Pagi itu Dean
merasa seperti tercelup dalam sebuah lagu kesukaan Kakek. Lagu itu berjudul
“Good Morning Sun”[1], tampaknya pas
untuk didengarkan pada pagi hari, tapi Dean seperti melihat badai tiap kali
mendengarkannya. Badai itu kini seakan berpindah ke dalam perutnya. Apalagi
ketika Dean melihat, seperti biasanya, Rieka turun dari boncengan Honda CBR
Kang Haqi di pelataran sekolah. Dean terus memandang Rieka, dan Rieka juga
melihatnya tanpa membuang muka. Malah Dean yang mengalihkan tatapannya lebih
dulu. Padahal pagi itu langit sangat cerah.
Ketika akan
memasuki kelasnya, Dean melihat Zahra sedang duduk-duduk di teras depan kelas
sebelah. Cewek itu bersama beberapa orang cewek lainnya, mungkin mereka sedang
menghafal bareng.
Ketika melihat
Dean, Zahra segera bangkit. Dean pun mendekati Zahra karena sepertinya cewek
itu mau menghampirinya.
“Sini deh,” kata
Zahra, sambil menggiring Dean ke tempat yang agak sepi. Zahra menurunkan
ranselnya lalu mencari-cari sesuatu di dalam cepuk. Rupanya sebuah spidol
hitam.
“Mau kasih
contekan?” Dean tersenyum-senyum.
“Mana tangan
kamu?”
Dean menyodorkan
tangannya dengan bingung. Zahra menariknya dan menulis di telapak tangan Dean
dengan huruf kapital semua:
KAMU
BISA!
Hampir saja Dean
menarik tangannya lagi, tapi Zahra memegangnya kuat-kuat. Setelah Zahra
selesai, Dean memandangi telapak tangannya yang sudah ditulisi. Dia mengerutkan
dahi lalu memandangi Zahra. Zahra tersenyum-senyum saja, lalu kembali pada
teman-temannya. Dean mengusap-usapkan telapak tangannya ke kain celana, tapi
tulisan itu sudah meresap di kulit.
Dean lalu
memasuki kelas dan mencari-cari meja yang bertempelkan kertas bertulisan nama
dan nomor peserta ujian miliknya. Rupanya meja itu berada di pojok kiri
ruangan. Dean kebagian bangku di sisi kanan, yang bersisian dengan jalur
lalu-lalang. Adapun bangku di sebelah kirinya bersisian dengan tembok. Pada
sudut kiri atas meja itu Dean membaca nama:
ARIFIN BAIHAQI K.
Bersamaan dengan
itu, Kang Haqi mendekat ke arah Dean dan mengecek meja yang sama. Kang Haqi
mengangguk pada Dean. Dean membalasnya dengan senyuman tipis dan memberi jalan
bagi Kang Haqi.
Tidak lama
kemudian, bel berbunyi. Semua bangku sudah diduduki oleh gabungan anak kelas
X-7 dan XI IPA 4. Para pengawas memasuki kelas. Salah seorang pengawas
memperlihatkan amplop berisi kertas ujian yang masih disegel, sementara
pengawas lainnya membagi-bagikan lembar jawaban komputer dan kertas buram untuk
corat-coret.
Mata pelajaran
pertama hari itu adalah Kimia. Dean membolak-balik kertas soal lebih dulu. Ada
35 soal pilihan ganda dan 5 soal isian. Dia membaca satu per satu soal dari
awal sampai akhir. Yang mudah langsung dia kerjakan, yang sulit dia lompati.
Setelah pembacaannya sampai di halaman terakhir, jumlah soal yang sudah dia
kerjakan dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Dia kembali lagi ke halaman
awal, membaca lagi satu per satu soal yang sebelumnya dia lompati sambil
berusaha mengerjakan semampunya. Ada yang berhasil dia temukan jawabannya,
banyak lagi yang mesti dia lompati.
Ketika merasa
buntu, di kertas buram Dean menuliskan apa pun yang dia ingat dari hasil
belajarnya kemarin-kemarin, terlebih dari suara Zahra ketika menjelaskan
berbagai persamaan yang membingungkan itu. Dean ingat ketika Zahra menunjukkan
bros di jilbabnya dan berkata, Ini dari
batu bara, namanya lignit. Dean juga ingat ketika mengikuti Zahra ke dapur,
lalu cewek itu memegang wadah sabun pencuci piring, Ini dari minyak bumi, dan panci teflon, Ini polimer dari politetrafluoroetilena, maksudnya apa? dan Dean
malah balik tanya dengan tampang benar-benar bingung, Maksudnya apa? Sekarang Dean kembali bertanya pada dirinya sendiri,
apa hubungannya ingatan-ingatan ini dengan soal yang dia sedang
hadapi—bagaimana menghubungkannya?! Pada akhirnya Dean pun menulis, Bu, saya mah ingetnya cuma ini!, lalu
kembali ke halaman pertama kertas soal dan membaca nomor demi nomor sambil
sedikit-sedikit menengok rangkumannya.
Dean juga sempat
membuka telapak tangan kanannya dan mengintip:
KAMU
BISA!
Bisa apa? pikir Dean. Ketika kertas soal
sudah habis dibaca untuk kesekian kalinya, Dean meremas-remas rambutnya,
menenangkan diri, dan bersiap mengaktifkan mode Mata Rajawali. Pada saat itulah, ada yang menyenggol kakinya dari
sebelah kiri. Dean lantas melirik Kang Haqi yang tampak sedang serius
mengerjakan soal. Dean kembali pada sasarannya semula, yaitu lembar jawaban
yang jauhnya dua meja dari meja di depannya, ketika kakinya disenggol lagi dari
sebelah kiri, dan bersamaan dengan itu terdengar desisan dari sebelah kanan.
Dean menengok ke kanan dan mendapati Kang Endi tengah menatap pengawas di muka
kelas, sementara tangan kirinya, yang tersembunyi di bawah meja, mengapit
lipatan kertas.
Dean menoleh
pada bangku di depan Kang Haqi, yang diisi oleh seorang teteh berjilbab
panjang. Di belakang mereka tidak ada siapa pun lagi selain tembok. Dean
ikut-ikutan melihat pengawas. Yang satu berjalan pelan-pelan ke arah pintu.
Yang satu lagi duduk di balik meja guru dan tampak menunduk, mungkin pada
ponselnya. Dean pun ikut-ikutan menunduk, berlagak memerhatikan kertas soalnya
lagi, dan langsung disergap perasaan bosan akibat bertemu pertanyaan serta
pilihan jawaban yang itu lagi-itu lagi—tidak kunjung dia mengerti.
“Sst!” terdengar
lagi dari arah kanan, juga senggolan pada kakinya dari arah kiri.
Demi apa gua bantuin cowoknya si Rika?
Dean menunduk
saja pada kertas soal, lembar jawaban, atau coretannya—berganti-ganti. Dia
mulai menorehkan garis tipis-tipis di dalam lingkaran huruf pada lembar
jawaban. Tadi A udah. Berarti sekarang B.
Eh, ini udah B, berarti C ah. Eh, tapi kayaknya E belum ada.
Tapi setelah
gangguan itu terjadi berkali-kali lagi, Dean akhinya mengalihkan tatapannya
pada para pengawas. Sementara itu tangannya bergerak pelan-pelan ke arah kanan
dan dengan cepat menerima pemberian Kang Endi. Tangan yang sudah diberi “tato”
oleh Zahra itu mengenggam lipatan kertas erat-erat dan membawanya ke bawah
meja. Dean menoleh pada Kang Haqi, yang sedang memantau pergerakan pengawas,
dan menyenggol kakinya. Agak menggeragap, Kang Haqi menengok Dean. Dean
mengangkat kepalan tangannya hingga sikutnya berjarak beberapa senti dari tepi
meja, lalu membukanya. Lipatan kertas itu jatuh ke lantai sementara telapak
tangannya menampakkan tulisan:
KAMU
BISA!
Dean menurunkan
tangannya dan kembali menghadapi lembaran di meja. Dia bersikap setenang
mungkin seakan barusan tidak terjadi apa-apa. Tapi dari sudut matanya dia tahu
bahwa baik Kang Endi maupun Kang Haqi terkejut oleh perbuatannya.
Ketika Kang Haqi
mau mengambil lipatan kertas di dekat kakinya itu, tiba-tiba terdengar suara
ketukan sepatu pada lantai mendekat. Kang Haqi buru-buru menegakkan kembali
posisi duduknya. Sementara itu Dean anteng saja sampai pengawas tiba di sisinya
dan menegur, “Tadi apa di tangan kamu?”
Dean
memperlihatkan telapak tangan kanannya dan tampaklah tulisan itu.
“Apa ini
maksudnya?” tanya si pengawas.
“Saya juga
enggak tahu, Bu. Temen saya yang nulisin.”
Tidak
berlama-lama keheranan, pengawas itu menuding Kang Haqi. “Kamu?”
Kang Haqi
mengerutkan dahi, tapi pengawas itu keburu melihat sesuatu di lantai. Ia
mengambil benda itu dan membukanya. Lalu ia memandang Dean dan Kang Haqi dengan
awas, menyimpan lipatan kertas itu di sakunya, dan kembali ke muka kelas.
Berpuluh pasang
mata yang sempat teralih pada mereka pun kembali ke mejanya masing-masing.
.
Setelah dua
ujian lagi, diselang istirahat setengah jam tiap kali pergantian pelajaran, UAS
hari pertama berakhir. Baru hari pertama….
Keluar dari kelas, Dean langsung mencari-cari langit untuk dia tatap dengan
nanar. Dia menimbang-nimbang apakah perlu beli rokok lagi dalam perjalanan ke
rumah, atau sebaiknya ke rumah Zahra dulu untuk mempersiapkan materi ujian
besok.
Dean baru saja
akan membayar rokok di warung samping Tenis Net, ketika tahu-tahu Kang Haqi
berada di sisinya. Beberapa anak kelas XI lainnya juga baru datang dan
mendekat.
Kang Haqi bilang
mau beli teh botol pada penunggu warung, tapi maksud sebenarnya adalah berkata
pada Dean, “Masalah kamu sama saya apa sih?”
Dean mencabut
rokok yang sudah menempel di bibirnya dan menyahut, “Masalah apa, ya, Kang?”
“Jawab we,
anjing.”
“Sia entong unjang-anjing ka aing[2], biasa wae, anjing.” Mereka nyaris suntrung-suntrungan, tapi Kang Haqi keburu
ditarik teman-temannya.
“Tahan, Qi,
masih seminggu lagi,” ujar salah seorang temannya.
Dean memungut
rokoknya yang tadi terjatuh. Ketika punggungnya tegak lagi, di kejauhan dia
melihat Deraz baru melewati gerbang sekolah. Lalu dia memandang Kang Haqi, yang
juga masih menatapnya. Tampaknya Kang Haqi belum puas membalas perlakuan Dean.
Dean pun berkata, “Masalah Akang sebenernya sama dia.” Kepalanya menuding ke
kejauhan, ke arah Deraz yang tertahan di gerbang. Kembarannya itu sedang
bercakap-cakap dengan entah siapa.
Tapi ada banyak
anak di situ. Kang Haqi menoleh ke sana dan berpaling pada Dean. “Siapa?”
“Itu, si hujan,”
sahut Dean sambil menyulut rokok.
Kang Haqi
menoleh lagi, dan berpaling lagi pada Dean. “Kenapa si hujan?”
“Ceweknya Akang
kan sukanya cuma sama dia. Kok mau sih diduain?”
“Maksud kamu
apa?”
“Gebetannya
cewek Akang itu, saya kasih tahu aja, enggak pernah mau dikasih contekan.
Sepinter-pinternya orang lain, dia masih lebih percaya sama kerjaannya
sendiri.” Dean memandang Deraz sambil mengunyah asap. “Cobalah mikir, apa kurangnya
diri Akang sampai Rika masih lebih seneng sama dia.”
Kang Haqi
terdiam, Dean juga. Tapi tidak lama-lama.
“Yuk, ah,” pamit
Dean sambil menjejalkan pucuk rokok pada dinding, “Saya mesti bimbel lagi,” dan
melontarkan benda itu ke tong sampah. Kang Haqi melepasnya dengan makian, tapi
Dean tidak acuh. Sebelum berbelok ke arah rumah Zahra, Dean menengok ke gerbang
sekolah dan masih ada Deraz di sana. Kembarannya itu juga melihatnya, tapi Dean
segera membuang muka dan mendadak tenggorokannya terasa gatal sekali.
.
Ujian demi
ujian. Hari demi hari. Kang Endi dan Kang Haqi berusaha menyambungkan rantai
jawaban yang tersendat dengan berbagai cara. Mereka tahu bahwa Dean tidak bisa
diandalkan. Mereka tahu bahwa Dean berlagak tidak tahu ketika keduanya melontarkan
lipatan-gumpalan kertas atau kode-kode pada satu sama lain di balik
punggungnya. Tapi entah mereka tahu atau tidak bahwa rantai jawaban X-7 pun
tersendat di bangku Dean, tidak seperti sebelumnya. Jika diibaratkan dengan
sarang semut, maka ruang tempat Dean berada sudah runtuh dan tidak bisa dilalui
oleh semut-semut lagi sehingga mereka langsung saja menuju sasaran berikutnya.
Dean juga sudah tidak bisa mengandalkan jurus Mata Rajawali, sejak menyadari bahwa anak-anak yang berada dalam
jangkauan pandangnya tidak kalah tolol dari dirinya. Dean mencoba mantra Nyokap lu doktor! tapi tidak selalu
berhasil. Dean bahkan tidak sanggup lagi memikirkan lagu untuk Rieka. Otaknya
terlalu keruh dan hatinya seakan tertutup oleh kesumpekan akibat terus-terusan
dijejali oleh kamu-tahu-apa.
.
Bel berbunyi,
menandakan berakhirnya waktu mengerjakan ujian terakhir pada hari terakhir UAS.
Anak-anak seakan menyambut pintu surga. Ada yang menyongsongnya dengan
semangat, membereskan barangnya cepat-cepat, lalu melesat mengambil ranselnya
di bawah papan tulis, dan meninggalkan kelas seperti kilat. Ada juga yang sudah
hampir kehabisan tenaga, dan gerakannya yang lamban seakan mau menyerupai
zombi.
Kang Haqi diam
saja di bangkunya, seperti mau menunggu kelas sepi lebih dulu baru pergi.
Kepalanya bersandar pada lipatan kedua lengannya yang menempel di tembok.
Setelah
membereskan peralatan ujiannya yang tidak banyak, Dean mengulurkan tangan
kanannya pada Kang Haqi.
“Apa?” tanya
Kang Haqi sambil menoleh dengan enggan.
“Selamat.
UAS-nya udah kelar.”
Kang Haqi tidak
menyambut tangan Dean, malah menelengkan kepala ke arah lain.
Dean pun
bangkit, mau mengambil ranselnya di muka kelas, ketika tahu-tahu Kang Haqi
menyahut.
“Lepasin aja
gitu… dia?”
“Baiknya sih
gitu, Kang,” jawab Dean dengan kalem. “Biar dia aja yang kesiksa sendiri sama
perasaan dia, jangan bawa-bawa Akang.”
Kang Haqi
memandang Dean dan mereka bertukar senyuman tipis.
.
Sementara
anak-anak Bastard merencanakan touring
ke Maribaya, sedangkan Ola, Anne, dan Rio mengajaknya traveling ke Semarang, Dean malah berburu anak-anak yang sama-sama
harus ikut remedial—atau siapa saja yang bisa diajak belajar bareng.
Ketika Dean
berkunjung ke rumah Zahra untuk entah yang keberapa kalinya dalam bulan itu,
cewek itu menanggapinya dengan, “Remed lagi?” Entahkah Dean mengalami
halusinasi akibat kebanyakan makan rumus atau pipi Zahra memang makin tembam.
Baru kali itu Dean melihat ruang tengah lantai dua tambah berantakan dari hari
ke hari, terutama di sekitar TV, oleh tumpukan buku cerita, bungkus DVD, dan
toples camilan. Saat itulah Dean sadar bahwa Zahra baru memulai pestanya.
.
Berita baiknya,
Ayah sedang libur dan sering berada di rumah. Tiap malam Dean bisa menyusup ke
sisi Ayah, entahkah itu di tempat tidurnya di kamar atau di sofa gelar di ruang
keluarga sambil menonton TV. Dean suka mengganduli lengan Ayah yang kekar
seakan itu bantal guling, dan minta didongengi segala cerita—mulai dari
Sakadang Kancil sampai Bunda sewaktu kecil. Itu penghiburannya yang paling
mujarab ketimbang main musik atau membayangkan Rieka. Mendengarkan suara Ayah
yang dalam dan berat dan meresapinya membuat Dean merasa kembali ke masa
dirinya belum ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar