Siang menjelang sore
ini, ketika sedang menyapu (/mengepel ya?) carport belakang saya teringat
mereka. Hari ini sekiranya hari pertama masuk sekolah setelah libur lebaran.
Saya ingat saat hari pertama mereka masuk sekolah setelah liburan juga—namun
rupanya itu libur pergantian semester. Apapun deh. Silahkan menikmati penggalan
novel yang diketik pada Juni 2010 ini. :)
12
Sungguh ia ingin tahu. Seolah hanya Mas Imin tumpuan
harapannya. Rasa-rasanya segala perlakuan Mas Imin padanya kemarin memang untuk
mengesankan bahwa sang kakak siap mendengar bermacam keluh kesah adiknya. Maka
didekatinya Mas Imin yang tengah menggaruk-garuk kepala di atas barisan kolom
berhiaskan lambang integral di mana-mana. Padahal Mas Imin katanya baru pulang
bimbel, tapi setelah sampai rumah dan bersih-bersih, sudah siap tempur lagi.
Sudah ia nanti-nanti keberadaan Mas Imin sejak tadi, hanya untuk bertanya,
“Emang cara ngedapetin temen yang banyak gimana, Mas?”
Ternyata tampang Mas Imin biasa saja, seakan yang Zahra
tanyakan adalah apa saja bumbu untuk memasak nasi goreng. Padahal Zahra semula
mengira terlebih dahulu Mas Imin akan meresponnya dengan kernyitan aneh.
Bukankah ini suatu pertanyaan bodoh? Malu sebenarnya Zahra menanyakan itu. Tapi
apa boleh buat, sudah terlanjur.
Mas Imin termenung sebentar mendengar pertanyaan Zahra
tersebut. Lalu katanya, “Waktu MOS kan
diajarin cara berinteraksi dengan orang lain, yang sekian S itu.” Zahra
mengernyit. Mas Imin menghitung dengan jarinya. “Senyum. Salam. Sapa. Sekian.”
“Sopan. Santun,” Zahra melanjutkan.
“Ah, ya, itu dia deh.”
Zahra pikir, intinya tidak jauh berbeda dengan buku etiket
yang curi-curi dibacanya di Gramedia BSM[1]
beberapa waktu silam. Setidaknya ia tidak harus mengeluarkan uang seratus
ribuan lebih untuk itu. Mengaplikasikan tiga yang pertama mungkin sudah cukup
untuk pembelajaran awal. Pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan
sosialnya. Ia sadari memang ia hanya tersenyum kalau kelepasan. Hanya memberi
salam kalau terpaksa. Hanya menyapa kalau disapa duluan. O, kini ia yang harus
mengasah inisiatifnya sendiri.
“Emang kenapa gitu, Zahra?”
“Ng… Ada deh!”
Maka, seiring dengan berjalannya tahun yang baru, Zahra
memasuki pula semester baru KBM-nya, dan ia menahbiskan diri untuk menjadi
seorang Zahra yang baru. Zahra yang hangat dan bersahabat. Unan juga punya
banyak teman, mengapa ia tidak?
Maka, keesokan paginya Zahra menginjak ubin lorong menuju
kelasnya—tidak ada yang baru dari sekolah di semester baru ini—dengan langkah
lebih ringan. Dengan mengulas senyum. Terus menerus mengingatkan dirinya untuk
mempertahankan senyum itu selama mungkin. Ia melihat orang-orang tersenyum
juga, bahkan tertawa, kendati bukan kepada dirinya. Belum. Ah, andai ia juga
bisa selepas mereka dalam mengekspresikan kesenangan batin, atau lihai dalam
menyembunyikan kesengsaraan.
Aaah, tadi ia berpapasan dengan Arderaz, dan cowok jangkung
itu balas tersenyum simpul padanya! Kya…
Zahra merasa mendapatkan energi tambahan untuk terus
tersenyum. Meskipun setelah itu ia tidak menangkap ada senyum lain yang secara
khusus ditujukan padanya. Tapi tidak apa-apa. Hari masih pagi…
“Hai, Cinta, met semester baru, ya!”
Zahra menoleh ke kanan kiri dengan bingung. Memang tidak
hanya mereka berdua yang ada di kelas itu. Tapi hanya ada mereka berdua pada salah
satu sisi kelas. Dan mata Dean memang mengarah padanya. Zahra merinding.
Meskipun ingat bahwa gaya
bahasa Dean memang suka pakai “cinta-cintaan” pada teman-temannya—terutama yang
cewek, Zahra tetap merinding.
Dalam hati ia mengeluh. Apakah kalau ia bertemu Arderaz di satu waktu, ia akan bertemu dengan Dean di waktu berikutnya? Karena setelah diingat-ingat, itulah yang terjadi sejak MOS. Dan tidak pernah yang terjadi adalah kebalikannya, padahal frekuensi Zahra bertemu Dean di sekolah hampir setiap hari.
“Perasaan kita belum ada PR lagi deh.” Zahra merasa tidak
perlu memberi senyum pada bocah yang satu ini.
“Ahahaha… Iya ya. Ini kan
semester baru!” balas Dean dengan tawa riangnya sembari mengusap-usap bagian
belakang kepala. Tak lama kemudian wajahnya juga menyirat bingung. Mungkin
selain dalam urusan pelajaran, mereka berdua memang tidak nyambung. Seolah
tidak terjadi apa-apa, Dean berlalu begitu saja. Dengan riangnya, sembari
menghampiri kawanannya di sisi kelas yang lain, ia berkata, “Kebiasaan nangkring
di bangku Zahra sih kalau pagi-pagi…”
Tawa meledek teman-temannya meledak. “Ih, Dean, pagi-pagi
udah oneng aja...!” Yak, betul. Zahra
membenarkan dalam hati. Lalu ia duduk di bangkunya. Memasang kembali senyumnya.
Akankah ia tersenyum terus pada papan tulis?
Zahra memandang ke sekeliling kelas. Orang-orang sudah
bercampur dengan kawanannya masing-masing. Ada beberapa memang yang terlihat duduk
sendiri-sendiri, tapi Zahra tak mengenal mereka. Tercetus inisiatif untuk
memulai suatu perkenalan. Iya. Tidak. Iya. Tidak.
“Assalamualaikum, Zahra…” sapa Syifa. Ia masih menggendong
ransel kulitnya. Zahra jadi ingat kalau tadi malam sudah janjian dengan Unan
untuk duduk sebangku. Tapi terlebih dahulu ia harus membalas salam Syifa. Ah,
iya, salam!
“Maaf, Syifa, hari ini aku janjian duduk sama Unan,” ucap
Zahra. Merasa keterampilan sosialnya membaik karena telah mengucap “maaf”.
“Oh, nggak apa-apa, Zahra,” senyum Syifa, seolah hal tersebut
takkan membuat hubungan di antara mereka retak.
“Terima kasih,” Zahra mengucapnya, dan merasa keterampilan
sosialnya menjadi lebih baik lagi.
Kemajuan yang menyenangkan di awal tahun! Zahra bersorak
dalam hati. Sekarang ia hendak minta “tolong” pada siapa ya? Zahra pernah
membaca, salah satu kunci dalam hubungan sosial yang baik adalah fasih mengucap
“maaf”, “terima kasih”, dan “tolong”.
Pada mereka yang selanjutnya mengambil duduk di sekitar
bangkunya, Zahra berusaha melempar senyum. Namun tidak semuanya ngeh. Mereka
yang balas tersenyum adalah yang sadar kalau sedari tadi Zahra melihat pada
mereka. Zahra sendiri menyadari hal tersebut. Ia jadi merasa dirinya
menyeramkan. Bertanya-tanya ia dalam hati, bagaimana caranya agar setiap yang
dituju dapat menangkap senyumnya dan tergugah untuk membalas.
Nah, itu Unan datang. Kali ini Zahra ingat untuk menyertakan
salam juga dalam senyumnya. Tapi ia bingung. Salam seperti apa yang hendak ia
utarakan. “Assalamualaikum” rasanya hanya terdengar lumrah di kalangan anak
DKM. Syifa anak DKM. Unan bukan. Ucapan “selamat pagi” kedengarannya seperti
hendak membuka pidato. Kalau “how are you?”,
memangnya ibu mereka berbahasa Inggris? Dan apakah itu berupa salam? Bisa-bisa
Unan malah menertawakannya.
Untung masih ada jurus selanjutnya! Sapa!
“Hai!” sapa Zahra, yang dibalas senyum heran Unan. Biasanya
Unan duluan yang menyapa.
“Hai juga,” jawab Unan dengan gestur cueknya. Sambil duduk ia
melepaskan ranselnya. “Udah bikin resolusi? Gimana jadinya?”
“Mm… Belum euy.
Masih berubah-ubah…” bohong Zahra. Ia malu mengaku kalau isi resolusinya hanya:
1. Memperbaiki keterampilan sosial, dan; 2. Lancar ngomong di depan kelas.
“Oh.” Unan mengeluarkan selembar rajutan yang belum jadi dari
ransel di pangkuannya. “Ini salah satu isi resolusiku taun ini loh. Bikin syal
rajutan buat diriku sendiri.”
Zahra manggut-manggut. Masih berusaha mempertahankan senyum.
Mendadak ia ingat bahwa kata “tolong” belum diucapkannya pada siapa pun.
Diliriknya Unan. Pelan ucapnya, “Eh, Unan, tolong…”
“Tolong apa?”
“Nggak papa. Lagi pingin ngomong itu aja.”
Unan mendengus, lalu tertawa. Akhirnya tetap juga ia
ditertawakan Unan. Tapi tidak apa-apa. Dipikir-pikir, Zahra senang melihat Unan
tertawa.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar