Sabtu, 30 Maret 2019

Mind-blowingly Kiai Fuad Affandi


Ketika mendapat informasi di atas, seketika saya membelalak. Kiai Fuad Affandi! Kebetulan pisan, saya lagi membaca biografi tentang beliau di perpustakaan daerah Jawa Barat Jalan Kawaluyaan. Judul buku tersebut Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses K. H. Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat "Sayuriyah"-nya karya Faiz Manshur terbitan Nuansa, Bandung, cetakan kesatu, September 2009. Sampai ketika menulis ini, pembacaan saya baru sampai pada halaman 284 dari 392 halaman. Saya langsung bersemangat untuk mendaftar acara itu.

Hari itu tiba. Di ruang GSG atas Salman ITB yang hijau (literally) untuk pertama kali saya bertemu sosok yang sebelumnya baru saya kenal lewat buku. Saya takjub karena beliau lain daripada yang tampak di foto-foto dalam buku. Tampaknya usia telah menyusutkan tubuhnya.

Biar begitu, persis seperti yang digambarkan di buku, pembawaan beliau memang berbobot tetapi kocak. Di sela-sela nasihatnya yang melimpah ruah, sesekali beliau menyisipkan lelucon bermakna. Yang paling bikin saya terbahak yaitu cerita tentang Kabayan dan Iteung berhadapan dengan petugas PLN. Memang leluconnya agak jorok, tetapi mangkus memahamkan tentang perbedaan paradigma antara yang-ingin-memberdayakan dan yang-hendak-diberdayakan.

Dari pembacaan buku Entrepreneur Organik, saya sudah mendapat cerita pendahuluan--malah mungkin penjelasan yang lebih luas daripada sekadar kuliah satu-setengah-jam ini--mengenai sepak terjang Kiai Fuad Affandi dalam membangun kampung halamannya. Betapa susah mengubah warga desanya agar menerima modernitas dan mengembangkan perekonomian.

Buku ini sangat mindblowing buat saya, anak yang seumur-umur produk kota besar bahkan ketika studi kehutanan pun minat saya ujungnya lari ke kota juga--perhutanan kota, yang cenderung meromantisasi kehidupan di pedesaan. Nilai-nilai ideal yang tengah saya himpun dari pembacaan buku-buku serta tontonan bergagasan alternatif pun diobrak-abrik lagi. Belum lagi, Kiai Fuad Affandi ini, baik di buku maupun live action, sarat nasihat yang saya membutuhkan usaha keras untuk mencerna dan mengaitkannya dengan kepentingan pribadi.

Beliau sempat mengkritik judul kuliah yang semestinya "pembangunan" alih-alih "perubahan". Alasannya, "perubahan" itu bisa ke arah kebaikan bisa juga pada keburukan, sedangkan "pembangunan" itu mesti ke arah positif. Hmmm, ini saja bikin saya berpikir keras, sebab sebelumnya saya mendengar dari lagu "Balada Pengangguran" Kantata Takwa:

Pembangunan, o! Pengangguran, ya! Penerangan, o! Kegelapan, ya!
Belum lagi, pada hari itu juga, sebelum berangkat ke Salman, saya baru membaca artikel Mongabay mengenai kontroversi "pembangunan" kebun kelapa sawit di Papua dan Sulawesi. Betapa "kemajuan" itu malah membikin orang Papua jadi "malas" untuk berburu-mengumpulkan hasil hutan, seperti tradisi mereka dahulu.
The villages I worked with were very critical of other villages who they deemed to have already reached that level of malas— laziness. Just waiting for your funds to arrive, just waiting for the company money. It’s another source of fragmentation, this internal criticism. People who are no longer struggling, who will eat from the company rather than hunt for themselves. And some people are. Some young Marind prefer to eat rice and noodles, they’re not really interested in hunting anymore. They’d rather be in the city, and they’d rather “progress,” or modernize as they put it — maju. I suspect these changes will be inflected along generational lines. That’s as much as I can envision at this point. Either total dependency or migration towards the cities. (klik Sumber)
Selain itu, ada perkataan beliau yang sangat mengunggulkan dan memuliakan pertanian, namun kenyataannya di India banyak petani bunuh diri atau, tidak usah jauh-jauh ke Anak Benua, di Sulawesi saja petani menangis karena sawahnya yang hampir panen diubah perusahaan negara jadi gundukan lumpur, ya, atas nama "pembangunan" tadi.

Saya bisa mengerti iktikad baik Kiai Fuad Affandi dan berharap dapat memahami nasihat-nasihatnya, juga bersyukur karena dibesarkan dalam lingkungan modern yang beliau kejar bersama desanya, seluruhnya terasa positif, namun entah kenapa saya menerimanya sambil mengerutkan kening. Maksudnya, masuk ke kepala, iya, tetapi sebelum menelan, kita harus mengunyahnya dulu sampai halus, kan? Semakin halus, semakin baik bagi pencernaan. Siapa tahu pula ternyata ada batu kecil, potongan cengek, atau serat yang tidak mungkin ditelan begitu saja.

Ketika sesi tanya jawab, bersuara beberapa pemuda yang bercita-cita sama seperti Kiai Fuad Affandi. Mengagumkan. Rupanya mereka juga mengalami kendala serupa dengan yang pernah dialami beliau. Makanya beliau sampai menceritakan lelucon tentang dildo lilin Kabayan-Iteung versus petugas PLN tadi. Seperti prostitusi, perbedaan paradigma terus terjadi dari waktu ke waktu, di mana-mana.
There’s a huge intergenerational problem in many of the villages I was working in. That level of societal relationship is breaking down. It works in both directions. Some of the elders who are adamant that the forest should be preserved versus the younger generation who are looking to progress, to change to modernity, material wealth, access to the cities. Access to the modern world. There’s that intergenerational tension. Then you also have it in the other direction, where there are young, educated Marind — schoolteachers, nurses, for instance — who are deeply critical of the elders who are also surrendering their land without understanding the terms of the contracts, the legal implications. Who are still operating in this reciprocity framework. [Young people would say,] “That works just fine among Marind, but you’re not dealing with Marind here. You need to change, our culture needs to change and adapt because we’re dealing with a very different kind of audience, who does not reciprocate in the same way, who does not understand reciprocity in the same way.” So some of these young people are pushing for kind of a transformation in Marind culture as a way of surviving these new kinds of forces and actors that are impinging upon everyday life. (klik Sumber)
Adakalanya menjadi kabur siapa yang lebih pintar: pemuda berpendidikan tinggi dengan idealisme namun kurang berpengalaman, atau warga desa kurang berpendidikan namun terampil. Semua sama-sama mencari uang. Tetapi, siapa memanfaatkan siapa, rupanya tidak ditentukan oleh tingginya "pendidikan". Lulusan kuliahan yang naif bisa diperlakukan bak mesin ATM oleh warga desa yang dasarnya pandai main akal. Kiai Fuad Affandi sendiri ijazah SD tidak punya, tetapi kini memiliki sekolah berjenjang-jenjang dengan jumlah santri bukan main banyaknya.

Seperti dalam "Balada Pengangguran" Kantata Takwa tadi:
Misteri! Ijazah tidak ada gunanya!
Meski begitu, berulang Kiai Fuad Affandi dalam kuliah kemarin mengatakan, "Pendidikan bukan pintu gerbang mencari uang, tapi manusia berpendidikan pasti dicari uang." Maka, "pendidikan" apakah yang dimaksud di sini jika beliau yang bisa dibilang tidak ber"pendidikan" malah menjadi sosok sukses yang disorot dalam televisi, majalah, buku ...?

Pada akhirnya, setiap yang bertanya diajak beliau untuk main ke pesantrennya dan melihat sendiri, tetapi nanti saja setelah tanggal 17 April #eh. Saya sendiri bersyukur karena telah membaca buku tentang beliau terlebih dahulu.

Terang banyak PR yang saya peroleh dari persinggungan dengan beliau: untuk belajar cara menjual, untuk menjadi berani, untuk mengerti perbedaan antara "usaha" dan "ikhtiar", untuk memikirkan maksud dari "punya cita-cita dan tujuan, usaha dan ikhtiar itu wajib, tapi uang bisa datang dari mana-mana" dan mengaitkannya dengan pola hidup saya sendiri, dan seterusnya.

Barangkali ada yang tertarik mendengarkan rekaman audio kuliah dengan beliau:



Rupanya kuliah ini merupakan yang pertama dari yang direncanakan akan delapan sesi. Saya menjadi penasaran akan episode-episode selanjutnya, siapa lagi tokoh yang akan ditampilkan.

Kamis, 28 Maret 2019

Pesan Lingkungan dalam Lagu "Pergi ke Bulan"

Siapakah mau ikut ayo berangkat pergi denganku 
Di hari libur sekarang pergi jauh (menuju bulan) 
Jangan lupa banyak-banyak membawa bekal 
Agar tidak kelaparan di jalanan 
Ayo kawan kita berangkat 
Naik delman atau onta 
Kita ramai-ramai pergi ke bulan

Siapa yang tidak tahu lagu ini? 

Kamu tidak tahu? 

Coba dengar dulu lagunya. Setidaknya ada tiga versi yang dibawakan oleh penampil dari generasi yang berlainan.

Untuk pendengar dari generasi Baby Boomer:


Untuk pendengar dari Generasi X yang hilang serta Y yang milenial:


Untuk pendengar dari Generasi Z a-k-a kids jaman now:


Saya sendiri sebagai pendengar milenial mengenal lagu ini dari versi yang dibawakan oleh Klarinet. Lagunya riang bergembira dan saya senang menyanyikannya bersama seorang teman kuliah asal Jakarta Timur dengan mengabaikan tatapan bengong teman-teman yang lain. Tampaknya, cuma dia satu-satunya orang selain saya yang mengetahui lagu ini di lingkungan kampus kami. Malah, kemungkinan lagu ini sampai di telinga saya setelah saya merampok koleksi MP3 dia. Maaf kalau sebenarnya ada lagi anak di kampus kami yang tahu tentang lagu ini. Sayang kamu tidak sempat ikut menyanyikannya bersama kami waktu itu.

Sepintas lagu ini seperti main-main. Ya, perhatikan saja liriknya. Pergi ke bulan naik delman atau unta? Ke taman kota saja belum tentu tertempuh. Untanya mesti dipinjam dulu dari kebun binatang. Itu pun kalau boleh. Adapun delman bukan kendaraan yang selazim angkot apalagi ojol. Betapa absurdnya lagu ini.

Akan tetapi, jika kita mau mencermati yang ada di balik setiap yang tersuratan takdir, sesungguhnya lagu ini menyiratkan ajakan untuk berperilaku ramah lingkungan. 

Kenapa delman dan unta merupakan sarana transportasi yang disarankan dalam lagu ini? Kenapa bukan konvoi dengan motor ala anak-anak muda, atau sewa Gr*b Car ramai-ramai? 

Mungkinkah karena, sebagai sarana transportasi primitif, delman--yang biasanya ditarik kuda--dan unta tidak memerlukan bahan bakar fosil sehingga tidak akan menghasilkan polusi apalagi mengacaukan ekonomi akibat ketidakstabilan harga minyak? 

Apalagi bulan merupakan tujuan yang sangat jauh dari tempat tinggal kita di bumi. Jika kita pergi ke bulan menggunakan kendaraan yang memerlukan bahan bakar fosil, tentu dampak lingkungan yang diakibatkannya besar sekali. Karena itulah, untuk menempuh perjalanan yang sangat jauh itu, kita disarankan untuk menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan saja, yaitu kuda atau unta. Katanya sih jejak karbon kuda memang lebih sedikit daripada mobil. Adapun unta, paling tidak itu transportasi haji yang disebutkan secara jelas dalam Alquran Surat Al-Hajj ayat 27 di samping jalan kaki.

Jangan lupa banyak-banyak membawa bekal 
Agar tidak kelaparan di jalanan

Selama perjalanan yang sangat jauh menuju bulan itu tentu kita membutuhkan makanan dan minuman. Bagaimanapun kita harus bawa bekal. Kalau mau praktis, bisa saja kita hanya berbekal uang dan membeli makanan-minuman di sepanjang perjalanan. Apalagi sekarang dengan teknologi uang elektronik, dompet tidak harus tebal dengan uang kertas dan receh. Semua bisa diurus lewat gawai. Asal jangan lupa bawa charger saja.

Tetapi, kalau kita memerhatikan kampanye lingkungan hidup di media-media, mereka suka menganjurkan agar membawa tumbler dan wadah makanan sendiri ke luar rumah. Kenapa? Karena di baliknya ada emak-emak penjaja Tupperware. Lagi-lagi, ini merupakan ajakan tersirat dari lagu "Pergi ke Bulan" untuk mencari tahu kenapa membawa perabot sendiri itu merupakan cara yang sustainable kala bepergian.

Lagu ini mungkin bukan untuk diamalkan secara harafiah, maksudnya literally pergi ke bulan naik delman atau unta dengan membawa bekal sebanyak-banyaknya. Kalau mengacu pada artikel Wikihow berjudul "Cara Pergi ke Bulan", delman dan unta sama sekali belum dimasukkan ke sana. Enggak tahu kalau nanti sore. Sedikitnya yang bisa kita ambil dari lagu ini, di samping sebagai hiburan penceria suasana untuk dinyanyikan bersama kawan, yaitu sebagai pengingat agar merenungkan pilihan kita dalam transportasi serta membawa Tupperware tumbler dan wadah makanan sendiri ke luar rumah supaya tidak menambah sampah.

Minggu, 24 Maret 2019

Jazz Poet Society yang Entah Jaznya

Screenshoot dari Nurul Maria Sisilia 
Dalam rangka Hari Puisi Sedunia pada 21 Maret 2019 lalu, komunitas-komunitas pencinta puisi di seputar Bandung menyemarakkan acara Jazz Poet Society di Museum Kota Bandung, Jalan Aceh. Hm, mengingatkan pada novel atau film yang dibintangi Robin Williams itu, ya. 

Menurut poster, acara ini diadakan dari pukul 19.00 sampai 21.00. Akan tetapi, saya dan teman-teman baru tiba sekitar pukul setengah delapan malam dan takjub karena disambut oleh pemandangan banyaknya mas-mas gondrong yang berkeliaran di muka bangunan.

Di lorong depan terdapat pula para saudagar buku yang menjajakan dagangannya di meja panjang dekat pintu masuk.

Setelah mengisi daftar hadir, kami memasuki ruangan samping museum. Penampilan sudah dimulai entah dari pukul berapa persisnya. Langsung dari pintu merupakan tempat pembacaan puisi. Di hadapan pembaca puisi telah duduk di lantai banyak penonton. Di salah satu sisi  ruangan terdapat dispenser dan meja panjang yang memuat tumpukan gelas serta plastik-plastik lumayan besar berisi aneka camilan kering, yang sepertinya boleh diambil sendiri.

Urutan acaranya sendiri sebagai berikut (sebagaimana di-copy paste dari suatu sumber ).
Urutan penampil World Poetry Day 
Opening: - Syarif Maulana "Jazz adalah bukan ini bukan itu"
Durasi : 4" 
- ASAS UPI 5" 
- Komunitas Lilin Malam UIN Sunan Gunung Jati 5" 
- (JPS) Dwi Cahya Yuniman, Aprilia Hanifa, Reza Raihan, Gracia Tobing, Syarif Maulana :
"We real cool"
Durasi : 2" 
- KSBB ISBI 5" 
- Aprilia Hanifa, I Give You Back (Fear) Karya Joy Harjo
Durasi : 3”  
- Patrem 5" 
- Adhimas Prasetyo, Sebelum Jaz Berakhir, Sesudah Jaz Berakhir karya Adhimas Prasetyo
Durasi : 5" 
- GSSTF UNPAD 5" 
- Majelis Sastra Bandung 
- (JPS) Dwi Cahya Yuniman, Aprilia Hanifa, Reza Raihan, Gracia Tobing:
For My People Margaret Walker
 Durasi : 5" 
- KPPI (Komunitas Penulis Perempuan Indonesia) 5" 
- Reza Raihan "Askara" karya Reza Raihan
Durasi : 3" 
- Komunitas Celah-celah Langit 5" 
- FLP Bandung 5" 
- Zulfa Nasrulloh, Beluk Belukar Kata, puisi interaktif dengan penonton, 2 tambahan penampil
Durasi : 10" 
- Manjing Manjang 5" 
- Sajak Liar 5" 
- Puspa Sari -- puisi Bahasa Jepang,  "Iroha" --Anonim
Durasi : 3" 
- Pecandu Buku 5" 
- Perpus Apresiasi 5" 
- Syarif Maulana & Gracia Tobing
Puisi terjemahan
"Beternak Penyair" oleh Semi Ikra Anggara
Puisi terjemahan interpretasi "The Poets Breeding" (What's Exactly Inside of A Poetry Translator's Head) Durasi : 6" 
- Ngampar Boekoe 5" 
- Dwi Cahya Yuniman "Life Is Fine" (Langston Hughes) dan "Battle Report" (Bob Kaufman).
Durasi : 5"
Agaknya kami datang ketika penampilan dari komunitas UIN SGD, sebab tidak lama kemudian merupakan penampilan dari JPS dengan puisi "We Real Cool" dari Gwendolyn Brooks (teks beserta analisisnya menurut seseorang dapat diklik dari sini). Puisi dibawakan secara bergiliran kemudian berbarengan dengan cara yang berbeda-beda oleh lima orang sehingga menghasilkan pertunjukan yang unik menarik.

Melihat urutan penampil, tampaknya yang terjadi kemudian tidak urut amat. Sebab, Zulfa Nasrullah--mas-mas bewok tetapi keren dan enggak gondrong jebolan ASAS UPI--yang dijadwalkan setelah FLP Bandung ternyata tampil lebih dahulu.

Jujur saja, saya bukan penggemar puisi walau pernah sok-sokan bikin di masa lalu (#halah). Jangankan bikin, cara mengapresiasinya pun saya tidak tahu. Maka selama duduk manis di pertunjukan perhatian saya teralih ke sana kemari, mulai dari dekorasi ruangan yang bergambar walikota-walikota Bandung sejak zaman kolonial berikut sejarah pendirian kota, para penonton lain, sampai ke gawai pribadi.

Ketika saya mengembalikan perhatian kepada pembacaan puisi, sering kali kata-katanya tidak tertangkap jelas oleh telinga saya. Cara membawakannya pun, ya, tentu saya memendam salut atas keberanian mereka mengekspresikan diri di depan banyak orang, tetapi ....

Perhatian saya baru benar-benar terpikat ketika puisi dibawakan dengan cara yang lain daripada yang lain. Seperti penampilan dari JPS tadi, serta Zulfan Nasrullah yang menyatukan tiga puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan beringas juga pak dosen ganteng Komunitas Celah-celah Langit yang dibawakan oleh empat orang mas-mas gondrong dengan kompak namun memiliki karakter yang berbeda antara satu sama lain.

Andai saja punya gawai canggih dengan lensa tajam dan kapasitas gede, penampilan mereka itu patut direkam dari awal sampai tuntas.

Penampilan lain yang agak berkesan yaitu dari Patrem dan Majelis Sastra Bandung. Patrem diwakili oleh mbak-mbak berkacamata dan berbaju merah yang membacakan puisi berbahasa Sunda dari buku karyanya sendiri(?). Bisa dibilang, ini satu-satunya puisi berbahasa Sunda yang saya perhatikan dari acara ini, di antara puisi-puisi berbahasa Indonesia dan Inggris. Adapun Majelis Sastra Bandung diwakili oleh sang maestro, Matdon, dan berkesan karena kata teman saya seperti membacakan jalur-jalur angkot di Kota Bandung lalu saya jadi risi ketika tahu-tahu mendengar ada kalimat yang kurang lebih bunyinya, "sperma masuk ke mulut"--hiii. "Puisi apa sih ini?!" Teman saya juga entah. Sepertinya ini lebih daripada sekadar tentang jalur-jalur angkot.

Eh, mana jaznya, ya? Bukankah nama acaranya Jazz Poet Society? Padahal dalam bayangan ada prasangka pembacaan puisi bakal diiringi oleh permainan musik jaz. Alat musik yang terlihat cuma gitar. Mik saja tidak ada penopangnya, kudu dipegangi oleh akang Syarif Maulana. Jadi, apanya yang jaz? Mungkin itu dijelaskan di opening yang sayang sekali kami lewatkan, sebab judulnya saja "jaz bukanlah ini dan bukanlah itu."

Makanya, kata teman saya, datang ke acara seni itu yang sekalian ada diskusinya, "biar enggak bodo-bodo amat."

Sudah lewat pukul sembilan malam ketika tiba penampilan teman kami dari FLP Bandung. Baru ketika jeda setelah penampilan Manjing Manjang yang diiringi dengan petikan gitar, kami menyelinap keluar meliuk-liuk melewati orang-orang yang duduk. Sayang padahal acara belum selesai, tetapi tidak enak pulang kelewat malam.

Sabtu, 23 Maret 2019

Petualangan Menaklukkan Petir Mama Super Protektif

Muncul notifikasi di Instagram. Teman saya mengajak datang ke pemutaran suatu film anak-anak tentang petir. Karena sudah agak lama tidak bersua si teman, saya pun mengiyakan. Tempatnya di Bale Motekar Universitas Padjajaran.

Karena teman saya berencana menginap malamnya, maka saya pergi tidak membawa sepeda supaya pulangnya bisa bareng naik kendaraan umum. Pemutaran pukul empat sore. Tadinya saya hendak berangkat dari sebelum waktu asar. Kalau salat asar dulu di rumah, khawatirnya telat sampai di lokasi. Tetapi, rupanya, ada saja yang bikin saya lelet. Jadinya saya berangkat dari rumah setelah waktu asar.

Ketika saya sudah menaiki angkot 01 menuju seberang Universitas Langlangbuana, teman saya memberi tahu bahwa ternyata ia salah kasih arahan. Bale Motekar bukan di Jalan Ir. H. Juanda, melainkan di dekat Jonas, Jalan Riau.

Santai.

Saya melanjutkan naik angkot Kalapa-Dago. Saya berencana turun di seberang Riau Junction kemudian dari sana melanjutkan dengan angkot Margahayu-Ledeng atau mana pun yang melewati dekat Jonas.

"Tiket sudah di tangan yes."
Saat itu hujan rintik-rintik seperti dalam lagu "Widuri". Setelah turun dari Kalapa-Dago, saya menyeberang. Sembari menunggu ada angkot yang lewat, saya menyusuri Jalan Riau menuju Jonas. Tetapi, biarpun sebelumnya di dekat Riau Junction saya melihat ada beberapa angkot Margahayu-Ledeng, kok tidak ada yang melintas? Jonas semakin dekat. Saya merasa tanggung jadinya kalau naik angkot. Teman saya mengirimkan gambar bahwa ia telah memperoleh tiketnya. Saya minta maaf karena saat itu sudah pukul empat lewat sehingga dalam bayangan saya kami akan terlambat yang mana sangat enggak enak. Saya terus berjalan cepat-cepat sampai tujuan di tengah syahdunya sore kelam.

Nah, ini dia tempatnya!
Saya pun tiba di Bale Motekar, masuk lewat samping. Saya diarahkan oleh satpam untuk memasuki gedung dari sisi satunya dan naik ke lantai tiga. Kemudian saya menemukan dua teman saya sedang duduk. Kami pun memasuki ruangan bioskop yang hampir persis dengan yang ada di XXI hanya saja yang ini berukuran mini dan ...

... tidak ada seorang pun ...?

Kedua teman saya sama kagetnya sebab sedari tadi mereka asyik mengobrol dan sepertinya tidak memerhatikan adakah calon penonton film selain mereka. Masak yang bakal menonton cuma kami bertiga?!

Aa-aa petugas bioskop menghampiri. Ia memaklumkan bahwa tidak akan ada yang datang lagi. Dengan segera ia bersiap-siap memutarkan film. Kami pun dapat dengan bebas memilih tempat duduk yang semuanya kosong. Saya memilih kursi tepat di tengah-tengah. Kedua teman saya ada di kanan-kiri saya. Aa-aa itu memadamkan lampu dan menutup pintu.

Trailer demi trailer film Indonesia antimainstream bermunculan. Kok filmnya ngeri semua? Yang lebih ngeri lagi ketika film yang hendak berjalan malah berjudul Tengkorak.

Kami buru-buru keluar dari ruangan yang gelap lagi cuma diisi bertiga itu.

Setelah mengonfirmasikan ke penunggu di ruangan sebelah, kami masuk lagi ke ruangan bioskop dan berharap kali ini tidak salah putar. Ya ampun. Ekspektasi saya kan film anak-anak yang ceria, bukan film tentang gempa Jogja 2006 yang menyeramkan.

Alhamdulillah, kali ini film yang benar.

sumber gambar

Film dibuka dengan kegiatan tokoh utama, bocah seusia SD bernama Sterling, membuat konten-konten Youtube. Tampaknya channel miliknya ramai dikunjungi oleh anak-anak sepantarannya. Meski begitu, di tengah komentar anak-anak, selalu terselip komentar ibunya, Beth, yang rupanya seorang bloger dengan tema cara-cara mendidik anak.

Rupanya sampai waktu itu Sterling tinggal di Hongkong. Ia akan pindah ke Indonesia. Sebelum tinggal di Jakarta, ia akan menghabiskan liburan lebih dahulu di rumah kakeknya di Boyolali.

Awalnya Sterling merasa sedih dengan kepergiannya dari Hongkong. Ia sudah terbiasa menjadi anak rumahan, atau lebih tepatnya, apartemenan. Ia cemas tidak akan bisa leluasa membuat video-video Youtube seperti biasanya.

Kecemasan Sterling tidak berlangsung lama begitu ia bertemu dengan kawan baru, Gianto atau Jaien (yang memang baik postur maupun sifatnya agak mirip dengan teman Nobita itu sih). Jaien suka mengajak Sterling ke luar rumah, mulai dari musala, lapangan, sampai perbukitan. Yang cemas justru ibunya Sterling. Rupanya Mbak Beth ini sangat protektif. Anaknya tidak boleh kotor, tidak boleh celaka, dan sebagai-bagainya, yang menumbuhkan kecurigaan teman saya bahwa ada Rinso di balik semua ini.

Mengetahui kesukaan Sterling merekam segala sesuatu, Jaien memanfaatkan dia untuk mewujudkan cita-citanya menjadi aktor. Jaien rupanya sangat terpesona akan dunia perfilman, walaupun wawasannya terperangkap di era '70-'80-an dan hanya menjiplak perkataan seorang mas-mas sineas-gagal yang dikenalnya. Sterling mau-mau saja menerima ajakan Jaien. Jaien juga berhasil menjebak memanipulasi mendorong teman-temannya yang lain untuk ikut serta. Tadinya mereka juga ingin melibatkan duo mas-mas tukang bikin video kawinan, tetapi keduanya tidak sudi. Anak-anak pun bikin film sendiri.

Namanya juga anak-anak. Ada saja kelucuan saat pengambilan gambar. Oh, ya, mereka hendak memfilmkan buku komik Legenda Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir atau semacam itulah. Bukan film biasa jadinya, mestinya.

Namanya juga anak-anak. Adakalanya mereka bertindak tanpa perhitungan. Ketika sedang mengambil gambar di suatu gubuk kosong, Jaien mendorong pemain lain ke dinding sehingga menjatuhkan lampu teplok. Lampu itu jatuh dan membakar seisi gubuk. Mau tidak mau pembuatan film dihentikan. Walaupun Sterling dan Jaien sudah meminta maaf kepada pemilik gubuk, namun akibatnya kejadian itu diketahui oleh orang tua mereka. Mbak Beth melarang Sterling untuk membuat film lagi. Kameranya diambil.

Sementara waktu, Mbak Beth pergi ke Jakarta untuk mengurus rumah, sekolah, pekerjaan, dan entah apa lagi. Sterling ditinggal berdua bersama kakeknya. Bersama Jaien dan Netha--teman perempuan mereka yang turut terlibat dalam film--anak-anak merengek kepada duo mas-mas tukang bikin video kawinan, untuk membantu mereka melanjutkan proyek itu.

Berkat kegigihan anak-anak, kedua mas-mas itu pun luluh. Mereka mengajak anak-anak pergi berkemah dengan mobil bak. Di hutan mereka diajarkan untuk mengembangkan imajinasi. Kemudian saat malam mereka membuat film dari siluet guntingan-guntingan kertas. Rupanya, biarpun kemampuan mereka dalam membuat film fenomenal diragukan, kedua mas-mas ini berbakat menjadi mahasiswa KKN. Mungkin di samping jasa pembuatan video kawinan, mereka bisa membuka usaha workshop pengajaran video kreatif untuk anak-anak.

Sementara berkemah, Sterling mengabaikan panggilan telepon dari ibunya. Baru ketika pulang ke rumah kakeknya, Sterling mengungkapkan mengenai kegiatannya semalam kepada ibunya. Ibunya marah-marah. Kakek memberi nasihat. Tetapi lalu tiba-tiba turun hujan dan muncul petir. Sterling membuka-buka buku komik yang menjadi inspirasi filmnya. Ia sampai pada halaman seorang lelaki berkumis dan berbelangkon mengatakan, "SELESAIKAN APA YANG KAMU MULAI."

CETAR!

Sampai di sini, kalau cerita dilanjutkan, sepertinya akan menjadi SPOILER.

Sterling bersama Gianto a.k.a. Jaien (berkostum ala Bruce Lee), 
yang dengan semena-mena mengubah namanya jadi Tarling. 
Lu kira gitar-suling?! (sumber gambar)

Saya puas sekali menonton film ini, walaupun ternyata tidak gratis, melainkan diam-diam dibayari oleh teman saya sebesar sepuluh ribu. (Padahal saya sudah dengan pedenya bertanya kepada si aa-aa, apakah pemutaran film di tempat ini selalu gratis. Aduh!) Apalagi di ruangan bioskop hanya ada kami bertiga, sehingga bisa bebas berteriak-teriak dan terbahak-bahak larut dalam keriaan anak-anak yang berakting laga dengan properti seadanya.

Memang sih ada yang mengganjal mengenai sikap Mbak Beth alias Mama Sterling yang teramat protektif. Kami semacam penasaran mengenai backstory karakter ini (#halah)--apakah gerangan yang menyebabkan dia sampai sebegitunya?

Apakah Sterling ini sakit-sakitan sehingga tidak boleh kena kuman dari luar rumah barang sedikit saja? Tetapi, sama sekali tidak ada adegan Sterling pilek atau demam di sini.

Apakah Mbak Beth enggak mengalami romantika asyiknya berkeliaran di luar rumah bersama teman-teman sebaya pada waktu kecilnya? Malah, sebaliknya, dalam satu adegan diperlihatkan foto-fotonya sewaktu kecil sedang bersama sepeda dan tampaknya ia aktif di luar rumah. Tetapi, kenapa kemudian ia menjadi ibu yang terlalu dominan?

Selain itu, sebagai pakar pendidikan anak--setidaknya di blog--yang notabene warga dunia kosmopolitan, mestinya Mbak Beth melek dengan perkembangan isu terkini, dong? Maksudnya, apakah ia tidak pernah membaca tentang isu-isu seperti hikikomori, lelaki herbivora, MGTOW, dan sebagainya, yang sedikit-banyak menyinggung laki-laki pasif yang maunya di rumah saja? Sekiranya Mbak Beth mengindahkan isu-isu semacam itu, boleh jadi ia malah akan mendorong anaknya supaya seaktif-aktifnya berteman di luar rumah.

Kenapa sih kau ini, Mbak Beth? Kau ini feminis atau apa kok maunya mengeram anak laki-laki di rumah saja? #eh

Apakah jangan-jangan sementara di Hongkong mereka tinggal di lingkungan triad sehingga wajar saja bila keluar dari rumah itu berbahaya? Ini pun tidak diungkapkan.

Mau yang mana pun, kalau menempatkan diri dalam sudut pandang anak-anak, mereka tidak akan sampai sebegitunya jauh menimbang perwatakan karakter Mama Sterling. Yang penting pada akhirnya semua orang berbahagia menonton film tentang avatar petir versi Jawa yang berhasil diselesaikan itu. Anak-anak para pemain film pun saling berpelukan.

sumber

Informasi pemutaran film di bioskop alternatif Bale Motekar tiap Senin-Minggu bisa dilihat di Instagram @indicinemabandung. Yang diputar biasanya film Indonesia. Harga tiket Senin-Jumat Rp 10.000, Sabtu-Minggu Rp 15.000.



Foto-foto selain poster/potongan film dan gif Teletubbies diambil oleh Nurul Maria Sisilia.

Rabu, 06 Maret 2019

Melihat-lihat Pameran Putu Wijaya

Pameran ini diadakan pada 1-3 Maret 2019 di Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung. Barang yang dipamerkan kebanyakan berupa lukisan Putu Wijaya. Banyak pula poster pementasan serta artikel yang memuat tentang beliau. Selain itu, ada bagian yang agaknya menampilkan barang-barang pribadi beliau seperti koper, mesin tik, hingga buku-buku yang telah diterbitkan.

Karena yang jaga bilang boleh foto-foto, maka saya ambil saja semuanya 

Begitu hendak memasuki ruang pameran, kita dihadapkan pada kutipan dari beliau.

Hidup ini bukan hadiah, tetapi utang yang harus kita tebus dengan keringat.
Di sebelah kiri ada meja registrasi tempat kita membubuhkan nama, alamat, nomor telepon, surel, dan tanda tangan. Setelah mengisi data diri lalu terus berjalan ke kiri, mulailah kita disuguhi pameran lukisan beliau.

Yin yang untuk harmoni dan toleransi
Merah putih selalu diayomi
Merdeka buah darah dan air mata
Seribu warna satu rasa
Kesatuan tak lenyapkan keaslian
Tetap indah walau air berlimpah
Begitu masuk ke bagian belakang dari sebelah kiri pintu masuk, di sebelah kanan dipajang poster-poster pementasan beliau baik di dalam maupun luar negeri. Terdapat juga artikel-artikel koran yang berupa wawancara serta kunjungan arsitektural ke rumah beliau yang bergaya Jepang-Bali.


Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat pameran yang agaknya barang-barang pribadi beliau berikut buku-buku yang pernah diterbitkannya. Sayang, kita tidak boleh memasuki area berkarpet merah ini. Padahal asyik sekiranya kita mendapat kesempatan membaca-walaupun-sepintas-lalu buku-buku beliau. Kalaupun bukan di sini, saya ingat, buku-buku lawas beliau dapat dibaca secara cuma-cuma di Perpustakaan Ajip Rosidi, tidak jauh dari muka Jalan Garut, di belakang Bandung Creative Hub Jalan Laswi.


Berhadapan dengan zona merah terdapat satu kutipan lagi dari beliau.

Kehidupan adalah perjalanan panjang melintasi stasiun-stasiun asing yang tak putus-putus.
Di sayap satunya sisi belakang ruangan merupakan sambungan dari pameran poster dan artikel.


Sementara itu, pameran lukisan terus berlanjut di seberang benda-benda lainnya itu.

Kurang kering berlimpah banjir
Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani
Dwi warna di rimba bhineka
Beragam dalam cahaya bulan
Disapa gerhana matahari total
Danau tiga warna, bagai trisila dasar negara
Bagai puncak gunung makin tinggi kian sunyi
Gotong-royong bukan sekadar saling menolong
Silaturahmi jembatan hati
Wah, kita sudah sampai kembali ke depan, bertemu lagi dengan meja registrasi. Memang ruangan ini disekat menjadi dua dengan ruang-ruang untuk lewat di kedua tepinya, sehingga pengunjung menyusuri seluruh pameran dengan memutarinya.

Awalnya saya kebingungan ketika dihadapkan dengan lukisan beliau. Bagaimanakah cara mengapresiasinya? Sepintas yang saya lihat seperti sekadar lukisan cat air yang dibubuhkan dengan jari-jemari. Sepertinya judul yang diberikan dapat membantu kita untuk memaknai lukisan. Mungkin kita juga memerlukan imajinasi untuk meresapinya.

Seperti ketika melihat lukisan "Merah putih selalu diayomi", bentol warna-warni yang mengepung merah-putih itu menyerupai kerumunan kepala orang. Warna-warni boleh jadi mewakili keberagaman mereka. Jadi, coba bayangkan kerumunan orang yang beraneka ragam berusaha mendekati kesatuan yang dilandasi oleh semangat merah darahku putih tulangku itu. Melihat dari judulnya yang mengandung kata "ayom", yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "lindungi", maka seolah-olah kerumunan orang itu tengah melindungi merah dan putih yang mendominasi.

Namun, di lukisan selanjutnya yang berjudul "Merdeka buah darah dan air mata", kerumunan kepala orang berwarna-warni itu malah seperti yang mengoyak-ngoyak kesatuan merah-putih sehingga terpotong ke mana-mana, tidak lagi utuh. Yang tadinya tampak rapi di lukisan selanjutnya, kini menjadi semrawut. Padahal judulnya mengandung kata "merdeka". Masakkah, setelah mengerahkan darah dan air mata, yang berbuah kemerdekaan, jadinya yang tampak malah kesemrawutan?

Baru di lukisan menuju ujung, "Beragam dalam cahaya bulan", saya baru menyadari permainan warna. Saya terpukau oleh cahaya bulan merah dilatari hitam yang memengaruhi warna-warni di bawahnya. Walaupun bentol-bentol tersebut berwarna-warni, namun tidak asal warna-warni, melainkan warna-warni yang kemerahan akibat pantulan cahaya bulan merah di atasnya.

Saya pun melihat lagi lukisan-lukisan di sekitarnya, terutama "Tumbuh sendiri tak menunggu dikasihani" serta "Disapa gerhana matahari total". Rasanya saya mulai terpikat pada gambaran sesuatu yang berpendar menerangi kekelaman di sekitarnya.

Satu lagi yang menarik yaitu "Kurang kering berlimpah banjir". Walaupun judulnya mengesankan keadaan yang basah kuyup, namun lukisannya sendiri sepintas lalu menyerupai asap kemerahan yang mengepul padat ke angkasa, sedang warna hijau di sekitarnya seolah-olah melambangkan hutan yang terbakar. Kalau boleh dihubung-hubungkan, lukisan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kebakaran hutan dapat berujung pada kelimpahan banjir akibat tidak adanya lagi tegakan yang menahan air. Judul yang melengkapi lukisan seolah-olah menyampaikan suatu siklus fenomena alam yang seharusnya menjadi peringatan bagi manusia supaya tidak terdampak oleh bencana.

Asalkan kita mau diam sejenak dan memerhatikan sembari berpikir--mengaitkan berbagai hal dengan bantuan imajinasi, ternyata banyak yang dapat timbul di benak kita sebagai bahan perenungan.

Di antara lukisan-lukisan di atas, manakah yang paling berkesan atau memantik pikiranmu?

Selasa, 05 Maret 2019

Selangkah Agak Maju dalam Partisipasi Politik

Senin, 4 Maret 2019, saya berkesempatan untuk menghadiri ... apa, ya namanya ... sosialisasi calon legislatif sebuah partai? Niat saya sekadar menemani teman memenuhi undangan, sekalian menghargai setiap ajakan keluar rumah, dan sebagainya. Bisa dibilang ini juga karena saya masih berhubungan dengan suatu komunitas yang rupanya berafiliasi dengan partai tersebut, kira-kira begitu.

Kalau boleh dilihat secara pragmatis, terlepas dari maksud politis di baliknya, ikut-ikutan acara ini memang menguntungkan. Kami berkesempatan makan siang di hotel mewah, kemudian diberikan suvenir berupa tas kain yang di dalamnya ada kerudung, tumbler, kertas berisikan lirik lagu "Indonesia Raya" dan mars partai, serta kertas lain yang menerangkan petunjuk memilih.

sumber gambar
Walaupun ragu ketika diminta menyanyikan mars partai serta mengacungkan angka-angka tertentu, namun saya cenderung menanggapi acara ini secara positif. Mata batin saya terbuka (#halah). Jujur saja, selama ini saya termasuk ke golongan anak muda yang acuh tak acuh kalau bukan apatis terhadap politik. Jangankan termasuk ke kubu pendukung salah satu calon presiden, menonton televisi dan memantau media sosial saja saya jarang. Da aku mah apa atuh, cuma manusia gua.

Tetapi, ketika mengikuti acara ini, dan diterangkan mengenai persoalan yang menjadi perhatian mereka, betapa pentingnya persoalan tersebut, dan seterusnya, saya pun manggut-manggut. Jadi begitu, makanya kita harus begini dan begitu dan memilih mereka yang hendak memperjuangkan itu dengan mencapai posisi strategis sebagai pengambil kebijakan dan sebagainya dan seterusnya.

Walaupun kelihatannya merepotkan harus mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendukung yang pastinya membutuhkan modal besar, namun ternyata politik itu penting karena menentukan peraturan atau kebijakan yang dapat berimplikasi ke mana-mana. Bisa saja kita merasa sudah berkontribusi terhadap masyarakat dengan aktivitas sehari-hari kita, namun hal itu dapat menjadi tidak ada artinya tanpa dukungan pihak yang berkuasa--pemerintah. Ibarat menutup lubang bocor dengan jari-jari kita sendiri, namun di sisi lain pipa lubangnya lebih besar dan banyak pula. Kita membutuhkan tangan-tangan lain, bahkan jari yang berukuran lebih besar untuk menyumbat kebocoran yang terjadi di mana-mana itu. Entah ini perumpamaan yang tepat atau bukan, tetapi mudah-mudahan situ mengerti maksudnya.

Saya menyadari bahwa, terlepas dari makan siang di hotel mewah dan segala suvenir yang menyenangkan (tetapi juga apa-sih-ini?) itu, ini merupakan cara yang boleh jadi efektif untuk memperkenalkan diri dan sepatutnya diadakan. Maksudnya, biasanya kita digiring ke tempat pemilihan umum tanpa tahu benar siapa yang mesti kita pilih. Deretan nama itu semuanya asing dan kita pun asal saja mencoblos atau menconteng. Kini, setelah acara ini, saya menjadi kenal setidaknya satu dari deretan nama yang nantinya akan saya hadapi pada 17 April 2019 itu (kalau Allah menghendaki) berikut kepentingan yang diperjuangkannya.

Saya jadi berangan-angan: Mungkin enggak, ya, kalau sosialisasi seperti ini kelak dibikin terpadu? Misalnya, di balai kota atau tempat umum lainnya yang dapat menampung cukup massa, mungkin bisa diadakan acara yang memberi slot kepada tiap-tiap calon legislatif dari tiap-tiap partai untuk memaparkan program-programnya dan menjelaskan betapa pentingnya semua itu. Masyarakat dianjurkan untuk datang kapan pun mereka sempat untuk mengenal dan mengetahui siapa yang hendak mereka pilih. Jadi sosialisasi tidak terbatas pada simpatisan partai, atau tidak mesti dengan bergerilya ke kampung-kampung dengan memanfaatkan tokoh yang lagi populer membagi-bagikan suvenir kepada rakyat kecil tanpa sempat memberi penerangan apa-apa selain pelicin untuk memilih seseorang.

Di sisi lain, saya juga menyadari kealpaan saya yang disengaja dalam partisipasi politik. Maksudnya, memang saya emoh menunggui debat calon presiden di televisi ataupun mengikuti berita politik di koran. Bahkan, sampai ketika saya mengetik ini pun, saya tidak yakin nanti hendak menyalakan televisi dan mencari acara yang dapat mencerahkan saya tentang politik lagi. Di koran pun pastinya ada berita-berita lain yang jauh lebih menarik untuk dibaca daripada tentang politik.

Dengan begitu, saya merasa pada akhirnya preferensi politik merupakan soal "jodoh", yang sedikit banyak berkaitan dengan lingkungan pergaulan. Contohnya, saya dapat mengenal tokoh politik tertentu karena kawan saya menawari saya untuk menemani dia ke acara sosialisasinya. Apakah, setelah diberi pelicin berupa makan siang di hotel mewah dan berbagai suvenir, saya akan memilih tokoh tersebut? Yeah, memangnya siapa lagi calon legislatif yang saya kenal sehingga dapat diperbandingkan dengan yang satu itu? Saya tidak mau repot-repot menelusuri juga, karena sehabis ini mesti membereskan tumpukan cucian, membersihkan lantai, belajar, berlatih, membaca, tidur, dan seterusnya dan sebagainya.

Sayang sekali, pada kesempatan kemarin itu, waktu pelaksanaannya mundur sehingga tiap-tiap pembicara diberi slot yang sangat terbatas untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang padahal menarik dan akan terlalu rumit untuk dipelajari seorang diri. Tetapi, sepertinya ini bukan semata salah peserta yang datang terlambat atau apalah. Malah, yang datang paling lambat itu si calon legislatif sendiri. Biasalah, bintang utama dimunculkan belakangan.

Saya jadi berharap jangan sampai kepentingan-kepentingan nan mulia itu terlambat pula diwujudkan, sehingga malah kepentingan yang berseberangan yang keburu unggul atau malah calon legislatif baru pada periode pemilihan berikutnya kembali dengan program serupa yang belum sempat diwujudkan tersebut.

Senin, 04 Maret 2019

Kuliah Putu Wijaya bagi yang Meminati Sastra, Jurnalisme, atau Teater

Minggu, 3 Maret 2019, sekitar pukul satu siang sehabis hujan deras, saya berkesempatan untuk mengikuti workshop bersama Putu Wijaya. (Terima kasih, FLP Bandung! Workshop ini merupakan bagian dari rangkaian acara bersama Putu Wijaya yang diselenggarakan di Gedung YPK Jalan Naripan, Bandung, pada 1-3 Maret 2019. Di samping workshop, ada juga pameran, seminar, serta pertunjukan drama.

Bayangan tentang workshop biasanya meliputi praktik yang kemudian dibahas bersama. Memang sih, menjelang akhir workshop ini ada praktik mengajukan pertanyaan dalam satu kalimat. Namun secara keseluruhan, walaupun dilabeli workshop, acara ini lebih tepat disebut sebagai kuliah. Yang sebetulnya tidak apa-apa. Karena yang memberi kuliah seorang keren dan kaya pengalaman seperti Putu Wijaya, gitu lo.

Dalam usia senja dan keadaan tidak bisa berjalan, sehingga harus mengenakan kursi roda dan dipapah untuk pindah ke kursi lain, beliau masih bersemangat sampai menggebrak-gebrak meja ketika menghadapi puluhan peserta yang didominasi oleh anak muda. Ada mahasiswa dari UIN, ada pula mahasiswi dari Unpad.

Bisa dibilang, kuliah ini merupakan motivasi dan nasihat bagi anak-anak muda yang ingin cemplung ke dunia sastra, jurnalisme, atau teater--bidang-bidang yang menjadi ruang Pak Putu berkiprah. Sebagian dari masukan beliau saya mafhumi karena sudah mengalaminya sendiri, sebagian lagi menohok entah karena saya enggan menjalaninya atau baru tahu bahwa perbuatan yang kerap saya lakukan ternyata kurang baik.

Pak Putu mengakui bahwa dunia yang digelutinya itu tidak ada masa depannya, atau mungkin ada, tetapi sangat sulit. Malah, terlepas dari karyanya berupa novel, cerpen, drama, dan sebagainya yang melimpah ruah, Pak Putu mencari nafkah dengan menjadi wartawan.

Kuliah pun dibuka dengan petuah: "Pelajari yang penting saja, dan itu baru kita ketahui kalau kita tahu mau ke mana. Kalau ingin tahu ke mana kita pergi, kita mesti tahu diri kita." Seolah-olah, kalau sastra, jurnalisme, atau teater ternyata bukan hal penting bagi diri kita, maka itu tidak layak dipelajari. 

Saya sepakat dengan pernyataan beliau bahwa daripada berkecimpung dalam dunia semacam kepengarangan, lebih baik jadi salesman, dokter, insinyur informatika, PNS, CEO start-up, penjaga toko jamu, Youtuber, dan seterusnya. 

Akan tetapi, saya kira, bagi sebagian orang energi kreatif merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Betapapun tidak ada uangnya, betapapun tidak ada yang mengapresiasi, betapapun enggak worth it, energi tersebut mendesak membutuhkan penyaluran. Karena itu, ia menjadi berani demi memenuhi kebutuhannya itu. Keberanian didukung kreativitas menjadikan orang pantang menyerah sehingga produktivitasnya bertubi-tubi, ya, seperti Pak Putu. Agaknya beliau kenal betul dirinya, dan peduli. Beliau berjuang mengasah kesukaannya. Beliau terus memberi kesempatan bagi kemampuannya untuk tampil. Dengan begitu jiwanya selalu terbuka pada inspirasi. Dengan begitu beliau menguatkan kreativitasnya sehingga selalu dapat menemukan sudut pandang baru dalam menanggapi hal keseharian yang bagi sebagian orang membosankan.

Banyak sekali sebetulnya yang disampaikan oleh Pak Putu dalam waktu sekitar satu tiga per empat jam itu, yang semua berkaitan dengan perjalanan kreatifnya dalam berkesenian. Mungkin sebaiknya sementara acara berlangsung saya giat mencatat di notes menggunakan pulpen yang diberikan panitia dalam goodie bag (belum lagi snack dan sertifikat) seperti para mahasiswi, kemudian membuat dan menyusun poin-poin dan seterusnya sehingga bisa menyajikan berita liputan yang rapi. Tetapi, apa daya, karena sudah tidak bercita-cita menjadi jurnalis maupun pengarang, namun energi kreatif masih meletup-letup seperti kentut Vespa yang baru dinyalakan, namun waktu untuk menyalurkannya perlu dibatasi, yang bisa saya lakukan hanya berbagi rekaman.



Sebetulnya, ada PR yang Pak Putu berikan, satu pertanyaan yang sebaiknya dijawab oleh para peserta yang masih memendam keinginan untuk menjalani kepengarangan: "Sakit saya apa?" Apa yang menjadi pengganggu, kendala dalam menjadi pengarang? Yang sepertinya memerlukan entri tersendiri dengan label "intrapersonal" untuk menjawabnya.

Jumat, 01 Maret 2019

Belajar Perubahan Kata Kerja dalam Bahasa Perancis Lewat Lagu yang Adalah Kita

"Petrol Pop" merupakan soundtrack film Perancis produksi 1972 Moi Y' En A Vouloir Des Sous. Karena saya bukan penggila film dan malas berburu sampai ke situs bajak laut belum lagi cari subtitle yang bagus pembahasan film bisa makan satu entri tersendiri, maka baiklah kita lewati itu dan langsung pada pelajaran yang bisa kita dapatkan dari mendengarkan lagu ini saja.

Lagu ini bisa diakses di Youtube. Sejak diunggah pada 10 Desember 2008 oleh tuberider1976, lagu ini baru diakses sekitar 100.000 kali pada saat entri ini dibuat (Maret 2019). So, it's not that song everyone listens to. Hm, feels so edgy, rrright? Check it out, then!




Ada juga versi yang lebih modern, yang baru ditonton oleh jauh lebih sedikit orang.



Saya pribadi lebih suka yang lawas, rasanya somehow lebih epik or something like that lah, wkwkwk.

Lirik lagu ini sederhana saja, seperti yang dengan baik hati dicantumkan komentator Isaac Escargot sebagai berikut ...

Le pétrole, oh... 


Moi, moi j'aime le pétrole 
Tu aimes le pétrole 
Il aime le pétrole 
Nous aimons le pétrole 
Vous aimez le pétrole 
Ils aiment le pétrole 


J'aime ça le pétrole
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 


Moi, moi j'aime le pétrole 
Tu aimes le pétrole 
Il aime le pétrole 
Nous aimons le pétrole 
Vous aimez le pétrole 
Ils aiment le pétrole 


Je suis capable de tout pour du pétrole 


Moi, j'aimerai le pétrole 
Tu aimeras le pétrole 
Il aimera le pétrole 
Nous aimerons le pétrole 
Vous aimerez le pétrole 
Tu aimeras ton prochain comme toi-même 


Pour un homme qui a du pétrole, je flanche... je fonds... je consume... j'explose... je fioule... 
[Choeur] Pééééétrole ! (x5)
... sekalian dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris:

english : pétrole = oil/petroleum. 


I love oil 
You love oil 
He loves oil 
We love oil 
You love oil (plural) 
They love oil 


Oil, I'm loving it 
I would do anything for oil 


I love oil 
(...) 


I'm capable of all for oil


I will love oil 
You will love oil 
(...) 
You shall love your neighbor as yourself 


For a man who has oil, I flag... I melt... I burn... I explode... I fuel 
(choir : petroooooleum)
Seperti yang bisa kita lihat, pada dasarnya lagu ini menunjukkan perubahan kata kerja dalam bahasa Perancis dengan pola kalimat sederhana:


Subjek 
(pronomina Aku, Kamu, Dia, Kita, Kalian, Mereka) 
+
Predikat 
(verba Cinta) 
+
Objek 
(nomina Petrol)

Tentu saja, dengan menyimak lagu ini baik-baik sekalian membaca liriknya, kita juga bisa belajar cara mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Perancis tersebut, yang ternyata, sepertinya, ... tidak serada mudah bahasa Jerman

Melalui lagu ini juga kita dapat belajar untuk mengucapkan: 
Le pétrole, oh... 
dan
J'aime ça le pétrole
dan
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 
dan
Je suis capable de tout pour du pétrole 
dan
Pour un homme qui a du pétrole, je flanche... je fonds... je consume... j'explose... je fioule... 
dengan seksi ...

... mendesah parau-parau gimana gitu.

Tentu saja, kalau ditilik lebih lanjut, lagu ini lebih daripada sekadar pelajaran bahasa Perancis mengenai perubahan kata kerja.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, petrol adalah bahan bakar yang terbuat dari campuran gas alam dan petroleum atau disebut juga bensin. Bahan bakar jenis ini digunakan begitu banyak manusia di seluruh muka bumi untuk mendukung kegiatannya sehari-hari. Lagu ini merefleksikan ketergantungan tersebut, yang, boleh dibilang, sudah sampai taraf adiktif, enggak sih? (Coba deh baca artikel ini: "Addiction to industrialisation"). Maksudnya, bisakah seseorang yang terbiasa bepergian dengan sepeda motor atau mobil membayangkan seterusnya beralih kepada sepeda, jalan kaki, naik delman atau unta saja, begitu? Bahkan, sekalipun kita bukan pengguna kendaraan bermotor, barang-barang dalam kemasan plastik yang kita peroleh dari toko-toko itu diantar dengan mobil-mobil berkontainer, bukan? Mungkinkah kita hidup tanpa bensin sama sekali, memperoleh barang kebutuhan sehari-hari hanya dari pekarangan sendiri? Ada yang bilang, tidak ada yang mustahil. Bisa saja, asal kita pindah ke hutan. Bisa saja, kalau kita tidak kemudian digusur karena hutannya hendak dijadikan lahan produksi bahan bakar jenis lain ... katakanlah minyak kelapa sawit. Sepertinya akan terlalu luas kalau kita menyinggung juga tentang ketergantungan kita pada minyak kelapa sawit. Belum lagi jika kita bicara tentang sifat petrol yang tidak dapat diperbarui serta dampaknya terhadap lingkungan hidup seperti polusi. Jadi, kenapa kita bergantung kepada sesuatu yang pada akhirnya malahan merusak diri kita sendiri?

Bagian lagu ini yang dibawakan dengan kor seakan-akan merefleksikan banyaknya orang yang bergantung kepada petrol. Adapun bagian lainnya seolah-olah mengesankan bahwa ketergantungan terhadap petrol itu seksi. Coba, mana yang lebih seksi di antara dua ini: turun dari mobil ber-AC yang berbahan bakar petrol dengan riasan dan pakaian trendi (yang didistribusikan melalui ... tahulah) atau dari sepeda seken yang berbahan bakar singkong rebus dalam keadaan kucel oleh debu dan keringat?

Dari baik bentuk maupun isi lirik (oh, andai saya pakar linguistik dalam membedah lirik!) hingga penyampaian, lagu ini menyampaikan kenyataan tentang aku, kamu, dia, kita, kalian, dan mereka. Lagu ini adalah tentang kita semua. Lagu ini adalah kita.
J'aime ça le pétrole
Je ferais n'importe quoi pour du pétrole 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...