Dari kapan
aku ingin menulis novel—novel-novelan sih karena tidak akan diterbitkan—tentang
seorang anak SMA ganteng yang stres kalau naik angkot. Dia lalu minta dibelikan
sepeda oleh ibunya. Hobinya adalah bikin roti. Sebetulnya dia dulu ikut klub
tinju, tapi sejak suatu insiden yang membikin wajahnya babak-belur dan giginya
rompal, ibunya melarangnya untuk melanjutkan. Mungkin takut anaknya tidak
ganteng lagi. Dia membawa ransel besar ke sekolah tapi tidak sebesar carrier yang biasa digendong para
penjelajah alam. Selain buku-buku pelajaran dan buku tulis untuk setiap buku
pelajaran dan alat tulis lengkap dan PDA (karena waktu itu masih tahun 2006) untuk mengatur agenda yang padat, dia mengisi ransel tersebut dengan
bekal roti lapis buatannya sendiri dan botol minum 1L karena dia banyak
beraktivitas dan dengan demikian banyak berkeringat. Kadang dia membawa tas
sepatu kalau harinya ekskul sepak bola. Dia terlalu ganteng untuk membiarkan
cinta-cintaan melemahkannya sehingga banyak cewek yang menangis putus asa
karenanya. Singkat cerita: Dia baru naik ke kelas dua—atau sebelas. Karena posisi
menentukan prestasi, dia memilih untuk duduk di samping seorang anak perempuan
pemalu, tepat di depan meja guru. Mereka menjadi kawan baik dalam konteks tidak
saling mengganggu selama jam pelajaran. Sesekali mereka mengobrol sewaktu jam
istirahat. Dipikirnya teman sebangkunya itu sangat rajin, tekun, dan berkomitmen
terhadap tugas-tugas sekolah. Dia senang sekali dengan orang yang seperti itu.
Karena dia KM, dia punya wewenang untuk memercayakan jabatan penting di kelas pada
anak perempuan itu. Karena sebagai siswa berprestasi dia juga sibuk di luar
kelas maupun di luar sekolah, dia melimpahkan tugas yang cukup banyak. Namun
ada hal yang tidak diketahui atau mungkin tidak disadari olehnya mengenai anak perempuan itu. Anak perempuan
yang pada mulanya menyanggupi tawarannya, namun kemudian melalaikan kepercayaan
yang diberikan olehnya. Anak SMA ganteng yang berhati keras itu lalu menuntut
pertanggungjawaban. Akan dikejarnya anak perempuan itu sampai dia mendapat
penjelasan, akan ada yang marah-marah dan akan ada yang menangis, akan ada yang
memaksa dan akan ada yang defensif, tapi tidak akan ada romansa sama sekali di
antara mereka. Kalaupun ada romansa, kejadiannya bukan di antara mereka. Apa cerita tentang remaja mesti ada cinta-cintaannya? Bosen, keles. Mungkin
karena konsepnya begini makanya tidak jadi-jadi ya. Hahaha. Kangen ih menulis novel sekadar untuk bersenang-senang. Novel nu kumaha aing we lah!
Halo, Halo, Halo! (1/2) (Yasutaka Tsutsui, 1979)
-
“Aku boleh beli pakaian baru, sayang?” tanya istriku. “Sudah dua tahun aku
tak beli pakaian baru.”
“Benar,” sahutku memberengut.
Aku sendiri perlu setel...
1 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar