Jumat, 30 Mei 2014

Apresiasi

“Udah baca koran Minggu kemarin?”

Mata perempuan itu menyorotnya. Binar yang pada lain waktu begitu memesona, namun kali ini menyodorkan tanda tanya.

“Halaman dua puluh tujuh.”

Bibir perempuan itu separuh terbuka, barangkali menyatakan hal yang sama.

“Cerpen?”

Bubuhkan titik di ujung lekuk alis perempuan itu agar makin menyerupai tanda tanya.

“Aku nulis cerpen untuk kamu.”

“Oh.”

“Tentang kamu.”

“OH.”

Setelah saling tatap untuk beberapa lama, perempuan itu yang bertanya, “Koran minggu yang mana?”

Kepala lelaki itu terdorong sedikit, seakan ada yang menyodok tengkuknya. “K—“ Bahkan suaranya turut tercekat.

Kemerdekaan Rakyat?”

Tentunya bukan. Koran yang persebarannya terbatas di satu provinsi itu? Itupun yang membaca hanya para pengayuh becak, kalau bukan kaum bermuka-minyak yang seharian duduk-duduk di depan kios pinggir jalan, merokok, mengopi, dan mengisi TTS. Memang ada masa ia pernah mengirimkan satu-dua karya—atau satu-dua bundel karya?—ke koran itu, tapi kapan itu? Sudah lama sekali berlalu, bertahun-tahun lalu… Terasa seperti berabad-abad lalu.

KAMPAK,” lelaki itu berdeham.

Bibir perempuan itu terbuka makin lebar, merekahkan senyuman. Segala tanda tanya sirna, tersingkirkan oleh kekaguman. “Kalau bisa masukin cerpen ke situ, yang nulisnya udah bisa dianggap sastrawan…”

“Gitu ya…?”

Sebenarnya bukan sekali ini cerpen lelaki itu dimuat di koran nasional lagi prestisius tersebut. Setiap tahun, koran itu memilih beberapa cerpen terbaik untuk dibukukan. Judul cerpen-yang-paling-baik di antara yang paling baik itu akan dijadikan judul buku. Beberapa tahun ini ada saja cerpennya yang terpilih untuk disertakan ke dalam buku. Dan untuk tahun ini judul yang dijadikan judul buku berasal dari cerpennya. Malam ini ia akan terbang ke ibukota untuk menghadiri acara peluncuran buku tersebut sekaligus penyerahan anugerah bagi para pengarang cerpen yang terpilih. 

“…iya enggak sih?”

Terlepas dari apa saja yang menentukan seorang pengarang disebut “sastrawan”, atau apa bedanya “pengarang” dengan “sastrawan”, lelaki itu pernah menerima Zamrud Literary Award untuk kategori pengarang muda berbakat, diundang ke festival penulis internasional di pulau dewata, dan memenangkan sayembara novel Komite Kesenian Nasional. Selain itu, salah satu novel dan sejumlah cerpennya telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Jerman, dan Inggris, dan bisa ditemukan di perpustakaan maupun toko buku di beberapa negara. Para kritikus yang sempat putus asa karena terpuruknya mutu kesusastraan bangsa kini kembali bergairah untuk mengangkat pena, demi memberitahu publik—dan khususnya penulis pemula—bahwa karya lelaki itu adalah contoh fiksi kontemporer yang baik.

Perempuan itu mestinya sudah pernah melihat namanya tercantum di sampul beberapa buku. Perempuan itu bekerja di toko buku. Tapi lelaki itu tidak tahu apakah perempuan itu tahu—memerhatikan. Perempuan yang beberapa lama hanya menatapnya dengan sorot hangat, bibir melengkung ke atas.

“Cerpen untuk kamu, tentang kamu—kamu dengar?”

“Iya.” Senyum perempuan itu tidak berubah. “Makasih. Nanti saya cari korannya. Mudah-mudahan masih ada yang jual.”

Lelaki itu bergumam panjang sebelum bisa meluncurkan kata-kata yang jelas. “Ada blog yang ngliping cerpen-cerpen koran Minggu, tahu kan?”

“Enggak tahu.”

Tatapan mereka kembali bergeming pada satu sama lain.

“Aku bisa kirim kopinya—“

“Enggak usah… Biar saya cari sendiri.”

Lelaki itu hendak membuka mulut lagi namun perempuan itu keburu menambahkan, “Saya janji.”

Setelah pertemuan itu, lelaki itu menyambangi lagi toko buku tempat perempuan itu bekerja hingga beberapa kali dalam seminggu. Minggu ini dan minggu berikutnya, jawabannya: “Belum”, “Belum”, dan “Belum”. Pada hari lelaki itu datang dengan membawa koran yang memuat cerpennya, perempuan itu menyambut dengan pinta agar lelaki itu mau menunggu hingga sifnya selesai. Kurang dari tiga jam lagi. Tapi seperti tiga abad. Pukul sembilan malam, lebih, barulah ada kesempatan bagi mereka berdua duduk berhadapan di kafe terdekat.

Perempuan itu baru bisa membaca cerpennya beberapa hari lalu, setelah blog yang dikatakan mengliping cerpen-cerpen koran Minggu itu, akhirnya, memajangnya. Dan selama beberapa hari itu ia terus terpikir akan cerpen itu, termenung-menung. Hingga lelaki itu datang lagi untuk menagih janji, dan yang perempuan itu bisa sampaikan hanya, “Kayaknya itu bukan cerpen buat saya.”

“Itu buat kamu. Aku menulisnya buat kamu.”

“Saya enggak ngerti.”

“Enggak ngerti? Yang mana yang enggak ngerti?”

Perempuan itu termangu. Disadarinya bahwa ia sendiri tidak mengerti apa yang tidak dimengertinya.

Lelaki itu membiarkan perempuan itu termenung-menung lagi, merangkai interpretasi apapun terhadap karyanya. Ia bersikap seolah sudah mati di hadapan pembacanya itu. 

Setelah diam agak lama, perempuan itu melipat kedua lengannya di atas meja, menutupi dadanya, dan berkata, “Cerpen itu bukan untuk pembaca kayak saya. Itu aja…” Karena lelaki itu hanya membisu dengan tatapan terpaku, ia buru-buru melanjutkan, “Tapi bagus. Banyak kata-kata yang kerasa indah yang saya enggak tahu maksudnya.”

“…enggak tahu maksudnya…” lelaki itu seolah bicara pada dirinya sendiri.

“…tapi saya sambil buka kamus kok, jadi…” Perempuan itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tersenyum. “…bagus.”

Dalam KAMPAK Minggu dua edisi setelah pemuatan cerpennya itu, ada esai enam-kolom—tanpa ilustrasi—yang membahas karyanya tersebut. Secara mimetik dan ekspresif, ada kebaruan, begitu pendapat kritikus.

Lelaki itu tahu perempuan itu suka membaca. Perempuan itu punya blog dan di profilnya tertera kalau hobinya adalah membaca. Tapi bukan hanya karena itu. Lelaki itu selagi mengunjungi toko buku mengamati diam-diam perempuan itu sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku di displai, buku-buku yang telah dibukai sampul plastiknya sehingga pembeli bisa mengintip isinya dan menimbang-nimbang sebelum memtuskan untuk membeli. Ia tahu perempuan itu juga menulis—memperbarui blognya setidaknya… enam bulan sekali. Dalam sekali posting, perempuan itu menulis tentang buku-buku yang telah dibacanya. Banyak buku. Tapi hanya novel roman, chiclit, dan cerita anak.

Benar, pikir lelaki itu, aku menulis hanya untuk menyenangkan para kritikus.

Maka mulailah ia menulis benar-benar untuk perempuan itu. Ia menulis cerita sederhana dalam bahasa sederhana. Tentang pria menawan yang mendekati wanita kesepian. Tentang anak-anak lucu dan menggemaskan. Produktivitasnya terus meningkat. Mungkin inilah yang dinamakan kekuatan cinta.

Redaktur cerpen KAMPAK meneleponnya. “Cerpen macam apa ini yang kau kirimkan?”

Ia terkesima, menyadari kekhilafannya. Ia menarik kembali cerpen-cerpen itu dan mengirimnya ke media lain. Ia tetap memakai namanya yang biasa dengan harapan perempuan itu tahu kalau ia yang menulisnya—apabila membacanya. Ia bahkan tidak tahu apakah perempuan itu suka membaca tabloid dan majalah wanita yang kini menjadi sasarannya dalam mengirim karya.

Perempuan itu tidak lagi bekerja di toko buku. Untung sebelumnya lelaki itu sempat mengajak bertukar nomor ponsel. Jadi ia dapat mengabarkan apabila cerpennya telah dimuat. Namanya yang cukup kesohor membuat cerpennya mudah diterima oleh media-media yang dikiriminya. Selain itu, ia sudah menandatangani kontrak dengan penerbit yang hendak mempublikasikan beberapa judul roman populer karangannya. Semua karya ditulisnya untuk perempuan itu.

“Sekarang kau mulai komersil juga rupanya,” begitu kata teman-temannya sesama perakit kata. Mereka maklum, sebetulnya. Hidup sepenuhnya dari penghasilan sebagai pengarang itu tidak mudah di negeri ini. Hanya segelintir pengarang yang memperoleh kemujuran. Lainnya harus mendaki jalan Sysiphus. Polahnya itu dibicarakan pula oleh kritikus di media massa dengan nada yang menyiratkan kekecewaan, kendati namanya tidak disebut secara langsung. Bagaimanapun juga ia menyadari kalau dirinya telah disinggung oleh orang-orang di dunia sastra. “Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menulis apapun,” begitu tanggapannya. Sungguhpun begitu seorang temannya yang notabene kritikus berkata, “Tapi kau mesti ingat. Karya-karyamu pernah memberi secercah harapan bagi para kritikus, akan masa depan yang cerah dalam kesusastraan di negeri kita ini. Kau memang berhak untuk menulis apapun, tapi… Kau mengerti, kan? Tunjukkan pula kontinyuitas dalam kekhasanmu. Kualitas yang membedakan karya-karyamu dari karya kebanyakan.”

Lelaki itu termenung-menung. Bukan penghasilan benar yang ditujunya sebagaimana perkiraan teman-teman-temannya itu. Ia memikirkan perempuan itu. Bagaimana karya-karya yang ditulisnya belakangan menjadi pemantik obrolan dalam setiap pertemuan mereka, modal untuk hubungan yang menjanjikan. Ia tunjukkan pemahamannya akan perempuan itu melalui karya-karyanya.

Memang akibat sibuk menyalurkan hasratnya akan hal itu, ia tidak meluangkan waktu untuk merenungkan persoalan lainnya secara mendalam dan menuliskannya sebagaimana tampak pada karya-karyanya yang sebelumnya. Maka ia mencoba untuk kembali pada gaya menulisnya yang semula, pada tema-tema yang tidak pada tempatnya untuk dieksplorasi dalam novel roman, chiclit, apalagi cerita anak. Setelah beberapa lama bergelut dengan isme-isme, lahirlah karya-karya yang dikirimkannya ke koran-koran Minggu, majalah sastra, dan semacam itu. Hasilnya mungkin belum begitu bagus. Perlu waktu untuk memulihkan kecemerlangan yang telah dikesampingkan sekian lama, seperti pemanasan sebelum berlari. Akhirnya ada satu yang dimuat di majalah sastra, dan mendapat sambutan cukup baik dari kritikus.

Ia ingin tahu bagaimana tanggapan perempuan itu terhadap karya tersebut. Setelah sekian lama hubungan di antara mereka berjalan dan tidak kunjung dipastikan, ia ingin tahu adakah perubahan. Mereka bertemu di suatu tempat makan. Ia membawa majalah yang memuat karyanya itu bersamanya, ingin perempuan itu membacanya saat itu juga.

Perempuan itu membalik halaman demi halaman cerpennya yang cukup panjang itu. Setelah sampai di halaman akhir, perempuan itu kembali ke halaman awal. Menekuri lagi dan lagi. Hampir satu jam berlalu.

“Gimana?” ujar lelaki itu.

Perempuan itu berhenti di tengah-tengah pembacaan yang kesekian. “Saya mesti komentar apa?”

“Gimana?”

Perempuan itu menunduk. Jemarinya menyeruak rambutnya yang lebat menggelora, maju-mundur, sementara matanya kembali melekat pada bacaan. Lalu kepalanya terangkat. “Ingin bilang bagus, tapi kata kamu itu bukan jawaban.” Lelaki itu tidak ingat pernah mengatakannya. Tapi memang ia tidak terbiasa dengan jawaban “bagus” atas karya-karyanya—tidak berarti lagi baginya. Ia terbiasa dengan jawaban yang lebih dari sekadar “bagus”, yang panjangnya bisa mencapai satu halaman bahkan lebih dan suatu saat mungkin dibukukan.

Menit demi menit berlalu. Semakin ia menunggu mulut itu menyuarakan lebih banyak kata, semakin ia menyadari kalau ia hanya memenjarakan mereka dalam kecanggungan.

“Kamu tahu gimana… aku sama kamu,” lelaki itu berbicara lambat-lambat. Ia bisa mengungkapkan dirinya dengan lebih baik melalui tulisan. Tapi apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh perempuan itu. “Bagaimana kita bisa bersama kalau kamu tidak bisa memahamiku?” suara lelaki itu memelan hingga nyaris tidak terdengar. Lalu ia pergi.

Mereka bertemu di pameran seorang seniman batu. Seniman yang membuat karya-karyanya dengan mengkreasikan batu-batu. Menyusunnya bak puzzle, atau memadukannya dengan benda-benda lain bak kolase. Mereka terpikat dengan satu karya; yang menjadi titik mula bagi interaksi-interaksi mereka selanjutnya. Perempuan itu sebetulnya terpikat dengan batu obsidian yang digunakan dalam karya tersebut, mengingatkannya akan masa kecil yaitu saat menemukan batu tersebut secara tidak sengaja dalam tumpukan pasir untuk bahan bangunan rumah tetangga.

Demikianlah perempuan itu menceritakan awal pertemuannya dengan lelaki itu kepada temannya, sampai kejadian yang disangkanya merupakan akhir.

“Ngerti kan, seniman itu biasanya enggak stabil dan sensitif,” ujar temannya, mengutip dialog dari sebuah film.

“Ya. Emang aku ngerasa dia orangnya rada aneh…” Pada mulanya ia merinding tiap kali menyadari kehadiran lelaki itu toko buku tempatnya dulu bekerja, namun seiring dengan perkenalan mereka ia menerima lelaki itu memang begitu adanya—tipe penguntit sejati. Perempuan itu menerawang, mengingat-ingat apa kelebihan lelaki itu. Ia tidak mengerti apa yang disukai lelaki itu darinya. Agaknya keanehan lelaki itu tidak hanya tampak dalam pembawaannya, tapi juga dalam aspek lainnya. Dalam selera terhadap perempuan, misalnya.

Sebelumnya, oleh temannya itu, ia pernah ditawari untuk berkenalan dengan seorang lelaki yang tapinya pernah melakukan operasi untuk mengubah fisik. Ia teringat para personil boyband Korea. Barangkali lelaki yang dimaksud oleh temannya itu seganteng mereka. Operasi plastik sedikit tidak apalah, pikirnya. Temannya itu melanjutkan kalau operasi yang dilakukan oleh lelaki itu adalah operasi ganti kelamin.

Perempuan itu mendesah. Tidak mudah baginya untuk mendapatkan lelaki lain, kendati ia tidak tahu apa lelaki yang baru saja meninggalkannya itu jangan-jangan juga pernah melakukan operasi ganti kelamin. Tapi itu soal lain, sungguh. Pada intinya, ia belajar kalau tidak ada lelaki yang sempurna. Tiap lelaki memiliki keunikan yang mesti dihadapi dengan cara yang khas pula. Pikirnya, “Kalau aja aku ngerti karya sastra, kemungkinan aku enggak bakalan single melulu.”[]

 

300514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain