Kamis, 31 Oktober 2019

Biopik Atlet yang Mengharukan bagi Pencinta Lelawasan

Film ini rilis mulai Kamis, 24/10/19. Tapi waktu itu saya ada acara lain. Karena Jumat-Sabtu-Minggu bukan hari nomat, sedangkan Senin-Selasa saya tidak bisa keluar rumah, maka baru Rabu, 30/10/19, saya ada kesempatan untuk menonton. Saya pun mengecek di website Cineplex dan film ini tinggal ada di Ciwalk XXI ...

... nani?

Saya mengecek film-film yang diputar hari itu di TSM XXI--bioskop terdekat dari rumah saya dan bisa dicapai dengan berjalan kaki sehingga saya tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi: benar-benar tidak ada. 

Mungkin di CGV film ini masih ada, apalagi kalau bisa dapat yang di Kings--tinggal sekali naik angkot.

Untuk CGV, film ini tinggal tersedia di Miko Mall dan Paskal Hyper Square. Miko Mall seperti antah berantah kalau buat saya, sedangkan di Paskal Hyper Square film ini baru ada pemutaran sore menjelang magrib--keburu hujan dong.

Apa boleh buat.

Naik sepeda, jaraknya cukup jauh dan menanjak. Cek harga ojol di dua provider: mahal. Saya pun menanyai beberapa orang tentang rute angkot ke Ciwalk, berangkat menjelang pukul 11 dengan estimasi waktu perjalanan kurang dari sejam, dan tertahan oleh kemacetan di sepanjang Jalan Jakarta (katanya sedang ada pembangunan jalan layang baru), sehingga semakin menyurutkan motivasi kerja sopir angkot yang lantas menurunkan para penumpang saya melanjutkan dengan berjalan kaki sampai Jalan Supratman (untung cuaca tidak begitu panas) untuk menyambung dengan angkot rute yang sama, berhenti di perempatan Jalan Katamso-Jalan Pahlawan-Jalan Surapati, naik angkot rute berikutnya, yang di perempatan Dipati Ukur-Dago sengaja melewatkan dua kali lampu merah dengan mengetem lebih lama ....

Saat itu sudah lewat pukul 12, sedang pemutaran pukul 12.30.

Memasuki Jalan Ciumbuleuit saya sudah pasrah kalau-kalau mesti menunggu beberapa jam lagi demi pemutaran berikutnya yang baru ada pukul 16.50.

Tadinya saya mengira--seperti pengalaman-pengalaman saya sebelumnya ketika naik angkot ke Ciwalk--angkot tidak akan melewati Jalan Cihampelas tapi Jalan Cipaganti sehingga saya akan turun di depan masjid dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Tapi rupanya--sepertinya--teman yang menginstruksikan saya agar HANYA menaiki angkot rute ini, menghendaki supaya saya bisa langsung berhenti di depan Ciwalk tanpa mesti berjalan kaki beberapa menit dulu. Sebelum angkot berbelok menuju Jalan Cipaganti (karena ketika ditanya sopir tadinya saya menjawab tujuan saya masjid), saya pun minta berhenti. Saat itu pukul 12.28. 

Ke-grasa-grusu-an saya tertangkap oleh si aki-aki sopir angkot, yang lantas menyuruh saya supaya selow (dengan bahasanya sendiri, tentu saja), karena saya menjatuhkan receh kembalian yang ia ulurkan.

Saya setengah berlari ke XXI.

Pukul 12.32, saya tertahan di depan tiga orang yang membayar menggunakan kartu dan itu agak lama. Selain itu, rupanya cici-cici yang saya susul di eskalator tadi hendak menonton film yang sama. Kok dia bisa selow begitu, ya.

Akhirnya saya pun mendapatkan giliran. Bangku E8.

Setengah berlari lagi saya mencari Teater 6.

Layar sudah menampilkan gambar bergerak, yang untungnya masih parade iklan. 

Saya mengempaskan diri di E8. Beberapa bangku di kanan saya kosong (kenapa sih rombongan itu sengaja memilih tempat di pinggir, memangnya enak menonton dengan pandangan ke samping?), sedangkan di kiri saya adalah jalan. 

Baris E terasa begitu pas, tidak terlalu bawah dan tidak terlalu atas, dan saya tidak bisa memilih bangku yang lebih tengah lagi.

Ketar-ketir saya selama perjalanan tadi seperti yang terbayarkan.

(Lucu juga menyadari bahwa mentang-mentang saya mau menonton film menyangkut dunia olahraga, semesta mengondisikan saya untuk "berolahraga" dulu dalam perjalanan ke bioskop!)

Gambar dari IMDb.
Jadi, kenapa saya ingin menonton film ini? Selain karena setiap orang perlu refreshing (--jawaban diplomatis--), seperti yang sudah saya cetuskan sebelumnya, saya penasaran dengan bagaimana latar masa lalu ditampilkan. Dalam film ini, latarnya Tasikmalaya (yang apakah benar-benar di Tasikmalaya?) dan pastinya ibukota negara kita--Jakarta--pada era '80-'90-an. Saya senang saja melihat gambar bergerak dalam nuansa sepia, lagu "Heli Guk Guk Guk" dinyanyikan di panggung tujuh belasan, ciput renda khas ibu-ibu kasidahan masa itu, bagian bawah baju yang dimasukkan ke celana, hingga model celana pendek dengan lekukan di bagian pinggir paha. 

Entah kenapa, saya suka yang lawas-lawas.
Itu sajian utama yang saya cari; ceritanya sendiri hanya bonus.

Tapi, paling tidak, film ini berhasil membangkitkan keharuan saya hingga meneteskan air mata. Yang pertama--sudah sedari bagian awal--yaitu adegan-adegan antara Susi remaja dan ayahnya (yang jadi mengingatkan saya pada hubungan dengan ayah sendiri). Yang kedua, yaitu ketika Susi menjadi juara Olimpiade Barcelona dan lagu kebangsaan Indonesia dikumandangkan. (Ya ampun, ternyata aku masih nasionalis.) Karena, biasanya, dalam acara-acara tertentu, adakalanya peserta diminta menyanyikan lagu "Indonesia Raya" bersama-sama, dan perasaan saya biasa saja malah terganggu oleh suara saya sendiri yang biarpun pelan tetap saja terdengar sumbang. Dalam kesempatan kali ini, saya tergugah mungkin karena sebelumnya disuguhi adegan pertandingan bulu tangkis. Acara pertandingan begitu, kalau diperhatikan secara sungguh-sungguh dengan harapan besar akan kemenangan yang dijagokan, memang bisa bikin geregetan sih.

Pembacaan buku tentang pelatihan atlet (setahun lalu di perpustakaan provinsi) sepertinya membantu dalam menghayati ketegangan tokoh dalam menghadapi pertandingan. Saya jadi paham bahwa atlet itu ibarat artis--sama-sama performer. Kalau artis di panggung, atlet di lapangan. Dalam satu kesempatan, ditonton oleh banyak orang yang berharap, mereka mesti dapat menampilkan yang terbaik. Karena itu, mereka sama-sama butuh banyak latihan.

Selain itu, juga ada nasihat-nasihat bagus agar tidak melihat perjuangan dihargai semata oleh medali atau semacamnya. (Maksudnya, medali di sini hanya simbol dari pencapaian, yang dalam kehidupan orang-orang bukan-atlet dapat berbentuk lain yang sama materialistisnya.) Karena toh ada banyak pahlawan lain dalam kehidupan ini--secara luas--yang tidak pernah mendapatkan "medali". Termasuk dalam kehidupan pernikahan--khususnya bagi perempuan tipe pejuang lagi kompetitif--dalam berhubungan dengan anggota keluarga, adakalanya mesti mengalah. 

Bagaimana soal muatan politisnya? Hm, enggak ngerti tuh.

Tapi, ada juga beberapa hal yang saya rasakan janggal. 

Pertama: 

Film ini kurang lebih mencakup dua dekade, yaitu '80-an dan '90-an. Dalam dua dekade itu, yang berubah wujud hanya Susi dan Rudy (kakak Susi) ketika remaja, sedangkan tokoh-tokoh dewasa, semisal ayah-ibu Susi dan Rudy serta pelatih Tong dan Chiu Sia tampak begitu-begitu saja. Maksudnya, mestinya dalam sekitar dua dekade itu, orang seusia mereka sepertinya bakal mengalami tanda-tanda penuaan yang cukup kentara--katakanlah bertambahnya uban dan keriput.

Kedua:

Susi itu orang Tasikmalaya yang otomatis berlogat Sunda. Paling enggak, tokoh-tokoh lainnya seperti Sarwendah dan Alan konsisten dengan medok Jawa. Logat Sunda pada Susi ini memang terasa pada Laura Basuki, sebagai pemeran dewasanya, sesekali. Selebihnya--mungkin ini hanya kesoktahuan saya saja sebagai warga yang lahir dan besar di Kota Bandung tapi enggak fasih berbahasa Sunda yang dengan begitu menjustifikasi bahwa telinga saya sudah terbiasa dengan lenggok khas Sunda--cara bicaranya masih berkesan ibukota-ish jaman now begitulah. (Kesan ini sudah saya dapatkan sejak melihat trailer-nya). Apalagi untuk Susi remaja, yang herannya, setelah saya cek, sebenarnya bersekolah SMP dan SMA di Bandung serta pernah bermain di film Dilan 1990 yang juga berlokasi di Bandung. Bukan berarti saya tahu benar cara bicara yang sebenarnya pada masa itu, cuma, janggal saja sih.

Ketiga:

Dari dialog, saya mengetahui bahwa Susi berkarakter ambisius dan kompetitif. Dari dialog. Emosi itu memang cukup terasa pada Susi remaja (yang kalau melihat foto-foto pemerannya di dunia nyata, sepertinya agak tomboi? #soktahu). Tapi, pada Susi dewasa, pembawaannya agak lemah gimana gitu--maksudnya kesan perempuan strong itu enggak begitu saya rasakan selain yang saya ketahui dari dialog. Saya enggak tahu sih bagaimana pembawaan Ibu Susi yang asli, jadi apologi saya, ya, saya hanya berbagi kesan yang pada dasarnya subjektivitas belaka.

Ada yang menyemangati atau enggak, rajin berolahraga itu perlu!
Gambar dari artikel Popbela.
Jumlah penonton tidak sesedikit yang saya kira, malah wajar untuk hari nomat pemutaran tengah hari. Keluar dari Teater, ada yang mencegat para penonton untuk meminta sobekan tiket. Katanya sih untuk survei. Kalau tidak salah ingat, sepertinya ada juga yang mencegat untuk mewawancarai, dan menerangkan entah apa lagi. Untung untuk yang belakangan ini saya tidak kena ....

Keluar dari Ciwalk, naik angkot untuk pulang, hendak lepas dari Jalan Cihampelas, saya melihat trailer film ini ditayangkan di ... itu lo, TV gede yang biasanya ada di perempatan. Biarpun tidak sampai seminggu tinggal tiga bioskop saja yang menayangkannya di Bandung (bandingkan dengan Bebas, yang sampai hari ini--berminggu-minggu setelah premier--masih ada di TSM), film ini terus berusaha mencari penonton.

BONUS

Olahraga, '80-an; seandainya ini film Jepang, tentu "Sportsman" dari Haruomi Hosono pantas untuk dijadikan soundtrack

I'm worrying everyday/ I could be anorexic/ I'll have to get into shape/ Can't seem to find the right charge/ Your mother she might be a swimmer/ Your father must have been a vaulter 
Don't put me in skates/ Ping-pong I'm no great shakes/ People say I'm weak/ Can't even hold her tight/ You're the star of the poolside/ Your streamline curves I can't ablde 
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man 
I'm not sleeping these days/ Maybe insomniac/ Quench my thirst-Flesh and Blood/ I've got this craving for you/ Your brother they call him Batman/ Your sister we know she's wonder woman 
I'm seeing sundays/ I could be apoplectic/ The whole family gets in shape/ Under the floodlights/ People tell me I'm not strong/ I can't seem to find the right charge 
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man 
I'll be a good sport/ Be a good sport/ I'll be a sports man  
(Lirik dibagikan oleh akun 呪いのクリオネ.)

Senin, 28 Oktober 2019

Lagu Peduli Gelandangan

Di komputer rumah sewaktu saya SMP ada satu folder khusus musik, terdiri dari banyak folder yang isinya entahkah album atau kompilasi lagu-lagu sejenis. Salah satu folder itu berisikan musik yang saya kira dari jenis R&B dan hiphop. Itu bukan jenis musik kesukaan saya. Tapi kadang-kadang saya mendengar musik begitu--termasuk yang lawas-lawas--diputar di radio. Kalau enggak salah di radio Ardan, 105.9 FM Bandung, waktu itu ada segmen khusus musik tersebut sore-sore. Dari situ saya tahu bahwa musik begitu ada peminatnya sendiri, dan saya bukan di antaranya.

Saya baru bisa mengapresiasi folder itu belakangan, awalnya hanya lagu-lagu yang eye-catchy dari era '90-an seperti "Have Fun, Go Mad" (Blair), "Cantaloop (Flip Fantasia)" (US3), "Attenti al Lupo" (Lucio Dalla), "Perdono" (Tiziano Ferro), hingga "Sex Bomb" (Tom Jones). (Yah, memang mungkin enggak semuanya tergolong R&B dan hiphop; enggak tahu juga kenapa ditaruh di folder itu.) Lama-kelamaan saya mulai berpikiran bahwa mendengar folder itu secara keseluruhan rasanya kok bikin segar, entah kenapa, mungkin karena beat-nya. Baru belakangan, ketika timbul keinginan untuk memutar isi folder ini secara acak di Winamp, saya menemukan lagu-lagu "baru" yang ternyata asyik juga. Cari di Youtube, setel, Auto Play, lantas dihadirkanlah "Mr. Wendal" Arrested Development ke pendengaran saya. Eh, kayak yang pernah denger. Selain--mungkin--pernah diputar di radio dulu, lagu ini memang ada di folder itu.


Arrested Development sendiri saya kenal sejak SMP, lewat lagunya, "Honeymoon Day", yang pada waktu itu sering diputar di radio (dan menerbitkan rasa penasaran cowok-cowok). Selain yang itu, saya tidak tahu lagunya yang lain dan tidak berminat menelusurinya.

Yang menempel di ingatan dari "Mr. Wendal" sebenarnya cuma bagian "he-he-he-he"-nya. Lagu ini hampir seluruhnya terdiri dari rap sehingga kurang kena di telinga saya. Saya tidak bisa serta-merta menangkap ini lagu tentang apa, "Mr. Wendal" itu siapa, saya enggak peduli.

Lantas, kemarin, ketika "he-he-he-he" itu mengiang di benak, saya iseng mencarinya di Youtube, mendengarkannya sembari men-scroll komentar (yang biasanya membandingkan kualitas lagu antara masa itu dan masa sekarang--lagu ini rilis pada 1992, omong-omong), dan menemukan liriknya yang ternyata ... wah.

Berikut saya copas-kan lirik yang saya temukan, yang dibagikan oleh akun Dezmo59,
Here, have a dollar,/ in fact, no brother-man here, have two/ Two dollars means a snack for me,/ but it means a big deal to you/ "Be strong, serve God only,/ know that if you do, beautiful heaven awaits"/ That's the poem I wrote for the first time/ I saw a man with no clothes, no money, no plate/ Mr. Wendal, that's his name,/ no one ever knew his name cause he's a no-one/ Never thought twice about spending on a ol' bum,/ until I had the chance to really get to know one/ Now that I know him, to give him money isn't charity/ He gives me some knowledge,/ I buy him some shoes/ And to think blacks spend all that money on big colleges,/ most of y'all come out confused 
[CHORUS:] Go ahead, Mr.Wendal (2x) 
Mr.Wendal has freedom,/ a free that you and I think is dumb/ Free to be without the worries of a quick to diss society/ for Mr.Wendal's a bum/ His only worries are sickness/ and an occasional harassment by the police and their chase/ Uncivilized we call him,/ but I just saw him/ eat off the food we waste/ Civilization, are we really civilized, yes or no?/ Who are we to judge?/ When thousands of innocent men could be brutally enslaved/ and killed over a racist grudge/ Mr. Wendal has tried to warn us about our ways/ but we don't hear him talk/ Is it his fault when we've gone too far,/ and we got too far, cause on him we walk 
Mr.Wendal, a man, a human in flesh,/ but not by law/ I feed you dignity to stand with pride,/ realize that all in all you stand tall
Saya membaca lirik tersebut sembari mendengarkan lagunya, seakan-akan untuk mengecek apakah memang seperti yang tertera. Dan, ternyata iya. (Ya, iyalah.)

Memang isu homelessness jadi perhatian saya akhir-akhir ini. Kita tahu, generasi kiwari semakin susah punya rumah. Memang kekhawatiran "jadi-gelandangan" sepertinya belum melanda anak-anak muda di Indonesia, yang di samping karena sifat optimistis--keyakinan pada Tuhan YME yang membudaya bahwa ketakwaan akan membawa solusi bagi setiap permasalahan--juga hubungan kekeluargaan di sini masih rada erat dibandingkan dengan di negara-negara tertentu. Maksudnya, masak tega membiarkan saudara jadi gelandangan? Ditampunglah, walaupun diam-diam dipisuhi.

Tapi, di negara individualis seperti Amerika Serikat, tampaknya gelandangan membeludak. Paling tidak, itu kesan yang saya dapatkan dari menonton video-video di Youtube. Ada channel yang khusus menyoroti masalah ini, dengan menampilkan video-video wawancara terhadap para gelandangan di berbagai daerah di Amerika Serikat (walau sesekali ada juga di negara Barat lain seperti Inggris), yaitu Invisible People. Di channel-channel lain, bisa kita temukan juga video tentang gelandangan di Inggris, Jepang, Jerman, dan mana pun lagi.
"The song is not based on a person named Mr. Wendal at all, but it is based on some experiences that I have had in Atlanta, which is where I live, and sung to the homeless people that I had become friends with here, and just their way of looking at it. Some of them were more like hobos where they purposely were wanting to be homeless, they didn't want to play to the way society was going, and they just decided to go off another beaten path. Others were hungry, had a run of bad luck, and just couldn't survive with the competition of the real world. So they were out there. One of the people that I look to the most as the real Mr. Wendal, to me, died the year that that song came out. So he never got to hear the song and the tribute to him. We gave half of the proceeds of that song to the National Coalition For the Homeless in the United States, because of how closely all of us felt to the cause of the homeless, and the fact that everybody, whether they're homeless or not, there's some times in all of our lives when we need some help, we need a boost." (Kutipan wawancara dengan Speech, vokalis utama Arrested Development yang menulis lagu ini, diambil dari Songfacts.)
Saya pikir, lirik lagu ini memang patut untuk dijadikan bahan renungan. Paling tidak, untuk mengingatkan pada kesombongan kita, yang boleh jadi menganggap rendah gelandangan--menyematkan prasangka bahwa mereka hanyalah orang-orang yang malas bekerja, dan seterusnya. (Beberapa orang bilang "sombong" itu berarti merendahkan orang lain.) Walaupun tidak dikatakan, sepertinya ada baiknya kita menghapuskan perasaan itu sama sekali dari hati kita. Seperti yang dianjurkan dalam lirik lagu ini, ada baiknya kita mulai mengangkat harkat mereka. Siapa tahu, biarpun amit-amit, kelak kita yang ada di posisi mereka. Malah, kalau boleh utak-atik gathuk, "Wendal" itu bunyinya dekat dengan "we all" (#maksa).

Sabtu, 26 Oktober 2019

Seminar tentang Gaya Hidup di Indonesia pada Masa Revolusi dan Kini: dari Kuliner hingga Teknologi Komunikasi

Baru-baru ini, Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Padjajaran mengadakan History Days 2019. Acara yang diadakan meliputi lomba karya tulis ilmiah, bedah buku tentang Tan Tjeng Bok, seminar nasional "Gaya Hidup pada Masa Revolusi Indonesia (1945-1949)", serta lomba photo story. Mereka menggunakan tema: "Citra Diri: Gaya Hidup Masa Lalu sebagai Identitas Masa Depan". Tujuannya agar generasi milenial peka terhadap perkembangan gaya hidup sehingga mencintai tanah air(?). Jargonnya: Without history, there is no memory.

Saya berkesempatan untuk mengikuti acara seminar nasional pada Kamis, 24 Oktober 2019. Acara yang mestinya dimulai pada 12.30 WIB ini baru dimulai pada sekitar pukul satu seperempat. Pada waktu itu, jumlah peserta sudah lumayan banyak, yang tidak hanya terdiri dari mahasiswa/i Sejarah Unpad, tapi hadir pula mahasiswa dari Unair Surabaya, bapak-bapak, dan mbak-mbak.


Pembicara pertama adalah Fadly Rahman, M.A., penulis buku Rijsttafel (diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama). Di samping dosen prodi Sejarah Unpad, beliau juga pernah mengikuti Program Residensi Penulis Indonesia dari Komite Buku Nasional di Belanda. Bisa dibilang, beliau ini "sejarawan kuliner". Pemaparannya dibuka dengan mengungkapkan eksistensi manusia melalui aktivitas makan serta definisi "kuliner Indonesia". 

Ada ribuan jumlah makanan yang dapat digolongkan sebagai kuliner Indonesia. Namun rupanya banyak di antara makanan itu yang berasal dari kebudayaan asing. Contohnya: tahu dari Cina, kari dari India, sop dari Belanda, dan seterusnya. Jadi kuliner Indonesia terdiri dari rupa-rupa masakan daerah, Eropa, Tionghoa, India, dan Arab. Sebelum kemerdekaan, ada istilah "Indische keukeun" untuk menyebut aneka masakan dari tradisi Belanda, Cina, dan nusantara.

Setelah kemerdekaan, pengaruh asing dalam tradisi masak-memasak tidak bisa disingkirkan begitu saja. Meniru perempuan-perempuan Eropa pada masa kolonial, para wanita Indonesia pun suka berkumpul dalam acara demonstrasi memasak. Dalam upaya memodifikasi pengaruh asing agar sesuai dengan selera Indonesia, terbit berbagai buku masak. Misalnya, Boekoe Masak-masakan karya Chailan Sjamsu yang terbit pada 1948 juga Masakan djeung Amis-amis (dalam bahasa Sunda) yang cetakan keempatnya terbit pada 1951--keduanya oleh Balai Pustaka. Presiden Soekarno pada sekitar waktu itu (1960) pula mencetuskan gagasan untuk menerbitkan buku masak nasional, yang akhirnya terbit pada 1967 dengan judul Mustika Rasa.

Pembicara kedua yaitu Dr. R. M. Mulyadi, M.Hum., yang juga dosen prodi Sejarah Unpad. Beliau membuka dengan menjelaskan mengenai definisi "gaya hidup" (lifestyle) itu sendiri, yang rupanya mesti dibedakan dengan cara hidup sehari-hari (daily life). Gaya hidup merupakan pilihan dalam menghabiskan uang, mengisi waktu luang, dan sebagainya, yang berbeda-beda antarkelas sosial, meliputi aktivitas, minat, dan opini. Bisa dibilang, lifestyle berlaku pada orang yang taraf hidupnya sudah nyaman sehingga memungkinkan dia untuk memiliki pilihan. Adapun daily life merupakan keseharian yang dijalani karena tidak ada pilihan lain.

Beliau memberikan gambaran akan kehidupan pada masa revolusi dulu (1945-1949). Betapa, dalam suasana pengungsian, anggota Persib tetap berlatih, anak-anak tetap bermain bola. Betapa orang-orang Belanda tidak mungkin turun ke jalan, atau akan diarak dan ditembaki sebagai wujud balas dendam karena dulu tentara mereka pun suka menghabisi bumiputra seenaknya.

Pembicara ketiga, Dani Akhyar, yang Head of Community Development PT Smartfren Telecom Tbk, walaupun tidak berlatar belakang pendidikan Sejarah (tapi ITB), dengan cerdiknya mengaitkan antara tema seminar dan produk teknologi yang ditawarkannya. Beliau menunjukkan betapa pemuda masa lalu berevolusi dengan menegakkan bendera merah putih adapun masa sekarang dengan mengangkat tongsis, tahap-tahap revolusi industri, hingga bagaimana gaya hidup generasi sekarang menyangkut pilihan aktivitas dengan smartphone-nya: mau browsinggaming, shopping, streaming, atau ...?

Pak Dani sedang menjelaskan bedanya cara revolusi pemuda dulu dan sekarang.
Sesi tanya jawab dibuka dua kali, masing-masing memberikan kesempatan pada dua penanya.

Dalam sesi tanya jawab pertama, pertanyaannya mengenai hal sebagai berikut.
  1. Sikap masyarakat pada zaman revolusi terhadap kalangan yang mengikuti budaya Barat--mengingat orang kita punya budaya "nyinyir"
  2. Resep asli Indonesia
Jawaban untuk pertanyaan pertama: Memang ada pertentangan-pertentangan budaya semacam itu. Ada kalangan nasionalis radikal yang mencibir kaum bumiputra yang keeropa-eropaan. Pada masa revolusi, kalangan nasionalis radikal ini melakukan sweeping terhadap kaum elite tersebut. Bangunan-bangunan bergaya Barat pun pada dihancurkan. Di Minang, makan roti saja dianggap kafir. Menariknya, orang Minang sendiri disebut kafir oleh orang Aceh sebab mereka yang pertama-tama menerima pendidikan Barat. Selain itu, ada banyak tokoh nasional yang beristrikan orang Barat. Sebut saja Sutan Sjahrir dan dr. Cipto Mangunkusumo.

Jawaban untuk pertanyaan kedua: Di antara resep asli yang terus bertahan adalah lalap--entahkah kukus atau mentah. Lalap sudah disebut-sebut dalam prasasti dari abad 8-10 M. Di samping itu, ada juga ayam koneng, ayam ungkep, pecel, rawon, rambak, dawet, dan seterusnya. 

Soal dalam sesi tanya kedua: 
  1. Semakin cepatnya perkembangan teknologi
  2. Kuliner Indonesia sebagai tanggapan masyarakat akan sulitnya pangan pada masa itu, serta cara mengisi waktu luang secara produktif
Penanya pertama dijawab oleh Pak Dani, yang menerangkan tentang sejarah perkembangan teknologi mulai dari mesin uap, penemuan semikonduktor, hingga smartphone zaman sekarang yang upgrade tiap beberapa bulan sekali.

Pertanyaan pertama dari penanya kedua dijawab dengan penjelasan bahwa nasionalisasi pengaruh asing dalam kuliner bukan hanya pada perubahan nama, melainkan juga mencakup penggunaan bahan lokal. Misalnya saja, terigu diganti dengan tepung dari beras, sagu, singkong, atau sorgum--yang tumbuh di Indonesia--agar tidak bergantung pada impor. Pada masa itu juga ada gagasan perbaikan gizi masyarakat dari I. J. Kasimo, dengan meningkatkan konsumsi produk hewani serta domestikasi hewan ternak. Sudah disadari pula betapa konsumtifnya masyarakat akan beras. 

Pertanyaan kedua dijawab lagi oleh Pak Dani yang--menariknya--mengatakan bahwa caranya untuk mengisi waktu luang secara produktif adalah dengan joging atau renang. Enggak main smartphone, Pak?

Seusai acara, saya dan teman membahas tentang acara tadi. Kami berpikir bahwa semestinya Pak Mulyadi yang menjadi pembicara pertama, agar terlebih dulu menerangkan tentang pengertian gaya hidup dan seterusnya. Baru kemudian Pak Fadly yang tampil, mengangkat kuliner sebagai sampel dari gaya hidup. Adapun Pak Dani memang apik sebagai penutup, seolah-olah menonjolkan betapa gaya hidup masyarakat zaman sekarang cenderung berpusat pada smartphone saja--sehubungan dengan produk yang diangkatnya. 

Juga disayangkan acara ngaret sampai lebih dari satu jam, padahal dalam durasi waktu tersebut tentu ada banyak hal lain yang bisa disampaikan.

Jumat, 25 Oktober 2019

[#90anBanget] Rezeki Nomplok Telepon Umum

MASYARAKAT pemakai telepon umum secara tidak sadar telah menyubsidi PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Hal ini diketahui dari jumlah pulsa telepon umum dibandingkan dengan jumlah koin yang masuk.

Tahun 1992 Telkom menghitung penerimaan dari sektor telepon umum sebanyak Rp 52,4 miliar, sedangkan pulsa yang digunakan hanya 641,7 juta. Jika tarif satu pulsa adalah Rp 50, penjualan pulsa lewat telepon umum mestinya sekitar Rp 32 miliar.

Lalu kelebihan Rp 20 miliar itu dari mana? Menurut juru bicara Telkom, Doddy Amarudien, uang kelebihan itu berasal dari ketidaktahuan masyarakat konsumen.

Menurut Doddy, kebanyakan orang diperkirakan bicara 1 pulsa. Kalau dia membayar Rp 100, mestinya dia mendapat uang kembalian Rp 50. Sialnya, Telkom belum mempunyai alat pembayar uang kembalian. Namun, orang bisa menggunakan telepon lagi untuk 1 pulsa dengan memutar nomor lain tanpa perlu memasukkan koin baru. "Sisa 1 pulsa ini yang umumnya tidak digunakan," kata Doddy.

Jumlah telepon umum di Indonesia sampai Juli 1993 sudah terpasang 45.840 buah dengan rincian 39.073 untuk koin dan 6.767 untuk kartu. Menurut Doddy, penggunaan kartu untuk telepon umum akan diperbanyak. Selain lebih aman dibandingkan dengan telepon koin, kartu telepon menggunakan kredit masyarakat untuk Telkom (orang bayar sebelum pakai). Penjualan kartu telepon tahun 1992 ternyata menghasilkan Rp 28,6 miliar--cukup tinggi juga. 

Penghasilan Telkom secara keseluruhan tahun lalu tercatat Rp 2,4 triliun, sekitar Rp 1,8 triliun berasal dari para pelanggan telepon, sedangkan laba BUMN yang masih memonopoli jasa telepon ini, Rp 195 miliar.



Sumber: Tempo, No. 31 Tahun XXIII - 2 Oktober 1993



Nih, kalau kamu lupa bahkan tidak tahu
seperti apa wujud rupa dan bentuk telepon umum.
Gambar dari artikel Bobo.id, "Apa Kabar Telepon Umum Kita?".



Bukan Hanya dari Telepon Umum

Ada yang perlu kami jelaskan sehubungan dengan tulisan "Rezeki Nomplok Telepon Umum" (TEMPO, 2 Oktober, Bisnis Sepekan). Bahwa pendapatan sebesar Rp 52,4 miliar itu bukan hanya berasal dari pulsa telepon umum koin, tapi juga berasal dari telepon lokal sebesar Rp 20,76 miliar.

Demikian agar maklum.

D. AMARUDIEN
General Manager Purel Telkom
Jalan Cisanggarung 2, Bandung 40115

*) Terima kasih atas penjelasan Anda. -- Red.



Sumber: Tempo, No. 32 Tahun XXIII - 9 Oktober 1993

Selasa, 22 Oktober 2019

Bukan Sekadar Pameran Aurat, Melainkan Pemahaman Ekonomi

Buat cowok-cowok, trailer film ini mestilah sangat mengundang. Enggak heran pada siang itu, di Ciwalk XXI, saya melihat ada beberapa cowok yang datang sendirian--sementara penonton lain paling tidak datang berdua. Yang mengherankan, ada beberapa orang yang tampaknya satu keluarga: ayah, ibu, dan anak lelaki yang sudah remaja--ibunya berjilbab panjang pula. Menonton bersama kekasih pun sebenarnya berpotensi bikin risi. Adapun saya datang karena diajak teman yang lagi perlu hiburan setelah mengalami suatu peristiwa enggak mengenakkan menyangkut kewanitaan.

Gambar dari Geek.com.
Bagaimanapun juga, film ini lebih daripada sekadar pameran aurat. Lagian, kita punya Lembaga Sensor Indonesia. Jadi, sudah mah dilabeli "untuk 21 tahun ke atas", ada beberapa bagian yang disensor pula. Sebagian penonton mungkin kecewa, buat saya sih hore alhamdulillah. Fu fu fu.

Saya tidak begitu merekomendasikan film ini. Ketimbang adegan-adegannya yang sexy, lebih karena saya mendapati penonton cewek di kanan-kiri saya pada ketiduran. Maksud saya, film ini mungkin enggak rame amat. Pemandangan-pemandangannya yang seronok pun sepertinya enggak dimaksudkan untuk menjadikan film ini semiporno atau semacamnya, tapi sekadar menampilkan keadaan dalam dunia yang diceritakan demikianlah adanya.

Misalnya saja, ada adegan ketika para penari erotis ini saling curhat di ruang dandan. Walau tugasnya merangsang pria-pria untuk menghamburkan duitnya secara sensual, bukan berarti mereka gila seks. Mereka pekerja biasa yang banting bodi tulang enam hari seminggu, dengan upah yang dipotong sana-sini, dan pulang-pulang dalam keadaan tak bertenaga.

Bagaimanapun juga, ada bagian menyentuh serta pelajaran yang saya dapatkan dari film ini.

Awas bocoran.

Jalan cerita film ini secara cukup mendetail bisa dibaca di Wikipedia. Singkatnya, film ini bercerita tentang sekelompok penari-tiang/penghibur-malam/semacamnya yang memperdayai lelaki-lelaki kaya untuk mencari nafkah. Tokoh sentralnya sebut saja Dorothy dan Ramona. Masing-masing adalah keturunan Asia dan Latin, yang di Amerika Serikat sana--latar cerita ini--bisa dibilang merupakan minoritas atau ras yang terpinggirkan. Bukan hanya itu, mereka juga sama-sama ibu tunggal dari satu anak perempuan. Ramona merupakan ketua kelompok ini, sedang Dorothy--katakanlah--wakilnya.

"Keibuan adalah gangguan jiwa," begitulah kata Ramona berkali-kali. Maksudnya, mungkin, kalau sudah menjadi ibu, perempuan bisa melakukan apa saja agar ia dan anaknya dapat bertahan hidup. Ucapannya itu seolah-olah untuk menjustifikasi gagasannya mengerjai pria-pria pencari hiburan dengan cara berisiko. Yang menarik adalah, bertentangan dengan slogan tersebut, diceritakan bahwa ibu Dorothy justru kabur setelah menitipkan anaknya di tempat sang kakek-nenek. Mungkin ibu Dorothy hanya berusaha untuk menghindari "gangguan jiwa". Untung Dorothy tidak hendak meniru ibunya dan mau berbuat apa saja demi putrinya, termasuk menyerah kepada polisi.

Bagian yang menyentuh saya dalam film ini, yang mungkin bisa dikatakan sebagai titik balik ke babak selanjutnya, adalah ketika kelompok usaha mikro (?) mereka mulai keterlaluan. Mereka tidak hanya menyasar pria-pria kaya yang busuk, tapi juga pria baik-baik bernasib nahas--sebut saja Doug. Doug baru saja ditimpa kemalangan bertubi-tubi: rumahnya terbakar, bercerai dengan istri dan putra satu-satunya .... Kelompok mereka mendekati Doug, mengambil uang perusahaannya, dan meninggalkan dia begitu saja. Dorothy menjadi tidak tega ketika dengan memelas Doug menelepon dia. Tapi rupanya Ramona tidak berbelas kasih.

Saya menangkap bahwa film ini adalah perjuangan tentang orang-orang kecil yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka hanya ingin bisa bertahan hidup tanpa bergantung kepada orang lain. Tapi ketika orang kecil mulai saling memakan, merugikan sesamanya, perjuangan itu tidak lagi manusiawi. Tidak ada lagi simpati. Mereka yang masih punya hati nurani akan terguncang. Saya kira itulah yang dirasakan Dorothy dengan Doug. Ramona, yang pada awalnya seperti punya tujuan baik untuk memberdayakan sesamanya, menjadi rakus dan tak pandang bulu. Kepercayaan Dorothy pada Ramona pun runtuh.

Ramona punya pembelaan, tentu saja. Dia bilang, dunia ini pada umumnya tak ubahnya seperti kehidupan di klub telanjang yang mereka lakoni itu. Mereka memberi kesenangan kepada pria-pria, mempermainkan nafsu mereka, dan sebagai imbalannya mereka dapat mengambil sebanyak-banyaknya dari para lelaki itu. Ini sekadar soal "give" and "take"; begitulah dunia berjalan.

Kalau boleh mengembangkan perumpamaan yang diutarakan Ramona tersebut, jangan-jangan itu merupakan sindiran terhadap laku konsumtif manusia pada umumnya. Kita tak ubahnya pria-pria korban nafsu itu, yang dilenakan oleh bujuk rayu keindahan media, iklan, pinjaman online, dan sebagainya, sehingga rela menukarkan yang kita punya dengan berbagai tawaran itu tanpa peduli jumlah yang kita keluarkan. 

Dan, seperti para pria korban The Hustlers, harga diri menahan kita dari mengaku dan mengadu. Lagian kita tak punya bukti selain aib yang kita sadari sendiri, yang tak mungkin kita paparkan kepada orang-orang lain malah sebisa mungkin kita tutupi. Mungkin, hanya orang-orang seperti Doug--yang sudah tidak punya apa-apa, tidak tahu mesti berbuat apa lagi, terdorong oleh keputusasaan--yang dapat menyuarakan persoalan ini kendati pada awalnya berkali-kali diabaikan.

Hal lain yang menyentil adalah diulang-ulangnya dialog tentang keinginan Dorothy dan Ramona untuk menjadi mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Padahal cerita film ini menunjukkan betapa untuk mencapai tujuan tersebut mereka saling menunjang baik secara emosional maupun finansial. Mereka menjadi saling terikat sehingga menganggap satu sama lain sebagai saudari. 

Menurut saya, ini pesan bagus untuk mempertanyakan arti "kemandirian" itu sendiri. Rupanya, untuk menjadi "mandiri" sekalipun, kita perlu bahu-membahu.

Sabtu, 19 Oktober 2019

Diary of Childhood Memories (October 14-18, 2019)

Monday, October 14, 2019

Feeling embarrassed by things I used to like

What did I use to like?

I don't like the feeling of embarrassment itself. I like to just forget about that.

Well, now I remember that I liked writing diary, since my cousin gave me one as my 9th birthday present, I mean, that was my first diary. And wrote it one page each day. I didn't know that it could be addictive.

But then my friends found out that I had diaries. They tried to read them when they came to my house. I was so embarrassed that I threw my diaries to the roof. I don't remember how I saved them afterwards, or I just let them disappear for ever. What I know for sure is that I don't have them anymore and it's a shame: I lose some of my history.

That didn't make me quit writing diary, though. It's sort of a basic need for me. Just as I eat then I need to defecate; I gather experiences from anywhere then I need to write them down though not all.

I also felt embarrassed for all the bad emotions and negative thoughts I've ever had. Though I can't help those, like to have such things is indeed my default.

Tuesday, October 15, 2019

Wishing to return to moments from my past

Yes, I do. I did some things so bad that I won't tell about them here. I wasn't even big enough. I think those were just impulsive actions any kid might do. Nevertheless, those are sins and I was not supposed to do them.

Besides that, there were decisions. Concerning this, even if I could go back to the past, I don't think I would change much. I have a feeling that things were just going to be the same eventually because I would be just what I am. I don't like to think much of this.

Anyway, going back to the past is impossible. No need to even think about that, just a waste of time. I don't want to live life with regrets. I might do a lot of mistakes, I always do. But, mistakes are there for us to learn, aren't they? And we have a right to choose what mistakes we would learn.

Now, I want to just live the present, make the best of my current time.

Wednesday, October 16, 2019

A toy I wanted as a child but never got

There was, but I got that by doing something I won't like to tell anyone. I wanted it more, but I knew that was actually wrong, so I didn't do it any more. And I don't remember why I didn't just tell my parents that I wanted that sort of toy. Maybe I was reluctant. Maybe I already had too many toys, so I didn't deserve to ask more. That's something I don't like to talk about more.

Speaking of toy, I had various kinds of toy: dolls, wooden blocks, musical instruments, etc. Maybe I just knew that I didn't lack of anything that I shouldn't ask my parents for more. Thus, when I wanted something more, so badly, I would deal with my desire on my own way.

I didn't have all kinds of toys, though. When I visited my cousins' houses, I saw collection of toys that I didn't have and I didn't really want them anyway.

My parents didn't buy me toys such as electronic games: Game Watch, Nintendo, and so on. If I wanted to play Nintendo games, like Mario Bros, Donkey Kong, Tetris, I must wait until vacation when it was time for me to sleep over in my cousin's house for few days. I think I had a Game Watch, and maybe a Tamagotchi, but seemingly I got them later after my friends and cousins had them first. And it turned out that I didn't really like such games--until now.

Thursday, October 17, 2019

Objects that tell the story of my life

There are family photo albums and my diaries.

It's pretty sad when I started this "pardon my english"-in-15-minutes daily journal and I needed to look at the albums, and saw how my parents--especially my father--seemed to love me so much. I am the eldest child. And there was only me for the first three and a half years this family started. Recalling those photos shed tears in my eyes.

Fast forward, I read my oldest diary and saw how things had been changing. I grew to be so bitter and full of negative thoughts.

And now, I don't know any more as to how I should be.

The old photos must be inciting some determination inside to give back the love. But, the diaries make me understand how I have become this way. And how can I change things that have been happening just the same for my whole life? It's kind of an inevitable fate.

I know that people can change, even though it takes decades.

Friday, October 18, 2019

My best sleepover memories

Before middle school years, I used to sleep over for few days during vacation at my cousin's house in Cimahi. She lived in a military neighborhood, whom her parents worked for. She is just about a month older than me. Sometimes there was another older cousin from other city joined us.

There were some bad experiences I had with them. But mostly I enjoyed the moment. My cousin had more things than me: games, books, magazines, comic books, cassettes, money, cats, etc. So I got a lot of references and treats from her: Nintendo games, Harry Potter, Lupus, Sheila on 7, Hello Kitty and Dear Daniel dolls from McDonalds, my first diary, Gareng and Petruk comic books, etc. Well, her mother was quite generous.

Dawn in the morning, we would walk to Lapangan Kodam near her neighborhood. I loved the moments.

Too bad, since middle school, we didn't get along well any more--until now. I don't know why. It seemed that it was always me who must call her first; it was always me who went to her house. It was hardly ever the other way around. Eventually I gave up.



These are prompts from 500 Prompts for Narrative and Personal WritingTip: do one prompt each day to practice writing in English FOR 15 MINUTES ONLY.

Jumat, 18 Oktober 2019

Bebas yang Whatever, yang Penting Nikmat Ditonton

Melihat dari trailer-nya, film ini tampaknya enggak menarik. Enggak kelihatan ceritanya tentang apa. Tentang persahabatan? Saya enggak menggemari tema itu secara khusus. Embel-embel bahwa film ini adaptasi dari film Korea yang sukses, Sunny, juga enggak menarik saya. Saya bukan penggemar kokoreaan. Saya juga belum pernah menonton Sunny, dan enggak tertarik mencari. Ada yang bilang, film ini kurang lebih seperti AADC. Saya juga bukan penggemar AADC.

Tapi, saya punya impian jadi anak SMA tahun '90-an karena suatu hal, saya punya ketertarikan sama tahun '90-an. Jadi saya penasaran melihat bagaimana latar tersebut ditampilkan dalam film ini.

Jadi, ini film kedua yang sengaja saya tonton sendirian tahun ini, eh, seumur hidup, setelah Terlalu Tampan.

Menguatkan yang ditampilkan di film,
karakter Suci yang sepertinya introver memang misterius,
sampai-sampai di poster pun enggak ditampilkan versi dewasanya.
Gambar dari IMDb.
Film ini katanya mulai diputar di bioskop pada 3 Oktober 2019, dan saya baru berkesempatan menontonnya pada 16 Oktober, berarti kurang lebih hampir dua minggu setelah premier. Sejak sekitar seminggu sebelumnya saya sudah ketar-ketir kalau-kalau film ini keburu dicabut dari bioskop, tapi rupanya pada Rabu itu belum.

Saya tiba di TSM pukul 11 lebih sedikit. Pintu kaca XXI baru dibuka sekitar seperempat jam kemudian--saya mengamati dari jauh. Ketika tiba giliran saya di muka konter, saya melihat bangku-bangku strategis sudah pada terisi--sekitar separuh tempat duduk teratas. Saya pun memilih bangku C4. Tadinya saya mau C5, tapi enggak boleh karena cuma seling satu bangku dengan bangku sebelahnya yang sudah dipesan. Aturannya, kalau ingin ada jarak dengan penonton lain, mesti seling dua bangku. Baiklah. Tiga puluh lima ribu rupiah.

Jadwal pemutaran 11.45 WIB, tapi pintu teater sudah dibuka sejak 11.30. Saya jadi orang pertama yang masuk ke studio.

Para calon penonton lain pun berdatangan. Saya perhatikan bahwa semuanya perempuan dan sepertinya enggak ada yang sendirian--paling sedikit berdua. Ini film tentang nostalgia dan persahabatan. Kemungkinan mereka datang untuk bernostalgia bersama sahabat(-sahabat).

(Baru ketika film berakhir dan lampu-lampu kembali dinyalakan, saya melihat ada satu penonton laki-laki di bangku ujung atas, sepertinya menemani entah siapanya bersama para teman segeng.)

Begitu lampu-lampu dipadamkan dan layar menampakkan gambar bergerak, saya pindah ke bangku C5.

Oh, sepertinya film tentang Susi Susanti, yang katanya rilis 24 Oktober 2019 nanti, akan menampilkan latar '90-an juga. (Cek sisa duit.)

Menuruti tujuan, berikut adalah elemen-elemen tahun '90-an yang saya temukan dalam film ini:
  • Game Watch
  • Stensilan yang diselipkan di balik majalah Mobil Motor
  • Sepatu Kasogi
  • Bahasa gaul, dengan menyelipkan "ga" di setiap suku kata sehingga kedengarannya jadi seperti bahasa Rusia; ada juga yang pakai "ok"--contoh: "sepatu" jadi "sepokat"
  • Kue kepang
  • Telepon umum
  • Edi Tanzil
  • Nasi goreng intel
  • Petugas militer berpatroli di pinggir jalan
  • Pemberedelan media
  • Telepon rumah dikunci
  • Tawuran pelajar
  • Lemon Lime + pil setan?
  • Model rambut ala Bjork
  • Goodnight Electric masih SMA
  • Mahasiswa militan aktivis demonstrasi yang masih dibiayai orang tua dan dua puluhan tahun kemudian katanya ikut makan duit rakyat
  • Lagu-lagu Indonesia tahun '90-an, tentu saja, meski ada juga lagu tahun '80-an--Chrisye, "Sendiri"--yang menyelip
  • Tokoh-tokoh anak muda yang populer pada masa itu, seperti Daan P-Project, Sarah Sechan, Widi AB Three, dan seterusnya, menjadi pemeran
  • Gaya penampilan yang mengingatkan pada idola-idola anak muda pada masa yang belum lama berlalu kala itu (halah, belibet), misalnya tokoh Andra seketika mengingatkan saya sama Onky Alexander Catatan Si Boy, sedangkan untuk tokoh Suci, saya mendengar komentar bahwa dia seperti Meriam Bellina
  • Reza Rahadian, atuh lah, ada enggak sih film Indonesia yang enggak pakai dia?!?!?!
  • Darius Sinathrya yang untuk kesekian kalinya memerankan bapak-bapak menawan
  • Bisma Karisma yang enggak kelihatan kayak Bisma Karisma, tapi aa-aa dari Wado yang cinta Bekasi
Tampaknya, para penonton lain pada lebih tua daripada saya. Mereka heboh sendiri ketika sebagian elemen '90-an itu muncul. Saya sendiri, yang lahir pada awal era '90-an, dan menjadi anak TK lalu SD sepanjang dekade tersebut, rupanya masih terlalu kecil untuk mengakrabi semua elemen tersebut. Yang saya kenal paling-paling Game Watch, kue kepang (yang juga menjadi favorit saya--saya ingat pernah minta dibelikan ayah saya di toko dekat rumah), telepon umum, serta lagu-lagu.

Jadi, rupanya saya belum cukup tua untuk ikut bernostalgia lewat film ini. 

Itu, berikut latar ibukota, lingkungan sosial-pergaulan yang ekstrover menengah ke atas, dan semacamnya, sehingga saya enggak begitu relate. Dalam hal-hal tersebut, film ini memang mengingatkan sama AADC universe: hampir-hampir dream-like dengan berbagai kemewahan yang ditampilkannya, tapi konflik yang sederhana lagi wajar menjadikannya membumi dan heartwarming.

AADC versi '90-an?
Gambar dari artikel Tribun News.
Ada momen-momen ketika, seandainya saya menonton film ini tanpa membayar, bukan di bioskop, atau tidak bersama teman, kemungkinan saya akan angkat kaki. 

Ada juga adegan-adegan yang bikin saya mengernyit karena merasa aneh, bingung, kaget, bahkan berpikir that's too good to be true!!! (AWAS BOCORAN.) 

Misalkan, sewaktu Jojo--si cowok melambai--ikut menginap bareng teman-teman ceweknya. (Tapi toh alasan lain saya menonton film ini adalah karena ingin melihat si Jojo remaja yang pemerannya ternyata sudah enggak remaja, #eh.) 

Misalkan lagi, sewaktu Vina beli Lemon Lime lalu tahu-tahu didekati Onky Alexander Andra yang menawarkan sebutir obat. Bukankah tadinya ada ibu-ibu yang menjual Lemon Lime pada Vina, lalu kenapa tiba-tiba jadi tinggal dia berdua Andra--di ruangan segede itu??? 

Misalkan yang lain lagi, ketika pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan semua anggota geng Bebas padahal yang bikin onar kan Andra. Saya merasa ada yang hilang. Memang sih, geng itu diperlihatkan "memberdayakan" adik-adik kelas untuk melayani mereka, berantem sama geng sekolah lain, dan apa lagi, ya? Tapi adegan-adegan itu bagi saya enggak memberikan cukup kesan bahwa mereka geng yang berbahaya di sekolah itu sehingga harus dipisahkan dengan dikeluarkan.

Misalkan yang lain lagi, lagi, yaitu ketika Kris membebaskan Gina dari segala beban finansial dengan memberi dia apartemen, biaya sekolah untuk anak-anaknya, rehabilitasi untuk ibunya, serta pekerjaan di perusahaan .... Rasanya seperti menonton suatu acara reality show di TV.

Judul Bebas itu sendiri menarik untuk diinterpretasikan (halah, bahasanya) lebih lanjut, dikaitkan dengan isu-isu yang muncul dalam film sebagai berikut.
  • Situasi politik pada masa itu yang menjelang tumbangnya Orde Baru
  • Pesan-pesan feminisme bahwa perempuan harus berani, perempuan yang lebih daripada sekadar istri dan ibu, perempuan sebagai pengusaha kaya raya dan sukses (tapi cerai dan hampir-hampir enggak punya keluarga), perempuan sebagai pencari nafkah tunggal atau pengganti suami, perempuan generasi sandwich, dan sebagainya
  • LGBT
Yah, terserah yang bikin film lah, namanya juga Bebas.

Bagaimanapun juga, betapapun saya bilang enggak begitu peduli sama ceritanya, ada satu adegan yang berhasil bikin saya terharu, yaitu ketika Vina remaja berpelukan dengan Vina dewasa. Saat itu, Vina remaja baru mengetahui bahwa cowok yang disukainya ternyata--BOCORAN, NIH YE!!!--sudah berhubungan dengan si cewek cover girl

Siapa sih yang enggak relate?

I know that feeling too damn well.

Adakalanya kita tak bisa bebas dari rasa tak bisa memiliki (#eaaa).

Secara keseluruhan, saya enggak menyesal menonton film ini di bioskop. Film ini memberikan wawasan ke-'90-an yang sedang saya perlukan, dan mengalir tanpa berkesan sinetron sama sekali.

Jumat, 11 Oktober 2019

Diary of Childhood Memories (October 7- 11, 2019)

Monday, October 7, 2019

My most precious childhood possession 

My little sister wearing the sunglasses.
I can't remember having a possession that was so precious at that time. I remember I had a lot of little stuffs. I remember coming to a friend's house next door with a red rucksack full of tiny things which I meant to bring to our kindergarten. But I ended up going back home, emptying my bag, and then I only brought things that were necessary (I don't really remember the rest nor what they were).

A thing from the past which popped in my head recently was a little sunglasses with green frame and Batman logo shape. Gosh, I wish I knew where the sunglasses is! I think I've never seen such sunglasses belong to any other people I know.

Another thing was Kesatria Baja Hitam cassette. I don't remember myself as a big fan of Kesatria Baja Hitam or Kamen Rider RX, so I don't know why my parents bought it. Probably because it was just a hype for a kid my age. One memory I can remember about that cassette is that I didn't listen to much of it, even I might only play it for once. The cassettes didn't just contain music, but also dialogues from the series. I was scared to hear the random male voice.


I've just realized as an adult how cool the opening was!

Here comes another thing in mind: a Sailor Mars barbie doll from Japan. My uncle spent some time in Japan back then--seemingly for study. When he came back to Indonesia, he bought me and my cousin some Sailor Moon merchandises. One of them was the Sailor Mars barbie doll. I didn't know that it could speak. When I held the doll, suddenly came a voice from it. I was surprised and threw the doll. Since then, it never spoke any more. I guess I broke something inside when I threw it. But, the doll remained to be one of my imaginary friends until some years later. Some of her hair was gone during the years. Now I don't know where it is.

Tuesday, October 8, 2019

My favorite childhood shows and characters

When I was a kid, I watched a lot of cartoon shows on TV--especially Japanese cartoons. Not only on Sunday mornings, but also on weekdays afternoons: Doraemon, Sailor Moon, Minky Momo, Mojacko, Akko-chan, Ninja Boy etc. My favorite character of all those Japanese cartoons was Doraemon to the point that I collected a lot of its comic books and some merchandises as well, and also tried to be able to drawing the characters from the series--with awful results.

I wished to have a cat robot with useful tools in its pocket like Doraemon, who would both give me fun and solve my problems. It also inspired me, while I was in the first grade of middle school, to be an inventor--you know, that kind of eccentric scientist in the Back to the Future trilogy who makes fantastic things. I drew some awesome tools that I wanted to create had I become one, and forgot it once I learn upt that I am bad at Physics.

Diego Gonzales Boneta from Alegrijes y Rebujos 
Picture is taken from Pinterest.
I also liked watching Mexican telenovelas--for kids. Since Amigos X Siempre (SCTV), I kept up with almost each of its successors. My favorites were Alegrijes y Rebujos (RCTI) and ¡Vivan Los Niños! (SCTV) because I found some cute characters there which inspired me to make my own story--kind of imagining Aliando and Prilly Latuconsina playing your characters, just as today's teenage girls who aspire-to-be-authors-on-W*ttp*d do. (Yeah, I was that kind of girl back then, who's not? It's just a normal teenage girls' thing!)

My treasure: a ¡Vivan Los Niños! postcard--bonus from Tabloid Bintang.
My favorite character was Santiago, the boy with glasses on the left side.
Wednesday, October 9, 2019

Things I created when I was a child

I remember that as a child I had already loved to make up characters, stories, writings, even a song. I showed some of them to my cousins and my friends.

I was inspired to create by looking around me. For example, after reading a lot of Fujiko F. Fujio comic books, in my mind I developed characters that were similar to those Japanese mangaka had created. Another example, when I saw a friend wrote stories in a notebook, I followed her way by making my own collection.

Of all the things that I had tried to create, mostly were about characters and stories. That's why growing up I thought that I was to be an author. 

Too bad that I lost my first writings: my first diary which is a gift from my cousin, my collection of essays in a notebook, and my collection of stories in another notebook. Those were from primary school years; not much left, only some latter diaries. I started to become aware of keeping my scribbles since middle school. 

Some people told me that they just burnt what they had created: stories, sketches. But I don't know why I feel such importance to keep such things, as if they're the only legacy I could give for my kins.

Thursday, October 10, 2019

Places I remember fondly from childhood

When I was a kid, my father loved to take our family to go on vacations--from company trips to visiting our extended-families in other regions. The places were various: beaches, swimming pools, temples, tourist parks, zoos, malls, etc.

He was really generous. He didn't only bring his nuclear family (: me, my siblings, and our helpers), but also his siblings, nephews, nieces, and so on. Sometimes it took more than a Kijang-sized car to bring the whole family. 

Pantai Baron as I remember it.
Picture is taken from Garasi Jogja.
There were some fun experiences that I still remember, like when my father tried to help my cousin out of a swimming pool (which I forget the name of the place) but then he slipped into the water, and also when my other cousin held me like a plane over the transition between fresh water and salt water in Pantai Baron.

I assume that my father just brought us to any place that was hype in those days, like today people would say some places are Instagramable, though we didn't go there just to put some new pictures on a social media (which even did not exist yet). 

I think such experiences had developed my sense of adventure. I dreamed of being a tradventuller--traveller-adventurer (yeah, I know that's weird), just like Dora the Explorer (even though that time Dora wasn't born yet, I guess) with a talking animal as a sidekick.

Friday, October 11, 2019

My favorite picture books when I was little


This book above is not my favorite picture book. Actually I don't remember which. I might have some other picture books before this one, which I don't remember well. This is the only picture book that is still intact. When the question "What were your favorite picture books when you were little?" came up, this one just popped in my mind. This is the latest picture book I had before I developed interest in comic books like Doraemon.

Picture is taken from Tokopedia.
As I write this, I remember that I did like reading 31 Cerita Bada Isya pretty much and I have several of its books. The series are also a picture book kind, right? (Just two days ago I googled to find out what exactly a picture book is, and how it is different from illustrated book.)

I don't think I was fond of picture books very much. Once I got to know comic books, I just read that kind of book on and on. And I also loved reading books--thin or thick--without much illustrations. And once I read more and more walls of texts, I left comic books behind. Until now. Sometimes I read books with pictures and sometimes I find that the pictures are distracting. (I don't know which I should concentrate on first: the text or the picture?)



These are prompts from 500 Prompts for Narrative and Personal WritingTip: do one prompt each day to practice writing in English FOR 15 MINUTES ONLY.

Selasa, 08 Oktober 2019

Mencari Sebab-sebab Kurangnya Gereget Menonton Joker

Gara-gara membaca resensinya di Kompas, ibu saya tertarik menonton film Joker. Saya ditawari untuk menemaninya.

Seperti sebelumnya, saya lebih dulu mencari review-review tentang film tersebut. Di samping resensi yang telah dibaca ibu saya, saya juga memutar beberapa yang ada di Youtube. Sebagian review memuat spoiler. Saya pikir, enggak masalah.

Sampai sekarang, setelah menonton film itu, saya masih belum bisa menentukan apakah itu memang bukan masalah. Sewaktu menonton Ready or Not, biarpun sudah membaca plotnya yang mendetail di Wikipedia, saya enggak kehilangan keseruan.

Tapi, yang satu ini, saya bahkan rela melewatkan beberapa menit--mungkin seperempat jam--untuk meninggalkan studio dan ke toilet menyambut panggilan alam, dan setelah kembali, tidak merasa kehilangan apa pun.

Ada beberapa hal lain yang sepertinya membikin pengalaman menonton bioskop kali ini kurang maksimal.

Biasanya saya menonton siang-siang pada hari kerja, ketika tidak banyak orang berkesempatan keluyuran di bioskop pada waktu seperti itu. Kali ini, karena bersama ibu saya yang bekerja full time, saya menonton malam-malam pada hari kerja, tepatnya sekitar awal waktu isya. Setelah salat magrib di rumah, kami langsung bersiap lalu pergi ke Trans Studio Mall yang letaknya sangat dekat menggunakan kendaraan pribadi. Pada waktu seperti itu, biasanya saya sudah meremangkan kamar lalu hanya membaca buku, dan setelahnya chatting, menonton Youtube, dan sebagainya--aktivitas-aktivitas santai sampai selelahnya--pokoknya supaya cepat tidur supaya cepat bangun. Malam itu, walau berkesempatan untuk beralih sejenak dari kebosanan karena aktivitas yang begitu-begitu saja, begitu memasuki area parkir TSM saya sudah merasakan kantuk padahal mau menonton film berdurasi dua jam lebih. Kantuk dan lain hal, sehingga mood saya surut.

Tibalah kami di loket (atau apalah namanya soalnya bentuknya enggak seperti pengertian di KBBI daring sih). Pemutaran pukul 18.30 WIB tampaknya masih bisa dikejar. Tapi, di samping enggak suka buru-buru, saya melihat bangku yang kosong tinggal dua deretan terdepan. Saya menanyakan untuk pemutaran pukul 19.00, yang rupanya sama saja, kecuali masih ada beberapa bangku tersisa di deretan ketiga dari depan. Mending, pikir saya. Selain itu, masih ada waktu bagi kami untuk melakukan tujuan lain ke TSM. Saya tidak berpikiran untuk menanyakan kekosongan pada waktu pemutaran selanjutnya, yaitu pukul 20.00 dan seterusnya karena itu berarti kami akan pulang semakin malam. Kami pun memilih dua bangku di deretan ketiga dari depan itu untuk pukul 19.00.

Singkat cerita, pintu Teater 1 telah dibuka. Kami masuk, dan, tampaknya bangku deretan ketiga dari depan ini masih terlalu depan.

Sebelumnya saya sudah pernah mengalami duduk di bangku terdepan, literally paling depan, paling kiri pula, sehingga sepanjang film mesti mendongak ke samping kanan atas. Tapi waktu itu saya mendapatkan tiket gratis, jadi ya sudahlah, rezekinya. Di satu sisi, alhamdulillah, dapat kesempatan menonton film gratis. Di sisi lain, mendongak ke samping kanan atas selama sekitar dua jam (entah juga sih durasi sebenarnya) itu enggak enak.

Itu di deretan pertama. Di deretan ketiga rupanya sama saja.

Saya berusaha menghibur diri bahwa setidaknya layar terlihat lebih jelas terlalu jelas sampai kelihatan titik-titiknya.

Film pun dimulai. Subtitle muncul. Saya takjub betapa gedenya huruf-huruf itu--mungkin sebesar kepala manusia. Dan, kalau mata saya berfokus pada subtitle, saya enggak bisa melihat apa yang terpampang di layar sebelah atas. Mata saya mesti bolak-balik dengan cepat dari subtitle ke atas supaya dapat menangkap keseluruhan gambar.

Damn.

Saya menyadari bahwa keuntungan dari duduk di bangku tengah agak ke atas rupanya agar mata dapat menangkap keseluruhan layar, tanpa menyakitkan mata maupun leher.

Lama-lama, entah bagaimana, mata saya dapat menyesuaikan sehingga saya enggak merasakan lagi masalah harus bolak-balik itu.

Kepekaan saya malah beralih ke indra lain. Di samping masalah kedinginan di bioskop yang biasa saya alami, serta menahan hasrat ingin BAK yang tahu-tahu muncul, kali itu saya juga mencium aneka bebauan makanan dan minuman dari samping kiri saya: seorang cowok yang tampaknya mahasiswa dan belum sempat makan entah sejak berapa lama lalu.

Yah, mari lanjut ke tentang filmnya itu sendiri.

Ketika melihat trailer-nya di Youtube, saya merasa film ini akan relatable, bukan hanya bagi saya, melainkan juga banyak orang lain. Mulai dari latar kota tempat tinggal Arthur Fleck--yang nantinya jadi Joker--yang penuh kekacauan, hingga kondisi kejiwaannya sendiri. Mungkin keadaan kita enggak sampai seekstrem itu, cuma hingga taraf tertentu hal-hal negatif tersebut juga dapat kita alami.

Berkat menonton review Youtuber andalan saya soal film terbaru di bioskop--LIANT--saya juga punya perhatian sama cara ketawa Arthur, yang bukan sembarang ketawa melainkan penyakit. Tawanya itu, saya rasakan, sesungguhnya tangis. Ia mau menangis, tapi berusaha dialihkannya jadi tertawa. Apalagi ketika adegan tawanya muncul untuk pertama kali, terlihat jelas bahwa itu enggak jelas tertawa atau menangis. Arthur sangat-sangat sedih di lubuk hatinya: depresi berat. Tapi, mungkin, karena ibunya selalu memanggil dia dengan nama Happy seolah-olah menyugestikan dia untuk bahagia, sedangkan tawa seolah-olah identik dengan kebahagiaan, maka depresinya itu termanifestasikan sebagai gangguan tawa. Mungkin lo.

Gambar dari artikel CNET
"Joker laughs maniacally 
all the way to a box-office record".
Saya bukan pengikut universe Batman, jadi enggak tahu apakah tawa memang ciri khas karakter Joker ini.

Nama Fleck itu sendiri, kalau boleh otak atik gathok, mengingatkan saya sama "flek". Bagi sebagian orang, flek berupa banyak bercak yang menyebar di wajah. Keberadaannya enggak diinginkan, mengganggu estetika, dan repot menghilangkannya, tapi toh sudah dari sananya begitu--alamiah. Umpamanya, flek ini orang-orang seperti Arthur. Kita lihat betapa menyedihkan dia: kucel, miskin, mengundang bully, dan sebagai-bagainya yang bagi sebagian orang mungkin menjijikkan sehingga enggak pantas mendapatkan perhatian--malah kalau perlu disingkirkan saja. Tapi toh Arthur enggak sendiri. Kita lihat di akhir film bagaimana orang-orang mengelu-elukan dia. Dia seperti mewakili kaum yang keberadaannya enggak diinginkan, seperti flek di wajah. Tapi nama Arthur itu sendiri, paling enggak menurut situs ini, bermakna "kuat", "mulia", dan memang merupakan nama raja yang legendaris. Nama Arthur yang keraja-rajaan itu disandingkan dengan Fleck yang dalam bahasa Inggris memang bermakna "kecil"--seperti sebaran flek di wajah--menjadi paradoks yang menekankan karakter si tokoh.

Ceritanya sendiri secara garis besar dan kurang lebih bisa disimpulkan menjadi tentang bagaimana orang kecil berproses dalam melawan ketidakadilan, kegetiran hidup yang ia rasakan. Bagi Arthur Fleck, caranya dengan menjadi Joker si penjahat yang nantinya bermusuhan dengan Batman. Bagi kamu, ya lain lagi.

Banyak di antara kita yang merasa sebagai orang kecil, sehingga tipe cerita begini semestinya relatable. Tapi, ini teori lain untuk mencari sebab kurang geregetnya pengalaman saya menonton film Joker: sepertinya saya sudah mengonsumsi terlalu banyak cerita seperti itu, baik dari orang-orang di sekitar saya sendiri maupun karya-karya fiksi. Terlalu banyak orang kecil, dan pada zaman kelimpahan informasi begini, sebanyak-banyaknya cerita tentang mereka bisa sampai. Seperti hama yang lama-lama resistan terhadap pestisida, jangan-jangan saya pula mulai mengembangkan kekebalan terhadap tragedi kehidupan(?).

Atau, boleh jadi, senahas-nahasnya nasib seseorang, kalau sebagai mekanisme pertahanannya ia cenderung jahat ketimbang baik, memang sulit untuk memberi dia empati. Kepada orang baik saja belum tentu kita bisa berempati, apalagi sama orang jahat. Lo!?

Tips: Kalau mau menonton film yang lagi laris-larisnya, mending tunggu sampai animonya sudah surut. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...