Pada hari tasyrik pertama, saya menaiki kereta Bandung Raya kelas ekonomi jurusan Cicalengka pukul 7.15 WIB dengan membawa ransel berisikan dua wadah, yang masing-masingnya memuat daging-sapi-mentah serta enam ketupat-agak-kecil siap-santap. Selain itu, saya juga membawa daging-sapi yang sudah diolah dan dikemas dalam bentuk Royco
Menanggapi momen Idul Adha, hari itu memang ada rencana untuk bikin sate di rumah seorang kawan di Cicalengka. Akan ada seorang kawan lagi yang membawa daging. Karena freezer di rumah saya sendiri penuh oleh daging, maka saya pun hendak menyumbang sedikit.
Kami baru memulai kira-kira pukul sepuluh lewat seperempat pagi-menjelang-siang, setelah membeli nanas (dua puluh ribu tiga ukuran kecil sudah dikupas) di pinggir jalan, bumbu-bumbu (cabai rawit, cabai merah besar, ketumbar bubuk, tomat) dan suatu sayuran (yang saya kira bernama loncang tapi setelah saya googling barusan ternyata bukan!--jadi entah apa namanya tapi pokoknya hijau dan panjang seperti daun bawang tapi mengerucut ke atas dan di ujungnya itu ada semacam bunga yang juga berwarna hijau tapi lebih muda) di pasar, serta Aice rasa coffee crispy dari warga setempat sebab hari mulai panas.
Pertama-tama, daging dibersihkan. Untuk membersihkan daging sampai air bilasannya benar-benar bening sungguh akan membuang-buang air. Mungkin persis seperti membersihkan beras: kalau air bilasannya sampai bening berarti sarinya sudah hilang. Maka daging dibersihkan secukupnya saja, setelah itu dipotong sesuai dengan selera. Karena rencananya mau bikin sate, maka daging dipotong kecil-kecil. Tapi karena saya menyumbang daging dan akibatnya jadi banyak, maka sebagian dipotong dalam ukuran lebih besar untuk dijadikan rendang, dedeng, atau apalah terserah tuan rumah, hehe.
Pada awalnya, saya kebagian tugas menghaluskan bumbu: tujuh siung bawang putih, tujuh siung bawang merah, serta secukupnya ketumbar, lada, dan garam yang semuanya berupa bubuk.
Setelah itu, saya membantu memotong daging. Daging yang bisa dipotong kecil untuk sate, saya potong kecil untuk sate. Daging yang sulit dipotong kecil, saya potong sebisa-bisanya untuk jadi rendang atau semacamnya itu. Biasanya terdapat lapisan putih pada daging yang sulit dipotong--entah apa namanya.
Daging yang telah dipotong kemudian dimarinasi dengan bumbu halus. Jangan ragu-ragu menggunakan kedua belah tangan untuk mengaduk potongan daging dengan bumbu halus, hingga semuanya terbalur secara sempurna. Jangan ragu-ragu juga untuk menambahkan ketumbar, lada, garam, dan semacamnya seolah-olah semakin banyak bumbu akan menjadikan daging semakin bercita rasa--meski memang begitulah nantinya.
Kami juga menambahkan parutan nanas sebagai bumbu. Teman saya bilang: selain untuk mengurangi bau dan menyegarkan, nanas juga dapat melunakkan daging. Anyway, pada tahap ini kami mendapat pelajaran penting bahwa cara menghaluskan nanas itu bukan dengan diparut, melainkan diblender atau lebih praktis lagi dilumatkan sekalian di cobek bersama bumbu-bumbu lainnya.
Sembari menunggu bumbu meresap ke daging, teman saya memotong bahan-bahan yang lain (: cabai rawit, cabai merah besar, tomat, dan sepertinya nanas juga, dan mungkin juga perasan jeruk nipis, dan saya sarankan untuk memanfaatkan sisa sayuran-yang-saya-kira-loncang-tapi-ternyata-bukan itu sekalian, dan entah apa lagi) untuk membuat sambal dabu-dabu khas Manado. Untuk menjadikannya sambal, potongan bahan itu dicampur dengan minyak di atas wajan yang dipanaskan (: ditumis). Silakan googling untuk mengetahui resep sambal dabu-dabu yang terstandardisasi.
Tibalah saat menyiapkan sate. Komposisi sate terdiri dari: potongan sayuran-yang-mudah-mudahan-nanti-saya-tahu-namanya, daging, serta nanas. Cara memasukkan bahan-bahan ini ke tusuk kayu rupanya tidak sembarangan.
1. Bagian tengah biasanya lebih cepat matang. Taruhlah daging di tengah sedang sayur dan nanas di bagian ujung.
2. Tusukkan daging secara memanjang agar seluruh permukaannya dapat terkena oleh api.
Poin kedua ini cukup sulit lo.
Sementara saya menyiapkan sate sampai semua tusuk kayu yang bisa-digunakan habis, kedua teman saya menyiapkan alat pembakaran di teras. Rupanya kedua teman saya tidak memiliki alat pembakaran yang proper. (Saya pun tidak.) Saya pikir, supaya praktis, sate dibakar langsung di atas kompor saja. Tapi teman saya bilang rasanya akan berbeda. Kami sudah punya arang. Untuk tempat arang, kotak kaleng persegi panjang bekas kue akan digunakan. Untuk penyangga tempat meletakkan sate, akhirnya tuan rumah mendapat pinjaman dari tetangganya. Untuk menyangga penyangga, digunakan potongan bata (pada dasarnya: ada gunanya juga kita menyimpan berangkal di rumah). Tetangga-tuan-rumah juga berjasa dalam menyalakan arang.
Saya yang pada dasarnya pesimistis sementara hari sudah melewati zuhur dan saya ingin pulang sebelum sore terus berpikiran soal membakar sate langsung di atas kompor saja. Alat pembakaran ini tidak meyakinkan. Dikipasi bagaimanapun, apinya tetap redup dan tidak mau menyebar. Kapan satenya akan matang? Tapi teman-teman saya rupanya adalah orang-orang yang positif dan tidak cepat menyerah. Mereka terus mengipas, sampai ada ide untuk mengolah sisa daging-untuk-sate jadi tumis. Sementara teman yang paling andal dalam urusan memasak ke dapur untuk mewujudkan ide tersebut, teman yang satu lagi terus mengipas sedangkan saya mengatur letak sate pada penyangga sambil sesekali mengoleskan ramuan mentega campur kecap pada permukaan daging dengan sendok.
Tampaknya saya harus belajar untuk bersikap gigih seperti teman-teman saya. Berangsur-angsur, api dapat membesar dan menyebar. Satu demi satu sate yang dikira-kira telah matang (bahkan gosong!) dipindahkan ke piring, dan digantikan oleh yang baru. Proses yang tadinya terasa begitu lambat kini menjadi cepat. Malah, tetangga ikut membakar satenya di situ.
Semua sate pun telah dibakar, siap untuk disantap biarpun beberapa sudah saya lahap sedari tadi. Bumbu apa pun yang telah diberikan teman saya tadi telah membuat sate sungguh berasa. Malah, nanas yang sewaktu dicicipi ketika baru dipotong berasa kecut, setelah dibakar justru menjadi sangat manis!
Di dapur, sambal dabu-dabu telah jadi sementara teman saya itu mengaduk-aduk tumis daging berikut sisa potongan nanas dan sayur-ya-ampun-apa-sih-namanya hingga lebih menyerupai semur--yang justru enggak kalah menggairahkan. Dia bilang terlalu banyak menambahkan kecap. Tapi toh kelihatannya tetap enak.
Untuk minuman, kami menyeduh satu kantung teh hijau yang diimpor dari Jepang dan setengah potong buah lemon besar. Pahit amis asam, tinggal ditambah gula akan semakin ramai rasanya.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu tiba. Karena sudah mencicipi sate, saya langsung menuangkan semur daging dan sambal dabu-dabu di atas potongan ketupat lantas melahapnya. Saya sampai lupa mengambil kerupuk karena begini saja sudah nikmat: didominasi manis, yang justru saya suka!
Halo, Halo, Halo! (1/2) (Yasutaka Tsutsui, 1979)
-
“Aku boleh beli pakaian baru, sayang?” tanya istriku. “Sudah dua tahun aku
tak beli pakaian baru.”
“Benar,” sahutku memberengut.
Aku sendiri perlu setel...
2 hari yang lalu
Parece gostoso.Você contribuiu com que tipo de carne?
BalasHapusEu não conheço pelos nomes das comidas que vocês prepararam! :D
Sounds delicious. What kind of meat did you contribute?
I don't know by the names of the foods you have prepared! :D
Hey, Nuno. Thanks for commenting ^^
HapusIt was cow meat. I don't know which part, though. And I also don't know the English nor Portuguese names of the foods, sorry, hehehe. And indeed they were really delicious!
Ei, Nuno. Obrigado por comentar ^^
Era carne de vaca. Eu não sei qual parte, no entanto. E eu também não sei os nomes ingleses ou portugueses dos alimentos, desculpe, hehehe. E de fato eles estavam realmente deliciosos!