Di mana-mana di dunia ini ada saja
anak-anak yang gemar menindas anak lain yang terlihat lemah. Risky pun pernah
mengalaminya. Sepulang sekolah, saat SMP, ia berkali-kali ditahan sekelompok
anak SMA. Upayanya menghindari mereka sia-sia saja karena mereka selalu bisa
menemukannya, tahu-tahu mengadang di tengah jalan, betapapun ia telah mencari
jalan pulang alternatif, mengulur-ulur waktu, dan sebagainya. Lalu anak-anak
itu akan menyeretnya ke bawah viaduk tongkrongan mereka. Ranselnya dirampas,
dibuka, dibalikkan, sehingga isinya tumpah semua. Barang-barangnya ditendangi
sampai tercecer jauh.
Mereka paling senang bila menemukan
uang. Kalau tidak ada uang, saku pakaiannya dirogoh-rogoh. Setelah mendapat
yang dicari, mereka masih saja menonjoknya atau menyepaknya sekadar iseng.
Kalau tidak menemukan uang sama sekali, padahal lagi ingin-inginnya jajan,
mereka akan menahan barang-barangnya. Mereka tidak peduli bagaimana caranya ia
mendapatkan uang. Pokoknya, barang-barangnya baru bisa kembali setelah ia
menebusnya dengan uang. Kalau ia tidak buru-buru pergi mencari, mereka akan
menetapkan jumlah uang yang mesti dibawanya. Kalau ia mencoba menawar, mereka
akan menaikkan jumlahnya.
Risky tidak sendirian. Ketika sedang
dirundung anak-anak SMA itu, ada anak lain yang menghampiri mereka. Ia mengenali
anak itu sebagai teman sekelasnya. Kalau Risky dihindari anak-anak sekelas
karena statusnya sebagai gai-jin tingkat rendah, anak itu
tidak disukai entah karena apa. Mungkin karena ia pendiam dan suka memencilkan
diri. Mungkin karena saat ditanya guru tentang cita-citanya di depan anak-anak
lain, ia menjawab lantang ingin jadi kepiting. Julukan "Si Kepiting"
pun menggantikan nama aslinya, yang hampir-hampir tidak pernah disebut lagi
oleh siapa pun di kelas. Bahkan guru-guru pun mulai menyebutnya demikian.
Risky melihat Si Kepiting menyerahkan
uang kepada anak-anak SMA yang sedang merundungnya itu. Si Kepiting mendapatkan
kembali tasnya, berikut isinya yang harus ia masukkan sendiri. Sebelum Si
Kepiting pergi, keduanya sempat bertukar tatap. Itu awal dari pertemanan
mereka, kalau bisa disebut begitu.
Keesokan harinya, di kelas, mereka
curi-curi pandang pada satu sama lain. Keduanya sama-sama segan untuk mendekati
terlebih dahulu. Beberapa lama mereka seperti itu, sampai akhirnya Si Kepiting
yang mengalah. Itu karena ia mendapati Risky juga curi-curi pandang pada orang
lain, si cewek yang nantinya diberikan surat cinta. "Jangan suka sama
dia," kata Si Kepiting.
Risky curiga. "Kenapa? Kamu suka
sama dia?" dengan nada penuh penyangkalan. Ia tidak ingin kelihatan suka
pada cewek itu. Tapi kalau Si Kepiting hendak mengajaknya bersaing, apa boleh
buat.
"Ternyata benar. Kamu ini tolol,
ya," ucap Si Kepiting dengan nada merendahkan seperti yang biasa digunakan
anak-anak lainnya pada Risky. "Lihat aja dia gaulnya sama siapa."
Saat itu jam istirahat dan mereka bisa
melihat cewek itu sedang berkumpul bersama kawan-kawannya di tengah kelas.
Risky memerhatikan cewek-cewek lainnya dalam kawanan itu. Sekilas mereka
seperti tak banyak bedanya. Memang ada yang lebih cantik. Tapi cuma cewek itu
yang pernah tersenyum padanya.
"Kamu suka sama dia," tuduh
Risky. Ia merasa pasti Si Kepiting cuma hendak menyingkirkan pesaing.
"Aku enggak bakal suka sama cewek
goblok enggak punya pendirian kayak dia."
Risky terkejut. Nantinya, setelah agak
jauh bercakap dengan Si Kepiting, ia maklum sebabnya anak itu dijauhi. Si
Kepiting bersikap merendahkan bukan hanya kepada gai-jin seperti
dia, melainkan kepada setiap orang. Ia tidak membeda-bedakan. Yang berbeda,
menurut Si Kepiting, hanya dia seorang. Sementara makhluk-makhluk lain pada
berjalan ke depan, ia ke samping. Entah apa maksudnya, Risky pun tidak begitu
mengerti. Shigeo juga pernah berkata pada Risky bahwa dirinya berbeda dari
kebanyakan orang Jepang. Risky menyimpulkan bahwa setiap orang sepertinya
merasa dirinya berbeda.
Nantinya, si Kepiting yang membantu
Risky membersihkan meja sepulang sekolah saat surat cintanya kepada si cewek
dijadikan bahan olokan. Risky berusaha tidak memandang Si Kepiting selama itu.
Ia tahu, anak itu pasti menampakkan tampang Dibilangin juga apa.
Seakan-akan tahu bahwa Risky menghindari
tatapannya, Si Kepiting pun mengatakan, "Dibilangin juga apa."
Risky memaksakan senyum tabah. Enggak
apa-apa, pikirnya. "Sebentar lagi aku pulang," kata Risky.
Maksudnya hendak menguatkan diri sekaligus mengabarkan kepada Si Kepiting.
"Apa?" Si Kepiting tak
mengerti.
"Beberapa bulan lagi papaku selesai
kuliah. Jadi sebentar lagi aku pulang ke Indonesia. Aku bakal ngelupain
semuanya. Aku enggak akan pernah ke sini lagi," camkan Risky. Lalu
tebersit bahwa sekali saja Risky ingin membalas senyum Si Kepiting yang penuh
cemooh itu. Ia menambahkan seraya menatap nyalang pada Si Kepiting, "Kamu
sendirian." Ia tersenyum penuh kemenangan.
"Aku memang selalu sendirian,"
tandas Si Kepiting.
Senyum Risky memudar. Tatapannya kembali
pada jarinya yang mengerik sisa potongan kertas di meja. Terserah kamu
lah.
.
Topik paling berarti yang pernah Risky
obrolkan bersama Si Kepiting adalah cara mendapatkan uang untuk diserahkan
kepada si anak-anak SMA penindas. Risky biasanya mengutil dari dompet Mama.
Sungguh menghinakan, ia sangat benci melakukannya. Apalagi sewaktu Mama
memergokinya. Mama tidak pernah memukuli Risky sebelumnya, namun kali ini tidak
ada ampun. Risky pun tidak bisa membeberkan kepada Mama sebabnya ia melakukan
itu. Maka ia kembali pada anak-anak SMA itu dengan tangan hampa dan membiarkan
dirinya kena hajar, lagi, demi memperoleh kembali tas berikut isinya yang
dirampas. Pulang-pulang, kemarahan Mama kembali berkobar melihat mukanya yang
lebam dan pakaiannya yang kotor. "Kamu ini sekarang hobi berantem, ya! Ini
susah lagi ngebersihinnya!" omelan Mama tidak berhenti-henti sampai
waktunya tidur. Untungnya sekarang ini tangan Papa tidak seringan dahulu. Ia
cuma menjentik kuping Risky lalu memberikan wejangan pelan seperti sekadar biar
Mama puas sedikit. Tetap saja Risky memendam gondok.
Mendengar pengakuan Risky, Si Kepiting
tersenyum mencemooh. Katanya, "Kamu beruntung masih bisa ngutil dari orang
tua, dan cuma dipukul. Pukulan mama kamu juga paling-paling gitu doang
kan." Risky tentu saja tidak terima. Gitu doang, katanya.
Pukulan Mama sakitnya bukan cuma di badan!
Namun Si Kepiting kemudian
memberitahukan caranya mendapatkan uang tanpa mengandalkan orang tua, yaitu
dengan mencuri manga dari anak-anak di kelas lalu menjualnya ke toko buku
bekas.
Risky takjub. Selama ini ia biasa
mendekam saja di kelas saat jam istirahat. Jarang-jarang ada yang mengajaknya
entah ke mana. Begitu pula nasib Si Kepiting. Namun tidak sekali pun Risky
pernah mendapati Si Kepiting tengah beraksi. Bukannya selama ini ia kerap
memerhatikan Si Kepiting sih. Namun Si Kepiting tidak hendak membeberkan
tentang caranya lebih lanjut. Ia sekadar menunjukkan letak toko buku bekas
tersebut.
Segera saja Risky terilhami. Tapi ia
tidak hendak menjual manga miliknya sendiri, yang terlalu sedikit untuk disebut
sebagai koleksi. Nanti berkurang kenang-kenangannya untuk dibawa pulang ke
Indonesia. Pikirannya justru melayang pada koleksi bacaan Shigeo yang
berlimpah, sampai memenuhi dua lemari serta bertumpuk-tumpuk dan tersebar di
lantai. Belum lagi koleksi pornografi yang tertata rapi di bawah kasurnya.
Apalagi, sejak masuk klub sastra di SMA, minat Shigeo telah beralih pada
buku-buku yang isinya cuma teks tanpa ada gambar sama sekali. Kadang juga ia
membentangkan koran, mencermati persoalan yang tengah terjadi di berbagai
belahan dunia. Tiap kali Risky main ke rumahnya, Shigeo suka membicarakan
tentang berbagai bacaannya itu--tanpa acuh pendengarnya paham atau tidak--dan
selalu saja ada yang baru. Kemungkinan Shigeo tidak akan sadar bila manganya
berkurang barang beberapa. Risky akan coba menjualnya ke toko buku bekas itu
dan menyimpan uangnya untuk berjaga-jaga sekiranya ketemu para pemalak itu
lagi.
Maka, pada kesempatan berikutnya main ke
rumah Shigeo sepulang sekolah, Risky mencari-cari dan menunggu-nunggu
kesempatan. Mustahil sepertinya selama Shigeo berada di kamar, karena posisinya
yang hampir selalu menghadap Risky walaupun matanya terpaku pada halaman buku.
Sekalipun Shigeo sempat memunggunginya beberapa lama, Risky tidak hendak
mengambil risiko. Shigeo bisa kembali berbalik menghadap dia kapan saja.
Barulah saat Shigeo keluar kamarnya,
kesempatan yang baik itu tiba. Risky telah mengincar beberapa buku yang
posisinya tak mencolok. Misalkan yang berada di sela-sela tumpukan, tertutup
oleh majalah, juga yang di bawah kolong. Selain itu, ia tidak pilih-pilih.
Dikiranya toko buku bekas itu akan membeli buku apa pun yang ia tawarkan. Ia
menyusupkan buku itu satu per satu ke dalam ranselnya sembari matanya mengawasi
pintu dan telinganya terpasang kalau-kalau langkah Shigeo mendekat.
Setelah beberapa buku yang dianggapnya
sudah cukup, sejenak Risky terdiam waspada dan diliputi perasaan yang lebih
buruk daripada saat mengutil dari dompet Mama. Dahulu kerap kali ada bacaan dan
mainan miliknya yang hilang begitu saja. Bahkan kalau ada sebutir kelereng pun
yang raib, padahal jumlahnya sampai memenuhi sebagian besar kaleng, Risky akan
mengetahuinya. Ia curiga kepada anak-anak di sekitar rumah yang kerap main ke
rumahnya. Ia mengawasi lekat-lekat kali berikutnya mereka main ke rumahnya.
Benar saja. Ia menangkap basah seorang anak menyelipkan satu buku cerita tipis
ke balik bajunya. Kontan ia menuding anak itu. Anak itu mengelak. Risky
mengangkat bajunya dan jatuhlah buku itu, lalu ia mendorong anak itu sampai
membentur tembok. Anehnya, anak-anak lain justru pada membela anak itu.
"Kamu punya banyak. Masak bagi satu
aja enggak boleh?"
"Pelit!"
"Sombong!"
Risky berseru pada mereka, "Jangan
ke sini lagi! Pulang aja lu semua!"
Satu per satu minggat ke arah pintu.
Salah seorang di antaranya mengeluarkan mobil-mobilan dari saku celana lalu
mencampakkan benda itu ke dekat kaki Risky. Rodanya lepas. Hampir saja Risky
menubruk anak itu kalau tidak keburu dilerai Simbok.
"Jangan kasar sama temannya,"
kata Simbok begitu mereka semua telah pergi.
Namun Risky tidak peduli. Kebencian
menggelegak dalam dadanya. Koleksinya ini kebanyakan dibelikan oleh Mama,
selebihnya oleh Papa. Mama dan Papa yang telah bekerja keras seharian sepanjang
minggu agar dapat menyenangkan dirinya, melipur kesepiannya. Setiap barang
adalah bukti perhatian Mama dan Papa. Lalu anak-anak itu boleh mengambilnya
begitu saja? Mengotorinya juga merusaknya? Enak saja! Mana mungkin ia
membiarkannya!
Kini, ia sendiri justru melakukan
perbuatan yang dibencinya itu.
Risky tak sempat termenung lama-lama.
Shigeo memasuki kamarnya dan memandangi Risky yang termangu-mangu. Risky balas
memandang Shigeo yang telah mengedarkan tatapannya ke seantero kamar, seolah-olah
entah bagaimana mengetahui ada yang telah terjadi dan kini melakukan inspeksi.
Tapi mungkin itu hanya perasaan Risky. Selanjutnya Shigeo bersikap biasa-biasa
saja. Ia duduk di dekat Risky dan lanjut membicarakan berbagai hal.
Perlahan-lahan ketegangan Risky mengendur. Tidak mungkin Shigeo mengetahuinya,
kan? Pintu kamarnya tertutup sementara ia pergi tadi. Lagi pula, tidak mungkin
pula Risky mengeluarkan kembali buku-buku yang sudah telanjur masuk ke
ranselnya itu kecuali kalau Shigeo keluar lagi.
Tiba saatnya Risky pulang. Ia
menggendong ranselnya yang bertambah berat. Mengira sudah aman, ia melangkah ke
pintu kamar Shigeo. Namun tahu-tahu saja Shigeo mencegat dia.
"Keluarin isi tas kamu."
Risky berdeguk. Darah seperti surut dari
kepalanya sehingga ia merasa oleng. Namun ia tak kuasa melawan. Dengan lunglai
seakan-akan seluruh darah sudah terkuras habis dari tubuhnya, ia menurunkan
ranselnya di atas tempat tidur Shigeo. Ia berusaha agar tangannya tak gemetar
saat mengeluarkan beberapa buku, kemudian beberapa buku lagi. Tampak kover
manga milik Shigeo.
Bagaimana dia bisa tahu? Jangan-jangan
ada kamera pengintai di salah satu sudut ruangan ini!
Shigeo mengambil buku itu lalu
menggunakannya untuk menempeleng kepala Risky. Tidak keras. Suaranya pun pelan
saat mengatakan, "Bodoh! Kalau mau nyolong, jangan manga kesayanganku
dong!" seakan-akan supaya jangan sampai terdengar oleh ibunya di lantai
bawah.
Risky tidak berani mengangkat kepala.
Shigeo memandang Risky yang menunduk saja diiringi rasa kecut. Memang sudah
beberapa kali Shigeo mengajak Risky menemaninya mengutil majalah porno di toko.
Ia tidak menyangka Risky akan menjadikan pengalaman itu sebagai pelajaran dan,
parahnya lagi, mempraktikkan itu kepada dirinya sendiri. Inikah karma?
Tapi ini bisa jadi ide cerpen untuk
tugas klub sastra, pikir Shigeo
lagi.
"Kamu mau kasih kesan sama aku
kalau orang Indonesia itu pencuri?"
Risky terhunjam.
"Maaf! Maaf!" Risky membungkuk
dalam-dalam. "Mulai saat ini, aku enggak bakal ke rumah kamu lagi,
Shigeo-kun!"
Namun, sebagaimana waktu Risky kesengsem
pada cewek di kelasnya, Shigeo dapat membaca ada yang tak biasa.
"Kenapa?" nada Shigeo
menginterogasi.
Takut meninggalkan kesan buruk seperti
yang dituduhkan Shigeo, Risky pun terbata-bata menceritakan pertemuannya dengan
para pemalak SMA, tongkrongan mereka di bawah viaduk, sampai ide Si Kepiting
untuk mencuri manga dan menjualnya ke toko buku bekas. Sejujur-jujurnya,
seterang-terangnya. Shigeo tak menampakkan ekspresi apa pun selama
mendengarkan. "Kamu boleh pulang," begitu saja tanggapannya setuntas
Risky bercerita.
"Maaf!" sekali lagi Risky
membungkuk dalam-dalam, mengerahkan segenap ketulusannya. Shigeo masih dingin.
Begitu pintu rumah Shigeo tertutup,
Risky berjalan gontai ke arah rumahnya sendiri. Ia merutuki diri, menyesali
perbuatannya sembari mengenang segala jasa Shigeo padanya bertahun-tahun ini,
mulai dari membantunya melancarkan bahasa Jepang sampai mengenalkannya pada
berbagai kenakalan kecil yang menggairahkan termasuk petunjuk menyenangkan diri
secara sembunyi-sembunyi tanpa kehadiran cewek. Berkat Shigeo pula, Risky bisa
kerap menumpang makan dan mengetahui masakan Jepang rumahan yang lezat itu
bagaimana--ibu Shigeo jauh lebih pandai memasak daripada Mama. Tanpa Shigeo,
hari-hari Risky di Jepang akan kian temaram. Shigeo lebih daripada sekadar
orang Jepang paling bersahabat yang Risky kenal. Shigeo sudah seperti abang
yang tak pernah Risky miliki sebelumnya.
Tapi, kini apakah balasan Risky?
Ah, bagaimanapun juga, tinggal beberapa
bulan lagi Risky tinggal di Jepang. Ia mesti bisa menahankannya. Terserah lah
para pemalak itu mau berbuat apa lagi saat bertemu dia. Toh tinggal beberapa
bulan lagi.
Beberapa bulan lagi ....
Ia akan melupakan semua ini dan tidak
akan pernah kembali ke negara ini, camkannya berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar