Rumah
sudah selesai direnovasi. Sekarang Risky
punya kamar yang lebih luas di lantai dua. Kamar Risky yang sebelumnya di
lantai bawah pun dijadikan kamar Adek.
Risky masih senang dengan
perabotannya yang lama, sehingga pada dipindahkan ke kamar atas. Adek pun
dibelikan perabotan baru. Ada meja belajar yang satu set dengan rak-rak dan
laci-laci, tempat ditaruhnya koleksi Adek yang belum seberapa: buku-buku
aktivitas, mainan-mainan hadiah dari restoran fast food atau produk
tertentu, kaset-kaset drama seri TV, dan sebagainya. Ada ranjang spring bed
tempat Adek kerap berjempalitan dan melonjak-lonjak sesukanya biarpun sudah
diperingati kasurnya bakal jebol. Ada lemari yang sebagiannya malah diisi oleh
baju-baju Mama karena pakaian Adek tidak sampai memenuhinya.
Sesenang-senangnya Adek punya
kamar sendiri, masih lebih senang ia pada kamar Risky yang baru. Soalnya,
segala yang “seru” adanya di kamar si kakak: Nintendo, Sega, tape,
komik-komik baru, kaset-kaset yang musiknya asyik …. Jadilah sering-sering Adek
naik ke kamar Risky.
Risky memang sudah diberi
pesan oleh orang tuanya. Mereka tidak akan membelikan perangkat yang
mahal-mahal lagi, khusus untuk Adek. Risky lah yang mesti berbagi miliknya.
Risky terima adiknya boleh
ikut menikmati barang-barang miliknya, asalkan tidak dibawa keluar dari
kamarnya.
Mama mendukung, walaupun
Risky merasa dimanfaatkan. “Semuanya taruh di kamar Kakak, ya. Sambil awasin si
Adek. Mainnya jangan kelamaan. Bantuin si Adek belajar.”
Bla bla bla.
Lagi pula, percuma saja Risky
mengunci pintu kamarnya. Sebab, si Adek bakal menggedornya atau menendanginya
sekuat tenaga, sampai berguling-guling di lantai di depannya sambil
berteriak-teriak, sehingga tidak mungkin Risky bisa berkonsentrasi. Adakalanya
Mama sampai terpanggil untuk turun tangan. Kadang Mama membela Adek
habis-habisan, dengan secara tidak langsung melarang Risky mengunci pintu
kamarnya. Kadang juga Mama bisa mengerti kebutuhan Risky, dan membujuk Adek
agar bermain di tempat lain. Adek lah yang tidak mau mengerti. Sejak kecil,
anak itu sudah menunjukkan pribadinya yang gigih dan berkemauan kuat.
Seringnya, Risky rela saja
Adek berada di kamarnya, dan melakukan hal-hal yang sewajarnya sebagai seorang
kakak yang jauh lebih besar: bermain bareng, membantu belajar. Kadang-kadang
kehadiran si Adek justru menghibur Risky saat suntuk belajar. Ketika Risky
menyetel musik tertentu keras-keras, adiknya bakal membuat gerakan-gerakan lucu
ditingkahi suara-suara konyol. Risky pun terpingkal-pingkal, malah mengambil handycam
untuk merekamnya.
Kadang-kadang Adek ketiduran
di kamar Risky. Sewaktu Adek lebih kecil, Risky mau-mau saja tidur sekasur
dengan adiknya meski pasti marah-marah bila diompoli. Tapi Adek bertambah
besar, dan Risky mulai risi. Ketika Risky mau tidur di ranjangnya, dan sudah keduluan
oleh si Adek, ia bakal membangunkan anak itu dan menyuruhnya pindah. Biasanya
Adek menurut lalu turun, entahkah ke lantai bawah—kamar orang tua mereka—atau
sekadar ke karpet kamar Risky. Mendapati Adek suka tidur di karpet kamar Risky,
Mama membelikan kasur gulung serta menambahkan selimut dan bantal untuk ditaruh
di situ.
Kemudian, mulailah Adek
bersekolah di SD. Mama memberikan pengertian, “Adek kan udah masuk SD, udah
punya kamar sendiri. Sekarang Adek belajar tidur sendiri, ya.”
Pada awalnya seperti yang
mudah. Adek menyanggupi dengan berani. Mama pun menyiapkan si Adek di tempat
tidurnya, lalu mematikan lampu dan menutup pintu kamar. Tidak berapa lama
kemudian, Adek menyusul Mama dan Papa yang masih menonton TV di ruang tengah.
Adek bilang belum mengantuk, meski beberapa saat kemudian ketiduran. Ketika
Mama dan Papa beranjak ke kamar tidur, Adek menyusul. Malam itu Adek kembali
tidur di kamar mereka.
Besok-besoknya, Mama terus
memberikan pengertian. Adek pun paham bahwa ia sudah tidak diinginkan di kamar
orang tuanya.
Maka, setelah minum susu dan
gosok gigi malam-malam, Adek pun naik ke kamar Risky.
Sebelumnya, Risky terima saja
Adek tidur di kamarnya. Toh Adek masih lebih sering tidur di kamar orang tua
mereka. Tapi kini, dengan kebijakan yang baru dari orang tua mereka,
benar-benar setiap malam si Adek tidur di kamar Risky. Padahal, adakalanya,
pada malam-malam yang hening, Risky hanya ingin sendirian; sebagai seorang lelaki
dewasa melakukan hal-hal yang pribadi. Biarpun mata adiknya terpejam
rapat, tanpa suara dan gerakan sedikit pun, tetap saja Risky merasa diawasi.
Risky menjadi gelisah;
keresahannya tak tersalurkan. Padahal, tujuan dibangunnya kamar di lantai dua
ini justru supaya ia punya privasi, mengurangi gangguan dari Mama dan Adek.
Mama memang sudah tidak begitu sering menyambangi kamarnya, karena faktor usia
membuatnya capek bila mesti naik-turun tangga. Sedangkan si Adek meloncati anak
tangga bagaikan terbang saja.
Di puncak frustrasi, Risky
memberi tahu adiknya supaya tidur di kamarnya sendiri.
“Enggak mau!”
Adiknya lekas-lekas
membungkus diri dengan selimut dan bergeming, seolah-olah langsung tertidur
seketika itu juga.
Risky tak berbelas kasih.
Sudah cukup lama ia menahan-nahan; malam ini ia harus mendapatkan privasinya
kembali. Tanpa sabar, didorong-dorongnya dan digoyang-goyangkannya si Adek.
“Turun, heh! Turun!”
Namun si Adek sepertinya
telah memilih untuk melawan Risky, daripada orang tua mereka, ataupun
“bayangan-bayangan seram” di kamarnya sendiri.
“TURUN!”
“ENGGAK MAU!”
Mereka pun bergelut. Sudah
bisa dipastikan siapa yang menang. Tanpa mesti mengerahkan segenap tenaganya,
dengan sekali gampar saja Risky dapat menaklukkan adiknya. Kepala anak itu
menghantam ujung tempat tidur dari kayu. Meledak tangisnya.
“Kakaaak …! Adeknya diapain
sih?” meski teredam, pasti itulah yang diteriakkan Mama dari lantai bawah.
Rupanya Mama belum tidur.
Sedang Risky serta-merta
terkesiap dan menarik tangan. Suara benturan tadi keras sekali. Masih untung
Adek cuma menangis. Bisa saja yang terjadi lebih gawat daripada itu: bocor kepala,
gegar otak, Adek tak sadarkan diri lagi …. Buyar segala hasrat Risky yang tadi
begitu kuatnya ingin menyepak keluar si Adek.
“Sssh, sssh ….” Risky
mengusap-usap kepala si Adek, bagian yang dikiranya terkena tadi. Tapi si Adek
menghalaunya, lalu lanjut meraung-raung. Caranya itu seperti yang tengah
menyesali keberadaannya di dunia, terlahir sebagai adik seorang Risky yang bila
menggampar tak kira-kira.
Tapi, Adek sendiri bila
menangis tak kira-kira. Tetangga di ujung jalan pasti dengar, padahal rumah
mereka ada di tengah-tengah deretan.
“Dek, Adek, berhenti, ya,
nangisnya …. Nanti boleh tidur di atas.”
Tangis adiknya berangsur-angsur
mereda. Diiringi sengguk, anak itu memanjat tempat tidur Risky, merangkak ke
tengah-tengah, lalu meringkuk di balik guling. Matanya langsung dipejamkan,
seperti yang seketika itu juga terlelap, walau sesekali sisa isaknya masih
keluar.
Risky memandangi si Adek—bulu
matanya yang dilekati air mata, pipi tembamnya yang basah—antara lucu dan
kasihan. Terkenang oleh dia momen-momen sebelumnya ketika adiknya menangis
sekeras itu, malah lebih keras lagi, setelah ia banting, lempar ke dinding,
atau sesuatunya. Kadang Risky memendam tanya yang takjub: apakah tulang adiknya
terbuat dari rangka beton?
Risky menyelimuti si Adek dan
memutuskan untuk ikut tidur saja. Ia mematikan lampu, lalu membaringkan diri
pada kasur yang sudah tergelar di karpet.
Matanya mendapati
langit-langit betapa jauhnya. Seketika itu juga, punggungnya merasakan betapa
rindunya pada kasur yang sedang direbahi adiknya. Lalu ia bergulir ke kanan,
dan betapa dekatnya ia dengan kemasan plastik, renyukan kertas, gumpalan tisu,
gelas-gelas berisikan ampas kopi, sampai kulit pisang di bawah mejanya. Ia
beralih ke kiri, dan betapa gatal hidungnya yang sepertinya menghirup debu yang
bergulung-gulung di kolong tempat tidur. Ia balik menatap langit-langit.
Ia penasaran pada kamarnya
yang dulu, yang sudah beberapa lama ini hampir-hampir tidak pernah dimasukinya
lagi. Seperti apa rasanya tidur di sana, di kasur baru yang semestinya sedang
direbahi adiknya?
Sembari mengawasi adiknya
supaya tak terbangun, pelan-pelan Risky menutup pintu kamarnya. Lalu ia
menuruni tangga.
“KAKAAAK! KAKAAAAK!” adiknya
menjerit panik.
“Hadeh ….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar