Sabtu, 30 Maret 2019

Mind-blowingly Kiai Fuad Affandi


Ketika mendapat informasi di atas, seketika saya membelalak. Kiai Fuad Affandi! Kebetulan pisan, saya lagi membaca biografi tentang beliau di perpustakaan daerah Jawa Barat Jalan Kawaluyaan. Judul buku tersebut Entrepreneur Organik: Rahasia Sukses K. H. Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat "Sayuriyah"-nya karya Faiz Manshur terbitan Nuansa, Bandung, cetakan kesatu, September 2009. Sampai ketika menulis ini, pembacaan saya baru sampai pada halaman 284 dari 392 halaman. Saya langsung bersemangat untuk mendaftar acara itu.

Hari itu tiba. Di ruang GSG atas Salman ITB yang hijau (literally) untuk pertama kali saya bertemu sosok yang sebelumnya baru saya kenal lewat buku. Saya takjub karena beliau lain daripada yang tampak di foto-foto dalam buku. Tampaknya usia telah menyusutkan tubuhnya.

Biar begitu, persis seperti yang digambarkan di buku, pembawaan beliau memang berbobot tetapi kocak. Di sela-sela nasihatnya yang melimpah ruah, sesekali beliau menyisipkan lelucon bermakna. Yang paling bikin saya terbahak yaitu cerita tentang Kabayan dan Iteung berhadapan dengan petugas PLN. Memang leluconnya agak jorok, tetapi mangkus memahamkan tentang perbedaan paradigma antara yang-ingin-memberdayakan dan yang-hendak-diberdayakan.

Dari pembacaan buku Entrepreneur Organik, saya sudah mendapat cerita pendahuluan--malah mungkin penjelasan yang lebih luas daripada sekadar kuliah satu-setengah-jam ini--mengenai sepak terjang Kiai Fuad Affandi dalam membangun kampung halamannya. Betapa susah mengubah warga desanya agar menerima modernitas dan mengembangkan perekonomian.

Buku ini sangat mindblowing buat saya, anak yang seumur-umur produk kota besar bahkan ketika studi kehutanan pun minat saya ujungnya lari ke kota juga--perhutanan kota, yang cenderung meromantisasi kehidupan di pedesaan. Nilai-nilai ideal yang tengah saya himpun dari pembacaan buku-buku serta tontonan bergagasan alternatif pun diobrak-abrik lagi. Belum lagi, Kiai Fuad Affandi ini, baik di buku maupun live action, sarat nasihat yang saya membutuhkan usaha keras untuk mencerna dan mengaitkannya dengan kepentingan pribadi.

Beliau sempat mengkritik judul kuliah yang semestinya "pembangunan" alih-alih "perubahan". Alasannya, "perubahan" itu bisa ke arah kebaikan bisa juga pada keburukan, sedangkan "pembangunan" itu mesti ke arah positif. Hmmm, ini saja bikin saya berpikir keras, sebab sebelumnya saya mendengar dari lagu "Balada Pengangguran" Kantata Takwa:

Pembangunan, o! Pengangguran, ya! Penerangan, o! Kegelapan, ya!
Belum lagi, pada hari itu juga, sebelum berangkat ke Salman, saya baru membaca artikel Mongabay mengenai kontroversi "pembangunan" kebun kelapa sawit di Papua dan Sulawesi. Betapa "kemajuan" itu malah membikin orang Papua jadi "malas" untuk berburu-mengumpulkan hasil hutan, seperti tradisi mereka dahulu.
The villages I worked with were very critical of other villages who they deemed to have already reached that level of malas— laziness. Just waiting for your funds to arrive, just waiting for the company money. It’s another source of fragmentation, this internal criticism. People who are no longer struggling, who will eat from the company rather than hunt for themselves. And some people are. Some young Marind prefer to eat rice and noodles, they’re not really interested in hunting anymore. They’d rather be in the city, and they’d rather “progress,” or modernize as they put it — maju. I suspect these changes will be inflected along generational lines. That’s as much as I can envision at this point. Either total dependency or migration towards the cities. (klik Sumber)
Selain itu, ada perkataan beliau yang sangat mengunggulkan dan memuliakan pertanian, namun kenyataannya di India banyak petani bunuh diri atau, tidak usah jauh-jauh ke Anak Benua, di Sulawesi saja petani menangis karena sawahnya yang hampir panen diubah perusahaan negara jadi gundukan lumpur, ya, atas nama "pembangunan" tadi.

Saya bisa mengerti iktikad baik Kiai Fuad Affandi dan berharap dapat memahami nasihat-nasihatnya, juga bersyukur karena dibesarkan dalam lingkungan modern yang beliau kejar bersama desanya, seluruhnya terasa positif, namun entah kenapa saya menerimanya sambil mengerutkan kening. Maksudnya, masuk ke kepala, iya, tetapi sebelum menelan, kita harus mengunyahnya dulu sampai halus, kan? Semakin halus, semakin baik bagi pencernaan. Siapa tahu pula ternyata ada batu kecil, potongan cengek, atau serat yang tidak mungkin ditelan begitu saja.

Ketika sesi tanya jawab, bersuara beberapa pemuda yang bercita-cita sama seperti Kiai Fuad Affandi. Mengagumkan. Rupanya mereka juga mengalami kendala serupa dengan yang pernah dialami beliau. Makanya beliau sampai menceritakan lelucon tentang dildo lilin Kabayan-Iteung versus petugas PLN tadi. Seperti prostitusi, perbedaan paradigma terus terjadi dari waktu ke waktu, di mana-mana.
There’s a huge intergenerational problem in many of the villages I was working in. That level of societal relationship is breaking down. It works in both directions. Some of the elders who are adamant that the forest should be preserved versus the younger generation who are looking to progress, to change to modernity, material wealth, access to the cities. Access to the modern world. There’s that intergenerational tension. Then you also have it in the other direction, where there are young, educated Marind — schoolteachers, nurses, for instance — who are deeply critical of the elders who are also surrendering their land without understanding the terms of the contracts, the legal implications. Who are still operating in this reciprocity framework. [Young people would say,] “That works just fine among Marind, but you’re not dealing with Marind here. You need to change, our culture needs to change and adapt because we’re dealing with a very different kind of audience, who does not reciprocate in the same way, who does not understand reciprocity in the same way.” So some of these young people are pushing for kind of a transformation in Marind culture as a way of surviving these new kinds of forces and actors that are impinging upon everyday life. (klik Sumber)
Adakalanya menjadi kabur siapa yang lebih pintar: pemuda berpendidikan tinggi dengan idealisme namun kurang berpengalaman, atau warga desa kurang berpendidikan namun terampil. Semua sama-sama mencari uang. Tetapi, siapa memanfaatkan siapa, rupanya tidak ditentukan oleh tingginya "pendidikan". Lulusan kuliahan yang naif bisa diperlakukan bak mesin ATM oleh warga desa yang dasarnya pandai main akal. Kiai Fuad Affandi sendiri ijazah SD tidak punya, tetapi kini memiliki sekolah berjenjang-jenjang dengan jumlah santri bukan main banyaknya.

Seperti dalam "Balada Pengangguran" Kantata Takwa tadi:
Misteri! Ijazah tidak ada gunanya!
Meski begitu, berulang Kiai Fuad Affandi dalam kuliah kemarin mengatakan, "Pendidikan bukan pintu gerbang mencari uang, tapi manusia berpendidikan pasti dicari uang." Maka, "pendidikan" apakah yang dimaksud di sini jika beliau yang bisa dibilang tidak ber"pendidikan" malah menjadi sosok sukses yang disorot dalam televisi, majalah, buku ...?

Pada akhirnya, setiap yang bertanya diajak beliau untuk main ke pesantrennya dan melihat sendiri, tetapi nanti saja setelah tanggal 17 April #eh. Saya sendiri bersyukur karena telah membaca buku tentang beliau terlebih dahulu.

Terang banyak PR yang saya peroleh dari persinggungan dengan beliau: untuk belajar cara menjual, untuk menjadi berani, untuk mengerti perbedaan antara "usaha" dan "ikhtiar", untuk memikirkan maksud dari "punya cita-cita dan tujuan, usaha dan ikhtiar itu wajib, tapi uang bisa datang dari mana-mana" dan mengaitkannya dengan pola hidup saya sendiri, dan seterusnya.

Barangkali ada yang tertarik mendengarkan rekaman audio kuliah dengan beliau:



Rupanya kuliah ini merupakan yang pertama dari yang direncanakan akan delapan sesi. Saya menjadi penasaran akan episode-episode selanjutnya, siapa lagi tokoh yang akan ditampilkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain