Bayangan tentang workshop biasanya meliputi praktik yang kemudian dibahas bersama. Memang sih, menjelang akhir workshop ini ada praktik mengajukan pertanyaan dalam satu kalimat. Namun secara keseluruhan, walaupun dilabeli workshop, acara ini lebih tepat disebut sebagai kuliah. Yang sebetulnya tidak apa-apa. Karena yang memberi kuliah seorang keren dan kaya pengalaman seperti Putu Wijaya, gitu lo.
Dalam usia senja dan keadaan tidak bisa berjalan, sehingga harus mengenakan kursi roda dan dipapah untuk pindah ke kursi lain, beliau masih bersemangat sampai menggebrak-gebrak meja ketika menghadapi puluhan peserta yang didominasi oleh anak muda. Ada mahasiswa dari UIN, ada pula mahasiswi dari Unpad.
Bisa dibilang, kuliah ini merupakan motivasi dan nasihat bagi anak-anak muda yang ingin cemplung ke dunia sastra, jurnalisme, atau teater--bidang-bidang yang menjadi ruang Pak Putu berkiprah. Sebagian dari masukan beliau saya mafhumi karena sudah mengalaminya sendiri, sebagian lagi menohok entah karena saya enggan menjalaninya atau baru tahu bahwa perbuatan yang kerap saya lakukan ternyata kurang baik.
Pak Putu mengakui bahwa dunia yang digelutinya itu tidak ada masa depannya, atau mungkin ada, tetapi sangat sulit. Malah, terlepas dari karyanya berupa novel, cerpen, drama, dan sebagainya yang melimpah ruah, Pak Putu mencari nafkah dengan menjadi wartawan.
Pak Putu mengakui bahwa dunia yang digelutinya itu tidak ada masa depannya, atau mungkin ada, tetapi sangat sulit. Malah, terlepas dari karyanya berupa novel, cerpen, drama, dan sebagainya yang melimpah ruah, Pak Putu mencari nafkah dengan menjadi wartawan.
Kuliah pun dibuka dengan petuah: "Pelajari yang penting saja, dan itu baru kita ketahui kalau kita tahu mau ke mana. Kalau ingin tahu ke mana kita pergi, kita mesti tahu diri kita." Seolah-olah, kalau sastra, jurnalisme, atau teater ternyata bukan hal penting bagi diri kita, maka itu tidak layak dipelajari.
Saya sepakat dengan pernyataan beliau bahwa daripada berkecimpung dalam dunia semacam kepengarangan, lebih baik jadi salesman, dokter, insinyur informatika, PNS, CEO start-up, penjaga toko jamu, Youtuber, dan seterusnya.
Akan tetapi, saya kira, bagi sebagian orang energi kreatif merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Betapapun tidak ada uangnya, betapapun tidak ada yang mengapresiasi, betapapun enggak worth it, energi tersebut mendesak membutuhkan penyaluran. Karena itu, ia menjadi berani demi memenuhi kebutuhannya itu. Keberanian didukung kreativitas menjadikan orang pantang menyerah sehingga produktivitasnya bertubi-tubi, ya, seperti Pak Putu. Agaknya beliau kenal betul dirinya, dan peduli. Beliau berjuang mengasah kesukaannya. Beliau terus memberi kesempatan bagi kemampuannya untuk tampil. Dengan begitu jiwanya selalu terbuka pada inspirasi. Dengan begitu beliau menguatkan kreativitasnya sehingga selalu dapat menemukan sudut pandang baru dalam menanggapi hal keseharian yang bagi sebagian orang membosankan.
Banyak sekali sebetulnya yang disampaikan oleh Pak Putu dalam waktu sekitar satu tiga per empat jam itu, yang semua berkaitan dengan perjalanan kreatifnya dalam berkesenian. Mungkin sebaiknya sementara acara berlangsung saya giat mencatat di notes menggunakan pulpen yang diberikan panitia dalam goodie bag (belum lagi snack dan sertifikat) seperti para mahasiswi, kemudian membuat dan menyusun poin-poin dan seterusnya sehingga bisa menyajikan berita liputan yang rapi. Tetapi, apa daya, karena sudah tidak bercita-cita menjadi jurnalis maupun pengarang, namun energi kreatif masih meletup-letup seperti kentut Vespa yang baru dinyalakan, namun waktu untuk menyalurkannya perlu dibatasi, yang bisa saya lakukan hanya berbagi rekaman.
Sebetulnya, ada PR yang Pak Putu berikan, satu pertanyaan yang sebaiknya dijawab oleh para peserta yang masih memendam keinginan untuk menjalani kepengarangan: "Sakit saya apa?" Apa yang menjadi pengganggu, kendala dalam menjadi pengarang? Yang sepertinya memerlukan entri tersendiri dengan label "intrapersonal" untuk menjawabnya.
Sebetulnya, ada PR yang Pak Putu berikan, satu pertanyaan yang sebaiknya dijawab oleh para peserta yang masih memendam keinginan untuk menjalani kepengarangan: "Sakit saya apa?" Apa yang menjadi pengganggu, kendala dalam menjadi pengarang? Yang sepertinya memerlukan entri tersendiri dengan label "intrapersonal" untuk menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar