Selasa, 08 Oktober 2019

Mencari Sebab-sebab Kurangnya Gereget Menonton Joker

Gara-gara membaca resensinya di Kompas, ibu saya tertarik menonton film Joker. Saya ditawari untuk menemaninya.

Seperti sebelumnya, saya lebih dulu mencari review-review tentang film tersebut. Di samping resensi yang telah dibaca ibu saya, saya juga memutar beberapa yang ada di Youtube. Sebagian review memuat spoiler. Saya pikir, enggak masalah.

Sampai sekarang, setelah menonton film itu, saya masih belum bisa menentukan apakah itu memang bukan masalah. Sewaktu menonton Ready or Not, biarpun sudah membaca plotnya yang mendetail di Wikipedia, saya enggak kehilangan keseruan.

Tapi, yang satu ini, saya bahkan rela melewatkan beberapa menit--mungkin seperempat jam--untuk meninggalkan studio dan ke toilet menyambut panggilan alam, dan setelah kembali, tidak merasa kehilangan apa pun.

Ada beberapa hal lain yang sepertinya membikin pengalaman menonton bioskop kali ini kurang maksimal.

Biasanya saya menonton siang-siang pada hari kerja, ketika tidak banyak orang berkesempatan keluyuran di bioskop pada waktu seperti itu. Kali ini, karena bersama ibu saya yang bekerja full time, saya menonton malam-malam pada hari kerja, tepatnya sekitar awal waktu isya. Setelah salat magrib di rumah, kami langsung bersiap lalu pergi ke Trans Studio Mall yang letaknya sangat dekat menggunakan kendaraan pribadi. Pada waktu seperti itu, biasanya saya sudah meremangkan kamar lalu hanya membaca buku, dan setelahnya chatting, menonton Youtube, dan sebagainya--aktivitas-aktivitas santai sampai selelahnya--pokoknya supaya cepat tidur supaya cepat bangun. Malam itu, walau berkesempatan untuk beralih sejenak dari kebosanan karena aktivitas yang begitu-begitu saja, begitu memasuki area parkir TSM saya sudah merasakan kantuk padahal mau menonton film berdurasi dua jam lebih. Kantuk dan lain hal, sehingga mood saya surut.

Tibalah kami di loket (atau apalah namanya soalnya bentuknya enggak seperti pengertian di KBBI daring sih). Pemutaran pukul 18.30 WIB tampaknya masih bisa dikejar. Tapi, di samping enggak suka buru-buru, saya melihat bangku yang kosong tinggal dua deretan terdepan. Saya menanyakan untuk pemutaran pukul 19.00, yang rupanya sama saja, kecuali masih ada beberapa bangku tersisa di deretan ketiga dari depan. Mending, pikir saya. Selain itu, masih ada waktu bagi kami untuk melakukan tujuan lain ke TSM. Saya tidak berpikiran untuk menanyakan kekosongan pada waktu pemutaran selanjutnya, yaitu pukul 20.00 dan seterusnya karena itu berarti kami akan pulang semakin malam. Kami pun memilih dua bangku di deretan ketiga dari depan itu untuk pukul 19.00.

Singkat cerita, pintu Teater 1 telah dibuka. Kami masuk, dan, tampaknya bangku deretan ketiga dari depan ini masih terlalu depan.

Sebelumnya saya sudah pernah mengalami duduk di bangku terdepan, literally paling depan, paling kiri pula, sehingga sepanjang film mesti mendongak ke samping kanan atas. Tapi waktu itu saya mendapatkan tiket gratis, jadi ya sudahlah, rezekinya. Di satu sisi, alhamdulillah, dapat kesempatan menonton film gratis. Di sisi lain, mendongak ke samping kanan atas selama sekitar dua jam (entah juga sih durasi sebenarnya) itu enggak enak.

Itu di deretan pertama. Di deretan ketiga rupanya sama saja.

Saya berusaha menghibur diri bahwa setidaknya layar terlihat lebih jelas terlalu jelas sampai kelihatan titik-titiknya.

Film pun dimulai. Subtitle muncul. Saya takjub betapa gedenya huruf-huruf itu--mungkin sebesar kepala manusia. Dan, kalau mata saya berfokus pada subtitle, saya enggak bisa melihat apa yang terpampang di layar sebelah atas. Mata saya mesti bolak-balik dengan cepat dari subtitle ke atas supaya dapat menangkap keseluruhan gambar.

Damn.

Saya menyadari bahwa keuntungan dari duduk di bangku tengah agak ke atas rupanya agar mata dapat menangkap keseluruhan layar, tanpa menyakitkan mata maupun leher.

Lama-lama, entah bagaimana, mata saya dapat menyesuaikan sehingga saya enggak merasakan lagi masalah harus bolak-balik itu.

Kepekaan saya malah beralih ke indra lain. Di samping masalah kedinginan di bioskop yang biasa saya alami, serta menahan hasrat ingin BAK yang tahu-tahu muncul, kali itu saya juga mencium aneka bebauan makanan dan minuman dari samping kiri saya: seorang cowok yang tampaknya mahasiswa dan belum sempat makan entah sejak berapa lama lalu.

Yah, mari lanjut ke tentang filmnya itu sendiri.

Ketika melihat trailer-nya di Youtube, saya merasa film ini akan relatable, bukan hanya bagi saya, melainkan juga banyak orang lain. Mulai dari latar kota tempat tinggal Arthur Fleck--yang nantinya jadi Joker--yang penuh kekacauan, hingga kondisi kejiwaannya sendiri. Mungkin keadaan kita enggak sampai seekstrem itu, cuma hingga taraf tertentu hal-hal negatif tersebut juga dapat kita alami.

Berkat menonton review Youtuber andalan saya soal film terbaru di bioskop--LIANT--saya juga punya perhatian sama cara ketawa Arthur, yang bukan sembarang ketawa melainkan penyakit. Tawanya itu, saya rasakan, sesungguhnya tangis. Ia mau menangis, tapi berusaha dialihkannya jadi tertawa. Apalagi ketika adegan tawanya muncul untuk pertama kali, terlihat jelas bahwa itu enggak jelas tertawa atau menangis. Arthur sangat-sangat sedih di lubuk hatinya: depresi berat. Tapi, mungkin, karena ibunya selalu memanggil dia dengan nama Happy seolah-olah menyugestikan dia untuk bahagia, sedangkan tawa seolah-olah identik dengan kebahagiaan, maka depresinya itu termanifestasikan sebagai gangguan tawa. Mungkin lo.

Gambar dari artikel CNET
"Joker laughs maniacally 
all the way to a box-office record".
Saya bukan pengikut universe Batman, jadi enggak tahu apakah tawa memang ciri khas karakter Joker ini.

Nama Fleck itu sendiri, kalau boleh otak atik gathok, mengingatkan saya sama "flek". Bagi sebagian orang, flek berupa banyak bercak yang menyebar di wajah. Keberadaannya enggak diinginkan, mengganggu estetika, dan repot menghilangkannya, tapi toh sudah dari sananya begitu--alamiah. Umpamanya, flek ini orang-orang seperti Arthur. Kita lihat betapa menyedihkan dia: kucel, miskin, mengundang bully, dan sebagai-bagainya yang bagi sebagian orang mungkin menjijikkan sehingga enggak pantas mendapatkan perhatian--malah kalau perlu disingkirkan saja. Tapi toh Arthur enggak sendiri. Kita lihat di akhir film bagaimana orang-orang mengelu-elukan dia. Dia seperti mewakili kaum yang keberadaannya enggak diinginkan, seperti flek di wajah. Tapi nama Arthur itu sendiri, paling enggak menurut situs ini, bermakna "kuat", "mulia", dan memang merupakan nama raja yang legendaris. Nama Arthur yang keraja-rajaan itu disandingkan dengan Fleck yang dalam bahasa Inggris memang bermakna "kecil"--seperti sebaran flek di wajah--menjadi paradoks yang menekankan karakter si tokoh.

Ceritanya sendiri secara garis besar dan kurang lebih bisa disimpulkan menjadi tentang bagaimana orang kecil berproses dalam melawan ketidakadilan, kegetiran hidup yang ia rasakan. Bagi Arthur Fleck, caranya dengan menjadi Joker si penjahat yang nantinya bermusuhan dengan Batman. Bagi kamu, ya lain lagi.

Banyak di antara kita yang merasa sebagai orang kecil, sehingga tipe cerita begini semestinya relatable. Tapi, ini teori lain untuk mencari sebab kurang geregetnya pengalaman saya menonton film Joker: sepertinya saya sudah mengonsumsi terlalu banyak cerita seperti itu, baik dari orang-orang di sekitar saya sendiri maupun karya-karya fiksi. Terlalu banyak orang kecil, dan pada zaman kelimpahan informasi begini, sebanyak-banyaknya cerita tentang mereka bisa sampai. Seperti hama yang lama-lama resistan terhadap pestisida, jangan-jangan saya pula mulai mengembangkan kekebalan terhadap tragedi kehidupan(?).

Atau, boleh jadi, senahas-nahasnya nasib seseorang, kalau sebagai mekanisme pertahanannya ia cenderung jahat ketimbang baik, memang sulit untuk memberi dia empati. Kepada orang baik saja belum tentu kita bisa berempati, apalagi sama orang jahat. Lo!?

Tips: Kalau mau menonton film yang lagi laris-larisnya, mending tunggu sampai animonya sudah surut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain