Senin, 30 Maret 2020

Krisis Lepasnya Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak Muda

Adrien Brody sebagai guru
yang selalu bertampang sedih.
Gambar dari Wikipedia.
Teman chat saya di New York memberi tahu bahwa dia baru saja menonton sebuah film yang dia nikmati. Judulnya Detachment dan film tersebut bisa ditonton gratis di YouTube

Ini baru namanya rekomendasi!

Saya pun mencari informasi tentang film tersebut di Wikipedia.

Boleh juga.

Di YouTube memang tersedia filmnya--full movie. Tapi, film tersebut sudah dilengkapi dengan subtitle bahasa Turki yang tidak bisa dihilangkan. Adapun subtitle yang bahasa Inggris auto generated saja. Not bad lah, daripada enggak ada.

Saya pun menanyai dia apakah memang video itu yang dia maksud. Dia memberikan link ke YouTube yang sepertinya tanpa subtitle bahasa Turki. Tapi sayang, saya tidak bisa membukanya.

Maka saya pun menonton yang ada saja. Dia bilang mudah-mudahan yang saya tonton itu audionya berbahasa Inggris. Ya iyalah, kata saya, yang bahasa Turki subtitle-nya doang dan enggak di-dubbling. Oke deh.

Detachment menceritakan tentang kehidupan seorang tokoh yang diperankan Adrien Brody, selama menjadi guru pengganti di sebuah SMA di New York. SMA tersebut bermasalah. Banyak muridnya yang pembangkang atau bikin ulah, entahkah dengan melempar tas guru atau pakai baju super minim. Guru-guru tidak dihormati, mulai dari diabaikan sampai diludahi.

Diperlihatkan secara sekilas-sekilas bagaimana Adrien Brody--eh, nama tokohnya Henry Barthes--serta beberapa rekan guru di sekolahnya dalam mengatasi para murid bengal itu.

Dalam hal ini, sepertinya sudah ada beberapa film yang semacam, misalnya saja Freedom Writers dengan Hillary Swank serta Dangerous Minds (yeah, "Gangsta Paradise"!) dengan Michelle Pfeiffer. Tapi, sebenarnya saya belum menonton kedua film itu jadi tidak bisa membandingkan. (Terus, kenapa disebut-sebut? :v)

Di film ini sendiri, Adrien Brody, eh, Henry Barthes cenderung menggunakan pendekatan yang to the point dan emphatic. Semacam, yah, yah, gue tahu lu punya masalah, gue juga punya, semua orang punya, jadi, nih sekarang gue kasih lu kertas sama pulpen, dan kerjain aja tugasnya, enggak usah banyak cincong lay. 

Salah satu tugas yang diberikannya yaitu menulis pikiran atau perasaan orang yang ditinggalkan apabila si penulis telah mati. Ada yang membuat tulisannya secara asal-asalan sehingga mengundang tawa, ada pula yang tampaknya serius dengan menyiratkan bahwa ia hendak mati bunuh diri. Tulisan itu dibuat tanpa nama.

Para guru lain punya caranya sendiri-sendiri dalam mengatasi masalahnya. Ada guru yang sepertinya sama sekali enggak bisa berkutik, dan menyalurkan frustrasinya dengan mendorong-dorong pagar. Ada guru yang meminum suatu obat supaya bisa tenang dalam menghadapi murid. Ada guru yang balik marah-marah pada muridnya.

Untuk adegan yang belakangan ini, yang dibawakan oleh Lucy Liu, saya merasakan betapa dalam sesungguhnya kekhawatiran seorang guru pada generasi muda yang benar-benar cuek pada masa depannya. Kayak ngegampangin gitu. Mereka enggak tahu dunia nyata di luar sana, dan enggak mau mendengarkan orang-orang yang berusaha membimbing mereka. Tapi, jangan-jangan, sikap acuh tak acuh ini sekadar hasil dari pola asuh orang tuanya.

Memang tema yang mengemuka dalam film ini, yang saya tangkap, adalah ketidakhadiran orang tua. Hal ini secara jelas tapi implisit (eh, gimana, gimana?) ditunjukkan dalam adegan ketika sekolah tersebut mengadakan acara POMG (alias Pertemuan Orang-tua Murid dan Guru, kalau ada yang belum tahu), dan tidak ada satu pun orang tua yang datang.

Ketidakhadiran orang tua ini juga justru dialami oleh si tokoh utama sendiri, si guru pengganti Henry Barthes. Persoalannya di sekolah silih berganti dengan persoalan pribadinya: hubungan dia dengan kakeknya yang sakit-sakitan di panti jompo, serta cuplikan-cuplikan kenangan akan ibunya yang telah mati bunuh diri. Si kakek tampaknya sangat terpengaruh oleh kematian si ibu, penuh rasa bersalah.

Perhatian: bagian berikutnya mengandung bocoran yang bertubi-tubi.

Sedikit-sedikit diungkapkan fakta-fakta cerita, yang menimbulkan asumsi pada saya, bahwa jangan-jangan si kakek itu sebenarnya ayah Henry. Henry bercerita bahwa ayahnya telah pergi lama sekali, sehingga yang dia ingat dari masa kecilnya hanyalah di rumah selalu hanya ada mereka bertiga: dia, si kakek, dan si ibu. Dan, tiap malam, si ibu menyuruh Henry mengunci pintu kamarnya.

Teman chat saya di New York, oke, sebut saja dia dengan inisialnya, E, tidak sampai berpikir begitu. Menurut dia, si kakek sekadar melakukan pelecehan seksual kepada si ibu.

Mungkin saja mereka orang tua dan anak betulan. Lagi pula, kasus inses ada saja kejadiannya di dunia nyata.

Yang menjadi petunjuk bagi saya bahwa si kakek dan si ibu tidak mesti berhubungan darah, tapi sekadar pria lebih tua dan wanita lebih muda yang tinggal serumah, adalah subplot lainnya dalam film ini, di mana Henry membolehkan seorang pelacur remaja tinggal di rumahnya dan merawat gadis itu. Sebelumnya, gadis itu kerap dilecehkan pria-pria. Tapi Henry memperlakukan dia dengan baik sehingga timbul perasaan khusus pada si gadis.

Henry mau mengajak si gadis tinggal di rumahnya.
Gambar dari blog John Markham.

Kemudian, ada adegan ketika Henry mengobrol dengan kakeknya yang semacam berhalusinasi melihat si ibu. Henry pun berpura-pura menjadi ibunya, dan memanggil si kakek dengan "daddy". Sepintasnya sih begitu. Tapi, jangan-jangan, sebetulnya Henry bersungguh-sungguh ketika menyebut si kakek sebagai "daddy", alih-alih karena bermain peran sebagai ibunya.

Sementara itu, sensitivitas Henry rupanya juga memikat salah seorang siswi di sekolahnya. Ketika siswi yang berjiwa nyeni itu mendekati dia, timbullah kesadaran Henry bahwa dia bisa saja berakhir seperti kakeknya dan ibunya--sebagai pria yang lebih tua menjalin hubungan tertemu dengan wanita yang lebih muda dan seterusnya. Ia tidak mau hal itu sampai berulang, sehingga ia pun menolak siswi tersebut dan menyerahkan si gadis yang tinggal di rumahnya itu kepada panti sosial.

Pak guru sedang didekati siswinya.
Gambar dari The Case for Global Film.

Penolakan itu agaknya memicu angst (?) terpendam siswi tersebut. Sepertinya dialah yang menyiratkan akan bunuh diri pada tugas menulis soal kematian itu. Dalam suatu acara sekolah, ia telah menyiapkan kue-kue. Salah satu kue rupanya mengandung racun, yang dimakannya sendiri sehingga ia seketika tewas terkapar di antara orang-orang lainnya di sekolah.

Setelah menonton film berdurasi sekitar satu setengah jam ini, beberapa orang berkomentar bahwa nuansanya begitu depresif.

Saya sendiri jadi penasaran untuk mengonfirmasikannya pada E, seberapa dekat isi film ini dengan kenyataan yang ada di negaranya. Apalagi, saya baca di salah satu komentar, bahwa SMA yang dipakai dalam film ini berada di New York--tempat si E lahir dan dibesarkan, katanya sih.

Berikut ini "wawancara" saya dengan E, yang sudah ditata dan dibahasaindonesiakan.

S adalah saya, dan E adalah dia.

S: Baru selesai nonton Detachment. Ada yang pengin saya tanyain nih.

E: Nanya apa?

S: Film ini benar-benar menggambarkan kenyataan di sana?

E: Sedikit.

S: Cuma sedikit?

E: Pengalaman saya waktu SMA sih, murid-murid emang enggak baik sama gurunya. Enggak menghormati, gitu. Orang tua bener-bener manjain anaknya, dan menyalahkan guru apa pun kesalahannya. Film ini menunjukkan kenyataan itu dalam situasi yang paling ekstremnya.

S: Paling ekstrem, ya. Biar dramatis, ya, kayaknya, biar menarik.

E: Iya, tapi emang betulan ada sih, hehe.

S: Terus saya baca di komen katanya sekolah di film ini ada di New York?

E: Iya.

S: Ada yang enggak akuratnya, enggak sih (terlepas dari dramatisasinya)?

E: Kalau ada murid yang meludah atau berbuat kekerasan sama guru, bisa dipanggil polisi tuh. Terus biasanya sih enggak ada yang bunuh diri di sekolah. Kemungkinannya orang bunuh diri di rumah, yang jelas enggak di sekolah. Udah gitu, kalau ada murid yang bunuh hewan (ada adegan menonjoki kucing sampai mati di film ini), langsung dibawa ke psikiater.

S: Di sana emang banyak remaja bunuh diri, ya?

E: Di New York? Sejujurnya, enggak juga sih. Sekolah-sekolah yang jelek di New York, kebanyakan muridnya minoritas. Di sini, anggapannya biasanya orang kulit putih yang banyak bunuh diri. Maksudnya, stereotipenya, orang kulit putih yang bunuh diri, kalau minoritas mah enggak. Jadi karena stereotipe itulah, enggak banyak minoritas yang bunuh diri.

S: Tapi itu kan "stereotipenya". Kenyataannya gimana?

E: Di Amerika Serikat, 70% dari yang bunuh diri itu laki-laki kulit putih.

S: Oh, gitu. Jadi, gimana pendapat kamu soal film itu?

E: Saya menikmati. Film itu menunjukkan anggapan umum bahwa guru-guru di Amerika Serikat itu kurang dihargai oleh murid dan orang tua.

S: Saya mendapat kesan bahwa peran orang tua itu kurang. Ada adegan ketika enggak ada orang tua yang datang buat pertemuan dengan guru.

E: Itu juga bener banget.

S: Kamu pernah enggak kepikiran jadi guru?

E: Enggak tuh, hehe. Ngajar itu kayaknya pekerjaan yang sulit dan kurang dihargai.

S: Kecuali kalau guru PNS kali, ya, hehe (seenggaknya di negara saya mereka lumayan lah).

E: Di sini, jadi guru kadang-kadang memuaskan, kadang-kadang enggak. Tergantung juga sih.

S: Oooh.

Demikianlah "wawancara" saya dengan E.

Beberapa orang di sekitar saya berprofesi sebagai guru atau paling tidak punya pengalaman mengajar di berbagai tempat. Kadang-kadang saya mendengar cerita mereka. Keluhan yang terdengar biasanya soal gaji, katrol nilai, dan semacam itu, sedangkan mengenai kekurangajaran murid sepertinya tidak sampai separah seperti yang ditunjukkan dalam film ini.

Selain itu, remaja yang bunuh diri juga merupakan fenomena menarik. Di negara kita pun ada saja kasusnya. Memang saya tidak mengetahui latar belakang setiap pelaku, betapa tidak tertahankannya penderitaan mereka. Hanya saja, sementara ini saya berpikir, sungguh sayang bahwa masa-masa remaja dan dewasa muda yang rawan itu--masa-masa "tumbuh gigi", kalau orang bilang--terhenti begitu saja. Padahal, siapa tahu, seiring dengan bertambahnya umur, akan muncul ketegaran dan kesiapan dalam menghadapi kemungkinan buruk apa pun.

Di sisi lain, saya menginsafi bahwa tidak adanya dukungan--apa pun bentuknya--bisa menjadi salah satu penyebab keputusasaan yang bisa mendorong pada putusnya nyawa itu. Kalau bukan orang tua sendiri yang memberikan dukungan, siapa lagi? Tidak ada orang tua, guru yang diserahi tanggung jawab. Tapi, sebagaimana yang ditunjukkan dalam film ini, guru pun bisa jadi tidak berdaya.

Saya kira, film ini bukannya mengajak hopeless sama sekali. Akhir ceritanya tampak cenderung "membahagiakan", menyiratkan harapan. Henry mengunjungi si gadis--yang tadinya tinggal di rumahnya itu--di panti sosial. Keduanya tampak senang, berpelukan. Entah apakah Henry bakal mengajak gadis itu kembali tinggal di rumahnya, kemudian menjalani hubungan seperti si kakek dan ibunya; menjadi sosok orang tua sekaligus kekasih.

Lagu lawas berikut ini sesuai dengan situasi keduanya:


Situasi ini seolah-olah menunjukkan bahwa kalau tidak ada orang tua, tidak ada guru, yang dapat mengarahkan seorang anak, bagaimanapun juga kemungkinannya dia akan menemukan sosok lain--bahkan seorang asing--sebagai pengganti. Syukur-syukur kalau orangnya baik, kalau enggak?

Rabu, 18 Maret 2020

Sudah "Hijau"-kah Pemikiranmu?

Pertanyaan itu tersiratkan dalam acara bertajuk "Think Green" yang diselenggarakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Sabtu lalu (14 Maret 2020) di Greko Creative Hub. Acara ini terdiri dari dua sesi, yaitu talkshow dan workshop.

Sembari menunggu talkshow dimulai (sekaligus para peserta datang), ada band yang bermain di pojok kiri depan ruangan. Lagu-lagu yang dibawakan band ini sepertinya sengaja dipilih agar berhubungan dengan tema acara. Beberapa lagu yang saya ketahui terkenal dibawakan oleh Michael Jackson, yaitu "Heal the World" serta "Earth Song".

Tiket masuk diperoleh setelah mendaftar
lewat scan barcode pada gambar informasi acara.
Merchandise mini untuk ditempelkan di punggung gadget.
Bangku penonton yang berdesain unik.
Penampilan band.

I. TALKSHOW

Ada tiga orang pembicara yang masing-masing mewakili Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Parongpong RAW Management, dan Greeneration Foundation.

Yayasan Konservasi Alam Nusantara

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) ada sejak 1991 dan berafiliasi dengan The Nature Conservancy sejak tiga tahun belakangan.

Sally Kailola dari YKAN, atau akrab dipanggil Mbak Usi, membuka sesinya dengan bertanya kepada para peserta mengenai maksud dari "Think Green" yang menjadi tajuk acara. Dalam bahasa saya sendiri sih, "Think Green" itu kurang lebih berarti suatu pola pikir agar aktivitas seseorang sebagai manusia dapat menahan laju kerusakan lingkungan hidup.

Mbak Usi kemudian memaparkan persoalan-persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dengan populasi dunia yang telah mencapai 7,7 miliar, manusia dewasa ini memiliki dampak yang begitu besar terhadap lingkungan hidup melalui aktivitas-aktivitas berikut (atau disebut juga dengan "antropogenik"):
  • reproduksi
  • konsumsi berlebihan
  • eksploitasi berlebihan
  • polusi
  • deforestasi
Semua ini terjadi sejak Revolusi Industri (1760-1840). Pada awalnya revolusi ini terjadi untuk mengatasi tiga masalah utama umat manusia, yaitu kelaparan, peperangan, serta pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Akan tetapi, Revolusi Industri kemudian berlangsung secara tidak terkendali sehingga mengakibatkan berbagai masalah. Di antaranya adalah problem "overshoot". Istilah tersebut kurang lebih berarti pemakaian sumber daya melampaui jatah, sehingga tidak menyisakan cukup cadangan bagi generasi selanjutnya. 

Yang menarik, Indonesia sebagai negara keempat berpopulasi terbesar di dunia rupanya termasuk yang tingkat overshoot-nya paling belakang. Apakah karena cara hidup kita yang tidak terlalu boros energi, ataukah karena sumber daya negara kita yang demikian melimpah itu lebih banyak dimanfaatkan oleh negara-negara lain? 

Gambar dari Earth Overshoot Day.

Dari keterangan ini pula saya menarik kesimpulan (yang mungkin saja gegabah ) bahwa tinggal di negara maju itu--walaupun terkesan wah, keren, apalah--belum tentu lebih baik, kalau akibatnya gaya hidup kita menjadi lebih boros sumber daya. (Dan, masukkan lagu itu, "Lebih baik di sini ... rumah kita sendiri ....")

Mbak Usi mengajukan saran kepada para peserta--sebagai generasi muda yang lekat dengan gadget dan media sosial--agar menginspirasi orang lain untuk mulai "think green" lewat status/postingan

Kalau ingin tahu lebih lanjut tentang Yayasan Konservasi Alam Nusantara, bisa cek media sosial mereka, di antaranya Instagram (@id_nature) dan website (http://www.sayasigap.org/).

Parongpong RAW Management

Pada sesi ini tampil Gadis, yang bertahun-tahun lampau pernah saya lihat di suatu acara tentang ruang publik di Common Room. Gadis tidak berbicara banyak, karena ia akan punya banyak waktu lagi nanti pada saat workshop. Ia hanya meminta para peserta untuk menutup mata dan membayangkan pengalaman paling indah juga yang paling buruk yang pernah diperoleh. Selain itu, ia memperkenalkan konsep Jawa, "memayu hayuning bawana", yang berarti "memperindah keindahan dunia"--hal yang sepertinya berkebalikan dengan kelakuan manusia pada umumnya.

Greeneration Foundation

Greeneration pertama kali saya kenal pada waktu kuliah, dari seorang teman yang mahasiswi Teknik Lingkungan ITB angkatan 2007. Memang kelompok ini diinisiasi oleh seorang mahasiswa dari jurusan yang itu juga pada 2006, dan awalnya hanya berupa gerakan kampus. Lama berselang, kini Greeneration telah menjadi organisasi legal.

Mewakili Greeneration, Saiful (--mudah-mudahan benar penulisannya--) menjelaskan mengenai organisasinya, program-program mereka, dan seterusnya.

Ada beberapa hal menarik atau baru saya dengar dari pemaparannya, yaitu istilah "circular economy" serta situs http://www.bebassampah.id/.

Circular economy menggunakan sumber daya dengan sebaik mungkin, alih-alih sebanyak mungkin. Sistem perekonomian ini berarti menghasilkan produk yang tidak menghasilkan sampah. Limbah yang dihasilkan mesti dapat diolah kembali sehingga memiliki nilai guna.

Adapun situs http://www.bebassampah.id/ atau Portal Informasi dan Wadah Kolaborasi Persampahan Nasional merupakan semacam pemetaan yang memberikan informasi mengenai tempat-tempat untuk menyalurkan dan mengolah sampah, misalnya saja: bank sampah, jasa reparasi, galeri craft, dan semacamnya. Seketika mendengar tentang itu, saya pun langsung mencoba mengaksesnya di gadget saya. Memang keluar informasi seperti jumlah bank sampah, pengepul, TPS, dan semacamnya, tapi ketika saya klik, tidak muncul apa-apa. Ketika saya tanyakan kepada Saiful seusai acara, dia bilang bahwa pengakses mesti mendaftar terlebih dahulu. Diharapkan, yang mengakses bisa sekaligus menambahkan data.

Ide website ini hampir-hampir seperti aplikasi mySmash, yang khusus mendata bank sampah. Tapi, terakhir kali menginstalnya, aplikasi tersebut kurang up to date.

Pemandangan dari bangku paling atas tepat di tengah.
Dari kiri ke kanan: pembawa acara (baju biru), Saiful (baju pink),
Gadis (baju batik), dan Mbak Usi (baju putih).

Diskusi

Dalam sesi ini berseliweran pertanyaan-pertanyaan maupun pengalaman-pengalaman.

Karena kebanyakan peserta yang hadir merupakan anak muda, muncul pertanyaan: bagaimana supaya didengarkan? Apalagi oleh orang tua sendiri. Anak muda cenderung lebih peka terhadap isu lingkungan hidup, tapi orang tua telah terbiasa melakukan cara-cara yang tidak lestari dan sulit sekali memberitahukannya.

Beberapa cara yang bisa dilakukan, yaitu:
  • Memperlihatkan. Saiful menceritakan pengalamannya saat membeli makanan di suatu warung dan menolak diberikan plastik. Ia prihatin ketika ibu penjaga warung mengatakan bahwa kalau tidak diberikan plastik, maka kesannya kurang sopan. Tapi ia kukuh dengan pendiriannya, sampai-sampai ibu penjaga warung itu yang akhirnya secara tidak langsung "menyosialisasikan" perilakunya tersebut kepada para pelanggan lain.
  • Mengajak. Cara ini dilakukan oleh Mbak Usi yang memang kerap menjadi pembicara. Ia suka mengajak para keponakannya serta agar bisa turut mendengar pesan-pesan yang disampaikannya.
  • Berkolaborasi. Terus terang saya kurang menangkap tentang cara yang satu ini. Kalau boleh saya kira-kira, ini berarti turut aktif dalam gerakan-gerakan kampanye lingkungan hidup.
Seorang peserta menambahkan dengan berbagi pengalamannya dalam mengajari anak. Caranya yaitu dengan memberikan penjelasan dalam bahasa yang mudah dimengerti berikut contoh perbuatan.

Selanjutnya, beberapa peserta mengangkat isu yang dekat dengan diri mereka. Ada yang mempersoalkan stainless steel sebagai pengganti plastik, sebab ia mendengar bahwa bahan tersebut justru mempunyai dampak lingkungan yang lebih besar. Ada juga yang menanyakan tentang tempat menyalurkan sampah yang sudah dipisah yang ada di Bandung.

Salah seorang peserta mempertanyakan keterlibatan LSM dengan masyarakat kecil, misalnya saja lewat Karang Taruna. Biasanya masyarakat cenderung menyalahkan pemerintah. Contohnya, ibu si peserta mengeluh karena sudah membayar iuran sampah, tapi sampah tidak terangkut juga. Meski begitu, di tempatnya tinggal, sudah dilakukan inovasi untuk mengatasi persoalan sampah. Contohnya, pada waktu Idul Kurban kemarin, plastik pembungkus daging diganti dengan besek dan daun pisang.

Saiful menjelaskan bahwa pemerintah bukannya tidak berupaya, namun daya mereka terbatas. LSM berfungsi sebagai kolaborator pemerintah. Tapi tiap LSM punya lingkup kerjanya masing-masing. Misalnya saja, program-program Greeneration cenderung pada edukasi. Ada lagi LSM Waste4Change yang fokusnya lebih praktis, yaitu pada waste management. Selain itu, setelah ditanyakan, rupanya iuran sampah yang dibayarkan sangatlah kecil, sekitar Rp 3.000-5.000 per rumah, sementara ekspektasi terhadap petugas sampah begitu tinggi: tidak hanya mengangkut sampah, tapi juga membersihkan got dan sebagainya.

Acara ini disudahi sekitar pukul 12. Begitu keluar ruangan, satu per satu peserta diberikan santap siang dalam besek yang diikat dengan pita. Di dalamnya ada nasi, tempe bacem bulat, ayam kecap, lalap, sambal, kerupuk, dan pisang 

II. WORKSHOP

Usai santap siang, kami kembali ke ruangan. Acara kali ini sepenuhnya milik Gadis. Ia meminta para peserta untuk memperkenalkan diri: di samping menyebutkan nama, juga komitmen yang sedang ataupun ingin dilakukan untuk mengatasi problem lingkungan. Beraneka jawaban para peserta lain sementara saya menyusun daftar saya sendiri:
  • Membuat ecobrick
  • Menolak kantung plastik (atau membawa sendiri dari rumah)
  • Membawa wadah sendiri untuk membeli makanan
  • Membuat kompos
  • Membuat ecoenzyme
  • Menggunakan pembalut buatan sendiri dari pakaian bekas
  • Mengurangi belanja pakaian baru
Dan seterusnya.

Setiap peserta yang telah memperkenalkan diri berikut menyatakan komitmennya, oleh Gadis diberikan selembar sticky note biru bertuliskan nama benda. Saya sendiri dan orang di sebelah kanan saya mendapat "KERTAS FOLIO BEKAS". Teman di sebelah kiri saya mendapat "KERTAS BON ABU".

Setelah lebih banyak peserta kembali dan mendapatkan giliran masing-masing, Gadis pun memulai presentasi. 

Ia memperkenalkan tentang usahanya, yaitu Parongpong RAW Management (IG @parong.pong dan website https://www.parongpong.com/) yang punya tujuan antara lain menormalisasi pilihan untuk zero waste. Mereka tampaknya punya macam-macam usaha, mulai dari menjual komposter, mengolah sampah, sampai membuat rumah mini.

Selanjutnya ia menerangkan tentang pengertian sampah, macam-macam sampah, serta persoalan seputar sampah yang melanda dunia sekarang. Sampah atau waste diartikan sebagai hasil dari segala aktivitas manusia yang menggunakan sumber daya tetapi tidak memiliki nilai (value) lagi. Di Parongpong RAW Management, sampah tidak disebut sebagai "sampah". Mereka menyebut tempatnya sebagai material recovery center.

Gadis menunjukkan cara-cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi bahkan meniadakan sampah lewat gambar-gambar sebagai berikut.

Gambar dari BioEnergy Consult.
Gambar dari Greenworks.
Gambar dari Michigan State University.
Petunjuk ini akan jauh lebih mudah dilakukan
kalau kamu memang tidak punya banyak uang! Hahaha ....

Dari gambar-gambar di atas agaknya kita bisa menarik pesan bahwa gaya hidup sederhana dengan menggunakan sumber daya sesedikit mungkin adalah koentji, dan sebisa mungkin tidak ada yang sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). 

Gadis pun mengungkit tentang insiden-insiden yang pernah terjadi baik pada petugas sampah maupun warga di sekitar TPA. Ia mendengar cerita bahwa ada petugas yang kena tetanus dan akhirnya mati akibat tertusuk oleh sampah tajam dan lalu terkontiminasi oleh sampah kotor (popok bekas). Dalam skala luar biasa, pada 2005, pernah terjadi tragedi TPA Leuwigajah. Sampah-sampah yang telah menggunung di TPA tersebut sekonyong-konyong meledak sehingga menimbun pemukiman di dekatnya. Banyak korban jiwa yang meninggal dunia, belum lagi rumah yang rusak. Gila, bukan? Gunung sampah itu mungkin meledak akibat timbunan gas metana yang dihasilkan oleh sampah organik (: sisa makanan dan sebagainya) yang membusuk.

Kalau mau sedikit saja berempati kepada mereka--entahkah petugas sampah maupun warga di sekitar TPA--yang nyawanya terancam oleh hasil buangan itu, maka mengurangi bahwa meniadakan sampah menjadi keharusan.

Gadis menganjurkan agar kita memiliki alasan personal untuk memulai hidup hijau. Misalnya saja, tidak mau mengambil jatah sumber daya untuk anak cucu. Kalau bagi saya pribadi, tampaknya supaya ringan beban pertanggungjawaban di akhirat. (Kejauhan mikirnya, ya.)

Selanjutnya, masuk ke sesi workshop walaupun hanya berupa simulasi. 

Gadis mengerucutkan uraiannya menjadi satu solusi, yaitu membuat kompos. Masalah yang biasanya timbul dalam membuat kompos, sehingga orang malas melakukannya, antara lain karena bau dan memunculkan ulat-ulat kecil. Padahal masalah tersebut bisa diatasi jika memerhatikan komposisi sampah yang dimasukkan ke komposter, yaitu 3 sampah hijau : 4 sampah cokelat

Yang dimaksud dengan sampah hijau adalah sampah organik yang cepat membusuk, seperti sisa sayuran dan buah. Sedangkan sampah cokelat adalah sampah organik yang tidak lekas terurai dan semestinya dicacah dulu sebelum dimasukkan ke komposter, contohnya kertas bekas dan kulit telur.

Kedua sampah tersebut dimasukkan secara berlapis-lapis dengan memerhatikan rasionya. Setelah itu, tentu saja sampah perlu tetap diaduk sesekali supaya tercampur baik.

Dengan sticky note biru bertulisan nama benda di tangan masing-masing, para peserta diminta untuk membentuk kelompok-kelompok berdasarkan pada komposisi yang tepat di dalam komposter itu.

Terbentuklah lima kelompok. Meski begitu, satu kelompok merupakan pengecualian karena terdiri dari sampah residu. Residu adalah jenis sampah yang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, misalnya saja pecahan beling. Sampah ini hanya akan ditumpuk begitu saja di TPA. Mengingat acara lainnya yang baru-baru ini saya hadiri, jangan-jangan ada di antara sampah residu itu yang sebetulnya dapat dimanfaatkan menjadi barang dekoratif dengan teknik mix media 

Dari tiap-tiap kelompok, diambil satu pemimpin yang maju untuk membacakan bahan-bahan yang terkumpul. Dari lima kelompok, rupanya tiga di antaranya salah memasukkan bahan, sedangkan dua lagi (termasuk kelompok sampah residu) kekurangan bahan. Di sinilah terungkap bahwa kita tidak bisa sembarang memasukkan bahan, terutama kertas bekas, ke dalam komposter.

Para pemimpin membacakan perolehan masing-masing kelompoknya.

Kertas ada banyak macamnya. Yang bisa dimasukkan ke komposter hanyalah kertas yang tidak mengandung bahan lain yang dapat mengganggu proses pengomposan. Bahan lain yang "haram" masuk itu adalah plastik, lilin, minyak, dan semacamnya. 

Bahan lain yang juga "menjebak" adalah tulang, apalagi yang ada sisa daging.

Untuk membantu proses pengomposan, kita dapat menggunakan cairan MOL (mikroorganisme lokal) atau EM4. Kita juga bisa membuatnya sendiri dengan air bekas cucian beras atau air kelapa.

Simpulan

Sepintas, acara ini seperti acara lainnya tentang sosialisasi permasalahan lingkungan hidup yang pernah kami ikuti. Selain itu, wawasan ini sudah tersebar di mana-mana, khususnya media sosial. Tapi, boleh jadi itu karena kami sudah punya sedikit kepedulian terhadap persoalan ini, sedangkan bagi banyak orang lainnya belum.

Di samping menguatkan pengetahuan yang sudah ada, acara ini memberitahukan saya beberapa istilah baru. Juga, selama ini upaya pengomposan saya masih asal-asalan. Simulasi pada workshop mengingatkan saya agar memerhatikan lagi bahan yang dimasukkan untuk mengompos. (Yang lebih malas lagi yaitu mengaduk-ngaduknya!)

Jumat, 13 Maret 2020

Dekorasi dari Barang Bekas dengan Teknik Mix Media

Yang saya tahu, acara ini akan tentang pengolahan barang bekas menjadi dekorasi. Informasinya hanya berupa teks di grup, tanpa gambar contoh barang. Saya pun asal datang saja pada Rabu (11 Maret 2020) pagi menjelang siang itu (pukul 9.30 WIB), karena cukup tertarik pada daur ulang. Lagi pula, tempatnya yang berada di Gedung Dekranasda Provinsi Jawa Barat cukup dekat atau sekitar setengah jam bersepeda dari rumah saya.

Ketika saya tiba, hampir-hampir tidak ada seraut wajah pun yang saya kenal. Saya pun sekadar celingukan, terutama memerhatikan botol-botol hitam polos yang tergeletak di atas meja-meja yang telah diatur. Saya merasa agak familier; kemungkinan saya sudah pernah melihatnya di suatu acara temu komunitas DIY di Click Square kira-kira tahun lalu. Sedikit yang saya tahu: botol yang bagus atau berbentuk estetis biasanya bekas minuman keras, yang setelah dicat akan dihias.

Sebelumnya, saya sudah mengontak nomor yang tersedia. Katanya, acara ini gratis kalau cuma lihat-lihat, dan bayar kalau hendak praktik. Tentu saja saya memilih untuk sekadar lihat-lihat, huehuehue (ketawa ala orang Brasil). Rupanya, bukan cuma saya yang hendak sekadar menjadi pengamat. Sadar diri, kami duduk di kursi-kursi yang diletakkan di pinggir.

Acara pun dibuka. Tampaknya workshop semacam ini merupakan acara rutin Dekranasda Jabar (IG: @jabardekranasda) dengan tajuk "Rabu Ngelmu!". Jargonnya: "mencari ilmu, berbagi ilmu, dan menebarkan kebaikan".

Dekorasi dengan teknik mix media yang akan diajarkan dalam kesempatan ini tentunya memiliki nilai jual. Kalaupun sekiranya semua peserta hendak menjual barang yang serupa, rezeki sudah ada yang mengatur. Demikian kata-kata yang saya dengar.

Pemandunya Teh Icha, yang memiliki usaha lokal ZeRouNisa Craft (IG: @zerounisaartcraft). Beliau menjelaskan seputar "mix media" yang--menurut penangkapan saya--pada dasarnya menempelkan pernak-pernik macam apa pun pada barang yang hendak dihias, asalkan hasilnya terlihat artistik.

Teh Icha sedang menjelaskan seputar teknik mix media.

Apa-apa serba ditempel!
Seorang ibu-ibu sesama pengamat yang duduk di samping saya mengambilkan contoh dekorasi yang sudah jadi, berupa sebuah kotak berhiasan. Katanya itu kotak bekas wadah ponsel. Saya memerhatikan hiasannya, yang di antaranya terdiri dari: potongan kardus, sekrup, kunci, mur, sampai kasa. Sepintas, tampaknya benda-benda renik apa pun bisa dimanfaatkan. Persoalannya tinggal bisa menatanya sehingga terlihat cantik atau tidak!

Teh Icha bilang, teknik mix media ini aslinya menggunakan bahan-bahan yang mahal. Tapi, agaknya karena sehubungan dengan isu persampahan yang sedang digalakkan oleh pemerintah, maka yang dikedepankan adalah barang-barang bekas atau yang mudah didapatkan di rumah. Contohnya saja, untuk mengecat botol tidak digunakan cat enamel yang katanya mahal, tapi Pylox. Selain itu, seperti yang sudah saya sebutkan pada paragraf sebelumnya, benda-benda renik yang kerap tercecer di lantai bahkan tersapu ke pembuangan ternyata bisa dijadikan berharga dalam kerajinan ini.

Sepertinya karena menggunakan barang-barang bekas itulah maka gaya yang hendak dipakai adalah "vintage". Bukannya saya tahu ada gaya apa saja sih. Saya hanya mencatat yang terdengar, hehehe. Tampaknya gaya vintage ini yang paling simpel. Soalnya ada contoh prakarya yang tampaknya menggunakan bahan dan cetakan khusus sehingga tentulah lebih rumit.

Walaupun yang digunakan adalah barang-barang bekas, nilai jualnya bisa besar. Katanya sih satu botol yang telah dihias bisa dihargai Rp 150.000.

Contoh produk-produk lainnya yang dibawa Teh Icha.
Ada yang sudah jadi, maupun belum.

Barang-barang baru berlabel "Victory".
Nyatanya, dalam workshop ini banyak juga barang baru yang digunakan. Saya memerhatikan di meja depan ada plastik berisi pernak-pernik yang masih terbungkus rapi berikut labelnya. Pernak-pernik tersebut berupa aksesori bunga-bungaan, adapun labelnya menunjukkan Toko Victory yang berlokasi di Jalan Asia Afrika 68. Para ibu-ibu di sekitar saya mengimbuhkan bahwa aksesori semacam ini bisa juga didapatkan di Dunia Baru Otista dan WK Pasar Baru.

Keseluruhan perlengkapan di meja depan (tampak belakang).

Kelihatannya sih seperti yang sekadar tempel sana-sini. Ternyata, dalam praktiknya tidaklah begitu mudah. Biarpun hanya pengamat, saya memerhatikan bahwa ada berbagai teknik yang mesti dikuasai agar hasilnya tidak asal-asalan, mulai dari cara mengecat, menempel, sampai mewarnai.

Mari kita mulai ....

Cat Gesso yang khusus untuk kayu.
Untuk mengecat botol, misalnya. Apabila tidak menggunakan cat yang disemprot seperti Pylox, misalnya cat enamel, untuk membubuhkannya tidaklah dengan kuas tapi spons. Caranya bukan dengan diusap, melainkan ditepuk-tepuk. Cat enamel pun kualitasnya ada bermacam-macam. Semakin bagus kualitasnya, semakin bagus pula hasilnya. Ada pula cat Gesso yang khusus untuk kayu agar pori-porinya tertutup.

Seorang ibu-ibu menggunakan spons
untuk meratakan cat pada permukaan botol.

Sebagian dari aneka kuas dan peralatan.
Meskipun begitu, kuas tetap digunakan. Malah, kuasnya pun bermacam-macam baik menurut bentuk maupun ukuran--demikian yang saya perhatikan di meja depan.  Untuk apa? Saya pikir salah satu kegunaan kuas adalah untuk mewarnai aksesoris, misalnya saja yang berbentuk bunga-bungaan itu. Sayang sekali saya kurang memerhatikan kegunaan lain dari kuas, serta apakah aksesoris diwarnai sebelum atau sesudah ditempelkan pada botol.

Di samping memberikan warna, sepertinya cat juga berfungsi untuk mengeraskan pernak-pernik yang berbahan lemas, misalkan saja kelopak bunga-bungaan tadi.

Cara menempelkan renda pada botol,
rupanya ada tekniknya sendiri.
Untuk menempelkan pernak-pernik pada botol, digunakan lem tembak. Ini pun ada tekniknya sendiri. Yang diberikan lem bukan botol, melainkan pernak-pernik. Contohnya saja, apabila hiasan yang digunakan adalah renda, tentu bahannya lebih mudah menyerap daripada botol. Untuk mengelem renda, bubuhkan pada bagian yang tebal.

Dalam menempel, kemungkinan akan timbul bekas lem yang serupa benang laba-laba sehingga disebut "spider". Untuk membersihkan dekorasi dari spider, tunggu sampai lem benar-benar kering, baru cabuti. Apabila sulit dicabut, spider bisa ditutupi oleh cat.

Pasir Bali juga bisa digunakan sebagai bahan hiasan. Di samping itu, ada sebuah wadah plastik berisi cairan putih berbau menyengat yang mengundang penasaran. Tutup wadahnya sih bertulisan "Doff". Tadinya saya mengira Doff ini lem untuk melekatkan Pasir Bali. Setelah saya telusuri sekilas, sepertinya Doff itu sejenis cat alih-alih lem. Jadi bagaimana cara menempelkan Pasir Bali dan kapan Doff digunakan. Sayang sekali, saya tidak sempat menanyakannya lebih lanjut.

Pasir Bali dan Doff yang mengundang penasaran.

Semula botol dan pernak-pernik dicat dalam satu warna, yaitu hitam. Pada tahap terakhir, barulah digunakan warna yang bermacam-macam. Teh Icha memberikan contoh cara memberikan warna dengan jari. Memang sejak awal beliau sudah mewanti-wanti, dalam membuat kerajinan ini, "Jangan takut kotor!"

Teh Icha menunjukkan cara menghias dengan cat dan jari,
dan ketika salah seorang peserta mempraktikkannya.

Aneka cat yang digunakan
untuk memperindah.
Cat yang digunakan untuk menghias adalah akrilik dengan nuansa metalik sehingga menghasilkan efek mengilat. Cat Duco untuk kendaraan pun boleh saja dipakai.

Di antara kebanyakan peserta ibu-ibu, ada juga beberapa orang mas-mas yang datang. Sepasang jauh-jauh dari Cililin, sedangkan sepasang lagi sudah saya kenal dari acara Dispora. Yang sepasang dari Cililin itu tahu-tahu saja menghilang, ketika yang sepasang lagi diberikan kesempatan untuk turut mencoba secara cuma-cuma. Mereka diberikan sebuah botol berikut pernak-pernik dan lem. Karena mereka satu-satunya (atau dua-duanya) wajah yang sudah saya kenal, maka sering kali saya menongkrong dekat keduanya sehingga lebih leluasa untuk mengamati dari dekat bahkan mencampuri, hehehe.

Mas-mas bekerja sama mempercantik botol.

Di samping itu, saya juga kejatuhan peran sebagai juru foto dadakan. Ada saja ibu-ibu yang minta tolong dipotret bersama botol yang dihiasnya 

Hasil karya peserta yang sudah jadi.
Yang sebelah kiri (botol ceper) karya ibu-ibu,
yang sebelah kanan (botol bundar) karya mas-mas.

Setelah mengamati caranya, terkesan bahwa mendekorasi barang dengan teknik mix media itu gampang-gampang susah, ya. Kalau memang tersedia alat dan bahannya di rumah, yang selama ini tidak termanfaatkan, kenapa tidak mencoba membuatnya? Lagi pula, benda ini tidak mesti sekadar jadi dekorasi penadah debu, tapi juga dapat bernilai fungsional. Apabila menggunakan botol sebagai media, tinggal buka saja penutupnya. Masukkan sedikit air dan beberapa tangkai bunga, jadilah vas yang cantik!

Kalau punya produk layak jual, apalagi berkarakter kejawabaratan,
boleh lo diajukan ke Dekranasda Jabar. Mereka akan melakukan kurasi
lalu memberitahukan apakah produkmu bisa dipajang di ruangan ini.



Penataan foto-foto dalam tulisan ini terbantu berkat sebuah artikel tentang cara menggabungkan foto di Paint; petunjuknya sangat mudah dipraktikkan!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...