Judul : Cari Aku di Canti
Pengarang : Wa Ode Wulan Ratna
Penerbit : Lingkar Pena Publishing House, 2008
Jika karya yang nyastra diartikan sebagai luapan rangkaian kata yang menjelma indah serta kedalaman budaya manusia—juga butuh untuk membacanya lebih dari sekali agar dapat lebih memahaminya, temukan hal demikian dalam cerpen-cerpen Wa Ode Wulan Ratna. Sebagian cerpen di dalamnya adalah cerpen yang sudah teruji kualitasnya—baik karena juara maupun termuat dalam media sastra macam Horison.
Yang para endorser itu katakan mengenai kumpulan cerpen ini saya setujui. Seolah saya rak punya komentar sendiri saja, saya ingin kutip lagi kata-kata mereka. Narasi yang cantik, kata Maman Mahayana. Indah dan selaras, penuh ungkapan-ungkapan yang baru, kata Hamsad Rangkuti. Demikian pun kata Ratih Kumala: Cara bertutur Wa Ode Wulan Ratna dalam cerpen-cerpennya mengalir lancar. Ia juga cerpenis yang tepat jika ingin mengkhususkan diri unuk mengangkat tema lokal yang kental.
Betapa menakjubkannya seorang perempuan muda yang mampu menyibak kekayaan budaya bangsa dalam media cerpen. Penasaran saya akan proses kreatif yang pengarang alami dalam menggarap setiap cerpennya ini. Setiap cerpen menampilkan kekhasan budaya lokal yang berbeda-beda. Entah bagaimana pengarang dapat menyelami begitu banyak budaya tanpa ada kesan canggung dalam menyajikannya kembali.
Dalam cerpen pertama, La Runduma, kita dikenalkan pada tradisi Buton. Dalam cerpen berikutnya, Cari Aku di Canti, kita dibawa meloncat dari salah satu kaki Sulawesi ke bagian bawah Sumatera—Lampung. Kita diajak kembali ke Buton dalam Bula Malino. Pada cerpen-cerpen berikutnya, kita akan singgah di pedalaman hutan Sumatera, Papua, Borobudur, hingga tak luput jua kota macam Jakarta. Semakin ke akhir, memang semakin memudar unsur lokalitasnya. Namun jalinan kata yang tersaji tetap menarik mata untuk terus membaca.
Mulai Bulan Gendut di Tepi Gangsal, saya kukuh terpikat. Mentang-mentang kuliah di Kehutanan, mulanya saya merasa ini cerpen baik sekali. Cerpen berikutnya, Perempuan Nokturia, memberikan rona yang tak jauh beda. Begitupun dengan Kering. Ketiganya bicara tentang hutan dari sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari masyarakat adat hingga tauke.
Meski demikian, secara ini buku diterbitkan dengan mengusung frasa “Lingkar Pena”, saya dikagetkan dan dirisihkan dengan kerapnya pemunculan kata-kata macam “kelam*in”, “ben*h”, “kenc*ng”—dan lain-lainnya semacam itu. Sampai saya mengira nyaris tak ubahnya pengarang ini dengan pengarang lain yang gemar mengumbar seksualitas.
Tak hanya di ketiga cerpen terakhir yang saya sebutkan, dalam Kembang Sri Gading, Peluru-peluru, maupun Batavius, juga saya temukan seorang lelaki yang begitu mendambanya pada seorang perempuan. Kadang tak luput dari cinta segitiga. Hebatnya, dengan kesamaan hasrat macam demikian, saya merasakan karakter yang berbeda-beda antar masing-masing cerpen.
Lainnya yang buat saya kaget ialah adanya dua cerpen yang mengungkit kultur agama selain Islam, yaitu Kembang Sri Gading dan Corfivollus.
Catatan Harian Hans Mandosir, Meja Gembol, dan Batavius bagi saya merupakan cerpen yang “beda” di antara cerpen-cerpen lainnya. Cerpen yang pertama mengisahkan seorang Hans yang begitu semangat menuntut ilmu dan gemar menulis. Namun sukarnya aksesibiliitas ke daerahnya menjadi penghambatnya dalam menggapai cita. Meja Gembol dituturkan dari sudut pandang seorang ibu-ibu. Meja gembol di rumahnya memiliki daya tarik misterius yang menyebabkan keanehan pada beberapa anggota keluarga. Batavus sendiri membawa saya pada suatu situasi familier dengan sudut pandang tak terduga. Unsur lokal dua cerpen terakhir memang tak sekental cerpen-cerpen lain dan cenderung biasa saja, lokasinya hanya di Pulau Jawa pula, namun mungkin justru karena itulah saya merasa dekat dan dapat lebih menyukainya dibanding cerpen-cerpen lain.
Bagaimanapun juga, senang bisa menemukan kumpulan cerpen nan indah namun merisihkan ini. Jarang saya mendapatkannya, suatu pengalaman yang tak biasa. Kepiawaian pengarang memberi inspirasi untuk terus mengeksplorasi kekayaan bangsa berupa bahasa dan budaya.
terimakasih sudah mengapresiasi, semoga menginspirasi
BalasHapussalam kereatif
-wa ode wulan ratna-