ... tapi dengan paku dan palu. Berarti sekarang waktunya untuk mulai menanam biji ....

Sepertinya saya akan menanam satu jenis saja per hari, mencicil. Maka sore ini saya memulainya dengan menanam lavender, yang sebetulnya ada dua jenis. Kalau sebelumnya saya memilih biji yang harganya paling murah, kali ini yang jumlah per spesies(?)nya paling sedikit. 

Biji-biji lavender yang segede kutu.
Ada lavender jenis ellegance dan french white, masing-masing terdiri dari 3 biji.

Hari ini juga saya menyudahi bikin ecoenzyme, setelah menghabiskan sebagian persediaan gula pasir di rumah. Toples-toples bekas bawang goreng juga sudah terpakai semua, tinggal yang masih digunakan untuk wadah bumbu serta yang tidak ada penutupnya. Bisa saja saya mencari toples-toples plastik lainnya, tapi sudah sayang gula pasir. Lagi pula saya malah belum memanfaatkan hasil percobaan ecoenzyme sebelumnya yang sudah waktunya boleh dipanen. Mending saya alihkan perhatian ke pemanfaatannya saja dulu.

H13 CMB, KH, CMK, KT
H6 ptTG
H6 C, F
H4 ptSC
H1 L
H0 Amanthus (A)

Ada yang tumbuh di gelas floxglove 5. Tapi saya skeptis itu floxglove. Keduanya serupa: yang satu di tengah, yang satu lagi di tepi. Soalnya, saya kan cuma menanam satu biji per gelas; kenapa yang tumbuh dua dan letaknya berjauhan pula?

Biji amanthus yang saking mungil, sampai
sulit dibedakan dengan butiran pasir.
Petang ini saya menanam 6 biji amanthus. Yang saya takutkan terjadi juga. Ada kecelakaan saat hendak memasukkan biji-biji yang super mungil itu. Entahlah. 

Saat itu menjelang magrib. Pencahayaan di ruangan tempat saya menyemai kurang baik. Ini menjadi catatan: besok ketika hendak menyemai lagi, lakukankah tidak lama setelah azan asar supaya masih terang!

Di halaman, sepertinya beberapa biji cabai baru telah tumbuh. 

Tidak ada yang begitu istimewa.

H14 CMB, KH, CMK, KT
H7 ptTG
H7 C, F
H5 ptSC
H2 L
H1 A
H0 Marigold (M)
H0 Kacang Merah (KM)
H0 pindah tanam Gingseng Jawa (ptGJ)
H0 tutup Compost Bag 1 (tCB1)

Hari ini saya menanam 3 jenis marigold yang masing-masing terdiri dari 3 biji. Tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, biji marigold cukup besar dan mudah dibedakan dari butiran pasir ataupun anak kutu.

Biji marigold yang menyenangkan untuk ditanam, karena
bentuk dan ukurannya tidak se-bikin-was-was biji jenis-jenis
bunga lainnya.
Tomat gantung daunnya tampak tua dan berpenyakit. Saya memerhatikan akarnya sendiri telah tumbuh; ada yang di luar tanah (terlihat dari mulut botol di sebelah bawah), ada juga yang merambat ke atas (terlihat dari permukaan badan botol yang transparan). Saya coba memindahkan posisi tanaman itu sedikit ke sisi yang tampaknya lebih tersinari oleh matahari. Mari kita lihat apakah akan ada perubahan.

Saat hendak menyiram, saya menemukan sebutir kacang merah di ember penampung air bekas cucian. Saya coba menanamnya di salah satu wadah bekas minyak goreng yang kosong (maksudnya cuma terisi oleh tanah dan sampah sisa cuci piring).

Saat hendak menyiram tanaman jeruk, timbul pikiran untuk memindahkan gingseng jawa yang tumbuh liar menumpang di potnya saat itu juga. Saya hendak memindahkannya ke bedeng tembok yang terdekat saja (yang saat ini dihuni lidah buaya, lidah mertua, dan semacam lili). Rupanya mudah mencabut gingseng jawa itu; akarnya berupa serabut kecil. Kondisi tanamannya sendiri tidak begitu bagus karena ada bagian yang patah, serta daun-daun yang bagiannya disarangi semacam penyakit putih-putih. Sepertinya saya memindahkan tumbuhan itu memang karena kasihan akan keadaannya. Mudah-mudahan dia kerasan di tempatnya yang baru.

Terakhir, saya memenuhi compost bag dengan sampah cokelat. Ada seplastik besar tambahan sampah cokelat hari ini. Saatnya untuk menyediakan wadah kompos baru. Saya membongkar wadah yang selama ini saya khususkan untuk sampah plastik, sebab di dalamnya juga ada dua karung bekas percobaan mengompos sebelumnya. Kedua karung itu saya gunakan untuk menampung sampah cokelat, terutama yang baru-baru, sampai cukup penuh, lalu saya ikat bagian atasnya. 

Cukup banyak juga yang bisa ditampung dalam dua karung itu. Selama ini, sampah cokelat dari halaman disimpan di sebuah plastik transparan yang sangat besar. Setelah memindahkan sebagian isinya ke dua karung tersebut, tampak sebagian bawah isi plastik tersebut yang agaknya sudah separuh busuk atau, kalau boleh saya katakan, sedang dalam proses pemasakan menuju kompos. Timbul pikiran untuk memindahkan semuanya ke compost bag yang baru atau ke salah satu ember pecah (bekas percobaan mengompos sebelumnya juga) yang ada penutupnya.

H15 CMB, KH, CMK, KT
H8 ptTG
H8 C, F
H6 ptSC
H3 L
H2 A
H1 M
H1 KM
H1 ptGJ
H1 tCB1

Hari ini saya terlalu malas untuk menanam, sehingga saya hanya menyirami yang sudah saya tanam.

Tomat gantung masih tampak menyedihkan. Telah tumbuh sepasang daun di pucuk, tapi tampak layu. Saya memindahkan lagi posisinya ke tempat yang lebih terpapar oleh sinar matahari. Saya tidak tahu apakah itu tepat atau sebaliknya.

Mudah-mudahan ada yang tumbuh ....
Kabar buruk: gingseng jawa pada tumbang. 

Gingseng jawa yang pertama tumbuh di dekat suplir. Ukurannya sudah cukup besar dan tumbuh bagus menggembirakan. Tapi hari ini seperti ada yang menebas beberapa batangnya. Entah siapa pelakunya, dan apakah motifnya. Yang jelas, sayang kalau yang tumbang itu dibuang begitu saja. Kebetulan ibu saya mau masak kangkung, jadi saya minta supaya itu ditambahkan. 

Sementara itu, gingseng jawa yang kedua loyo sampai jatuh.

Situasi yang menyedihkan ini memang menambah pesimisme. Sebenarnya sebelum memulai lagi ini, sudah timbul pikiran bahwa sebelum menanam, sebaiknya saya belajar mengenali macam-macam hama di halaman!

Rabu, 20 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Buletin Pak Tani Digital Edisi 10 - Bercocok Tanam dari Rumah di Tengah Pandemi (1)

Di Instagram, saya mengikuti akun @paktanidigital sehingga mengetahui adanya buletin ini. Edisi 10 ini yang pertama saya lihat, dan judulnya pun pas dengan situasi sekarang. Seketika saja saya langsung tertarik untuk mengunduhnya, bahkan membagikan informasi ini kepada teman-teman di Instagram.


Edisi 10 ini yang paling baru (pada saat saya baru mengetahui tentang adanya buletin ini). Dari 9 edisi sebelumnya, hanya 2 yang saya unduh juga. Soalnya, dari judulnya, yang lain-lainnya itu tampaknya mencakup skala yang sepertinya masih terlalu besar buat saya.

Dari 5 judul yang ditampilkan di kover edisi 10, 4 di antaranya menarik buat saya. Cuma satu yang saya tidak begitu tertarik, yaitu "Cara Menanam Basella di Pekarangan Rumah"--lebih karena saya belum mengetahui basella itu jenis tanaman yang bagaimana.

Dalam edisi setebal (tipis kok!) 66 halaman ini terdapat 12 artikel. Delapan di antaranya tampak menarik untuk langsung dipraktikkan. Sedangkan yang lain-lain, karena sebagian menyangkut tanaman buah yang berukuran cukup besar, sepertinya nanti dulu deh.

Kedua belas artikel tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Budidaya bawang merah dalam pot
  2. Menanam jeruk dalam pot
  3. Menanam kangkung di pot atau polybag
  4. Budidaya alpukat di dalam pot
  5. Menanam jahe di dalam pot
  6. Budidaya bawang putih di pekarangan rumah
  7. Budidaya buah naga di dalam pot
  8. Menanam basella di pekarangan
  9. Budidaya caisim di pekarangan rumah
  10. Budidaya jambu kristal di dalam pot
  11. Menanam sayur di rumah dengan urban gardening
  12. 10 tanaman cepat panen

Tiap artikel hanya 3-4 halaman. Isinya berupa deskripsi tanaman (misalnya berupa kandungan nutrisinya) serta petunjuk teknis penanaman, perawatan, dan seterusnya.

Petunjuk teknis yang terperinci sesungguhnya penting agar tanaman tumbuh optimal (yah, percaya saja deh this is based on science.) Hanya saja, bagi pekebun pemula yang notabene pemalas seperti saya, bisa-bisa instruksi yang demikian menjelimet itu bikin keder duluan  Rasanya ingin asal tanam saja, tanpa mesti begitu ribet soal komposisi media tanam dan sebagainya. Siapa tahu saja bisa tetap tumbuh--terlepas dari optimal atau enggaknya, ya.

Tapi beberapa informasi teknis saya dapati benar-benar berguna, apalagi menyangkut tanaman yang sudah saya miliki atau kebetulan saya baru beli bijinya.

Misalnya, caisim harus disemai dulu sampai muncul 3-4 daun baru kemudian dipindahkan ke wadah dengan ruang 10 x 15 cm. Memanennya pun harus dengan mencabutnya sampai akar.

Selada bisa ditumbuhkan kembali dari bonggolnya, yang bisa kita beli dari warung, pasar, supermarket, atau whichever you like lah. Ketinggian wadah tanamnya mesti 20 cm, dan pengetahuan ini pun seketika menyingkirkan sebagian wadah yang kemarin sudah saya kumpulkan dan maksudkan untuk jenis ini, hahahaha. Selada bisa tumbuh di tempat teduh, sehingga balkon bisa dimanfaatkan untuk itu.

Cabai butuh wadah berketinggian 45 cm.

Kaleng bekas bisa digunakan untuk menanam sayuran. Sebelumnya saya khawatir apakah wadah jenis kaleng aman digunakan untuk tanaman pangan, sebab nanti akan muncul karat. Memang tidak ada penjelasan soal pengaruh karat pada kandungan tanaman, tapi dengan sebaris pernyataan itu saja seolah-olah sudah mengonfirmasikan bahwa kaleng itu aman. Entah kenapa.

Khususnya untuk jeruk, ada beberapa petunjuk yang selama ini bisa dibilang hampir-hampir tidak pernah saya amalkan.

  • Bibit yang bagus adalah hasil okulasi, sedangkan saya sekadar coba-coba menumbuhkan dari biji sisa buah yang dimakan.
  • Ada waktu-waktu untuk memupuk, sedangkan saya kapan pun merasa kasihan pada tanaman itu.
  • Ada waktu-waktu penyiraman, sedangkan saya baru melakukannya kapan pun merasa perlu-- terutama ketika melihat permukaan tanah di pot tampak kering.
  • Tumbuhan liar perlu dicabuti, sedangkan saya cenderung membiarkannya sampai baru-baru ini.
  • Untuk mencegah hama, infus dengan Teramycin--yang setelah saya cari tahu di internet, rupanya ... obat mata yang selama ini saya pakai untuk kucing?!?! Sayangnya, dari hasil pemindaian sekilas, saya belum menemukan cara menginfuskannya.
  • Rajin memangkas daun dan ranting, yang baru saya lakukan kemarin-kemarin.

Pantas saja tanaman jeruk saya tidak kunjung berbuah padahal sudah bertahun-tahun, sedangkan artikel ini mengatakan bahwa semestinya dalam 8 bulan sudah bisa panen!

Artikel yang tidak kalah berguna tentu saja daftar tanaman untuk urban gardening lagi cepat panen. Berikut jenis-jenis tersebut.

  1. Buncis
  2. Tomat, terutama yang cherry
  3. Selada
  4. Mentimun
  5. Cabai
  6. Bayam
  7. Kecambah (dari kacang hijau)
  8. Kangkung
  9. Sawi hijau
  10. Daun bawang
  11. Kacang polong
  12. Bit
  13. Arugula
  14. Okra

Beberapa jenis di atas sudah ada di rumah saya (walaupun sebagian di antaranya masih berupa biji yang belum diapa-apakan dan sebagian lagi dalam bentuk bahan masakan di kulkas :v). Yang belum ada ingin saya coba, setelah semua biji yang ada sekarang sudah habis ditanam (dan uang sudah turun lagi dari langit).

Betapapun terperincinya petunjuk teknis dalam artikel-artikel ini, rupanya tidak mesti lengkap. Contohnya dalam petunjuk tentang alpukat. Saya pernah mencoba menumbuhkan alpukat dari biji dengan menggunakan tusuk gigi dan toples kaca kecil--mengikuti yang saya lihat di Pinterest. Tapi pada waktu itu saya tidak menambahkan gula pasir ke dalam air, tidak seperti petunjuk dalam artikel buletin ini. Biji itu memang menumbuhkan akar dan daun, dan saya girang. Saya lalu memindahkannya ke tanah dalam suatu wadah, dan menaruhnya di halaman. Beberapa waktu kemudian, tanaman itu saya tamatkan riwayatnya sejak memunculkan ulat-ulat bulu kecil yang meng-geuleuh-kan. Padahal alpukat terkenal karena ulat-ulatnya itu. Karena itulah, cara mengatasinya tentu penting untuk dikemukakan. Tapi kenapa artikel ini tidak mengungkitnya sama sekali?

Contoh lainnya yaitu petunjuk tentang jahe. Disebutkan bahwa media tanamnya menggunakan campuran abu gosok dengan sekam, tapi tidak diperinci sampai perbandingannya.

Betapapun dapat memuyengkan dan kurang lengkap, secara keseluruhan buletin ini layak dibaca dan dapat menambah pengetahuan. Misalnya untuk mengatasi hama ulat kubus yang juga kerap melanda caisim, ada sejenis tawon bernama Diadegma semicalusum. Untuk mencegah jamur pada media tanam, kita bisa menggunakan kapur dolomit.

Saya merasa pekebun atau petani--apalagi yang multijenis--itu menyerupai dokter. Mereka sama-sama harus dapat men-"diagnosis" penanganan yang tepat terhadap tiap-tiap individu. Kalau dokter menangani manusia, pekebun atau petani pada tanaman. Sebagaimana dokter yang mesti hafal gejala tiap-tiap penyakit dan cara mengobatinya, pekebun atau petani juga perlu "hafal" syarat tumbuh dan pemeliharaan yang tepat untuk tiap-tiap jenis tanaman.

Minggu, 17 Mei 2020

Jurnal Ngebun: Minggu 1 Memulai Lagi

Berkebun yang tadinya untuk weekend saja malah jadi pikiran sehari-hari -_1 Tiap hari ada saja hal-hal lain menyangkut kekebunan yang saya lakukan selain membersihkan bedeng tembok dari kotoran kucing, menyiram, dan memasukkan sampah dapur ke komposter. Dengan menulis catatan harian seperti ini, entahkah dapat menjaga konsistensi?

H2 dan H3 cabai merah besar (CMB), kacang hijau (KH), cabai merah keriting (CMK), dan kacang tanah (KT)

Saya menemukan ada bekicot-tidur di atas mulsa, yang serta-merta saya ambil dengan cangkul kecil lalu saya lempar jauh-jauh. Jadi penggunaan bubuk cangkang telur jelas-jelas tidak efektif.

Tampaknya penggunaan tusuk gigi juga tidak efektif, malah pemborosan. Mungkin tusuk giginya kurang tinggi, tapi di mana bisa mendapatkan tusuk gigi raksasa? Saya coba menancapkan sumpit. Tapi karena jumlah sumpit tak terpakai di rumah tidak sebanyak tusuk gigi, maka sepertinya tetap saja enggak berguna. Kalau menemukan ranting yang cukup panjang di antara potongan rumput/daun kering, tentu akan saya tancapkan juga.

Saya tetap menemukan mulsa diacak-acak, yang di baliknya kadang ada kotoran kadang enggak (mungkin si kucing cuma buang air kecil). Tapi, penggunaan mulsa tampaknya cukup membantu dalam menyingkirkan kotoran. Paling enggak, saat menyingkirkannya, tidak begitu banyak tanah yang terbawa karena digantikan oleh mulsa. Mulsa juga berguna untuk mengelap kotoran yang tercecer sampai ke permukaan tembok.

Saya mulai hopeless biji-biji yang saya tanam akan tumbuh. Saya tidak tahu apakah mulsa membantu atau justru menghambat pertumbuhan biji. Membantu karena melindungi dan menjaga kelembapan, keteduhan, atau apalah, sehingga mendukung biji untuk tumbuh. Menghambat karena menghalangi cahaya serta menutupi ruang bagi biji untuk tumbuh. Well, this is just another cara bodoh untuk berkebun  you may say.

Timbul pikiran: apa semestinya saya menyemaikan biji di tempat lain terlebih dahulu, baru setelah besar dipindahkan ke area situ? Tapi saya lihat di pot yang ada tanaman jeruknya, ada kucing sedang menggaruk-garuk permukaan tanah kosong di bawahnya mau buang air. Jadi, sepertinya sih mau tanamannya sebesar apa pun, kalau ada ruang kosong pada tanah, kucing akan tetap memanfaatkannya sebagai toilet.

Sebenarnya sudah terpikir oleh saya untuk menanami area tersebut dengan tumbuhan-tumbuhan yang sudah jadi saja, misalnya heherbaan; pokoknya yang masuk dalam kategori TOGA lah. Tapi, tanaman jadi harganya cukup lumayan (puluhan ribu rupiah), dan saya masih galau antara mendatangi sentra tanaman hias terdekat atau pesan online. 

Anyway, let's just see. Ini kan baru tiga hari, belum seminggu. Siapa tahu biji-biji itu baru tumbuh setelah seminggu. Apalagi belakangan ini masih hujan, cuaca mendung, dan udara agak dingin. Mungkin kecambah-kecambah pun pada malas keluar. (Dasar manusianya yang enggak sabaran )

Jadi, di samping menyiram-tanaman, menyingkirkan-kotoran-kucing dan membereskan-mulsa-kembali masuk ke agenda harian.

H4 CMB + KH + CMK + KT

Saya merasa excited atau upset karena beberapa hal, dan jadilah menonton video-video berkebun di YouTube pada tengah malam. Saya menemukan video yang sangat membuka mata ini:


Dia mematahkan "mitos" bahwa cangkang telur dapat mencegah bekicot, dan benda tajam seperti garpu dapat mengusir kucing. Dia bilang: untuk bekicot, gunakan garam; untuk kucing, "kandangin" aja tanamannya.

Hikmahnya: walaupun salah satu akun IG yang ternama itu telah memberikan saran yang tolol, paling tidak efektif untuk menggerakkan saya mencoba lagi berkebun ... dengan cara yang tolol :v Enggak apa-apa, enggak salah enggak belajar :") #penghiburandiri.

Saya sudah merasa malas membersihkan bedeng dari kotoran kucing. Adanya tusuk-tusuk gigi yang menancap tegak malah bikin pengambilan kotoran jadi kagok. Selain itu, ada cukup banyak tusuk gigi berikut tanah yang terambil saat menyekop kotoran itu. Sayang. This is kinda frustrating, but who knows few days later some things will grow jadi ini enggak bakal sia-sia banget. Mudah-mudahan.

Sejak semalam, saya sudah mulai menanyakan hal-hal seputar berkebun kepada beberapa teman yang melakukannya. Salah seorang teman saya bersama keluarganya bisa dibilang telah berhasil bahkan menjadi contoh bagi lingkungannya. Mereka membuat kebun pangan hidroponik di atap rumah. Ia memperlihatkan videonya kepada saya, tampak hasilnya luar biasa subur. Untuk mengoptimalkan ruang, banyak potnya yang digantung. Saya pun menanyakan kepada dia tentang hal-hal yang perlu dipersiapkan sampai sedetail-detailnya, mulai dari alat dan bahan, tempat mendapatkannya, harganya, dan seterusnya.

Tapi, bagaimanapun juga, saya harus memanfaatkan alat dan bahan yang sudah saya miliki terlebih dahulu. Baru ketika semuanya sudah terpakai, dan uang telah turun dari langit, saya dapat membeli yang baru. Itu pun mesti saya batasi anggarannya. Sebab, kalau berkebun justru menghamburkan biaya, ya mending beli jadi di warung Soal organik atau enggak, level saya masih di "asal-ekonomis".

Paket biji sayuran. Pengemasannya lama
mungkin karena bijinya kudu dihitung satu
per satu? 
Siang ini juga pesanan biji sayuran saya akhirnya datang juga. Ada 10 produk yang saya pesan: 1 macam caisim, 2 macam tomat, 3 macam bayam, dan 4 macam selada. Tapi sayangnya, selada yang datang hanya 3 macam. Yang satu lagi digantikan oleh bonus biji bayam. Sudah begitu, tidak ada tanggal kedaluwarsanya pula. Meski begitu, ada petunjuk pembenihan yang cuma satu untuk kesepuluh macam biji ini? Jadi semuanya harus disemai terlebih dahulu?! Olala~

Saya sempat mencoba menyemaikan--dulu-dulu--tapi kebanyakan hasilnya tidak selamat, di antaranya saat dipindahkan. Apalagi untuk jenis sayuran seperti bayam dan kangkung, rasa-rasanya langsung di wadah yang itu saja tidak mengapa. Tapi karena teman saya yang sudah berhasil dan mendapat publikasi dari Dinas Pangan dan Pertanian Jawa Barat itu bilang, "disemay," maka sebaiknya saya menurut saja?

Saya pun mulai mondar-mandir di beberapa ruangan rumah, mencari wadah-wadah yang layak untuk tempat persemaian.

Walaupun pesanan yang datang mengecewakan, saya telah menghabiskan sepanjang pagi menelusuri katalog dari toko yang sama di Shopee untuk produk bunga-bungaan. Salah satu video YouTube yang saya tonton semalam adalah tentang perlunya companion plant untuk tanaman sayur berupa bunga-bungaan. Gunanya adalah untuk mengatasi hama bahkan membantu kesuburan. Saya pun mencatat jenis bunga-bunga yang berguna itu, dan mencarinya di katalog toko tersebut sampai saya bacai deskripsi setiap jenis yang ada. Pilihan saya pun jatuh pada jenis-jenis dari: marigold, foxglove, chamomile, bayam kumis kucing, lavender, dan krisan. Yang terakhir itu entah apa gunanya terhadap hama, cuma saya penasaran saja karena katanya bisa dikonsumsi.


Setelah pesanan datang dan saya memberikan nilai, foto, dan komentar untuk tiap-tiap produk, saya pun membuat pesanan baru di toko yang sama hingga saldo Shopeepay saya tinggal 818 rupiah :v
Cukup sudah belanja bulan ini.

Sekarang saya punya ratusan biji yang harus disemai, dan masih seratusan lagi yang akan datang.

Entah apakah ini yang dinamakan tumbuhnya passion baru, sebab saya sampai enggak bisa tidur siang (padahal semalam kurang tidur) dan tidak berhasrat mengerjakan rutinitas atau passion saya yang biasanya. Saya mengingat-ingat pengalaman berkebun yang lalu, yang mungkin saja sama menggairahkannya seperti sekarang tapi setelah beberapa hari yang intens lantas terbengkalai begitu saja. Mudah-mudahan kali ini saya bisa mengendalikannya dengan lebih mengedepankan kesabaran, ketelatenan, dan keteguhan seperti kata orang Jawa: alon-alon waton kelakon.

Untuk persiapan wadah tanam, tadinya saya hendak memanfaatkan tumpukan ban mobil bekas yang ada di rumah. Timbul ide untuk memotong-motongnya, menggantungkan di pagar, mengolahnya jadi pot, dan sebagainya. Saya sudah membayangkan diri akan menjadi pengrajin ban bekas saja. Tapi setelah melihat caranya di YouTube dan menyadari bahwa sepertinya dibutuhkan tenaga besar serta peralatan tertentu, saya berpikiran bahwa ban-ban itu sebaiknya dijual saja dan uangnya untuk beli pot, media tanam, dan segala macam. Saya pun googling tempat jual ban mobil bekas di kota saya. Kebanyakan sedang tutup dalam masa pandemi ini. Saya pun menghubungi kontak salah satu yang buka.

Setelah saya kontak, rupanya dia juga sedang tutup. Tapi saya lanjutkan saja dengan dengan pertanyaan-pertanyaan. Dari "wawancara" super singkat itu, saya mendapat perasaan bahwa menjual ban bekas ini sepertinya tidak akan begitu mudah. Maka kembali timbul pikiran untuk menjadikannya wadah tanaman saja, tanpa harus bersusah payah mengolahnya terlebih dahulu. Cukup tidurkan ban pada area berumput di halaman (soalnya, mau di mana lagi), lalu masukkan media tanam dan tanaman yang sudah agak besar pada lubangnya.

"Wawancara" singkat dengan yang punya tempat jual beli ban mobil bekas.

Saya membicarakan ide ini kepada teman-teman dan orang tua. Memang ada beberapa masukan, dan ban sepertinya bukan wadah tanam yang ideal. Bagaimanapun juga, sebenarnya ini masih jauh untuk dilakukan. Sebab, biji-bijinya saja belum pada disemai! Kalau sudah disemai pun, sepertinya makan berminggu-minggu lagi sampai tumbuhan itu sampai layak pindah.

H5 CMB, KH, CMK, KT

Saya menceritakan tentang tanaman-tanaman jeruk yang tidak kunjung berbuah kepada teman saya. Dia menyarankan untuk mengurangi daun-daun tanaman itu. Ide bagus, pikir saya, terutama daun-daun jelek yang sudah kena hama. Padahal belum beberapa lama saya menonton sebuah video YouTube, yang di bagian awalnya mengajukan ide serupa.


Saya menyadari bahwa saya telah kalap, membeli terlalu banyak biji mentang-mentang mau mulai lagi dengan lebih baik. Padahal kalau tanaman-tanaman jeruk itu saja (yang bijinya sekadar sisa dari buah yang dimakan, bukan sengaja beli) saya rawat dengan sepenuh hati sampai berbuah alias benar-benar menghasilkan, sudah cukup sebagai awal pembelajaran berkebun. Sungguh saya ini orang yang di samping kemaruk juga tidak pandai bersyukur. Astagfirullahaladzim ....

Tapi saya tidak menyesal membeli biji-biji itu, dan sebagai tanda tobat saya mesti belajar merawat tanaman-tanaman jeruk itu dengan baik: mulai dari mengurangi daunnya serta rutin memberikan pupuk.

Ah, so much work to do ....

Pada 11 Mei 2020 lalu, saya menyimak webinar ketahanan pangan keluarga di channel YouTube Dompet Dhuafa TV (Instagram: @prakarsa.berkelanjutan) tentang ecoenzyme. 


Sebenarnya saya sudah pernah menghadiri semacam seminar (?) tentang topik ini. Tapi saya tonton juga video itu, siapa tahu menyuntikkan semangat baru untuk bikin lagi. Dan, memang.
Ada poin-poin praktis yang saya tidak dapatkan dari seminar sebelumnya:

1) Sebaiknya menggunakan toples plastik (yang bermulut lebar). Soalnya, kalau pakai ke botol plastik (yang bermulut kecil), bisa susah nanti saat hendak mengeluarkan ampasnya.

2) Sebaiknya gunakan kulit buah saja, atau minimal 75%-nya sedangkan yang 25% lagi boleh sayur, supaya hasilnya aromatik; kulit jeruk paling baik. Kalau kebanyakan atau seluruhnya pakai sayur, aromanya yang dihasilkan cenderung tidak menggairahkan.

Mencoba bikin ecoenzyme lagi secara presisi.
Maka sore kemarin ketika melihat ada gundukan buah jeruk yang baru dibeli di dekat meja makan, timbul pikiran untuk membuat ecoenzyme lagi. Kali ini saya mencari toples-toples plastik untuk menampungnya. Saya menemukan beberapa toples bekas bawang goreng yang sangat layak digunakan, dan memberi tahu orang-orang rumah untuk memasukkan kulit jeruk ke dalamnya. Sampai sahur, saya berhasil mengumpulkan cukup bahan untuk membuat toples ecoenzyme pertama--dengan tambahan kulit pisang dan potongan batang kangkung sih sebetulnya.

Kali ini saya menggunakan gula pasir saja, alih-alih gula merah. Soalnya, sekarang kan masih bulan puasa, sehingga gula merah yang ada mungkin hendak digunakan untuk bikin penganan berbuka saja.

Saya pun berusaha untuk presisi dengan menimbang serta mengukur bahan-bahan terlebih dahulu, dengan timbangan (yang biasa saja karena belum punya yang digital :v) serta gelas ukur.

Percobaan bikin ecoenzyme yang sebelumnya. Hari ini
mestinya sudah bisa panen dua botol, tapi tapi tapi ....
Sepuluh gram gula pasir, tiga puluh gram kulit buah dan sayur, serta seratus mililiter air (sesuai dengan rumus 1:3:10) saya tambahkan secara bertahap sampai toples penuh; didapat empat kali.

Dalam percobaan ecoenzyme sebelumnya, bisa dibilang saya masih sembarangan. Rempah-rempah pun saya masukkan. Malah ada satu botol isinya cuma potongan batang bayam :v Kalau aromanya terlalu "semerbak", akan saya gunakan sebagai POC saja.

Hari ini, sekalian menginspeksi kotoran kucing, saya mencabuti tusuk gigi yang sudah terbukti tidak berguna. Sekalian saya juga mengambili mulsa walaupun tidak sampai bersih amat (da susah :v). Lalu saya meratakan kembali tanah. Dengan begini, biji yang tumbuh akan mudah terlihat.

Itu juga kalau mereka tumbuh atau enggak keburu diacak-acak kucing ._.

Memang semestinya saya belajar menyemai terlebih dahulu  Bukan saja sampai semainya layak untuk dipindah-tanam, tapi juga unsur soft-skills-nya, seperti kesabaran, ketelatenan, keteguhan, apalah, ... pokoknya yang under the name of "great care".

Sudah dibersihkan, tapi enggak bersih-bersih amat.
Kalaupun enggak ada biji yang tumbuh sampai besar dan berbuah dengan selamat, tanah di situ bisa dimanfaatkan terlebih dahulu sebagai media tanam di wadah lain yang aman dari cakar kucing(?) Kalau sudah ada kesempatan, barulah bagian situ ditanami dengan jenis TOGA yang sudah besar (dari beli jadi atau ditumbuhkan sendiri) dengan permukaan tanah di sekitarnya ditutupi batu-batu koral untuk menghindarkan dari garukan kucing (begitulah kiat teman saya yang sudah berhasil itu).

Setelah beres di situ, saya lanjut dengan mencabuti daun tanaman-tanaman jeruk. Di sini saya melakukan kebodohan lainnya. Saya menggunakan sarung tangan karet sementara batang tanaman jeruk kan berduri. Tampaknya sarung tangan saya terkoyak oleh duri-duri itu (memang ada yang menusuk sampai ke kulit sih), sehingga robek dan kurang layak digunakan lagi (._.) Besok saya mau mengurangi tanaman daun jeruk pakai gunting saja :v

Setelah menyudahi memasukkan benda-benda organik ke dalam komposter (dan saya menemukan dua ulat hijau muda yang asalnya entah dari mana pada bagian bawah penutupnya, hiii!), saya coba meletakkan ban-ban mobil bekas di atas area berumput.

Kalau segala wadah yang bisa dimanfaatkan untuk pot sudah habis, saya berpikiran--sebelum membeli pot-pot baru--kenapa tidak menggunakan ban-ban ini saja terlebih dahulu? Setelah saya bicarakan kepada beberapa teman, memang ada beberapa kekurangan atau syaratnya.

Bagaimanapun juga, ban-ban ini mau diapakan? Dari percakapan seperlunya dengan penjual-beli ban bekas, saya merasa ban-ban ini akan sulit laku mengingat keadaannya yang sudah berkarat bahkan berjamur.

Yah, begitulah. Tapi itu masih jauh. Menyemai saja belum  Jadi ini peragaan saja.

Rencana bedeng ban serta sebagian dari ban mobil bekas yang menumpuk di garasi.

Ah, dan saya juga mesti menggali lubang yang dalam untuk mengubur gundukan tahi kucing dari bedeng tembok itu 

H6 CMB, KH, CMK, KT

Beberapa hari kemarin saya telah menghabiskan banyak waktu untuk urusan kekebunan, walaupun sebagian ada yang hanya berupa aktivitas di dunia maya :v Rutinitas yang biasanya pun terbengkalai. Maka hari ini saya ingin mengerjakan yang seperlunya saja, seperti memasukkan sampah dapur ke komposter serta membersihkan bedeng tembok dari kotoran kucing dan menyiraminya ..
.
... dan mungkin mengguntingi daun tanaman jeruk ...

... dan mungkin mengidentifikasi tanaman-tanaman liar yang siapa saja tahu saja ternyata bisa dimakan ...



Jadilah saya kembali menghabiskan berjam-jam di halaman, lupa waktu dan makan energi.

Salah satu tanaman liar yang bisa dimakan itu adalah sirih cina; saya mendapatkan informasinya dari IG @sustainable.indonesia. Saya menemukan banyak tumbuhan itu tersebar di halaman rumah, masih pada kecil-kecil.

Hanya segelintir dari sekian banyak sirih cina kecil yang saya temukan di halaman.

Ada juga semanggi, yang sudah saya ketahui bahwa bisa dimakan.

Entah apa lagi, tapi begitu saja sudah bikin saya merasa berkelimpahan dan kewalahan.

Belum lagi saya menemukan ada tumbuhan di wadah bekas yang kelihatannya seperti anakan tomat. Kalau benar begitu, saya ingin bikin tomat botol yang digantung terbalik itu lo.

Belum lagi kemarin pesanan biji wijen saya sudah datang. Tadinya saya ingin menggunakannya untuk memasak. Tapi karena ada banyak, timbul pikiran: apa bisa dicoba-tumbuhkan?

So many works! So little time!

Saya memikirkan rutinitas-rutinitas yang biasanya saya kerjakan, sebelum hendak memulai ini. Ada yang sebaiknya atau tidak semestinya saya tinggalkan. Ada juga yang terancam untuk dikorbankan.

Peralihan ini menggalaukan.

Siangnya, pesanan biji bunga saya sudah datang. Dengan begini, kompletlah sudah semua yang ingin saya tanam untuk batch (?) pertama. Sebenarnya, saya pesan biji seledri, biji bawang daun, dan biji kelor juga, tapi tahu-tahu saja si penjual membatalkan pesanan ☹️ dan saya malas mencarinya lagi.

Malamnya, saya menanyai seorang teman yang lain kalau-kalau dia kenal jenis-jenis tumbuhan liar. Dia bilang enggak, tapi memberi tahu saya bahwa ada aplikasi yang dapat membantu kita soal itu. Segera saja saya mencarinya di PlayStore. Saya mengunduh dua aplikasi serupa, tapi mencopot salah satunya karena lebih sreg dengan yang lain.

Primbon untuk menjelajahi halaman.

Saya takjub sekali dengan adanya aplikasi ini. Saya mengunggah foto beberapa tumbuhan liar yang ada di halaman rumah, baik yang sudah saya ketahui maupun belum. Aplikasi itu kemudian memberikan sejumlah pilihan yang menyerupai tumbuhan itu. Kita mesti memilih yang kira-kira paling sesuai dan mengonfirmasikannya. Walau cara begini sebenarnya belum tentu akurat juga, tapi untuk sementara ini bolehlah. Apalagi aplikasi ini juga menyediakan sejumlah tautan ke situs-situs tempat kita bisa menelusuri tentang jenis tumbuhan itu lebih lanjut.

Saya excited sekali dengan aplikasi ini, dan jadi merasa beruntung hidup pada zaman sekarang.

Angan-angan saya pun mengembang hendak mempelajari setiap tumbuhan yang ada di halaman rumah.

H7 CMB, KH, CMK, KT
H0 pindah tanam Tomat Gantung (ptTG)
H0 Chamomile (Ch) dan Floxglove (F)

Biji-biji cabai merah besar, kacang hijau, cabai merah keriting, serta kacang tanah yang saya tanam tepat seminggu lalu masih belum tampak ke permukaan. Mungkin saya akan menunggu sampai sebulan. Kalau sudah sebulan atau empat minggu belum tumbuh juga ... BONGKAR!!!

Yang membuat saya bersemangat untuk tetap ngebun hari ini adalah ide membuat tomat gantung. Entah di mana pertama kali saya melihatnya, hingga timbul ide tersebut. Saya sudah menyimak beberapa video YouTube yang menunjukkan caranya.

Saya pun memotong botol. Saat hendak melubanginya, saya pikir sekalian saja dengan wadah-wadah untuk semai. Saya belum mencari dan mengumpulkan wadah untuk persemaian dan pot secara menyeluruh (maksudnya dari tempat-tempat penyimpanan di rumah), jadi saya menggunakan yang sudah sengaja saya tumpuk saja yaitu gelas-gelas plastik bekas minuman.

Untuk tali gantungan, saya menggunakan kabel telepon yang sudah tidak terpakai. Hehe.

Mulailah saya "bekerja". Saya berusaha mengeluarkan si tomat dari tempat tumbuhnya secara berhati-hati. Rupanya akarnya masih kecil sekali. Rasa-rasanya tomat yang ada di video-video itu berukuran lebih besar.

Untuk menahan tumbuhan agar tidak lolos dari mulut botol, digunakan kain perca yang bagian tengahnya dilubangi. Minggu lalu ketika papa saya bersih-bersih halaman, ada potongan lengan baju yang terbawa ke sampahnya. Saya manfaatkan saja kain yang tidak jelas asal-usulnya itu ._.

Tampaknya lubang yang saya bikin kebesaran, dan sepertinya salah satu sisinya tidak perlu digunting lagi (sebagaimana yang ditunjukkan di salah satu video tapi tidak di video yang lain). Saya cukup kesulitan berusaha menahan tumbuhan agar tidak lolos lagi dari mulut botol. Beberapa kali saya memperbaiki cara membungkus akar dengan kain itu. Sudah begitu, si kucing tetangga yang enyoi-enyoi lucu pakai banget itu () lagi bermain-main di kaki saya.

Tomant gantung pertamaku 
walaupun belum ada "tomat"-nya 
Akhirnya, upaya menahan akar di mulut botol berhasil juga. Saya pun memasukkan media tanam. Bisa dibilang media tanam ini bekas pakai yang asalnya dari botol-botol bekas percobaan berkebun yang lalu. Kondisinya masih agak basah karena pernah kehujanan.

Setelah mengisikan media tanam, saya gantungkan wadah itu di pagar. Saya tambahkan pupuk kandang, yang setelah saya ingat-ingat sepertinya sudah dicampur dengan tanah dan sekam bakar :v Lalu saya siram sampai hampir memenuhi bukaan botol, dan air menetes-netes dari mulutnya.

Dari waktu ke waktu sampai tengah hari, saya mengamati bahwa tomat yang dipindahkan itu rupanya tidak tahan panas. Di bawah sinar matahari langsung, daun-daunnya jadi kuyu hingga saya kasihan melihatnya. Tadinya saya kira itu efek dari pindah tanam, atau jangan-jangan akarnya terbungkus semua oleh kain sehingga kenapa-kenapa. Tapi, setelah saya pindahkan ke bagian yang teduh, daun-daun itu kembali membuka. Mudah-mudahan dia bisa survive sampai berbuah .... Saya ingin bikin yang banyak tomat gantung seperti ini! 

Biji chamomile dan foxglove yang super tini wini biti,
 kayak telur kutu!
Kemudian saya mulai menanam chamomile dan floxglove. Keduanya saya pilih untuk ditanam pertama karena, setelah saya hitung-hitung, harganya yang paling murah.

Biji-bijinya kecil sekali, hampir-hampir cuma setitik untuk floxglove. Yang chamomile berukuran sedikiiit saja lebih besar. Saya masukkan ke lubang dengan pinset sambil deg-degan.

Setelah urusan persemaian itu beres, saya membersihkan barang-barang yang bisa dijadikan alas untuk wadah semai berikutnya serta pot dan alat-alat. Sebelumnya saya mencampur tanah, pupuk kandang, dan sekam bakar--masing-masing dua gayung--di satu ember untuk media tanam semai.

Saya berencana untuk menyemai dulu semua yang perlu disemai, terutama bunga-bunga. Harga biji bunga cukup mahal sehingga sayang kalau ditanam begitu saja di luar lalu tidak tumbuh ._. Untuk jenis sayur, saya masih ragu apakah memang perlu untuk disemai terlebih dahulu. Maksudnya, kalau sejak tanam sampai panen bisa di satu tempat saja (tidak perlu pindah-pindah), kenapa tidak? Kan untuk menghemat waktu, energi, dan tempat  Saya mau cari tahu terlebih dahulu soal itu.

Barisan semai chamomile dan foxglove, seperti Gogle V
berhadapan dengan Power Rangers.
Bisa juga sih saya membuat percobaan. Misalkan, saya coba tanam barang 5 pot terlebih dahulu untuk tiap-tiap jenis. Kalau ternyata dia tumbuh selamat sampai layak panen di situ, maka penyemaian memang tidak diperlukan. Tentunya itu dilakukan sembari diiringi dengan upaya-upaya untuk mengatasi hama, misalkan dengan menaburi garam di sekitar wadah tanaman untuk mencegah bekicot.

Mengetahui bahwa jenis tumbuhan liar tertentu ternyata bermanfaat, saya juga jadi ragu untuk mencabutinya. Padahal tadinya tumbuhan liar itu mau saya bersihkan dari area tanam dan wadah-wadah terbengkalai, sebelum mulai menanam jenis-jenis sayuran. Karena itu saya mau mengenalinya terlebih dahulu; yang berguna diamankan, yang tidak dibuang saja. Baru tadi terpikir cara lainnya, yaitu memisahkan antara wadah berisi tumbuhan liar dan wadah yang bersih dari tumbuhan liar. Yang berisi saya kumpulkan untuk dipelajari, sedangkan yang kosong bisa mulai saya tanami sayuran.

Di salah satu video YouTube tentang tomat gantung yang saya tonton, ditunjukkan bahwa penyiraman dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore. Saya pun penasaran untuk menurutinya (karena biasanya saya malas dan menyiram hanya sekali sehari, hehe). Sekalian saya tambahkan pupuk kandang, murni tanpa campuran tanah dan sekam bakar--tidak seperti sewaktu paginya :v Setelah itu saya isikan air kolam ke bagian atas botol sampai penuh. Air lantas menetes deras dari mulut botol di bawahnya. Sampai-sampai saya menampungnya dengan gayung, walau lama-lama terasa gabut juga sih. Mengingat media tanam yang saya masukkan kemarin cukup basah, sepertinya penyiraman sekali sehari saja cukup ....

H8 CMB, KH, CMK, KT
H1 ptTG
H1 Ch, F

Hari ini saya tidak mau ada banyak pekerjaan kekebunan, mengingat ada jurnal ini yang sebaiknya dibereskan untuk di-posting 

Saya memulainya dengan menyemprot semai chamomile dan foxglove, yang belum tumbuh tentu saja. Lalu saya keluar, membersihkan kotoran kucing, menyiram, memasukkan sampah dapur ke dalam komposter ....

Tetap saja ada tambahannya, yaitu saya penasaran untuk menggunting ranting tanaman jeruk dengan gunting rumput sebab kalau dengan gunting biasa saja tidak kuat. Rupanya, dengan gunting rumput pun sama saja tidak kuat, hahaha. Ya, ada sih beberapa ranting yang berhasil dipangkas.

Saya memerhatikan ujung daun tomat gantung mulai bergerak ke atas. Saya tambahkan sedikit tanah di atasnya, untuk menutupi pupuk yang saya masukkan kemarin sore.

Setelah itu, lagi-lagi ada tambahannya, yaitu mengumpulkan wadah-wadah plastik yang dapat dijadikan tempat semai atau pot lalu mencucinya. Tentu saja tidak semuanya saya "korbankan". Sebagian saya sisihkan untuk dijadikan tempat ecoenzyme saja, sedangkan yang lain mungkin akan saya tengok lagi kapan-kapan kalau kekurangan.

Timbul pikiran bahwa berkebun adalah kegiatan yang "lengkap". Di samping hasilnya yang bernilai ekonomis (paling tidak untuk dikonsumsi sendiri), kegiatan ini juga melibatkan fisik, intelektual, bahkan mungkin emosional dan spiritual. Fisik karena kita mesti berjalan mondar-mandir ke sana kemari, misalkan untuk mengambil alat penyiram dan memindah-mindahkan wadah; belum lagi gerakan-gerakan seperti berjongkok atau membungkuk. Intelektual karena untuk dapat bekerja secara efisien dan efektif, kita sebaiknya tahu science-nya, misalkan mengenali ciri-ciri tanah yang sehat, aneka ragam tumbuhan berikut karakteristiknya masing-masing, jenis-jenis hama beserta cara mengatasinya, musim yang tepat untuk menanam jenis tertentu, dan masih banyak lagi. Emosional karena kita mesti sabar, telaten, dan penuh kasih sayang, seolah-olah tumbuhan itu mengerti apakah kita merawatnya dengan senang hati atau terpaksa (eh, iya, enggak sih?). Spiritual karena ini merupakan cara dan upaya untuk mensyukuri nikmat dan karunia-Nya.

Kegiatan ini juga dapat mencakup passion saya yang biasanya, yaitu membaca dan menulis. Untuk lepas dari kebodohan dalam berkebun, tentu saja saya mesti membaca (--yang tidak mesti diartikan secara literal--) sebanyak-banyaknya sumber pengetahuan dan inspirasi yang dapat dipercaya. Pengalamannya kemudian saya sarikan dalam bentuk tulisan seperti ini.

Angan-angan masih melambung, ide-ide terus bermunculan, hingga menimbulkan kemungkinan persoalan. Kalau suatu saat saya dapat mengoptimalkan segala ruang yang ada di sekitar rumah untuk berkebun, dan mendapatkan hasil yang melimpah ruah, tentu tetangga-tetangga akan bisa melihatnya--terutama yang berada di halaman. Seandainya saya berteman dekat dengan tetangga, sepertinya saya akan ringan saja berbagi hasil. Masalahnya ...

... saya enggak kenal mereka 

Oke, sepertinya berkebun memberdayakan secara sosial juga ....

Menjelang asar, hujan turun deras sekali. Saya mengkhawatirkan nasib si tomat gantung, dan apakah media tanam yang baru saya tambahkan akan meluber? Sayang dong.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...