Materi kali ini adalah penjelasan mengenai kritik sastra. Pematerinya sama
dengan dua minggu lalu, yaitu Kang Opik. Beliau bisa dibilang dedengkotnya FLP
Bandung, paling sering diminta berbicara dalam forum, dan karena beliau juga dosen
maka aku serasa mendapat kuliah gratis. Selanjutnya aku akan menyebutnya Kang O
saja.
Kang O bilang kritik sastra itu hal yang tidak ada manfaatnya secara
ekonomi. Zaman sekarang produk-produk yang dihasilkan semakin bersifat instan,
termasuk produk kebudayaan macam karya fiksi. Orang dapat langsung menikmati
suatu karya tanpa harus melengkapinya dengan pembacaan kritik. Itulah dampak
kapitalisme. Apa-apa dituntut untuk serba cepat, serba ringkas, serba instan… Sepertinya
aku perlu menelusuri lebih lanjut mengenai kapitalisme ini. Sedari SMA aku
membaca tulisan yang menuding-nuding kapitalisme dan menganggapnya momok, tanpa
benar-benar memahaminya. Dan kapitalisme mestinya berhubungan dengan karya seseorang
bernama Karl Marx, Das Kapital,
karena sama-sama mengandung kata “kapital”. Tapi itu kejauhan. Bukannya tadi
aku sedang mencatat apa yang kudapat dari Kamisan minggu ini?
Padahal, lanjut Kang O, produk kebudayaan seperti karya sastra yang
berkualitas merupakan nutrisi bagi jiwa. Kerumitan dalam karya sastra apabila digali
dapatlah memberikan hal-hal yang bernilai. Karya sastra menyodorkan contoh
permasalahan yang mungkin saja kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Adapun
peranan kritik sastra adalah: bagi penulis, dapat memberitahu cara menulis
karya yang berkualitas, sedangkan; bagi pembaca, dapat membantu menggali
nilai-nilai yang ada di dalam suatu karya.
Adalah Aristoteles yang mula-mula mencetuskan kritik terhadap karya seni.
Ia juga yang merumuskan alur dalam karya sastra atau bisa disebut juga “struktur
dramatik”, yang secara berurutan terdiri dari: perkenalan, konflik, klimaks,
resolusi, konklusi… semacam itulah. Kalau boleh kubilang: Pengembangan emosi (dalam
cerita) yang menyerupai pegunungan. Aristoteles juga mengkritik Plato yang
mengemukakan bahwa karya seni itu hanyalah tiruan dari kenyataan yang adalah
tiruan dari ide, oleh karena itu tukang
lebih mulia daripada penyair.
Bagaimanapun juga, Plato hidup dalam dunia ide tapi itu soal lain.
Kritik sastra secara umum bisa digolongkan menjadi empat: mimetik, karya sebagai tiruan
kenyataan; ekspresif, karya
dikaitkan dengan kehidupan pengarangnya; objektif,
karya dilihat berdasarkan unsur instrinsiknya belaka, dan; pragmatik, bagaimana respons pembaca terhadap karya. Sebetulnya
jenis-jenis kritik ini bisa dikembangkan lagi sehingga kita kenal adanya
istilah “sosiologi sastra”, “psikologi sastra”, “kritik feminis”, dan sebagainya.
Salah satu buku yang berisi penjelasan mengenai jenis-jenis kritik ini adalah
karangan Rachmat Djoko Pradopo, seorang dosen UGM. Aku pernah mencatatnya di Word
tapi terhapus baru-baru ini bersama seluruh tulisanku sejak SMA. (Tidak usah
berbelasungkawa. Terima kasih.)
Ada satu pendapat yang mengatakan bahwa karya yang layak dikritik hanyalah
karya adiluhung. Karya adiluhung
terus dikritik, terus dibaca. Setiap pembacaan menghasilkan interpretasi baru.
Sebutlah karya para pengarang Rusia seperti Dostoyevsky, Tolstoy, dan
sebagainya. Dari negeri kita: Chairil Anwar, Siti Nurbaya, dan seterusnya. Karena kupikir karya adiluhung
umumnya dibuat pada zaman baheula, (wajar
apabila selalu dibaca karena sudah dipakemkan dalam pelajaran bahasa Indonesia,)
maka kutanyakan nasib karya kontemporer. Kata Kang O, itu hanya satu pendapat.
Yang jelas, ciri khas karya adiluhung adalah bersifat transindividual,
maksudnya, ketika membacanya, kita merasa karya tersebut mewakili diri setiap
manusia, atau mungkin bisa dibilang juga: universal.
Bagaimanapun juga, kita membutuhkan kengerian—tragedi—sebagaimana disampaikan
dalam karya sastra, atau istilahnya, katarsis,
untuk menyalurkan insting kebinatangan kita. Jangan-jangan pelaku kriminal
adalah orang yang tidak mengapresiasi produk budaya yang berkualitas sehingga
insting kebinatangannya tidak tersalurkan. Begitu menurut Kang O.
Kini nilai karya sastra tidaklah ditentukan oleh kritikus melainkan oleh
pasar—pembaca awam. Jadinya bagi penerbit mempublikasikan karya sastra itu
seperti CSR saja. Adapun keuntungan diperoleh dari penjualan buku jenis-jenis
lainnya. Kualitas karya yang tidak banyak dibaca—diterbitkan sendiri malahan—boleh
jadi lebih bagus ketimbang yang diterbitkan besar-besaran dan dibaca banyak
orang. Dalam situasi yang menjadikan
kualitas karya sastra kabur ini, apa yang sebaiknya kita—sebagai individu dan
komunitas—lakukan? tanyaku. Terpikir dalam benakku kalau kita perlu
mengenalkan karya-karya sastra yang berkualitas pada pembaca awam. Tapi, heh,
aku sendiri pembaca awam. Seperti apa karya sastra yang berkualitas masih menjadi
pertanyaan buatku. Maka kata Kang O, yang penting adalah komitmen. Terus
belajar, lalu membaginya kepada orang lain entahkah melalui diskusi atau
kampanye atau apapunlah. Pada dasarnya, kita sendirilah yang membutuhkan bacaan yang berkualitas untuk
menjadikan diri kita manusia yang lebih baik.
Saat jeda forum aku membahas beberapa hal dengan kawan di sebelahku,
termasuk soal manfaat dari “bacaan yang berkualitas” itu. Tidak praktis,
memang, tidak langsung, aku teringat komentar senada dari salah seorang
pengarang AS yang diwawancarai untuk buku Novel Voices. Dia bilang kalau saja para politikus membaca karyanya, dia mungkin
akan langsung diangkat ke surga begitu meninggal. Teringat juga pada teenlit-teenlit dan buku-buku yang
mengecam pendidikan milik Mama (yang padahal guru), yang kubaca semasa SMA, mungkin
merekalah yang secara tidak langsung meracuni
pikiranku hingga aku membawa diriku pada keadaan ini. Komitmen, kata Kang O. Aku lebih merasa diriku seperti Pangeran Kecil
yang merawat setangkai mawar hingga merasakan keterikatan, sulit untuk melepaskan
diri dari bunga tersebut, biarpun si mawar begitu angkuhnya.
Hal lain yang terungkit adalah: Jika mengonsumsi produk kebudayaan yang
berkualitas itu penting, kenapa forum yang membicarakan tentangnya seperti
forum kami ini seringkali sepi dan didatangi oleh orang yang itu-itu saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar