Senin, 26 September 2011

Kotaku, Inspirasiku




Judul : Istanbul—Kenangan Sebuah Kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta, 2009

Apa tema kotamu? Orhan Pamuk menjawab, “Kemurungan,” atau “huzun”, dalam memoarnya ini. Kotanya adalah Istanbul. Menurutnya, huzun bukan sekadar berarti perasaan kehilangan dan kemurungan spiritual, melainkan juga memiliki tradisi dan filosofi yang berbeda.

Salah satunya adalah tradisi yang berkembang dari mistisme Sufi. “Bagi para Sufi, huzun merupakan penderitaan spiritual amat mendalam yang kita rasakan karena kita tidak bisa cukup dekat dengan Allah, karena kita tidak dapat melakukan cukup banyak amalan demi Allah di dunia ini.” Lebih lanjut lagi, “Terlebih lagi, tidak adanya huzun, bukan adanya huzun, yang membuatnya merasa tertekan. Kegagalannya untuk merasakan huzun itulah yang membuatnya merasakan huzun; dia menderita karena dia belum cukup menderita…”

Tradisi lainnya adalah, “kita mengalami hal yang disebut huzun ketika kita terlalu banyak menikmati kesenangan duniawi dan mengumpulkan harta benda; implikasinya adalah bahwa “jika Anda tidak melibatkan diri terlalu dalam di dunia fana ini, jika Anda seorang muslim sejati yang baik, maka Anda tidak akan terlalu memedulikan hilangnya kesenangan duniawi ini.” Disebutkan bahwa kematian adalah salah satu hal duniawi. (halaman 129)

Yang mana yang mewarnai atmosfer yang dirasakan Orhan dalam Istanbul?

Ingatan melayang pada apa yang diajarkan buku Sejarah zaman sekolah menengah. Adalah seorang Ataturk yang melakukan suatu perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Turki: mengubah kiblat peradaban dari timur ke barat. Melalui cerita Orhan Pamuk tentang dirinya, keluarganya, dan kalangan pergaulannya, sepertinya “berkiblat ke barat” berarti melepaskan agama juga. Bukan suatu kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadan maupun solat. Bukan masalah pula bercinta sebelum menikah dan minum alkohol. Jadi apakah penting untuk mengetahui bahwa penulis memoar ini adalah seorang muslim atau bukan?

Maka kita diajak penulis menjelajahi masa kecil hingga masa remajanya dalam lanskap sebuah kota bernama Istanbul—tanpa membandingkannya dengan kota lain di negara yang sama yang bisa saja mengalami kondisi serupa atau berbeda. Bagai sebuah tur, kita dibawa menyusuri jalanan kota, tempat-tempat tertentu yang memberi kesan sesuatu, hingga membaca literatur-literatur mengenai Istanbul yang ditulis baik oleh orang barat maupun orang Istanbul sendiri. Kita menyaksikannya lewat mata sang penulis. Dia juga mengizinkan kita untuk mengenal keluarganya lebih dekat—lengkap dengan foto-foto zadul. Bayangkan jika kita bertamu ke rumah teman di lain kota. Tidak hanya diajak jalan-jalan keliling kota, tentu kita juga akan dikenalkan dengan keluarganya, bukan? Hanya saja kali ini lewat buku yang tidak hanya berisi huruf tapi juga banyak gambar—sayangnya tak berwarna.

Mari kita ketahui bahwa sebuah kota bisa jadi sangat menginspirasi. Memoar setebal 551 halaman yang terbagi dalam 37 bab ini hanya satu contoh literatur yang terinspirasi dari sebuah kota bernama Istanbul. Untuk kota dalam negeri pun kita punya. Sebut saja “Semerbak Bunga di Bandung Raya” oleh Haryoto Kunto (1047 halaman, PT Granesia, 1986) dan “Jendela Bandung: Pengalaman bersama KOMPAS” oleh Her Suganda (423 halaman, KOMPAS, 2008) yang hanya sekelumit contoh literatur mengenai Bandung. Bahkan ada 15 halaman sendiri untuk menuliskan daftar pustaka yang digunakan dalam menggarap “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (halaman 1049-1064). Ingat pula Benny & Mice dengan “Lagak Jakarta”.

“Pengarang novel Prancis, Claude Simone, menyatakan bahwa untuk mengumpulkan bahan untuk sebuah novel, sebenarnya cukup hanya dengan mengitari sebuah blok di kotanya. Setelah pulang, tuliskan apa yang kita lihat, pikirkan, rasakan, ingat, dan seterusnya,” kata Novakovich dalam “Berguru kepada Sastrawan Dunia” (Kaifa, 2003) meski menurutnya cara ini terlalu berlebihan. Masih dari Prancis, saya menemukan kutipan menarik yang diambil Orhan Pamuk dari kolumnis Istanbul—tertulis tahun 1952 ,

“Pengarang Prancis ternama, Victor Hugo; punya kebiasaan bepergian dari salah satu sudut kota yang lain di tingkat atas bus penumpang yang ditarik oleh kuda, hanya untuk melihat apa yang sedang dikerjakan oleh saudara-saudaranya sesama warga negara. Kemarin kami melakukan hal yang sama, dan kami menyimpulkan bahwa sejumlah besar penduduk Istanbul tidak begitu menaruh perhatian pada apa yang sedang mereka lakukan ketika melangkah di jalanan dan selalu saling bertabrakan, serta membuang karcis, bungkus es krim, dan kulit jagung ke tanah; di mana-mana ada pejalan kaki yang berjalan di jalan raya, sedangkan mobil-mobil naik ke trotoar, dan—bukan karena kemiskinan, melainkan karena kemalasan dan kebodohan—setiap orang di kota ini berpakaian sangat jelek.”

Waha. Saya penasaran hal-hal menarik apa yang bakal saya dapatkan jika saja saya lebih perhatian pada apa yang ada di sekitar saya saat saya jalan-jalan. Contoh lain adalah seperti ini misalnya—tertulis tahun 1997,

“Setelah berusaha mencari tahu berapa banyak uang yang telah dihamburkan masyarakat untuk pertunjukan kembang api yang konyol dan gila-gilaan megah yang telah kita saksikan di setiap sudut kota Istanbul, setiap malam pada musim panas ini, saya harus bertanya pada diri sendiri apakah orang-orang yang merayakan perkawinan itu tidak akan merasa lebih bahagia—mengingat kita sekarang memiliki kota dengan penduduk sepuluh juta orang—jika uang sebanyak itu digunakan untuk pendidikan anak-anak kaum miskin. Saya benar atau salah, ya?”

Hal yang sama saya tanyakan pada kalangan the have yang membelanjakan uang mereka untuk segala kesenangan yang bertebaran di Kota Bandung.

Kelak saya ingin seperti mereka yang menulis tentang kota. Nah, tantangannya adalah bagaimana menumbuhkan perhatian, pelibatan indra, perenungan, imajinasi, dan perluasan wawasan mengenai kota tersebut. Bukan muluk-muluk hendak jadi James Joyce dengan Dublin-nya. Saya hanya merasa kota di mana saya lahir serta tumbuh hingga 16,5 tahun lamanya sungguh berpengaruh saja buat saya. Dan saya memang sudah kepikiran tema untuk kota tersebut—kreatif atau individualis ya?


sumber gambar

Rabu, 14 September 2011

Yang Gemerlapan Bukan Hanya Pub




Judul : Kira-kira
Pengarang : Cynthia Kadohata
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Selalu ada yang gemerlap—kira-kira—di balik semua ini.

Dikira, novel ini bercerita mengenai suatu hal yang belum bisa diprediksi secara akurat—jadi masih kira-kira. Maka saya mengira-ngira, kira-kira novel berjudul “Kira-kira” ini lebih jelasnya bercerita tentang apa ya? Apa yang dikira-kira di dalamnya? Ada berapa banyak perkiraan? Ih, sepertinya bakal lucu deh ceritanya. Kira-kira lucunya bagaimana ya…

Namun ternyata “Kira-kira”memang judul asli novel ini. Dalam bahasa Jepang, kira-kira berarti gemerlap.

Ini cerita tentang Katie yang menceritakan tentang kakak perempuannya—Lynn. Katie sangat mengagumi Lynn. Lynn selalu bisa menemukan keindahan di balik sesuatu. Bintang. Laut. Mata orang. Semua disebutnya “kira-kira”. Lynn juga baik hati dan cerdas.

Tidak hanya tentang Lynn, Katie menceritakan juga tentang kehidupan keluarganya sebagai keturunan Jepang di Amerika pada tahun 1950-an. Pada waktu itu, rasisme masih marak. Kebanyakan keturunan Jepang hanya mendapatkan pekerjaan di penetasan ayam. Kedua orangtua Katie harus bekerja keras setiap hari. Ibu Katie bahkan bekerja dengan menggunakan popok supaya kebutuhan untuk “itu” tidak sampai harus mengganggu pekerjaannya.

Dinamika kehidupan Katie sebetulnydimulai dari pindahnya mereka sekeluarga ke suatu negara bagian. Kedua orangtuanya hendak mencari penghidupan baru. Lynn mulai jadi abege sehingga membuat Katie merasa tersisihkan. Kehadiran Sammy, adik mereka berdua, cukup menghibur Katie. Lalu Lynn terkena limfomia.

Agak mirip leukemia—limfomia berhubungan juga dengan sel darah. Penyakit ini membuat Lynn jadi terlihat tidak “hidup” lagi. Ia makin lemas dari waktu ke waktu. Selain karena kasih sayangnya pada sang kakak, Katie turut merawat Lynn karena kedua orangtua mereka sibuk bekerja. Namun perilaku Lynn juga jadi berubah karena penyakitnya.

Pengalaman dengan Lynn—yang akhirnya tiada, ups, maaf spoiler—menjadikan Katie terdewasakan. Bagaimana cara Lynn memandang hidup—sebelum mulai terkena penyakit—akan selalu menginspirasinya.

Kiranya, akan lebih menginspirasi apabila Lynn berusaha untuk tetap bersikap sama antara sebelum dan sesudah terkena penyakit. Kesannya lebih dramatis. Namun alur novel ini ternyata begitu realistis.

Subplot lain adalah perlawanan yang dilakukan ayah Katie terhadap pemilik penetasan tempatnya bekerja. Namun sang ayah, tidak hanya kita bisa belajar etos kerja keras ala orang Jepang darinya, tetap bertanggung jawab atas tindakannya. Jelas novel ini mengangkat sebuah isu pertentangan kelas pada waktu itu. Tapi apalah saya membicarakan tentang itu padahal saya tidak menguasainya.

Novel ini bergenre SEMUA UMUR. Ya, novel ini memang aman untuk dibaca semua umur. Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama yang masih anak-anak—Katie. Menakjubkan sekali bahwa pada umur segitu ia sudah mampu menyerap pelajaran hidup. Boleh dibandingkan dengan sang legenda, “To Kill a Mockingbird”, namun “Kira-kira” adalah versi yang lebih sederhana dan unik. Tokoh utama novel ini adalah si korban rasisme itu sendiri. Jika yang biasa diangkat adalah negro, maka kali ini adalah seorang Jepang yang lahir di Amerika.

Kita tahu Jepang adalah negara yang amat maju. Ia juga pernah menjajah banyak negara dan ingin jadi superhero Asia. Namun posisinya tidak selalu di atas ternyata. Keadaan susah orang Jepang di Amerika seperti ini diungkit juga dalam komik “Yokohama”. Bagus loh—meski saya tidak benar-benar membacanya.

Ada yang bilang kalau novel berembel pemenang Newberry Medal ini membosankan (justru saya pinjam novel ini dari dia!). Saya kira ini masalah ketahanan membaca saja. Menurut saya, seandainya novel ini difilmkan maka film tersebut akan ditayangkan oleh Metro TV pada Sabtu malam.

Ada novel Cynthia Kadohata lainnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia—kalau tidak salah dari penerbit yang sama pula. Saya tidak memerhatikan judulnya. Menilik sekilas sinopsis belakang sampulnya, tokoh sentralnya adalah Jepang-Amerika juga.

Terakhir, ada berapa kata “kira” dalam tulisan ini, coba…?

Selasa, 13 September 2011

fiksi

aku ingin tenggelam di dunia yang tidak ada.
jika aku dan kau harus memegang tali,
mari menjalin fiksi di antara kita.

11-9-11
sepanjang kawasan karst dunia

Rabu, 07 September 2011

5W1H tentang TORCH


Apa itu TORCH?
          TORCH adalah singkatan dari Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes Simplex. Keempatnya merupakan penyakit infeksi yang menyerang susunan syaraf pusat.
         
Siapa yang rentan terjangkit TORCH?
TORCH dapat menyerang berbagai kalangan usia dan jenis kelamin, tergantung pada sistem imun yang dimiliki. Infeksi umumnya terjadi pada perempuan dengan tingkat stres yang tidak stabil.

Di mana saja penyebaran TORCH?
 Penyebaran parasit Toxoplasmosa gondii yang sangat luas, yaitu dari daerah Alaska hingga Australia, memungkinkan mekanisme penularan menjadi sangat cepat. Pada populasi dengan keadaan sosial ekonomi yang baik, kurang lebih 60 – 70% orang dewasa menunjukkan hasil pemeriksaan seropositif terhadap infeksi CMV. Pada keadaan ekonomi yang buruk atau di negara berkembang, lebih dari atau sama dengan 80  - 90% masyarakat terinfeksi oleh CMV (Emery and Griffiths, 2002, dalam Anindya, 2010).

Mengapa TORCH penting untuk dicegah dan ditangani?
Tanpa kita sadari, media penularan TORCH merupakan hal yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh, hewan peliharaan, maupun makanan yang tidak dimasak dengan baik. Tanpa sistem imun yang baik, virus ini akan dengan mudah aktif dalam tubuh kita dan menimbulkan akibat serius.
Infeksi Toxoplasmosis pada ibu hamil seakan tidak menimbulkan pengaruh pada ibu itu sendiri, tetapi berakibat serius bagi janin atau bayinya, seperi abortus, prematuritas, hingga retardasi mental. Gejala yang sering terjadi adalah munculnya flek sepanjang kehamilan, janin di dalam rahim tidak berkembang, hamil anggur, atau bayinya meninggal pada usia kandungan 7-8 bulan.
Rubella dikenal juga sebagai campak Jerman. Infeksi virus ini merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa. Namun apabila terjadi pada ibu hamil, virus ini dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Ibu hamil tidak mengalami keguguran atau bayinya meninggal saat lahir, tetapi yang sering terjadi adalah bayi yang dilahirkan mengalami glukoma atau kebutaan, kerusakan pada otak atau pengapuran pada otak, bibir sumbing, tunarungu, dan sulit bicara.
Infeksi primer virus CMV terjadi pada usia bayi, anak-anak, dan remaja yang sedang dalam kegiatan seksual aktif. Penderita infeksi primer tidak memperlihatkan gejala yang khusus, tetapi virus tetap hidup dalam tubuh penderita selama bertahun-tahun. Bagi seorang ibu yang mengidap CMV, pada saat hamil ia akan mengalami keguguran terus menerus atau bayi yang dikandungnya lahir dalam keadaan cacat fisik. Namun hanya sekitar 5 hingga 10 bayi yang terinfeksi CMV menunjukan kelainan sewaktu lahir.
Virus Herpes Simplex atau HSV dibedakan menjadi HSV1 dan HSV2. Bagian yang disukai HSV1 adalah kulit dan selaput lendir mukosa di mata atau mulut, hidung dan telinga. Sedangkan HSV2 di kulit dan selaput lendir pada alat kelamin dan parianal. Wanita hamil yang terinfeksi HSV2 harus ditangani secara serius karena virus dapat menembus plasenta dan menimbulkan kerusakan neonatel sampai kematian janin. Selama belum dilakukan pengobatan yang efektif, perkembangan infeksi ini sulit diramalkan. (Irwan, 2007)
Wanita yang terjangkit Rubella, CMV, atau Herpes dapat menularkan penyakitnya itu kepada suaminya. Sulitnya terjadi kehamilan pada wanita disebabkan oleh karena virus tersebut memperburuk kualitas spermatozoa/sperma (kekentalannya berkurang). Volume sperma yang seharusnya 5 cc menjadi 3 cc dan gerakannya pun sudah berubah.

Bagaimana cara membuktikan apakah kita terjangkit TORCH atau tidak?
Indikasi TORCH dibuktikan dengan diagnosis laboratorik yaitu memeriksa serum darah untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG. Angka-angka yang terbaca pada hasil pemeriksaan laboratorium terhadap serum darah, apakah positif atau negatif, hanya ditemukan sebatas pada penyakit-penyakit infeksi yang bisa tertitrasi, yakni akibat infeksi TORCH.
Meski angka-angka sudah didapat, kepastian mengenai infeksi ini masih harus dibuktikan dengan pemeriksaan lanjutan, seperti biakan kuman dan pemeriksaan cairan amnion.
Sayangnya, pemeriksaan biakan virus belum bisa dilakukan di Indonesia sehingga diagnosis adanya infeksi TORCH hanya berdasarkan hasil laboratorium yang belum tentu 100% benar.
Tak jarang dokter menganjurkan pasien melakukan pemeriksaan ulang ke laboratorium berbeda karena sangat mungkin pemeriksaan di satu laboratorium berbeda dengan hasil di laboratorium lain. Perbedaan itu bisa diakibatkan oleh faktor mesin pemeriksanya maupun akibat penurunan atau peningkatan titer IgG dan IgM sesuai kondisi terkini pasien. (Puspayanti, 2009)
          Selain itu, pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, pun pengobatannya.

Kapan waktu yang tepat untuk mencegah dan menangani TORCH?
          Tidak ada kata nanti untuk menjaga kesehatan diri. Pencegahan dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti memasak daging hingga matang, menghindari kontaminasi bahan mentah terhadap makanan matang, mencuci sayur dan buah yang akan dikonsumsi, membersihkan tangan dengan sabun sebelum makan, hingga menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan dan tidak memberinya makanan mentah.
          Saat ini telah banyak penanganan TORCH berupa pengobatan klinis maupun pengobatan alternatif. Namun yang tidak kalah penting adalah menjaga kondisi psikologis agar tetap stabil. Bergabung dengan komunitas yang kondusif dapat menjadi salah satu cara untuk menguatkan psikis. 
 
Kamu peduli TORCH? Bergabunglah di
http://www.facebook.com/groups/pemudapedulitorch/

Selasa, 06 September 2011

Menimbang Buku dengan Tulisan (Bukan dengan Timbangan!)


Judul buku : Teknik Penulisan Timbangan Buku
Pengarang : P. K. Poerwantana
Penerbit : CV. Aneka Ilmu Semarang
Tahun : 1984
Halaman : iv; 20
Harga : 400 rupiah?!

Di atas adalah poin pertama dalam metode penulisan timbangan buku.

Memang buku ini memiliki judul yang lucu. Kali pertama mendapatinya, saya langsung membayangkan sebuah timbangan dengan buku di wadahnya. Tidak, bukan itu. Jangan bayangkan secara harfiah. Toh pada halaman 3 buku ini dijelaskan bahwa, “Timbangan buku dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “Recentie” artinya ialah wawasan akan baik atau buruknya suatu buku.” Oh, jadi begitu rupanya asal mula kata “resensi” dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia!

Penimbang-buku adalah sahabat penulis-buku—terutama penulis-buku yang baru hendak mengorbit. Timbangan buku a.k.a. resensi mengacu pada buku yang baru terbit agar mendapat perhatian dari mereka yang belum membaca. Peran penimbang-buku adalah memberi nilai atau harga terhadap isi buku sehingga orang tertarik untuk membacanya.

Tulis pengarang dalam halaman 4, “Di Indonesia yang masih terasa sering dilupakan ialah menghargai karya orang lain. Dengan kebiasaan adanya resensi buku dapat berarti mulai menghidupkan adanya rasa mau menghargai karya orang lain.” Perlu diingat bahwa buku ini ditulis tahun 1984—silahkan sesuaikan pernyataan di atas dengan kenyataan kini.

Lanjutnya, “Pengakuan yang obyektif di mass-media berarti memberi hormat, memberi penghargaan, mengorbitkan (dalam arti postif) karya seseorang, sehingga semakin menjauhkan adanya kebiasaan negatif dalam ngrasani atau hanya mencela saja karya orang lain.”

Objektif sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005 (edisi ketiga), berarti “mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi.

Menurut pengarang, metode yang digunakan untuk menimbang buku adalah deskriptif-analitis. Artinya, buatlah “lukisan dalam potret kecil suatu buku” yang kemudian dianalisis secara menyeluruh dan diberi konklusi. Setelah menuliskan poin pertama sebagaimana yang telah saya ungkap di atas, berikut adalah yang perlu diperhatikan dalam timbangan buku.

Pengarang

“Buku yang mendekati baik akan “mencantumkan riwayat singkat” pengarangnya dan karya-karya yang pernah dihasilkan” (halaman 6). Aduh. Buku kita tidak mendekati baik kalau begitu, jika kita baru menerbitkan buku pertama sehingga kita belum punya daftar “karya-karya yang pernah dihasilkan”. Terlepas dari itu, memang hal menarik bukan untuk mengetahui latar belakang seorang pengarang? Ini seperti kita membaca rubrik “SOSOK” di harian KOMPAS. Kita bisa belajar dari pengalaman orang lain melalui rubrik itu.

Namun, “memasukkan nama pengarangnya dalam salah satu alinea tinjauan buku, tidak dimaksudkan sebagai lukisan biografi pengarangnya.” Menurut pengarang, ini hanya sekadar “intermeso yang penting”—tambahan: “Tidak boleh dilupakan”. Jika ada buku yang tidak mencantumkan riwayat pengarang, maka kita perlu untuk tetap mengungkapkannya melalui berbagai isi di dalam buku—contohnya dalam “Prakata”. Pengarang menyebut aktivitas ini dengan “mengerling pengarang”.

“Mengerling pengarang” rupanya memiliki cukup banyak manfaat, di antaranya: mencocokkan keahlian pengarang dan buku yang ditulisnya; mengangkat karya pengarangnya/beserta pengarangnya (tuh, ini mengapa penimbang-buku adalah sahabat penulis-buku); mengenalkan sekadar karya lain yang semacam, dan; mengingatkan pengarang tetap bertanggung jawab pada bobot karyanya.

Abstrak

Bagi mereka yang hendak skripsi, membuat abstrak alias ringkasan atau intisari, harus jadi keterampilan yang wajib dikuasai. Abstrak “memuat informasi singkat tentang isi suatu penulisan dalam 500 kata” (halaman 7).

Dalam resensi, ruang lingkup abstrak bisa lebih luas. Abstrak bisa saja sampai menyinggung sampul buku dan jenis kertas yang digunakan.

Review

Review berarti tinjauan. Menurut pengarang, “tinjauan berarti hanya merupakan laporan saja tanpa hak memberi suatu komentar terhadap buku yang sedang ditinjau” (halaman 7). Kita masih bisa menyumbang saran-saran untuk perbaikan dalam review. Dengan demikian sifat review jauh lebih ringan daripada resensi. Review dibuat sebelum suatu naskah dikeluarkan sedang resensi dibuat setelah penerbitannya. Olala, jelas kini apa bedanya review dengan resensi!

Evaluasi dan kritik

“Evaluasi ialah memberi nilai akan baik atau buruknya sesuatu hal. Dalam hal ini menyangkut suatu nilai atau bobot suatu buku dengan memberikan standar tertentu.” Sedang “kritik adalah uraian tentang suatu kelemahan yang terdapat dalam buku. Seorang kritikus biasanya perlu bahan yang sesuai antara keahliannya dan bahan yang menjadi kritikan. …. Dengan demikian diharapkan seseorang yang sedang meresensi suatu buku tidak jauh bertindak sebagai kritikus. Diharapkan hanya memberikan komentar akan baik dan buruknya suatu buku dengan lebih menekankan pada yang positif” (halaman 8).

Seorang peresensi sebaiknya mencari perbandingan dari buku yang semacam sebagai tolok ukur penilaian.

Konklusi

Konklusi bisa berupa judul timbangan buku, bisa pula kutipan yang menjadi ciri khas buku tersebut. Untuk penutup sendiri, bisa ditambahkan koreksi redaksionil seperti salah cetak.

Pengarang menyarankan agar buku yang dipilih untuk ditimbang adalah “yang paling dekat dengan keahliannya/jurusannya sehingga memudahkan dalam memberi komentar” (halaman 11).

Timbangan buku bukanlah untuk menentukan harga mati sebuah buku, melainkan hanya sebagai arahan. Pengarang menyertakan dua contoh timbangan buku yang sudah pernah dimuat di media massa sebagai contoh untuk dipelajari. Di bab II juga terdapat cara mengirimkan resensi ke penerbit (majalah dan surat kabar). Cara tersebut mungkin masih relevan untuk digunakan setelah dua-puluhan tahun sejak buku ini terbit.

Jadi, terserah mau menimbang buku dengan timbangan betulan atau dengan tulisan—sebagaimana yang sudah saya nukil di atas. Menimbang dengan apapun tampaknya akan sama-sama memberi manfaat bagi calon pembaca. Jelas penulis-buku akan merasa senang juga jika bukunya dibaca, bukan?

Omong-omong, sudah ada belum ya kios/toko/stand-di-pameran buku yang menjual buku secara kiloan? Ya, itu, dengan timbangan.

Senin, 05 September 2011

penggalan WARBUNG 2010: Zahra


Siang menjelang sore ini, ketika sedang menyapu (/mengepel ya?) carport belakang saya teringat mereka. Hari ini sekiranya hari pertama masuk sekolah setelah libur lebaran. Saya ingat saat hari pertama mereka masuk sekolah setelah liburan juga—namun rupanya itu libur pergantian semester. Apapun deh. Silahkan menikmati penggalan novel yang diketik pada Juni 2010 ini. :)


12

Sungguh ia ingin tahu. Seolah hanya Mas Imin tumpuan harapannya. Rasa-rasanya segala perlakuan Mas Imin padanya kemarin memang untuk mengesankan bahwa sang kakak siap mendengar bermacam keluh kesah adiknya. Maka didekatinya Mas Imin yang tengah menggaruk-garuk kepala di atas barisan kolom berhiaskan lambang integral di mana-mana. Padahal Mas Imin katanya baru pulang bimbel, tapi setelah sampai rumah dan bersih-bersih, sudah siap tempur lagi. Sudah ia nanti-nanti keberadaan Mas Imin sejak tadi, hanya untuk bertanya, “Emang cara ngedapetin temen yang banyak gimana, Mas?”

Ternyata tampang Mas Imin biasa saja, seakan yang Zahra tanyakan adalah apa saja bumbu untuk memasak nasi goreng. Padahal Zahra semula mengira terlebih dahulu Mas Imin akan meresponnya dengan kernyitan aneh. Bukankah ini suatu pertanyaan bodoh? Malu sebenarnya Zahra menanyakan itu. Tapi apa boleh buat, sudah terlanjur.

Mas Imin termenung sebentar mendengar pertanyaan Zahra tersebut. Lalu katanya, “Waktu MOS kan diajarin cara berinteraksi dengan orang lain, yang sekian S itu.” Zahra mengernyit. Mas Imin menghitung dengan jarinya. “Senyum. Salam. Sapa. Sekian.”

“Sopan. Santun,” Zahra melanjutkan.

“Ah, ya, itu dia deh.”

Zahra pikir, intinya tidak jauh berbeda dengan buku etiket yang curi-curi dibacanya di Gramedia BSM[1] beberapa waktu silam. Setidaknya ia tidak harus mengeluarkan uang seratus ribuan lebih untuk itu. Mengaplikasikan tiga yang pertama mungkin sudah cukup untuk pembelajaran awal. Pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Ia sadari memang ia hanya tersenyum kalau kelepasan. Hanya memberi salam kalau terpaksa. Hanya menyapa kalau disapa duluan. O, kini ia yang harus mengasah inisiatifnya sendiri.

“Emang kenapa gitu, Zahra?”

“Ng… Ada deh!”

Maka, seiring dengan berjalannya tahun yang baru, Zahra memasuki pula semester baru KBM-nya, dan ia menahbiskan diri untuk menjadi seorang Zahra yang baru. Zahra yang hangat dan bersahabat. Unan juga punya banyak teman, mengapa ia tidak?

Maka, keesokan paginya Zahra menginjak ubin lorong menuju kelasnya—tidak ada yang baru dari sekolah di semester baru ini—dengan langkah lebih ringan. Dengan mengulas senyum. Terus menerus mengingatkan dirinya untuk mempertahankan senyum itu selama mungkin. Ia melihat orang-orang tersenyum juga, bahkan tertawa, kendati bukan kepada dirinya. Belum. Ah, andai ia juga bisa selepas mereka dalam mengekspresikan kesenangan batin, atau lihai dalam menyembunyikan kesengsaraan.

Aaah, tadi ia berpapasan dengan Arderaz, dan cowok jangkung itu balas tersenyum simpul padanya! Kya…

Zahra merasa mendapatkan energi tambahan untuk terus tersenyum. Meskipun setelah itu ia tidak menangkap ada senyum lain yang secara khusus ditujukan padanya. Tapi tidak apa-apa. Hari masih pagi…

“Hai, Cinta, met semester baru, ya!”

Zahra menoleh ke kanan kiri dengan bingung. Memang tidak hanya mereka berdua yang ada di kelas itu. Tapi hanya ada mereka berdua pada salah satu sisi kelas. Dan mata Dean memang mengarah padanya. Zahra merinding. Meskipun ingat bahwa gaya bahasa Dean memang suka pakai “cinta-cintaan” pada teman-temannya—terutama yang cewek, Zahra tetap merinding.

Dalam hati ia mengeluh. Apakah kalau ia bertemu Arderaz di satu waktu, ia akan bertemu dengan Dean di waktu berikutnya? Karena setelah diingat-ingat, itulah yang terjadi sejak MOS. Dan tidak pernah yang terjadi adalah kebalikannya, padahal frekuensi Zahra bertemu Dean di sekolah hampir setiap hari.

“Perasaan kita belum ada PR lagi deh.” Zahra merasa tidak perlu memberi senyum pada bocah yang satu ini.

“Ahahaha… Iya ya. Ini kan semester baru!” balas Dean dengan tawa riangnya sembari mengusap-usap bagian belakang kepala. Tak lama kemudian wajahnya juga menyirat bingung. Mungkin selain dalam urusan pelajaran, mereka berdua memang tidak nyambung. Seolah tidak terjadi apa-apa, Dean berlalu begitu saja. Dengan riangnya, sembari menghampiri kawanannya di sisi kelas yang lain, ia berkata, “Kebiasaan nangkring di bangku Zahra sih kalau pagi-pagi…”

Tawa meledek teman-temannya meledak. “Ih, Dean, pagi-pagi udah oneng aja...!” Yak, betul. Zahra membenarkan dalam hati. Lalu ia duduk di bangkunya. Memasang kembali senyumnya. Akankah ia tersenyum terus pada papan tulis?

Zahra memandang ke sekeliling kelas. Orang-orang sudah bercampur dengan kawanannya masing-masing. Ada beberapa memang yang terlihat duduk sendiri-sendiri, tapi Zahra tak mengenal mereka. Tercetus inisiatif untuk memulai suatu perkenalan. Iya. Tidak. Iya. Tidak.

“Assalamualaikum, Zahra…” sapa Syifa. Ia masih menggendong ransel kulitnya. Zahra jadi ingat kalau tadi malam sudah janjian dengan Unan untuk duduk sebangku. Tapi terlebih dahulu ia harus membalas salam Syifa. Ah, iya, salam!

“Maaf, Syifa, hari ini aku janjian duduk sama Unan,” ucap Zahra. Merasa keterampilan sosialnya membaik karena telah mengucap “maaf”.

“Oh, nggak apa-apa, Zahra,” senyum Syifa, seolah hal tersebut takkan membuat hubungan di antara mereka retak.

“Terima kasih,” Zahra mengucapnya, dan merasa keterampilan sosialnya menjadi lebih baik lagi.

Kemajuan yang menyenangkan di awal tahun! Zahra bersorak dalam hati. Sekarang ia hendak minta “tolong” pada siapa ya? Zahra pernah membaca, salah satu kunci dalam hubungan sosial yang baik adalah fasih mengucap “maaf”, “terima kasih”, dan “tolong”.

Pada mereka yang selanjutnya mengambil duduk di sekitar bangkunya, Zahra berusaha melempar senyum. Namun tidak semuanya ngeh. Mereka yang balas tersenyum adalah yang sadar kalau sedari tadi Zahra melihat pada mereka. Zahra sendiri menyadari hal tersebut. Ia jadi merasa dirinya menyeramkan. Bertanya-tanya ia dalam hati, bagaimana caranya agar setiap yang dituju dapat menangkap senyumnya dan tergugah untuk membalas.

Nah, itu Unan datang. Kali ini Zahra ingat untuk menyertakan salam juga dalam senyumnya. Tapi ia bingung. Salam seperti apa yang hendak ia utarakan. “Assalamualaikum” rasanya hanya terdengar lumrah di kalangan anak DKM. Syifa anak DKM. Unan bukan. Ucapan “selamat pagi” kedengarannya seperti hendak membuka pidato. Kalau “how are you?”, memangnya ibu mereka berbahasa Inggris? Dan apakah itu berupa salam? Bisa-bisa Unan malah menertawakannya.

Untung masih ada jurus selanjutnya! Sapa!

“Hai!” sapa Zahra, yang dibalas senyum heran Unan. Biasanya Unan duluan yang menyapa.

“Hai juga,” jawab Unan dengan gestur cueknya. Sambil duduk ia melepaskan ranselnya. “Udah bikin resolusi? Gimana jadinya?”

“Mm… Belum euy. Masih berubah-ubah…” bohong Zahra. Ia malu mengaku kalau isi resolusinya hanya: 1. Memperbaiki keterampilan sosial, dan; 2. Lancar ngomong di depan kelas.

“Oh.” Unan mengeluarkan selembar rajutan yang belum jadi dari ransel di pangkuannya. “Ini salah satu isi resolusiku taun ini loh. Bikin syal rajutan buat diriku sendiri.”

Zahra manggut-manggut. Masih berusaha mempertahankan senyum. Mendadak ia ingat bahwa kata “tolong” belum diucapkannya pada siapa pun. Diliriknya Unan. Pelan ucapnya, “Eh, Unan, tolong…”

“Tolong apa?”

“Nggak papa. Lagi pingin ngomong itu aja.”

Unan mendengus, lalu tertawa. Akhirnya tetap juga ia ditertawakan Unan. Tapi tidak apa-apa. Dipikir-pikir, Zahra senang melihat Unan tertawa.

:)


[1] Bandung Super Mall

Minggu, 04 September 2011

Doa Hari Ini

Ya Allah, ampunilah aku atas segala kekerasan yang telah aku lakukan kepada para anak kucing di rumahku, baik yang disengaja ataupun tidak. Semoga mereka tidak nakal dan manja lagi. Amin.

Sabtu, 03 September 2011

Best of the Night Writing Session edisi 1 September 2011 dengan tema: RAMBUT

...jatuh kepada...


oleh Dyah Setyowati Anggrahita


Waha.


Tengzu... Tengzu... *menyambut aplaus dengan dialek Dieng*

Tengah malam kemarin, Zka sms saya untuk mengabarkan soal di atas. Dia juga yang tahun lalu mengabarkan kalau cerpen saya dimuat di majalah *******. Padahal sebelumnya saya tidak tahu lo, mengenai keduanya.... Terima kasih, teman, mohon dukungannya selalu. Mungkin dia juga yang besok lebih dulu menemukan novel saya di Gramedia, hehe.

Pertama kali saya kirim karya ke Writing Session berupa lirik lagu. Dimuat dan sekadar itu saja. Ini kali kedua saya berpartisipasi--kali ini baru cerpen. Cerpen Zka sendiri sudah lebih dulu dimuat di sana. Dia senang lo kalau ada yang mengapresiasi karyanya. ^^ Baca yuk...


oleh Rizka Andina


N. B.: Cerpen "Rambut Cakrawala" terilhami dari kisah teman saya. Sebagian adegan dalam cerpen ini nyata sedang sebagian lagi adalah prasangka saya. Saya sendiri bermain jadi cameo dalam cerpen itu... :p Yang mana yaa...

Jumat, 02 September 2011

Teh Manis

ini satu tulisan yang sempat saya buat waktu KKN,


Di Dieng, saya sempat mengalami lemas-lemas lagi ketika menstruasi. Saya pernah mengalami masa semacam ini sebelumnya—baik sedang menstruasi atau tidak—dan tersembuhkan sejak saya praktek di Getas selama 25 hari. Di sana, jadwal makan saya selalu teratur dengan gizi lengkap. Saya merasa jadi orang yang kuat sepulangnya dari sana. Sejak itu saya menyadari pentingnya makan teratur dan, terutama, sarapan. 

Ketika sedang lemas-lemas begitu, saya sms Bunda Euis—warga Desa Taman Jaya, Ujung Kulon, yang beserta keluarganya telah amat baik mengurus kami sekelompok sewaktu praktek di sana. Saya sempat berpikir saya kembali lemas-lemas begini juga karena selama KKN ini jadwal sarapan saya jadi kembali tidak teratur dan kecukupan gizinya pun tidak menjamin. Tapi bisa juga karena hal lain. Berikut balasan Bunda, “Darah rendah kali Mbak… Makanya jaga kondisi, pola hidup sehat harus diamalkan… Meski Mbak Teteh agak menelantarkan isi perut (saking asiknya KKN tuuuh), darahne ditensi ya Sayang…”

Saya jadi ingat. Dulu juga saya pernah mengungkapkan hal yang sama pada bunda yang lain—kali ini salah seorang anggota FLP Yogyakarta yang juga beken disebut Bunda. Bunda yang satu ini juga menengarai saya darah rendah. Akibatnya, saya langsung beli Sangobion. Efeknya saya sudah lupa. Ini terjadi sebelum saya praktek di Getas.

Kata Bunda Euis lagi, “Diusahakan banyak minum teh manis ya Sayang…”

Pada kesempatan menonton matahari terbit di Bukit Sikunir, Desa Sembungan, saya bukan hanya lemas tapi juga kompilasi antara maag, masuk angin, dan gejala diare. Pada hari sebelumnya, saya hanya makan beberapa keping biskuit Togo, tempe kemul, dan entah apa saat pagi menjelang siang. Siang, saya hanya makan beberapa iris tomat dan timun karena mual. Menjelang sore, saya bisa makan sedikit nasi uduk, ayam, dan sambal kacang. Malam, saya makan mi goreng. Sepanjang perjalanan kembali dari Bukit Sikunir pun saya sesekali menahan perih di dalam perut. Seorang teman mengatakan pada saya untuk minum teh manis.

Membuat teh manis di pagi hari mulanya saya anggap sebagai kebiasaan orang tua. Bude suka membuat teh manis di pagi hari. Papa juga suka melakukannya untuk kami—tapi saya lupa, pagi atau sore. Dan saya pikir saya tak perlu menggantikannya untuknya. Berdasarkan hasil penelusuran saya di internet, terlalu banyak mengonsumsi teh itu tidak baik. Maka setiap kali Papa menyuruh saya untuk minum teh manis buatannya, saya akan meminumnya dengan berat hati—selain karena Papa suka membikinkan teh dari gelas bekas pakai sebelumnya.

Kini, saya jadi mengerti betapa berartinya segelas teh manis di pagi hari—terutama apabila tidak tersedia sarapan tepat waktu dan tepat gizi.

ditulis pada 31 Juli 2011, 10.39 WIB
 sumber gambar

Kamis, 01 September 2011

Selamat datang, September!

Di bulan yang ceria dan milik kita bersama ini, bertepatan dengan momentum lepasnya kita dari bulan Ramadhan (:'(( ), saya ingin memulai beberapa kebiasaan baru. Apa ya? Salah satunya adalah posting tulisan di blog setiap hari. Bisakah? Ya setidaknya setiap kali konek ke internet dah.

Daripada entri tanggal 1 September tidak keisi, mari kita mulai dengan sesuatu yang baik yaitu kutipan-kutipan motivasi!

Ehm, entah memang bisa kasih motivasi apa tidak, yang jelas ini asli saya karang untuk diri saya sendiri pada hari itu juga di bundel-catatan-harian-LKJ saya.


"Mungkin aku harus belajar menulis dari awal dan enggak beranggapan kalau aku sudah bisa menulis sebelumnya."

"A passion is something that can keep you alive."

"Rahasia berteman adalah letakkan bukumu dan pergi ajak orang lain jalan-jalan."

"Berubah mungkin saja semudah mengganti cara pandang."

Semoga kutipan-kutipan* ini tidak terlalu bodoh untuk dipublikasikan. Yang jelas merekalah yang bakal menggerakkan saya mulai September hingga seterusnya. Jadi, Ramadhan tahun depan, lihatlah bahwa saya sudah jadi orang yang lebih baik kala menyongsongmu! Insya Allah.

* (enggak ngutip sih sebetulnya, emang jumlah kalimatnya cuman segitu dari dalam pikirannya juga) 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...