Sabtu, 28 Maret 2020

Si Adek Takut Bobok Sendiri

Rumah sudah selesai direnovasi. Sekarang Risky punya kamar yang lebih luas di lantai dua. Kamar Risky yang sebelumnya di lantai bawah pun dijadikan kamar Adek.

Risky masih senang dengan perabotannya yang lama, sehingga pada dipindahkan ke kamar atas. Adek pun dibelikan perabotan baru. Ada meja belajar yang satu set dengan rak-rak dan laci-laci, tempat ditaruhnya koleksi Adek yang belum seberapa: buku-buku aktivitas, mainan-mainan hadiah dari restoran fast food atau produk tertentu, kaset-kaset drama seri TV, dan sebagainya. Ada ranjang spring bed tempat Adek kerap berjempalitan dan melonjak-lonjak sesukanya biarpun sudah diperingati kasurnya bakal jebol. Ada lemari yang sebagiannya malah diisi oleh baju-baju Mama karena pakaian Adek tidak sampai memenuhinya.

Sesenang-senangnya Adek punya kamar sendiri, masih lebih senang ia pada kamar Risky yang baru. Soalnya, segala yang “seru” adanya di kamar si kakak: Nintendo, Sega, tape, komik-komik baru, kaset-kaset yang musiknya asyik …. Jadilah sering-sering Adek naik ke kamar Risky.

Risky memang sudah diberi pesan oleh orang tuanya. Mereka tidak akan membelikan perangkat yang mahal-mahal lagi, khusus untuk Adek. Risky lah yang mesti berbagi miliknya.

Risky terima adiknya boleh ikut menikmati barang-barang miliknya, asalkan tidak dibawa keluar dari kamarnya.

Mama mendukung, walaupun Risky merasa dimanfaatkan. “Semuanya taruh di kamar Kakak, ya. Sambil awasin si Adek. Mainnya jangan kelamaan. Bantuin si Adek belajar.”

Bla bla bla.

Lagi pula, percuma saja Risky mengunci pintu kamarnya. Sebab, si Adek bakal menggedornya atau menendanginya sekuat tenaga, sampai berguling-guling di lantai di depannya sambil berteriak-teriak, sehingga tidak mungkin Risky bisa berkonsentrasi. Adakalanya Mama sampai terpanggil untuk turun tangan. Kadang Mama membela Adek habis-habisan, dengan secara tidak langsung melarang Risky mengunci pintu kamarnya. Kadang juga Mama bisa mengerti kebutuhan Risky, dan membujuk Adek agar bermain di tempat lain. Adek lah yang tidak mau mengerti. Sejak kecil, anak itu sudah menunjukkan pribadinya yang gigih dan berkemauan kuat.

Seringnya, Risky rela saja Adek berada di kamarnya, dan melakukan hal-hal yang sewajarnya sebagai seorang kakak yang jauh lebih besar: bermain bareng, membantu belajar. Kadang-kadang kehadiran si Adek justru menghibur Risky saat suntuk belajar. Ketika Risky menyetel musik tertentu keras-keras, adiknya bakal membuat gerakan-gerakan lucu ditingkahi suara-suara konyol. Risky pun terpingkal-pingkal, malah mengambil handycam untuk merekamnya.

Kadang-kadang Adek ketiduran di kamar Risky. Sewaktu Adek lebih kecil, Risky mau-mau saja tidur sekasur dengan adiknya meski pasti marah-marah bila diompoli. Tapi Adek bertambah besar, dan Risky mulai risi. Ketika Risky mau tidur di ranjangnya, dan sudah keduluan oleh si Adek, ia bakal membangunkan anak itu dan menyuruhnya pindah. Biasanya Adek menurut lalu turun, entahkah ke lantai bawah—kamar orang tua mereka—atau sekadar ke karpet kamar Risky. Mendapati Adek suka tidur di karpet kamar Risky, Mama membelikan kasur gulung serta menambahkan selimut dan bantal untuk ditaruh di situ.

Kemudian, mulailah Adek bersekolah di SD. Mama memberikan pengertian, “Adek kan udah masuk SD, udah punya kamar sendiri. Sekarang Adek belajar tidur sendiri, ya.”

Pada awalnya seperti yang mudah. Adek menyanggupi dengan berani. Mama pun menyiapkan si Adek di tempat tidurnya, lalu mematikan lampu dan menutup pintu kamar. Tidak berapa lama kemudian, Adek menyusul Mama dan Papa yang masih menonton TV di ruang tengah. Adek bilang belum mengantuk, meski beberapa saat kemudian ketiduran. Ketika Mama dan Papa beranjak ke kamar tidur, Adek menyusul. Malam itu Adek kembali tidur di kamar mereka.

Besok-besoknya, Mama terus memberikan pengertian. Adek pun paham bahwa ia sudah tidak diinginkan di kamar orang tuanya.

Maka, setelah minum susu dan gosok gigi malam-malam, Adek pun naik ke kamar Risky.

Sebelumnya, Risky terima saja Adek tidur di kamarnya. Toh Adek masih lebih sering tidur di kamar orang tua mereka. Tapi kini, dengan kebijakan yang baru dari orang tua mereka, benar-benar setiap malam si Adek tidur di kamar Risky. Padahal, adakalanya, pada malam-malam yang hening, Risky hanya ingin sendirian; sebagai seorang lelaki dewasa melakukan hal-hal yang pribadi. Biarpun mata adiknya terpejam rapat, tanpa suara dan gerakan sedikit pun, tetap saja Risky merasa diawasi.

Risky menjadi gelisah; keresahannya tak tersalurkan. Padahal, tujuan dibangunnya kamar di lantai dua ini justru supaya ia punya privasi, mengurangi gangguan dari Mama dan Adek. Mama memang sudah tidak begitu sering menyambangi kamarnya, karena faktor usia membuatnya capek bila mesti naik-turun tangga. Sedangkan si Adek meloncati anak tangga bagaikan terbang saja.

Di puncak frustrasi, Risky memberi tahu adiknya supaya tidur di kamarnya sendiri.

“Enggak mau!”

Adiknya lekas-lekas membungkus diri dengan selimut dan bergeming, seolah-olah langsung tertidur seketika itu juga.

Risky tak berbelas kasih. Sudah cukup lama ia menahan-nahan; malam ini ia harus mendapatkan privasinya kembali. Tanpa sabar, didorong-dorongnya dan digoyang-goyangkannya si Adek. “Turun, heh! Turun!”

Namun si Adek sepertinya telah memilih untuk melawan Risky, daripada orang tua mereka, ataupun “bayangan-bayangan seram” di kamarnya sendiri.

“TURUN!”

“ENGGAK MAU!”

Mereka pun bergelut. Sudah bisa dipastikan siapa yang menang. Tanpa mesti mengerahkan segenap tenaganya, dengan sekali gampar saja Risky dapat menaklukkan adiknya. Kepala anak itu menghantam ujung tempat tidur dari kayu. Meledak tangisnya.

“Kakaaak …! Adeknya diapain sih?” meski teredam, pasti itulah yang diteriakkan Mama dari lantai bawah. Rupanya Mama belum tidur.

Sedang Risky serta-merta terkesiap dan menarik tangan. Suara benturan tadi keras sekali. Masih untung Adek cuma menangis. Bisa saja yang terjadi lebih gawat daripada itu: bocor kepala, gegar otak, Adek tak sadarkan diri lagi …. Buyar segala hasrat Risky yang tadi begitu kuatnya ingin menyepak keluar si Adek.

“Sssh, sssh ….” Risky mengusap-usap kepala si Adek, bagian yang dikiranya terkena tadi. Tapi si Adek menghalaunya, lalu lanjut meraung-raung. Caranya itu seperti yang tengah menyesali keberadaannya di dunia, terlahir sebagai adik seorang Risky yang bila menggampar tak kira-kira.

Tapi, Adek sendiri bila menangis tak kira-kira. Tetangga di ujung jalan pasti dengar, padahal rumah mereka ada di tengah-tengah deretan.

“Dek, Adek, berhenti, ya, nangisnya …. Nanti boleh tidur di atas.”

Tangis adiknya berangsur-angsur mereda. Diiringi sengguk, anak itu memanjat tempat tidur Risky, merangkak ke tengah-tengah, lalu meringkuk di balik guling. Matanya langsung dipejamkan, seperti yang seketika itu juga terlelap, walau sesekali sisa isaknya masih keluar.

Risky memandangi si Adek—bulu matanya yang dilekati air mata, pipi tembamnya yang basah—antara lucu dan kasihan. Terkenang oleh dia momen-momen sebelumnya ketika adiknya menangis sekeras itu, malah lebih keras lagi, setelah ia banting, lempar ke dinding, atau sesuatunya. Kadang Risky memendam tanya yang takjub: apakah tulang adiknya terbuat dari rangka beton?

Risky menyelimuti si Adek dan memutuskan untuk ikut tidur saja. Ia mematikan lampu, lalu membaringkan diri pada kasur yang sudah tergelar di karpet.

Matanya mendapati langit-langit betapa jauhnya. Seketika itu juga, punggungnya merasakan betapa rindunya pada kasur yang sedang direbahi adiknya. Lalu ia bergulir ke kanan, dan betapa dekatnya ia dengan kemasan plastik, renyukan kertas, gumpalan tisu, gelas-gelas berisikan ampas kopi, sampai kulit pisang di bawah mejanya. Ia beralih ke kiri, dan betapa gatal hidungnya yang sepertinya menghirup debu yang bergulung-gulung di kolong tempat tidur. Ia balik menatap langit-langit.

Ia penasaran pada kamarnya yang dulu, yang sudah beberapa lama ini hampir-hampir tidak pernah dimasukinya lagi. Seperti apa rasanya tidur di sana, di kasur baru yang semestinya sedang direbahi adiknya?

Sembari mengawasi adiknya supaya tak terbangun, pelan-pelan Risky menutup pintu kamarnya. Lalu ia menuruni tangga.

“KAKAAAK! KAKAAAAK!” adiknya menjerit panik.

“Hadeh ….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain