Sabtu, 17 Agustus 2019

Anak Muda Kehilangan Musik di Hatinya

Jumlah anak muda yang bunuh diri di negara Barat meningkat tiap tahun. Sejauh ini belum ditemukan terapi yang jitu untuk mencegah mereka mengakhiri riwayatnya sendiri.

ORANG yang murung lazim dikiaskan sebagai orang yang kehilangan musik di hatinya. Tapi, sampai berkesudahan dengan bunuh diri rupanya merupakan kejadian lumrah di Barat.

Rivan yang dari Indonesia itu (lihat Berdebam! Rivan Hilang) hanya sekadar menambah jumlah model anak muda yang tertumbuk pikiran ini. Di Negeri Belanda, tiap tahun sekitar 6.800 pelajar berusia 14-21 tahun berusaha bunuh diri. Yang berusia 5-15 tahun ada sekitar 100 orang. Ini diungkapkan oleh Nyonya C. W. M. Kienhorst dari Universitas Utrecht dalam disertasinya, "Tingkah Laku Bunuh Diri pada Orang Muda, Penelitian mengenai Besar dan Tanda-tandanya".

Kemakmuran materi rupanya bukan jaminan hidup menjadi nyaman. Tiga tahun silam, Masyarakat Eropa mengeluarkan angka statistik bunuh diri, bersamaan dengan korban yang tewas di jalan raya. Dari tiap 100 ribu penduduk, di Yunani 4 orang bunuh diri, Spanyol 6, Irlandia 7, Italia dan Inggris masing-masing 8, Portugal 9, Belanda 10, Jerman 18, Luksemburg 20, Perancis 22, dan Denmark 32 orang.

Di Negeri Belanda, dewasa ini, ada organisasi dalam skala nasional untuk mencegah usaha bunuh diri. Tugasnya adalah memberi penyuluhan di kalangan pelajar mengenai cara mengatasi stres, depresi, dan tingkah laku yang menjurus ke arah usaha bunuh diri.

Empat tahun berselang, Prof. Dr. R. Diekstra, dari Universitas Leiden, Belanda, diberi tugas oleh WHO (badan kesehatan dunia) meneliti kasus ini di 62 negara. Ternyata, di 42 negara, bunuh diri cenderung meningkat sampai 400%. Di negara sisanya, menurun 90%.

Di Denmark dan Jepang, misalnya, satu dari tiga pria berusia 25-34 tahun bunuh diri. Sedangkan wanitanya, satu dari empat. Yang terbesar adalah di Eropa Tengah dan Barat Laut, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, sementara di Amerika Latin menurun.Yang tertinggi adalah di Hungaria dan Jerman, yakni rata-rata dua nyawa terbang sia-sia tiap jam. Diekstra meramalkan, dalam tahun-tahun mendatang lonjakan bunuh diri akan mencapai 25-30% jika tidak ada langkah penanggulangan.

Di Negeri Belanda, tiap tahun 1.700 orang mati karena bunuh diri. Jumlah itu jauh di atas angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Padahal, mereka yang bergelimpangan di jalan raya sering melampaui jumlah yang tewas di medan perang. Ironis, memang. "Ketika 300 mati karena AIDS, 10.000 orang mati karena bunuh diri. Untuk mencegah AIDS, disediakan dana, tapi tidak untuk mencegah bunuh diri," gerutu A. Kerkhof, teman Diekstra.

Khusus untuk Eropa, penelitian dilakukan di 16 negara. Di Belanda sendiri, 20 tahun silam, menurut undang-undang hukum pidana, bunuh diri dianggap sebagai tindakan kriminal. Kini malah sudah ditabukan. Namun, jumlah yang "berani mati tapi takut hidup" itu toh tetap melonjak.

Caranya pun beragam: menggantung diri, menikam diri, menenggelamkan diri (14%), minum obat dalam dosis tinggi (13%), menabrak kereta api (13%), ataupun meloncat dari gedung jangkung atau flat. Menurut biro pusat statistik Belanda, tahun 1975 terdapat 1.343 korban bunuh diri. Lima tahun kemudian 1.557, dan tahun 1988 menjadi 1.671. Enam dari 10 korban pernah berusaha ke arah itu, dan 8 dari 10 pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa.

Penelitian yang dilakukan di Universitas Utrecht terhadap 2.918 pemuda dan orang tua, pada kelompok usia15-27 tahun, hasilnya: 11,3% ingin menyudahi hidup, 14% merasa tidak bahagia, 14% mengaku dilanda stres, dan 7% depresi. Pengidap serenceng suntuk itu itu lagi-lagi mayoritas pria.

Dari situ terungkap, gelap matanya anak muda lantaran merasa kurang mendapat tempat di masyarakat. Mereka kurang kepercayaan dalam hidupnya, tak puas dengan gaji, status, dan pemilikan. Tiga puluh persen responden muda ini tak punya gambaran pikiran toleransi. Dalam oleng itu, mereka yang agresif dapat melakukan etanasi, aborsi, dan pilihan bentuk kumpul kebo.

Sejauh ini, alasan mencabut nyawa sendiri ini tetap remang. Tapi Diekstra mencoba menyimpulkan dalam tujuh faktor, antara lain makin membengkaknya tunakarya, banyaknya wanita bekerja di luar rumah, menurunnya jumlah anak berusia di bawah 15 tahun, makin besarnya perceraian, makin meningkatnya pecandu alkohol, dan kiat merosotnya anggota gereja.

Namun, Albert Mulder, peneliti dari universitas yang sama, meragukan Diekstra. "Kita tidak bisa mengatakan orang bunuh diri karena kehilangan pekerjaan, patah cinta, kecanduan obat atau alkohol. Tiap kejadian mempunyai latar belakang khas," katanya. Bagi kebanyakan orang Belanda, topik ini agak tabu untuk diperbincangkan.

Jawaban yang samar juga ditunjukkan Erik Jan de Wilde, 28 tahun, dalam disertasinya di Universitas Utrecht, beberapa waktu lalu. "Usaha bunuh diri lahir dari keputusasaan, kesedihan yang dalam, kesulitan, dan perasaan sengsara. Mereka merasa sendirian dalam menghadapi suatu persoalan, dan memutuskan mati," katanya. Ini tidak seromantis cerita film atawa novel.

Ia membandingkan 43 anak muda yang berusaha bunuh diri dengan 66 anak muda yang depresif dan 43 anak muda normal, berusia 14 sampai 21 tahun. Mereka yang tergolong normal menilai tindakan kawan sebayanya yang bunuh diri itu "tidaklah dibuat-buat". Ada semacam penilaian positif pada tindakan teman yang bunuh diri: dicap berani. Tema itu sering disajikan dalam film atau novel yang mereka anggap romantis.

Menurut De Wilde, hampir tak kentara beda mereka yang ingin bunuh diri dengan yang depresif. "Kedua kelompok ini kurang mempunyai harga diri dan terlalu besar kecurigaannya kepada orang lain," ujarnya. Tapi tidak berarti anak muda yang depresif akan berusaha bunuh diri.

Sementara itu, Prof. Dr. Theo Compernolle dari Vrij Universiteit di Amsterdam telah mengembangkan terapi preventif pada semangat bunuh diri. Menurut dia, ada dua jenis depresi, yaitu reaksi terhadap faktor lingkungan serta kesalahan biologis yang mengakibatkan orang dilanda depresi secara teratur dua kali setahun. Dari kedua model depresi ini, lahir depresi bipolar, suatu pergantian depresi akut dan periode kegembiraan beroleh sinar matahari. Compernolle lalu mengembangkan terapi cahaya untuk membabat depresi pasiennya.

Untuk membuktikan seseorang bunuh diri akibat depresi, dapat diikuti kajian Anat Biegon dan kawan-kawannya di Institut Weizmann di Israel dan Universitas New York. Mereka menemukan protein tertentu di dam otak korban. Protein itu dikenal sebagai reseptor opioid alias candu, yang mungkin dapat menjelaskan hubungannya dengan biokimiawi depresi.

Temuan ini disajikan dalam pertemuan tahunan ke-20 Masyarakat Ilmuwan Saraf di St. Louis, Missouri, AS, pada tahun 1991. Mereka meneliti bagian tipis otak dari 14 korban bunuh diri, dan membandingkannya dengan 14 otak korban yang meninggal karena penyebab serupa, seperti trauma dan asfiksiasi, tapi tidak bunuh diri.

Pada otak mereka yang bunuh diri, ditemukan reseptor opioid dua sampai sembilan kali lebih besar. Pada awalnya, ini menimbulkan tanda tanya sebab reseptor jenis itu biasanya menghasilkan lawan depresi, yaitu rasa senang berlebihan dan hilangnya rasa sakit. Biegon menduga, tanpa candu alamiah yang disebut endorphins, seseorang bisa menjadi sangat sensitif pada rasa sakit dan berubah menjadi depresi.

Belum diketahui apa manfaat menyigi otak si mati tadi. Cuma satu hal boleh dicatat: pria memilih cara mati yang lebih kasar, misalnya dengan menabrak kereta api, sementara wanita cukup halus, yakni dengan menelan pil. Tapi di Swedia, misalnya, sejak tahun 80-an berkembang pula semacam emansipasi: kaum wanita pun menggunakan cara serupa.

Boleh jadi mereka sudah membaca buku Final Exit karangan Derek Humphrey dari Amerika Serikat, yang terbit tahun 1991 dan mendapat sambutan oke punya di AS. Penganjur death with dignity atawa mati secara bergengsi itu, dalam bukunya, merinci petunjuk untuk melakukan bunuh diri, berikut alat yang bisa mempermudah orang menghabisi riwayatnya sendiri.



Berdebam! Rivan Hilang!

RIVAN Agustansyah Soulisa, mahasiswa administrasi perusahaan bidang teknik di Hogeschool Eindhoven. Ia akan menyandang gelar insinyur Juni ini. Lahir 31 Agustus 1969, Rivan datang di Belanda tahun 1988 bersama tujuh orang lagi, melalui Overseas Training Office Bappenas. Rivan diterima di Technische Universiteit Eindhoven.

"Dia setia kawan. Bakat musik dan bahasanya juga bagus. Perfeksionis dan idealis. Pikirannya jauh, saya tak bisa mengikutinya," cerita Rudy Hidayat, yang datang setahun setelah Rivan.

"Selesai ujian, obrolan bukan bisa atau tidak, tapi apakah nilai kami 10 atau 9,5," cerita Rudy kepada Asbari N. Krisna dari TEMPO. Cuma satu Rivan mengulang tujuh kali, yaitu mata kuliah model bouw--penerapan berbagai mata kuliah dalam satu model. Ia putus asa. Tanpa memberi tahu sekolahnya maupun pihak Bappenas, ia pindah ke Hogeschool, jurusan serupa.

Tahun lalu mereka mudik. Rivan ke kampungnya di Ambon, Rudy ke Ujungpandang. Balik ke Belanda, Rivan ngebut belajar. Ia mau cepat pulang. Suatu kali Rivan menggugat kematian sahabatnya, Rafael--meraih insinyur lalu meninggal akibat kanker. "Punya ijazah, besok lalu mati, apa artinya?" tanya Rivan.

Untuk skripsi, mahasiswa harus mencari sendiri perusahaan tempat menyelesaikan tugas akhir. Rivan memperolehnya. Tapi pembimbingnya menolak proposalnya karena dinilai gampang. Setelah mencarinya lagi, didapatkanlah Gas Unie, Eindhoven. Ia diminta membuatkan sistem pengendalian biaya.

Awalnya mulus. Tapi ketika tak boleh mewawancarai karyawan, Rivan stres. Juga ketika materinya ditolak. Kepada Rudy, akhir Mei lampau, ia mengeluh sering pusing. Bimbang. Terus atau tidak? "Kalau berhenti, mau ke mana?" tanya Rudy. "Saya ingin hidup baru, ingin dilahirkan kembali," jawabnya. Sehabis mandi, Rivan memetik gitar. "Jangan kaget kalau tiba-tiba saya hilang," katanya.

Hampir seminggu kehilangan Rivan, Rudy baru mendapat kabar Sabtu 5 Juni 1993 dari seorang kawan Belanda. Ia nonton TV yang menayangkan korban kecelakaan kereta api. Itu Rivan. Menurut masinis kereta Schiphol-Amsterdam itu, kejadiannya menjelang fajar, 1 Juni silam. "Orang itu berdiri. Di kepalanya ada headphone. Kereta melaju, eh, dia meloncat ke tengah. Berdebam!" tuturnya kepada polisi. EZ



Sumber: Tempo, 26 Juni 1993




Selasa, 13 Agustus 2019

Pelajaran Memasak Dahulu, Pesta Daging Kemudian

Pada hari tasyrik pertama, saya menaiki kereta Bandung Raya kelas ekonomi jurusan Cicalengka pukul 7.15 WIB dengan membawa ransel berisikan dua wadah, yang masing-masingnya memuat daging-sapi-mentah serta enam ketupat-agak-kecil siap-santap. Selain itu, saya juga membawa daging-sapi yang sudah diolah dan dikemas dalam bentuk Royco 

Menanggapi momen Idul Adha, hari itu memang ada rencana untuk bikin sate di rumah seorang kawan di Cicalengka. Akan ada seorang kawan lagi yang membawa daging. Karena freezer di rumah saya sendiri penuh oleh daging, maka saya pun hendak menyumbang sedikit.

Kami baru memulai kira-kira pukul sepuluh lewat seperempat pagi-menjelang-siang, setelah membeli nanas (dua puluh ribu tiga ukuran kecil sudah dikupas) di pinggir jalan, bumbu-bumbu (cabai rawit, cabai merah besar, ketumbar bubuk, tomat) dan suatu sayuran (yang saya kira bernama loncang tapi setelah saya googling barusan ternyata bukan!--jadi entah apa namanya tapi pokoknya hijau dan panjang seperti daun bawang tapi mengerucut ke atas dan di ujungnya itu ada semacam bunga yang juga berwarna hijau tapi lebih muda) di pasar, serta Aice rasa coffee crispy dari warga setempat sebab hari mulai panas.

Pertama-tama, daging dibersihkan. Untuk membersihkan daging sampai air bilasannya benar-benar bening sungguh akan membuang-buang air. Mungkin persis seperti membersihkan beras: kalau air bilasannya sampai bening berarti sarinya sudah hilang. Maka daging dibersihkan secukupnya saja, setelah itu dipotong sesuai dengan selera. Karena rencananya mau bikin sate, maka daging dipotong kecil-kecil. Tapi karena saya menyumbang daging dan akibatnya jadi banyak, maka sebagian dipotong dalam ukuran lebih besar untuk dijadikan rendang, dedeng, atau apalah terserah tuan rumah, hehe.

Pada awalnya, saya kebagian tugas menghaluskan bumbu: tujuh siung bawang putih, tujuh siung bawang merah, serta secukupnya ketumbar, lada, dan garam yang semuanya berupa bubuk.

Setelah itu, saya membantu memotong daging. Daging yang bisa dipotong kecil untuk sate, saya potong kecil untuk sate. Daging yang sulit dipotong kecil, saya potong sebisa-bisanya untuk jadi rendang atau semacamnya itu. Biasanya terdapat lapisan putih pada daging yang sulit dipotong--entah apa namanya.

Daging yang telah dipotong kemudian dimarinasi dengan bumbu halus. Jangan ragu-ragu menggunakan kedua belah tangan untuk mengaduk potongan daging dengan bumbu halus, hingga semuanya terbalur secara sempurna. Jangan ragu-ragu juga untuk menambahkan ketumbar, lada, garam, dan semacamnya seolah-olah semakin banyak bumbu akan menjadikan daging semakin bercita rasa--meski memang begitulah nantinya.

Kami juga menambahkan parutan nanas sebagai bumbu. Teman saya bilang: selain untuk mengurangi bau dan menyegarkan, nanas juga dapat melunakkan daging. Anyway, pada tahap ini kami mendapat pelajaran penting bahwa cara menghaluskan nanas itu bukan dengan diparut, melainkan diblender atau lebih praktis lagi dilumatkan sekalian di cobek bersama bumbu-bumbu lainnya.

Sembari menunggu bumbu meresap ke daging, teman saya memotong bahan-bahan yang lain (: cabai rawit, cabai merah besar, tomat, dan sepertinya nanas juga, dan mungkin juga perasan jeruk nipis, dan saya sarankan untuk memanfaatkan sisa sayuran-yang-saya-kira-loncang-tapi-ternyata-bukan itu sekalian, dan entah apa lagi) untuk membuat sambal dabu-dabu khas Manado. Untuk menjadikannya sambal, potongan bahan itu dicampur dengan minyak di atas wajan yang dipanaskan (: ditumis). Silakan googling untuk mengetahui resep sambal dabu-dabu yang terstandardisasi.

Tibalah saat menyiapkan sate. Komposisi sate terdiri dari: potongan sayuran-yang-mudah-mudahan-nanti-saya-tahu-namanya, daging, serta nanas. Cara memasukkan bahan-bahan ini ke tusuk kayu rupanya tidak sembarangan.

1. Bagian tengah biasanya lebih cepat matang. Taruhlah daging di tengah sedang sayur dan nanas di bagian ujung.
2. Tusukkan daging secara memanjang agar seluruh permukaannya dapat terkena oleh api.

Poin kedua ini cukup sulit lo.

Sementara saya menyiapkan sate sampai semua tusuk kayu yang bisa-digunakan habis, kedua teman saya menyiapkan alat pembakaran di teras. Rupanya kedua teman saya tidak memiliki alat pembakaran yang proper. (Saya pun tidak.) Saya pikir, supaya praktis, sate dibakar langsung di atas kompor saja. Tapi teman saya bilang rasanya akan berbeda. Kami sudah punya arang. Untuk tempat arang, kotak kaleng persegi panjang bekas kue akan digunakan. Untuk penyangga tempat meletakkan sate, akhirnya tuan rumah mendapat pinjaman dari tetangganya. Untuk menyangga penyangga, digunakan potongan bata (pada dasarnya: ada gunanya juga kita menyimpan berangkal di rumah). Tetangga-tuan-rumah juga berjasa dalam menyalakan arang.

Saya yang pada dasarnya pesimistis sementara hari sudah melewati zuhur dan saya ingin pulang sebelum sore terus berpikiran soal membakar sate langsung di atas kompor saja. Alat pembakaran ini tidak meyakinkan. Dikipasi bagaimanapun, apinya tetap redup dan tidak mau menyebar. Kapan satenya akan matang? Tapi teman-teman saya rupanya adalah orang-orang yang positif dan tidak cepat menyerah. Mereka terus mengipas, sampai ada ide untuk mengolah sisa daging-untuk-sate jadi tumis. Sementara teman yang paling andal dalam urusan memasak ke dapur untuk mewujudkan ide tersebut, teman yang satu lagi terus mengipas sedangkan saya mengatur letak sate pada penyangga sambil sesekali mengoleskan ramuan mentega campur kecap pada permukaan daging dengan sendok.


Tampaknya saya harus belajar untuk bersikap gigih seperti teman-teman saya. Berangsur-angsur, api dapat membesar dan menyebar. Satu demi satu sate yang dikira-kira telah matang (bahkan gosong!) dipindahkan ke piring, dan digantikan oleh yang baru. Proses yang tadinya terasa begitu lambat kini menjadi cepat. Malah, tetangga ikut membakar satenya di situ.

Semua sate pun telah dibakar, siap untuk disantap biarpun beberapa sudah saya lahap sedari tadi. Bumbu apa pun yang telah diberikan teman saya tadi telah membuat sate sungguh berasa. Malah, nanas yang sewaktu dicicipi ketika baru dipotong berasa kecut, setelah dibakar justru menjadi sangat manis!

Di dapur, sambal dabu-dabu telah jadi sementara teman saya itu mengaduk-aduk tumis daging berikut sisa potongan nanas dan sayur-ya-ampun-apa-sih-namanya hingga lebih menyerupai semur--yang justru enggak kalah menggairahkan. Dia bilang terlalu banyak menambahkan kecap. Tapi toh kelihatannya tetap enak.


Untuk minuman, kami menyeduh satu kantung teh hijau yang diimpor dari Jepang dan setengah potong buah lemon besar. Pahit amis asam, tinggal ditambah gula akan semakin ramai rasanya.

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba. Karena sudah mencicipi sate, saya langsung menuangkan semur daging dan sambal dabu-dabu di atas potongan ketupat lantas melahapnya. Saya sampai lupa mengambil kerupuk karena begini saja sudah nikmat: didominasi manis, yang justru saya suka!

Rabu, 07 Agustus 2019

Menghabiskan Siang di Indahnya UI (yang Lagi Relatif Sepi)

Dua hari lalu, pada sekitar jam yang sama dengan sewaktu saya mulai menulis ini, saya menemui seorang teman. Sudah dua tahun kami tidak berjumpa. Dia menunggu saya di area lobi perpustakaan Universitas Indonesia, tempat meja-meja yang masing-masingnya dilengkapi dua kursi dan di atasnya terdapat rak kecil berisi aneka majalah.

Pertemuan kami bisa dibilang mendadak, baru ditentukan pada hari itu juga. Pagi itu saya diajak ayah saya mengantar adik saya ke kampusnya--UI. Kami berangkat sekitar pukul delapan pagi. Belum jauh dari rumah, ayah saya mengingatkan saya pada teman saya yang mahasiswi UI. Dua tahun lalu, ketika adik saya baru menjadi mahasiswa, saya ikut mengantar juga sekalian bertemu dengan teman saya itu. Saya pun segera menghubungi dia lewat e-mail, karena tidak menyimpan nomornya. Alhamdulillah dia cepat membalas dan memang hari itu dia hendak ke kampusnya, seperti biasa. Kami pun lanjut berhubungan lewat WA.

Saat itu baru memasuki zuhur sekaligus waktu makan siang ketika kami tiba di UI. Saya diturunkan di pinggir jalan menuju perpustakaan, sementara adik saya dan ayah saya lanjut ke Fakultas Teknik. Dua tahun lalu, saya dan teman saya itu juga bertemu di perpustakaan, tapi hanya di pelatarannya dan kami enggak masuk ke bangunan. Kali ini, saya masuk dan terkesima biarpun sudah sedari dua tahun lalu saya tahu bahwa bangunan itu dari luar lebih menyerupai mal dengan kafe-kafe.

Gambar sebelah luar Perpustakaan Pusat UI 
dari artikel "4 Fasilitas di Perpusat UI Ini Bikin 
Melewati kafe-kafe (atau semacamnya) barulah saya melihat bahwa bangunan ini benar-benar perpustakaan, khususnya dengan ruangan sangat luas berisi banyak barisan komputer yang mengingatkan saya pada ruangan yang sering saya masuki dulu--sewaktu mengerjakan skripsi di perpustakaan pusat UGM. Setelah itu, ada banyak sofa hitam mengitari dinding yang meliuk-liuk--sangat menggoda untuk diduduki ataupun ditiduri.

Saya pun menemukan teman saya. Saya menanyai dia apakah mau makan siang. Dia bilang harus makan siang karena penyakit mag dia sudah kambuh. Ups. Saya enggak tahu apa-apa soal tempat makan di UI, selain kantin asrama yang menyajikan banyak pilihan makanan sekaligus banyak pula kucing buta-kurus-enggak-terawat (tapi itu dua tahun lalu, mudah-mudahan sekarang keadaan kucing-kucing di sana telah baik). Jadi saya bilang pada teman saya itu, "Asal affordable. Maksimal dua puluh ribuan lah." (Walaupun sudah bukan mahasiswa, tapi taraf ekonominya justru lebih rendah daripada mahasiswa pada umumnya :v)

Maka si teman membawa saya ke kantin Fasilkom atau Fakultas Ilmu Komputer. Dia mendekati gerobak yang menyediakan menu sate dan sop. Saya melihat daftar harga dan takjub: delapan tusuk sate ayam (atau bahasa Jepangnya "yakitori with peanut sauce") plus nasi sama dengan sepuluh ribu! Saya mau itu. Kami mengantre di dekat gerobak. Setelah menyerahkan uang, si penjual mengerjakan pesanan. Lalu kita mencari meja sembari membawa makanan pilihan kita.

Gambar lapak sate di Fasilkom UI
dari artikel "Seperti Apa 
Rasanya Menjadi Mahasiswa 
Fasilkom UI?"
Memang ukuran satenya agak lebih kecil daripada yang biasa kami beli di dekat rumah. Tapi, delapan tusuk itu sangat cukup untuk memadamkan lapar. Demikian pula porsi nasinya, yang bisa ditambahi kuah tanpa harus menambah rupiah. Di samping itu, ada bonus berupa semut-semut kecil berkeliaran di tepi piring, yang dapat menjadi sedikit asupan protein(?!?!).

Sementara teman saya mulai makan, saya masih berkeliaran. Saya hendak mencari minuman botol, supaya bisa dibawa ke mana-mana. Tapi rupanya yang menjual minuman botol sedang tidak ada--kulkasnya digembok. Saya mencari sampai ke Yoshinoya. Tapi melihat harga sebotol teh luar biasa mahalnya, saya pun urung. Akhirnya saya pesan segelas es sirup markisa seharga lima ribu.

Setelah makan, kami salat zuhur di masjid. Yang paling saya soroti dari masjid ini adalah toiletnya yang bersih dan dilengkapi dengan sabun batang.

Dari masjid, teman saya mengajak jalan kaki ke hutan. Oh, ini yang saya idam-idamkan sejak pertemuan kami dua tahun lalu!

Kami pun melewati fakultas demi fakultas. Teman saya sempat menunjukkan shelter sepeda dan skuter yang untuk meminjamnya harus mengunduh aplikasi dulu. Ah, merepotkan! Bagaimana kalau kapasitas HP sudah penuh, tidak ada kuota/wifi, atau baterainya lagi sekarat/mati? Lebih praktis kalau tinggal meninggalkan kartu identitas, seperti di UGM--paling enggak seperti itulah pada tahun-tahun terakhir saya di sana, 2012-2013. Betapa irinya melihat para mahasiswa/i mengendarai skuter!

Gambar Jembatan TekSas UI dari Mapio.
Toh kami terus melangkahkan kaki. Setiba di Fakultas Ilmu Budaya, kami melalui jembatan untuk menyeberang ke Fakultas Teknik. Di bawahnya ada danau yang cukup lebar. Namanya Danau Mahoni. Pemandangannya sangat indah--so Instagramable!

Di Fakultas Teknik, saya menemukan mobil keluarga diparkir. Saya sempat duduk dan menghubungi ayah saya, hingga teman saya mengingatkan bahwa sebenarnya kami sedang dalam perjalanan ke hutan. Oh, iya. Lagi pula ternyata ayah saya dan adik saya tengah berada di asrama dan baru akan kembali ke fakultas pukul setengah empat sore. Saya dan teman saya pun melanjutkan perjalanan.

Sudah lama saya tidak memasuki hutan. Rasanya kangen. Hutan kampus ini agaknya dibiarkan tumbuh alami. Keseluruhan jalan di dalamnya dilapisi oleh serasah cokelat terang--begitu indah, foto-able--apalagi di area yang cukup terbuka. Ada juga serasah berupa daun-daun hitam, terutama di bagian dalam yang dirindangi tajuk, namun tidak semasif yang cokelat terang. Sesekali ditemukan daun yang cukup parah dimakan ulat--sepertinya.

Sangat tidur-siang-able sekali, bukan?
Sampailah kami di suatu area terbuka, hamparan luas rumput yang agak kering. Terdapat huruf-huruf besar bertulisan: UNIVERSITAS INDONESIA. Di hadapannya ada pulau-pulau tanaman hijau yang membentuk logo universitas. Di seberangnya ada danau. Di atasnya ada jalan raya.

Begitu memasuki area ini, seketika saya ingin merebahkan diri--tidur siang. Apalagi hampir tidak ada orang di sekitar. Kalaupun ada, paling-paling tiga orang laki-laki jauh di seberang danau. Saya pun rebah berbantalkan tas di bawah tajuk lebar, sementara teman saya mencari objek bagus untuk dipotret.

Setelah cukup puas merasakan kedamaian di sekitar waktu asar ini, di tengah alam buatan, baru saya menjelajah. Tempat ini, di samping sangat mendukung untuk tidur siang, juga pas untuk bikin video India-indiaan atau sekadar lari-lari diiringi "Edilizia" Rino de Filippi.


Memasuki waktu asar, kami pun angkat kaki, melewati rute yang sama seperti sebelumnya untuk keluar dari hutan.

Gambar kantin FIB UI dari Deskgram.
Si teman membawa saya ke kantin FIB untuk membeli air minum. Setelah duduk-duduk sembari minum dan mengamat-amati kantin baru yang serupa food court di mal ini, yang mengakibatkan kenaikan harga makanan sebesar 2.000-5.000 rupiah (dengan area makan khusus untuk dosen dan pegawai TU yang menuai protes mahasiswa), kami salat di musala yang ukurannya pas juga kalau dibilang sebagai masjid. Selain itu, di atas area wudu atau cuci tangan disediakan banyak sekali sabun--baik sabun batang maupun sabun cair--seakan-akan satu sabun untuk satu keran. Sudah begitu, ada mesin cucinya pula! Apa boleh mahasiswa menumpang cuci baju di sini? Sepertinya mesin cuci tersebut diperuntukkan bagi pengurus musala. Toiletnya sudah pasti bersih.

Sepanjang perjalanan ini, sesekali kami berpapasan dengan mahasiswa/i yang mengobrol dalam bahasa Korea, juga bule berambut pirang. Enggak heran apabila penampilan salah satu kampus terbaik di Indonesia ini sungguh mentereng: mall-alike, bersih, hijau, tapi masih mengakomodasi mahasiswa missqueen (ingat "yakitori with peanut sauce and rice" seharga ceban plus biaya tinggal di asrama yang sepertinya jauh lebih murah daripada di kos). Semakin menarik ketika teman saya yang mahasiswi sini melengkapinya dengan bumbu berupa isu-isu internal yang berseliweran di balik semua itu ....



Terima kasih kepada Papa yang sudah mengajak.
Terima kasih kepada Adik yang sudah menyetir Bandung-Depok-Bandung.
Terima kasih kepada Teman yang sudah menjadi guide yang baik. (Kunjungi IG dia di @ccpostcard.)
So happy~

Selasa, 06 Agustus 2019

Mati Listrik sebagai Titik Balik

Minggu, 4 Agustus 2019, terjadi mati listrik sejak sekitar waktu zuhur. Saya kira ini mati listrik biasa, yang akan pulih dalam beberapa jam dan hanya terjadi di daerah sekitar rumah.


Pada awalnya, mati listrik ini terasa menguntungkan. Kalau biasanya sesekali saya mengecek ponsel, sekadar untuk melihat apakah ada pesan yang masuk, dan lalu berakhir dengan menonton satu-dua video Youtube--atau lebih, maka kali itu, karena enggak bisa, mau enggak mau saya melakukan pekerjaan lainnya: menyapu dan mengepel.

Setelah itu, kalau biasanya saya beristirahat dengan menonton barang beberapa video Youtube, karena listrik masih belum mengalir lagi, sehingga wifi juga tidak ada, maka, mau enggak mau, saya melanjutkan dengan aktivitas lain. Saya berjalan-jalan ke luar rumah dan mendapati bahwa Alfamart terdekat pun sampai tutup akibat mati listrik itu.

Setelah kembali ke rumah, lampu masih belum dapat menyala, saya melanjutkan pekerjaan mencuci dan menggunting sampah plastik untuk ecobrick. Yang enggak lama kemudian jadi membosankan sementara langit semakin gelap. Karena enggak menemukan persediaan lilin yang cukup sekiranya mati listrik berlanjut sampai malam, menjelang magrib itu, saya kembali keluar rumah untuk membeli lilin.

Gambar dari artikel "Tak Ada Lilin, Kulit Jeruk Pun Bisa Jadi Penerang".
Di samping itu, saya mempertimbangkan untuk membeli pulsa. Terbiasa mengecek ponsel tiap sebentar dan kini enggak ada akses ke dunia maya menimbulkan kegelisahan tersendiri--mungkin persis seperti orang sakau. Apakah saya telah mengalami ketergantungan pada akses internet? Akses internet enggak memungkinkan apabila enggak ada wifi. Alternatifnya: data seluler. Tapi, untuk mengecek sisa pulsa maupun kuota di ponsel saja tidak bisa. Agaknya jaringan seluler terganggu juga. Saya pun mengurungkan niat untuk membeli pulsa.

Alfamart telah kembali buka dan menyala berkat genset. Saya melaju ke warung di dekatnya, yang telah gelap, namun ramai oleh orang-orang yang membeli lilin. Dalam situasi itu, saya menjadi khawatir bakal enggak kebagian. Saya sampai kesandung dan hampir menjatuhkan barang-barang. Untunglah saya berhasil mendapatkan satu pak lilin seharga sepuluh ribu rupiah.

Situasi mulai terasa menakutkan. Biasanya mati listrik hanya mencakup deretan rumah atau jalan tertentu di sekitar rumah saya. Tapi, kali ini, agaknya menjangkau kawasan yang lebih luas. Bahkan deretan rumah yang biasanya tidak ikut kena mati listrik pun kali ini kena.

Selain itu, tidak ada azan. Zuhur, asar, masuk dengan hening. Kalau tinggal di luar negeri yang bukan negara nonmuslim, situasi ini mungkin biasa. Tapi, tidak di sini. Saya terbiasa mendengar ramai suara azan, berdatangan dari banyak masjid di semua penjuru bila sudah waktunya seakan-akan mengepung dan memaksa saya untuk mengingat Tuhan. Maka, keheningan yang aneh ini entah kenapa justru menimbulkan perasaan tidak nyaman. Baru ketika magrib kembali terdengar suara azan, tapi dari kejauhan alih-alih masjid-masjid di kawasan sekitar rumah saya.

Setelah magrib, ibu saya menyalakan radio bertenaga baterai yang menyiarkan berita: rupanya ada masalah dengan jaringan listrik PLN dan pemadaman ini mencakup kawasan yang sangat luas--seluruh Jawa dan Bali. Ini hampir-hampir suatu ... bencana nasional ...?

Intensitas kengerian meningkat--kalau boleh lebay.

Bukan gelap benar yang saya takutkan, tapi ....

Saya memikirkan aktivitas saya selama ini yang didominasi oleh media elektronik, katakanlah, menulis di laptop dan mempublikasikannya di blog yang untuk mengaksesnya membutuhkan listrik. Kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, maka segala upaya saya selama ini untuk menghasilkan bacaan--dengan segenap pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan emosi--jadi terasa sia-sia.

Ketika hendak makan malam dan melihat jumlah piring bersih yang tersedia di meja makan tinggal sedikit, saya berpikir, kalau mati listrik ini terus berlanjut hingga waktu yang tidak ditentukan, bagaimana saya akan mencuci piring? Bagaimana saya akan makan kalau enggak ada piring bersih? Sementara untuk bisa mencuci, saya membutuhkan air. Untuk mengalirkan air, saya harus menyalakan pompa, yang menggunakan listrik.

Bukan hanya untuk cuci piring, bagaimana saya akan membersihkan anggota tubuh yang pastinya sewaktu-waktu harus?

Terpikir juga oleh saya betapa banyak orang lainnya yang enggak kalah membutuhkan listrik daripada saya, apalagi sekarang ini banyak layanan yang hanya bisa diakses melalui perangkat elektronik. Katakanlah: Bagaimana memasuki jalan tol tanpa e-toll? Bagaimana menarik uang dari bank ketika jam tutup kalau bukan lewat mesin ATM? Bagaimana berjual beli di online shop kalau ponsel mati dan tidak ada listrik atau powerbank untuk mengisi ulang daya baterainya? Hal-hal seperti itulah.

Maka, bagaimana jika mati listrik ini terjadi untuk seterusnya hingga waktu yang tidak ditentukan? Kekacauan akan terjadi, apalagi di kota padat penduduk seperti Bandung ini. Orang-orang akan berebut demi air, apalagi saat musim tanpa hujan begini. Bisnis-bisnis online yang kini mendominasi akan tutup. Orang-orang akan kehilangan sumber nafkah. Peradaban akan runtuh. Baru terasa pentingnya mempertahankan sumur di rumah, yang untuk mengambil air dari dalamnya tinggal timba tanpa pompa yang menyedot listrik. Baru terasa pentingnya skill menghasilkan api secara manual atau bikin lilin sendiri, apabila kehabisan di warung. Saya jadi teringat sama The Preppers: orang-orang di negara maju yang telah menyiapkan diri untuk skenario semacam ini. Mereka telah berpikir sampai jauh ke depan sekali, sementara, entahlah apakah ada orang-orang Indonesia yang sudah seperti mereka. (Yang mana sebetulnya bukan berarti kita mesti serbameniru negara maju, melainkan tinggal mundur beberapa langkah, kembali pada cara hidup kita dahulu ketika petromaks masih trendi)

Ditambah bencana-bencana yang telah terjadi sebelumnya: gempa di Banten dan sekitarnya yang terasa sampai ke Bandung hingga monyet-monyet yang turun dari Gunung Tangkuban Perahu--kalau mental lemah, bisa-bisa jadi paranoid.

Tapi, saya tidur dengan tenang malam itu tanpa penerangan apa pun sama sekali.

Rasanya hampir seperti dalam cerpen "The Last Night of the World" Ray Bradbury.

Saya terbangun sekitar pukul dua pagi. Lampu telah menyala. Listrik telah mengalir. Enggak lama setelah bangun, saya menyalakan pompa dan mengisikan air dalam ember-ember besar sampai penuh.

Di Kompas pada keesokan harinya itu, berita tentang jaringan listrik yang terganggu ini terpampang besar di halaman depan. Tepatnya, ada beberapa berita yang membicarakan masalah ini dan memvalidasi pikiran-pikiran saya semalam. Tentang kekacauan yang merugikan orang-orang. Tentang betapa bergantungnya kita pada listrik. Tentang betapa kita enggak menangkap esensi lain dari film Sexy Killers, bahwa tambang-tambang batu bara yang telah menzalimi segenap spesies itu terus dibuka demi menyuplai kebutuhan listrik kita. (Eh, yang terakhir ini enggak sih.)

Apakah kita akan belajar dari kejadian ini? Katakanlah, dengan beralih pada membuat karya yang enggak mesti diakses lewat perangkat elektronik atau belajar skill-skill baru agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa sedemikian bergantung pada listrik. Atau, setelah listrik kembali mengalir dan keadaan pulih seperti sedia kala seolah-olah enggak pernah terjadi apa-apa, terus saja melanjutkan kebiasaan atau porsi ketergantungan kita?

Jumat, 02 Agustus 2019

Ngebun Seru Yuk! di Microlibrary Kiaracondong

Teman saya telah berkali-kali menginformasikan tentang acara Komunitas 1000 Kebun. Namun hati saya belum terpanggil(?) hingga baru-baru ini, tepatnya pada 28 Juli 2019. Komunitas tersebut mengadakan NGERUK atau NGEBUN SERU YUK! bertempat di Microlibrary Kiaracondong pukul delapan sampai sepuluh pagi Waktu Indonesia Barat.


Maka, Minggu pagi itu saya bersepeda ke kawasan Kiaracondong. Jalan masuknya berada di samping Toserba Griya, tidak jauh dari stasiun Kiaracondong. Meninjau Google Map dan menanyakan kepada teman yang bertempat tinggal di kawasan itu, lokasi yang saya tuju mestinya berada di sekitar kantor kecamatan: Jalan Kantor nomor 1. Setiba di tempat yang kiranya kantor kecamatan, saya tidak menemukan tanda "Jalan Kantor". Dua orang yang saya tanyai pun tidak tahu-menahu.

Saat itu saya berada di samping sebuah sekolah. Dipisahkan oleh jalan, ada semacam lapangan dengan bangunan yang sepertinya baru jadi atau agak terbengkalai. Hanya ada satu orang sedang duduk di situ ketika saya datang. Enggak lama setelah menghubungi teman saya, yang katanya akan menghadiri acara itu juga, ada beberapa orang lain yang datang. Saya pun mendekati salah seorang dari mereka, yang ternyata memang berasal dari Komunitas 1000 Kebun.

Setelah berkenalan dengan orang-orang, tanpa menunggu lama lagi, saya membantu mereka mengeluarkan barang-barang yang diperlukan. Di dalam bangunan itu, di samping rak-rak yang tidak banyak berisi buku, terdapat bertumpuk-tumpuk karung, bibit-bibit tanaman--baik dalam baki maupun polybag, serta papan-papan yang sedianya untuk dirakit menjadi bed.

Setelah semua barang yang diperlukan dikeluarkan, terkumpul sekitar belasan orang. Kami berbagi tiga tugas: 1) Mencampur media tanam; 2) Merakit papan, serta; 3) Mencangkul di atap Microlibray. Para perempuan yang notabene peserta baru mendapat tugas pertama, sedangkan yang kedua dan yang ketiga ditangani oleh para lelaki yang sebagian merupakan anggota karang taruna setempat.

Di lapangan telah dibentangkan spanduk yang cukup lebar. Media tanam yang dicampur berupa arang sekam, coco peat, pupuk kandang, dan pupuk kompos dengan perbandingan 1:1:1:1 atau masing-masing satu karung. Setelah keempatnya tercampur, kami memasukkannya kembali ke karung-karung untuk nantinya dibawa ke atap. Setelah spanduk cukup bersih dari campuran media tanam sebelumnya, kami menumpahkan isi karung-karung baru dan memulai lagi.

Dari satu tugas ini saja, saya mendapat pelajaran penting: tanah kurang cocok sebagai media tanam. Sebabnya, tanah mudah mengeras. Kalau sudah begitu, tanah perlu dicacah-cacah(?) supaya gembur.

Saya pun termenung. Selama ini, dalam upaya-berkebun saya yang penuh kebodohan, saya biasanya hanya menggunakan tanah, pupuk, dan arang sekam. Memang persoalan tanah keras itu saya alami, apalagi di musim kering begini. Padahal saya sudah telanjur membeli berkarung-karung tanah yang sebagian belum saya manfaatkan. Saya mendapat masukan bahwa tanah tetap bisa digunakan tapi porsinya setengah saja. Lain kali, ketika hendak mencoba berkebun lagi dan membeli bahan-bahannya, sepatutnya saya mencari coco peat saja.

Sayangnya, dalam kesempatan ini saya enggak begitu memerhatikan informasi dan pengetahuan yang berseliweran. Perhatian saya lebih tercurah pada kerja fisik bersama-sama ini, yang sudah lama tidak saya lakukan, sehingga kali ini rasanya sungguh menyenangkan lagi menyegarkan. Saya menyentuh berbagai media tanam langsung dengan kulit, tanpa dihalangi sarung tangan biarpun akibatnya timbul rasa sakit. Sebelum pergi ke acara ini, saya memotong kuku dan rupanya ada yang kependekan. Selain itu, arang sekam bisa cukup tajam untuk menggores kulit. Tapi, saya tidak peduli. Saya merasa begitu asyik, energetik. Meski setelah beberapa waktu, energi saya turun juga dan sudah tidak sabar rasanya ingin rebahan, hahaha.

Berangsur-angsur peserta bertambah dan tidak lagi didominasi oleh perempuan. Muncul bocah-bocah SD yang membantu mencampur media tanam serta mengangkut karung ke atas. Ada juga bapak-bapak petugas sekitar yang menunjukkan cara mencampur media tanam secara cepat. Dibutuhkan jangkauan kedua lengan yang lebar untuk membolak-balikkan media tanam dari bawah ke atas.

Pencampuran media tanam disudahi karena waktu sudah melewati pukul sepuluh, padahal masih banyak karung yang belum digarap. Kami pun dipanggil ke atap untuk demonstrasi menanam. Baki-baki berisi semai ikut dibawa ke atas.

Beberapa bed telah siap. Anak-anak, mbak-mbak, dan ibu-ibu bersama-sama mengisi sisi-sisi bed dan memasukkan semai ke lubang-lubang yang telah diatur jaraknya, yaitu sepuluh sentimeter antarsatu sama lain. Adapun semai terdiri dari dua jenis: pek chay dan selada romaine. Sepintas keduanya terlihat mirip, namun ternyata salah satunya punya bulu-bulu halus. Semai ditumbuhkan dalam wadah yang terbuat dari lembaran gedebog pisang (?) yang direkat dengan staples.

Sebelum ditanami, media tanam dibasahi lebih dulu.
Mari menanam semai beramai-ramai!
Setelah ditanam, semai diberi air sekalian mencuci tangan 
Matahari semakin luas menyinari, panasnya semakin terik menyengat, semai-semai semakin layu untuk dimasukkan, badan saya semakin merengek minta diistirahatkan. Kini saya mengerti sebabnya "topi" menjadi salah satu barang yang sebaiknya dibawa, khususnya yang bentuknya melebar di sekeliling. 

Setelah berfoto bersama di atap sambil mendongak ke arah drone padahal langit sudah terlalu menyilaukan, kami pun turun. Saya dan teman menyerahkan bibit/biji yang kami bawa dari rumah--barang lain yang diharapkan agar dibawa.

Berangsur peserta pada pulang, hingga giliran saya dan teman yang pamit. Beberapa orang dari komunitas dan karang taruna lanjut mencampur media tanam dan saya salut pada mereka sebab suasana kian siang kian enggak kondusif. Betapa kerennya mereka!

Sepulang dari acara ini, saya capek tapi senang. Inilah refreshing yang saya butuhkan! Inilah pelajaran yang semestinya saya ikuti! Sejak menyadari pentingnya berkebun, saya memulainya serbasendiri, mulai dari mencari informasi hingga memraktikkannya di halaman rumah. Tapi, rupanya cara itu kurang efektif bagi saya. Semangat saya pasang surut dan tanaman-tanaman saya berakhir menyedihkan. Berkali-kali saya kapok, meski berkali-kali pula saya kembali penasaran.

Hanya karena saya sudah "tua", bukan berarti saya sudah tidak butuh cara belajar yang sama seperti untuk anak kecil. Saya pun butuh participatory learning, dalam artian dimulai dengan praktik sederhana di bawah bimbingan orang yang ahli dalam suasana santai lagi menyenangkan, seperti NGERUK ini.

Saya jadi menyesal karena melewatkan acara-acara Komunitas 1000 Kebun sebelumnya, yang telah diinformasikan teman saya dengan begitu baik hatinya itu. Mudah-mudahan saya masih punya banyak kesempatan untuk belajar dari mereka, khususnya dalam bentuk praktik seperti ini. Mudah-mudahan dengan begitu kelak saya dapat mengoptimalkan ruang di sekitar rumah saya untuk dijadikan kebun pangan yang berkelanjutan. Aamin ya robbal alamin.




Gambar dan foto dari Anis Wardhani.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...