Sabtu, 30 Juni 2012

Yang Keenam


Pada tanggal 20 Juni 2012 telah saya tuntaskan novel saya yang keenam. Novel kali ini terdiri dari 55.594 kata yang terhampar sepanjang 307 halaman A5 dengan spasi single 0 pt, jenis font Tahoma ukuran 12.

Novel ini saya kerjakan dalam rangka Camp NaNoWriMo 2012 edisi Juni. Semula bukan ini yang mau saya garap. Namun cerita yang satu ternyata belum siap, sementara cerita ini sudah membentuk plot yang (anggap saja sudah) utuh. Saya pun mengeksekusinya dalam waktu dua minggu kurang.

Sebagaimana novel-novel sebelumnya, saya masukkan beberapa lagu dalam novel ini, yaitu (cuman yang saya cantumkan liriknya, baik utuh maupun penggalan): Doel Sumbang – Mumun, She and Him – Why Do You Let Me Stay Here, HP Girls (Merry Andani, Nini Carlina, Baby Ayu, Anis Marsella) – Anak Mama, serta She and Him – In the Sun. Kira-kira seperti apa ya ceritanya?

Proses

Sepintas cerita dalam novel ini klise. Cowok ketemu cewek, mereka saling suka, mereka pacaran, ada gejolak dalam hubungan mereka, apakah mereka berhasil mengatasinya?

Selama pengerjaan novel ini, saya pun terpikir… ini bukan novel yang bakal saya baca kalau orang lain yang menulisnya.

Karakter-karakter dalam novel ini berasal dari kaum menengah perkotaan yang hidup serba cukup—bahkan lebih. Simpati saya terhadap kalangan ini telah berkurang sejak saya tinggal di Jogja. Ada kalangan yang lebih layak diberi simpati, karena hidup kalangan satu ini sudah enak. Di dalam teenlit, chiclit, atau semacamnya, permasalahan yang kalangan ini alami paling ya, gejolak psikologis seputar asmara, eksistensi, atau apa. Saya benci keadaan yang "ideal", maupun yang mendekati.

Tapi kemudian karakter utama dalam novel ini bilang sama saya, “Loh, ini kan cerita tentang kamu sendiri? Kamu juga terbiasa hidup enak dari dulu, meskipun enggak persis kayak saya yang di mata kamu lebih cemerlang. Bukannya kebiasaan hidup enak itu yang jadi masalah?” …dan bla bla bla lainnya… “Ambil positifnya ajalah. Kalau kamu pingin serius sama saya, mau enggak mau kamu tetep harus riset kehidupan saya. Ya manfaatin itu buat motivasi diri kamu sendiri, supaya kamupun bisa ngeliat dunia yang lebih luas.”

Benar sih. Saya sadari kalau novel ini lebih dari sekadar novel percintaan ababil. Novel ini adalah soal hasrat yang mengejawantah jadi obsesi, seksualitas, dan bagaimana mengelola hasrat-hasrat yang ada agar orang-orang di sekitar bisa terima.

Biarpun cara saya mengemas cerita masih kekanak-kanakkan (perkara keterampilan teknis nih), saya memperlakukan karakter-karakter yang ada di dalam kepala saya dengan serius. Meskipun ada di antara mereka yang suka menulis jurnal, saya tetap membuat jurnal saya sendiri tentang mereka. Untuk pasangan utama dalam novel ini saja, saya sudah mengutak-atik hubungan mereka sejak tahun 2009 dan baru deal belakangan. Nama karakter utamanya sendiri sudah tergurat dalam buku harian saya pada tahun 2005.

Maka novel ini adalah latihan untuk menyajikan sesuatu yang terkesan biasa dengan kemasan yang tidak biasa, membungkus kecabulan supaya tidak kentara, sekaligus menyelami karakter-karakter. Kesembilan karakter yang jadi penutur cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama—tentu saja semua pakai gaya bahasa saya! …biarpun mereka punya masalah, tujuan, dan sorotan masing-masing.

Hasil yang saya peroleh dari penggarapan yang hanya dua minggu kurang memang tidak memuaskan. Tapi itulah esensi dari ajang semacam NaNoWriMo dan program nge-camp-nya: kuantitas terdepan, kualitas belakangan. Saya pun kurang begitu lega ketika bagian terakhir usai diketik.

Saya ingin menulis ulang novel ini, juga novel-novel yang telah saya tulis sebelumnya, kalau Allah masih memberi saya daya. Ingin saya perkuat latarnya dengan riset yang teliti. Ingin saya susun emosinya dengan kalimat-kalimat subtil yang kaya diksi. Ingin saya asah dialog-dialog di dalamnya agar lebih bermakna. Ingin saya gali lebih dalam karakter-karakter yang berkelebatan. Ingin saya pangkas bagian yang kurang perlu, poles dengan materi yang lebih bermutu. Ingin saya kembangkan dan tata alurnya agar lebih memikat. Dan seterusnya. Ini adalah proses seumur hidup.

Jadi…?

Menulis novel bukanlah sekadar menulis novel. Menulis novel adalah keterasingan yang belum tentu layak, dan bakal, dihargai. Menulis novel adalah ajang pembuktian sebuah komitmen.

Menulis novel adalah suatu kemewahan, karena kamu memiliki sumber daya untuk itu dan tetap bisa hidup, sementara orang lain harus mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk hal lain atau mereka tak bisa hidup.

Bisakah menulis novel dianggap sebagai bentuk syukurku atas nikmat dari-Mu, Ya Allah? Apakah aku akan mendapat pahala untuk itu, biarpun novel tersebut belum layak untuk dipublikasikan?

Minggu, 24 Juni 2012

Belajar via Susur Cikapundung van Ngaleut


Cikapundung, Cikapundung, Cikapundung, walungan di Kota Bandung… demikian potongan lirik tembang Bungsu Bandung, “Alim Dicandung”, yang mempopulerkan sungai yang melintasi Jalan Asia-Afrika di Kota Bandung tersebut. Sepenggal wajah Cikapundung telah ditengok pada ngaleut (22/04/12). Pemukiman padat di Cihampelas maupun aktivitas perkotaan lain di sekitarnya mengepung aliran yang harusnya jadi poros kehidupan ini hingga keruh dengan titik sampah di sana-sini.

Minggu (24/06/12), para pegiat Aleut kembali melakukan penyusuran septic tank terpanjang di dunia tersebut dengan rute yang berlawanan dari arah ke Cihampelas, yaitu seberang Sabuga hingga Curug Dago. Medan yang ditempuh pun jauh lebih beragam, tidak sekadar gang-gang melainkan jalan setapak, pematang sawah, komplek perumahan, sampai sungai berbatu! Bisa dibilang ngaleut kali ini lebih menyerupai outbond tanpa pos-pos, game-game, dan kakak-kakak pemandu. Bagaimanapun kami didorong keadaan agar saling bantu demi kelancaran perjalanan. Sangat memberdayakan.

Titik pemberangkatan terletak di rumah seorang dedengkot Aleut di Jalan Sumur Bandung. Menjelang pukul sembilan pagi kami bertolak dari sana, menyusuri tepi Babakan Siliwangi, lalu menyeberang dan memasuki jalan setapak di tepi Sungai Cikapundung. Tetumbuhan di area ini cukup rimbun, hingga sesaat kami merasa tidak di kota.

Gang yang berkelak-kelok dengan rumah-rumah mungil di tepinya—laksana di kawasan Cihampelas—kembali kita temui kemudian. Jampi-jampi pun dirapalkan demi ketenteraman masyarakat di perjalanan: “punten…”

Pot hole. Entah mengapa dasarnya
berwarna kuning.
Sesekali kami berhenti karena adanya bebatuan dengan lubang yang khas, sebuah fenomena geologi. Namun ngaleut laksana rekreasi plus plus, bukan kuliah lapangan, sehingga informasi sahih mengenai ini barangkali bisa ditelusuri baik di internet maupun perpustakaan.

Kami juga melewati sebuah kampung bernama Manteos. Menurut Kang Ayan, seorang pentolan Aleut, Manteos berasal dari nama orang Belanda, “Mathius”, yang pernah memiliki tanah di kawasan tersebut.

Beginilah sempadan sungai yang
baik dan benar
Dengan Sungai Cikapundung sebagai pedoman, kami terbawa hingga ke pedalaman. Ciumbuleit, Dago Bengkok, apapun daerah yang sebenarnya mengitari kami, tidak terasa pasti. Lepas dari gang, alam kembali menghadang. Tidak liar benar, tapi cukup untuk mengasingkan kami dari hiruk-pikuk khas kota besar. Kolam-kolam pemancingan nan kering air, sempadan sungai yang ditumbuhi rumpun bambu dan pisang, petak-petak sawah yang dikira tinggal ada dalam kenangan masa kecil—“Ini masih Bandung loh,” sesekali ada yang mengingatkan seperti itu.

Saluran irigasi peninggalan
Belanda yang plakatnya sudah
hilang.
Selain Manteos, peninggalan Belanda lain yang kami temukan adalah saluran irigasi serta pintu air/waterwang Leuwilimus. Setiap bangunan peninggalan Belanda biasanya disertai plakat, namun kini plakat di atas saluran irigasi tidak ditemukan. “Padahal tahun lalu masih ada,” kata Kang Reza, koordinator Aleut.

Menurut keterangan para pegiat Aleut yang tahun lalu mengikuti ngaleut dengan tema serupa, perubahan telah banyak terjadi di sekitar Sungai Cikapundung. Rute yang kami lalui pun berbeda dengan rute yang telah dilalui sebelumnya, misal karena terhalang oleh bangunan yang tahun lalu belum ada. Kamipun harus mencari jalan lain supaya sampai ke tujuan. Sawah becek sekalipun harus diterjang, biarpun itu bikin kami berlepotan lumpur.

Waterwang Leuwilimus
Kekompakan para pegiat Aleut kian diuji ketika mau tidak mau harus melalui sungai. Setidaknya betis pasti terendam. Beruntung mereka yang pakai sandal lapangan. Yang pakai sepatu harus menjinjing alas kaki mereka itu, sedang permukaan sungai dipenuhi bebatuan tajam atau berlumut. Dangkal-dalamnya sungai pun tak merata.

Kerja sama :')
Rombongan belakang pun menggelar beberapa webbing untuk mempermudah perjalanan. Beberapa cowok memegangi webbing, sedang para cewek dan sisanya menyusuri tali gepeng tersebut agar tidak terhindar dari celaka. Saya termasuk yang ceroboh biarpun pengaman sudah disediakan. Sudah mandi setengah badan dan bikin penolong saya ikut kebasahan, saya menginjak kaki salah seorang cowok.

Webbing tetap berguna biarpun kami sudah tak terendam air, misal saat kami mendaki jalan setapak yang terjal.

Warung yang ditemukan otomatis menjadi titik pemberhentian. Rezeki bagi pemilik warung, berbagai jenis minuman dan snack yang dijajakan jadi incaran.

Meong unyu nan seksi di sekolah alam
Kami sempat berhenti lagi cukup lama di sebuah sekolah alam. Selain mengudap perbekalan, sebagian dari kami menunaikan salat zuhur. Setelah cukup obrol-obrol, kami lanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan menuju prasasti peninggalan raja Thailand, kami bertemu dua orang anak bernama Teguh (kelas 7) dan Emir (kelas 2). Mereka berasal dari Jakarta dan sedang liburan di Bandung. Dari rumah nenek mereka di Dago Selatan, mereka jalan kaki sampai kawasan Curug Dago! Teguh dan Emir pun jadi seleb dadakan di antara kami, mulai dari ditanya ini-itu sampai diajak foto bersama.

Saya pernah mengunjungi Curug Dago saat saya masih kelas 6, bersama seluruh teman seangkatan. Saat itu kami bisa bermain air di curug. Kini saya lihat lanskapnya kok beda. Curug diapit dinding tinggi. Pengunjung hanya bisa sampai tepi salah satu dinding, itupun jelas dibatasi lagi oleh pagar besi berkarat. Dan saya tidak ingat kalau di tepi dinding itu pula ada dua prasasti. Daratan di hamparan curug pun tampak berwarna-warni oleh sampah, jelas bukan tempat yang enak buat main air.

Apa yang saya kunjungi dulu itu sebenarnya bukan Curug Dago, atau memang ada perubahan dalam kurun 10 tahun?

Bangunan berkosen merah melindungi kedua prasasti dari tangan-tangan jahil. Pada kedua prasasti tersebut terdapat torehan dengan aksara yang barangkali aksara Thailand. Konon seorang raja dari Thailand pernah datang ke Curug Dago untuk bersemadi. Peninggalannya berupa batu yang kini jadi prasasti. Entah berapa puluh tahun kemudian, anak dari raja tersebut yang juga telah menjadi raja Thailand mengunjungi bekas semadi ayahnya. Kedatangannya ditandai dengan sebuah prasasti lagi. Kedua prasasti tersebut dipisahkan jarak beberapa meter.

Hulu Sungai Cikapundung bukanlah terletak di Curug Dago, melainkan Lembang. Namun hulu yang harusnya murni konon malah dijadikan tempat pembuangan limbah peternakan sapi. Padahal Curug Dago berada di ketinggian yang lumayan, tapi airnya masih tampak keruh.

Segelintir sampah di badan Sungai
Cikapundung
Perilaku warga yang masih buang limbah ke sungai memang amat menggugah untuk disesali. Lagi-lagi kami diingatkan untuk mengubah mulai dari diri sendiri. Namun agaknya tak cukup itu, berbagai wacana pun muncul dalam sesi sharing.

Isu lingkungan hidup ternyata bukan minat utama saya, tapi melalui komunitas semacam Aleut ini saya jadi tersentil untuk turut memerhatikan. Bagaimanapun Aleut adalah komunitas belajar, bukan sekadar sarana olahraga bareng dan sosialisasi. Maka saya pulang dari ngaleut dengan rasa tergugah untuk lebih aktif dan peduli, baik kepada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitar. Semoga rasa itu dapat terus bertahan.***

Sabtu, 09 Juni 2012

Kota: Sarana Intrapersonal, dan Proses Kreatif?



Kota bagi saya adalah sebuah identitas. Saya baru menyadari ini ketika saya meninggalkan Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke kota lain. Di Jogja, saya berkenalan dan berbagi dengan teman-teman dari berbagai daerah—terutama dari DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di sinilah saya memahami kalau kehidupan terjadi tidak hanya di Bandung. Bersinggungan dengan mereka yang dengan enteng menyebut diri sebagai anak desa, atau anak kota—tapi kota kecil, yang tak sungkan mengawali ceritanya dengan, “di desaku sih…” membuat saya sadar akan perbedaan saya dengan mereka. Tak mungkin saya mengawali cerita sebagaimana mereka, karena saya mau tak mau harus mengakui, “di kotaku sih…”

Bandung adalah sebuah kota besar, sampai kapanpun saya tak bisa menyebutnya sebagai sebuah desa. “Bandungnya di sebelah mana?” sering saya ditanya. “Bandung kota.” Saking besarnya Bandung, wilayah administratifnya dibagi menjadi Kotamadya Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat. Bandung yang menjadi domisili saya adalah Kotamadya Bandung, yang selanjutnya akan saya sebut Bandung saja.

Tak tepat jika menyebut saya mudik ke kampung halaman, melainkan kota halaman. Letak rumah saya hanya lima belas menit jalan kaki dari mal (yang dulu pernah jadi) terbesar di Bandung. Toh ketika saya di Jogja pun, saya bisa dikatakan sudah mudik. Ke sinilah papa saya mengajak mama dan adik-adik saya bersilaturahmi tiap lebaran dan libur kenaikan kelas. Jogjanya pun bukan di desa, melainkan hanya sekitar 2 km dari kotamadya.

Saya lahir di Bandung, lalu mengenyam TK, SD, SMP, hingga SMA di kota itu pula. Enam belas setengah tahun lamanya, jika sepenggal masa batita saya di Cicurug tak dihitung. Lalu hampir lima tahun setelahnya saya menjadi mahasiswa Jogja,  sense of belonging saya terhadap Bandung tidak tersingkirkan rupanya. Kebanyakan dari puluhan cerpen yang saya karang selama itu berlatar di Bandung. Demikian pun kelima novel saya. Bahkan (calon) skripsi saya pun tentang hutan kota di Bandung. Dan sampai sekarang saya masih bicara dengan logat Sunda yang kentara.

Betapa sebuah kota dapat memengaruhi proses kreatif sastrawan. Hal ini saya simpulkan dari membaca beberapa buku, di antaranya “Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika” (Michael Pearson) dan “Istanbul—Kenangan Sebuah Kota” (Orhan Pamuk). Biarpun saya bukan sastrawan, tapi saya telah mengarang, dan bagaimanapun hasil karangan saya, proses kreatifnya ternyata tidak lepas dari pengaruh sebuah kota.

Maka secara otomatis buku bertajuk “Sastra KotaBunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta” (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003) pun menarik perhatian saya. Jika dua buku sebelumnya menampilkan sastrawan-sastrawan luar negeri, maka yang diberitahukan buku kali ini adalah sastrawan-sastrawan dalam negeri. Tidak seintens buku Pearson dan Pamuk memang, namun lumayan untuk menambah wawasan mengenai dunia sastra, khususnya di Jakarta.

Kota dalam “Sastra Kota” mengacu pada Jakarta. Sebagai sebuah ibukota, Jakarta mewakili keberagaman di Indonesia. Saya sendiri tidak familier dengan Jakarta. Saya ke Jakarta hanya untuk ke Dunia Fantasi dan semacamnya, atau ke Bandara Soekarno-Hatta, atau transit sebelum mencapai Taman Nasional Ujung Kulon. Toh tak perlu sampai Jakarta, peta yang dimiliki pakde saya bilang kalau Bandung pun sedang menuju metropolitan. Bandung pun memiliki segudang carut-marut bak yang diceritakan Toto Sudarto Bachtiar, Afrizal Malna, Mochtar Lubis, SM Ardan, hingga Teguh Esha dalam karya-karya mereka mengenai Jakarta. Tengoklah “Senandung Bandung”, sebagai contoh, di sana ada Eddy D. Iskandar, Beni Setia, Acep Zamzam Noor, sampai Wilson Nadeak yang mengabarkan permasalahan Bandung tiga puluh tahun lampau: keadaannya dengan sekarang ternyata sama saja!

“Sastra Kota” memuat sepuluh esai yang masing-masing ditulis oleh Agus R. Sarjono (Sastra (dan) Kota), Ahmadun Yosi Herfanda (Kapitalisasi Sistem Produksi), Eka Budianta (Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun), F. Rahardi (Gaya Militeristik Pejabat Kesenian Kita (Pengelompokan Sastra Rural, Urban, dan Sub Urban)), Iwan Gunadi (Produk Ketertekanan tanpa Ideologi Bulat), Maman S. Mahayana (Sistem Penerbitan Sastra di Indonesia), Manneke Budiman (Konflik Sastra dan Sastra Konflik), Medy Loekito (Perempuan dan Sastra Seksual), Moh. Wan Anwar (Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Kita), serta Zeffry J. Alkatiri dan JJ Rizal (60 Tahun Jakarta dalam Sastra Indonesia).

Melalui buku ini, kita bisa mengenal semakin banyak nama dan kiprah para sastrawan dan kritikus (saya penasaran sama “Piekirans van een straatslijper – Pikiran seorang tukang keluyuran”-nya Tjalie Robinson!), wadah apa saja yang tersedia bagi pengembangan mereka (misalnya Taman Ismail Marzuki, Teater Utan Kayu, Komunitas Sastra Indonesia, Forum Lingkar Pena, Horison, dan semacamnya), para pengamen puisi di bis, aspirasi para buruh yang tertuang melalui syair dan cerpen, sejarah penerbitan karya sastra di Indonesia, bagaimana konflik dalam karya dikemas secara unik (cek “Jakarta, Suatu Ketika”-nya Seno Gumira Ajidarma dan “SMS”-nya Djenar Maesa Ayu), jor-joran ekspresi seksual perempuan dalam “sastra wangi” yang justru menurunkan harkat perempuan itu sendiri, sampai lesunya sastra di dunia akademis.

Tapi apakah sebenarnya “sastra kota” itu sendiri? F. Rahardi mengatakan bawah pengkotak-kotakkan sastra menjadi rural, urban, dan suburban dalam pengertian hanya geografis (teritorial) itu sama bodohnya dengan pengkotak-kotakan sastra menjadi angkatan-angkatan seperti dalam dunia tentara. Biarpun sastrawannya tinggal di kampung halaman, dan menulis tentang hal-hal yang “ndeso”, seperti Ahmad Tohari dan D. Zawawi Imron, tapi yang mengonsumsi karya-karya mereka yang sarat nuansa rural itu justru masyarakat urban. Sastra modern sebagaimana yang kita kenal adalah bagian dari kultur urban. Sastra yang sungguhan rural biasanya bersifat fungsional, contohnya mantra untuk upacara adat atau semacamnya. Penciptanya pun tidak diketahui, sehingga karya sastra demikian dianggap komunal.

Menurut F. Rahardi, pengaruh domisili sastrawan yang di area rural, urban, atau suburban itu memang memengaruhi proses kreatif, tapi itu hanya salah satu faktor. Toh di manapun seseorang tinggal, entah di pelosok Kalimantan maupun di sudut Ngayogyakarto, ia tetap bisa menulis tentang Jakarta apabila rajin mengamati berita di TV maupun koran—setiap hari ada saja berita tentang Jakarta, bukan? Barangkali gaya hidup lebih berperan dalam memengaruhi proses kreatif seseorang.

Jadi agaknya tak mesti tinggal di “metropolitan” Jakarta atau “kota kreatif” Bandung untuk memicu proses kreatif. Gaya hidup urban, sekadar TV dan koran, bisa jadi sudah cukup sebagai pemantik ide-ide dalam membuat karangan. Dan saya kagum dengan mereka yang bisa seperti itu: menulis tentang hal-hal di luar diri mereka, namun tetap terasa realistis. Sedang bagi saya, diri sendiri dan apapun yang melingkupinya, termasuk kota yang telah membentuk identitas dan budayanya, masih menjadi sumber yang belum habis untuk dieksplorasi. Padahal Bandung sudah terkenal dengan oncom, peuyeum, mochi, Ma Icih, Amanda, sampai Kartika Sari, kayak tidak ada tempat lain yang perlu diekspos saja.

Saya pun tidak ingin menutup diri, insya Allah saya tidak akan menampik apabila ditawari kesempatan menjelajahi dunia lain. Hanya saja, yang saya yakin semua orang akan amini ialah: sepanjang hidup adalah upaya mengenali diri sendiri. Bahkan ketika kita sudah lanjut usia pun, entah karena pikun atau rabun, kita akan mengenali diri kita sebagai orang yang sudah susah mengenali orang lain. Toh saya pun baru menyadari ke”urang-Bandung”an saya setelah bertemu orang Pati, Tempel, Gombong, Wonosobo, Sragen, Malang…***

Jumat, 08 Juni 2012

Komedi Aksi Fantasi Indigo



Judul : Biru Indigo
Pengarang : Putra Perdana
Penerbit : Voila (PT Mizan Publika), Jakarta, 2010

Saya pertama kali mengetahui “Biru Indigo” (selanjutnya BI) dari ulasan tentangnya di blog fiksi fantasi Indonesia. Sejak itu saya acap tertarik sama novel ini begitu melihatnya di toko buku, tapi ragu pula untuk membeli. Untung ada teman yang punya hehehe.

Sekiranya “Garuda 5 Utusan Iblis” (selanjutnya G5UI) punya andil dalam membikin saya bertanya pada sang teman apa ia mau meminjamkan BI pada saya. G5UI sukses membuka minat saya pada dunia fantasi, apalagi yang produksi dalam negeri. Seketika BI terlintas dalam kepala sebagai novel-berikut-yang-pingin-dibaca, karena agaknya ini novel unik seperti G5UI. Kentara lokal, dan tidak berseliweran nama-nama asing yang bakal sulit dihapal. Dan begitulah adanya!

Lalu setelah G5UI, BI, serta berbagai ulasan di blog fiksi fantasi Indonesia, saya yang awam akan fiksi fantasi sampai pada pemahaman kalau dunia fantasi bisa dibangun berlandaskan kepercayaan atau fenomena tertentu. Kebanyakan fiksi fantasi yang dibuat orang Indonesia agaknya menggunakan produk khayali antah-berantah, sedangkan eksplorasi dunia lokal barangkali dianggap tak berkualitas, syirik, murahan, dan sebagainya. Menurut saya sih, pengemasan yang oke bisa jadi malah meningkatkan harkat mistisme lokal. Contohnya, baik G5UI maupun BI ditulis dengan gaya yang sangat menghibur, sekaligus “berisi”. Di G5UI, cerita dibangun berdasarkan konsep Islam berikut dunia metafisika. Di BI, fenomena anak-anak dengan bakat khusus yang dikembangkan. Biarpun fenomena dalam BI ini tak hanya berlaku di Indonesia, tapi situasi-situasi dalam novel ini sangat realistis sehingga terasa lebih dapat menyentuh pembaca lokal. Saya ingin membaca lebih banyak novel semacam G5UI dan BI nih.

Ubek-ubekan

Cerita dalam BI dituturkan oleh tiga karakter, yaitu Elang, Amel, dan Rikko. Semuanya menggunakan sudut pandang orang pertama, dan tiap karakter dapat menunjukkan kekhasannya masing-masing. Gaya bahasa Elang, pembunuh bayaran berusia 30-an tahun yang berkedok sopir taksi, cenderung kaku. Gaya bahasa Amel menunjukkan kepolosan dan kekenesannya sebagai remaja putri berseragam SMA. Gaya bahasa Rikko, mahasiswa kedokteran lagi pemadat, mengesankan ia sebagai orang yang linglung sekaligus waras.

Bahasa pada kalimat tak langsung nyaris tak ubah dengan kalimat langsung, yaitu bahasa lisan, sehingga saya merasa lebih dekat dengan karakter. Narasinya juga simpel saja, tanpa banyak deskripsi yang makan halaman. Karena sudah enak dengan gaya bercerita pengarang, saya abaikan saja keanehan dalam penggunaan tanda baca dan sebagainya dalam novel ini hehehe.

Dan biarpun memiliki karakter berbeda, ketiganya lucu. Rikko yang paling lucu. Contoh yang lucu menurut saya, meski kalau ditulis penggalannya doang di sini kelucuannya jadi tak terasa lagi.

·         Tiap kali Rikko menganggap Elang sok keren.
·         Dialog Rikko sama Elang ketika mereka mau menerobos penjagaan pabrik di mana Amel diculik.
Rikko : “Tapi sekarang kan gelap, kita bisa aja masuk ngendap-ngendap. Mereka kan nggak bisa liat kita karena gelap.”Elang : “Tapi kita juga nggak bisa ngeliat mereka kalau kita turun ke situ.” (hal. 193)
·         Idem di atas, tapi ini adegan sebelumnya dan dituturkan dari sudut pandang Elang.
Kuambil ancang-ancangBerlari, lalu melompat. Aku mendarat di atap setelah melompat-lompat secara zig-zag di antara tembok belakang pabrik dengan tembok rumah dua lantai itu.“Wuih, hebaaat! Kayak Jackie Chan!”Rikko dengan komentar bodohnya.“Sambil bawa senapan lagi, padahal itu kan panjangnya lebih tinggi dari anak umur 7 tahun…”“Kamu harus selalu berisik seperti itu, ya? …Ayo naik!” (hal. 191 – 192)
·         Amel dengan sang papa. Jadi ceritanya Amel ini suka pingsan karena punya kelainan jantung.
Papa : “Duuh Amel… Kamu pingsan lagi, ya? …Kenapa sih pingsannya di sini?”
Amel : “Ah, Papa. Amel kan nggak tahu kapan Amel pingsan, jadi mana bisa milih-milih tempat.” (hal. 29)

Karakter-karakter di G5UI juga memiliki kekhasan masing-masing, tapi semuanya pandai melucu. Connie Willis dalam tulisannya, Learning to Write Comedy. or Why It’s Impossible and How toDo It.”, mengatakan bahwa, “Characters in comedy expound and chatter and banter and orate and prattle, bringing far more energy and enthusiasm to their conversations than is probably necessary, with the delightful that their dialogue ranges from rambling to witty.” G5UI dan BI seakan jadi pembuktian bagi kata-kata Connie Willis ini.

Tak hanya karakter sebetulnya. Dalam BI, hal seperti nama teman Amel yang hampir mirip (Sara dan Sarah), pria kekar bernama Nuri (ini semacam nama kode dalam kelompok pembunuh bayaran, sekaligus kayak nama cewek), dan bagaimana Elang menguntit Amel karena terobsesi itu ya, lucu saja.

Ya begitulah. Senang saja karena banyak menemukan kelucuan. Kiranya ada saja yang bikin saya senyum, mendengus, atau nyaris ketawa di tiap halaman. Novel ini begitu menghibur!

Kehidupan Elang sebagai pembunuh bayaran, sekaligus mantan direktur perusahaan apa-itu-saya-tidak-ingat, membuka wawasan saya akan dunianya yang saya awam, lagi tak minat, tapi bikin saya kagum sama sang pengarang. Saya jadi tahu apa itu game Splinter Cell, Dragunov, gerakan-gerakan tae kwon do, dan sebagainya. Begitupun dengan Rikko, tuturannya diselipi berbagai istilah dalam dunia junkies sekaligus kedokteran. Di penghujung, misteri di balik keanehan-keanehan terkuak dan itu bikin saya ingin tahu lebih banyak tentang fenomena indigo dan sanguin. Novel ini memperluas wawasan!

Namun biarpun karakternya mengena, hiburannya oke, dan wawasannya luar biasa, novel ini tidak begitu menakjubkan jika ditinjau dari keutuhan cerita dan penataan alur (*bahasanya aja kayak gini, saya sendiri kalo bikin cerita masih seenaknya :p).

Cerita berakhir dengan menuai banyak tanda tanya. Jadi apakah Awan, Petir, dan Luna itu alter ego Rikko dan Amel di dunia astral? Keberadaan dunia astral telah terungkap, tapi hubungan di antara ketiga orang itu masih belum jelas. Pun hubungan antara Andi Vatar—tokoh “jahat” yang berperan di balik masalah dalam cerita—dengan Maya—nenek Amel. Lalu apa yang menyebabkan papanya Amel tahu-tahu tidak setuju anaknya pacaran dengan Rikko? Apa sebenarnya cairan biru yang disuntikkan pada Amel dan Ristya, pengaruhnya? Seharusnya peran Ristya, yang ternyata cukup signifikan itu, lebih dieksplorasi enggak sih? Terus apa sih maksudnya “biru” dalam “Biru Indigo”, memang siapa yang cakranya biru? Dan seterusnya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini barangkali luput dari pembacaan saya, atau memang baru akan terjawab di sekuel (kalau ada), tapi bagi saya ini malah bikin BI terkesan sesungguhnya belum siap untuk diterbitkan. Akhiran menggantung itu lumrah, tapi ya tidak dengan meninggalkan ketidakjelasan yang begitu banyak juga...

Mana ada permasalahan yang belum selesai pula. Bisa-bisanya Amel menghidupkan lagi Andi Vatar setelah Elang berjerih payah membunuh orang itu. Setelah Andi Vatar dikabarkan hidup lagi, tahu-tahu Elang ditangkap polisi atas dugaan pembunuhan Andi Vatar! Bingung. Tapi halaman selanjutnya sudah bukan cerita lagi, melainkan tentang penulis. Piye iki, Jal?

Selain itu saya heran juga. Amel kan dua kali diculik, sekali oleh Leon—teman SMA-nya—dan sekali lagi oleh anak buah Andi Vatar. Penculikan kedua, saya tidak ingat bagaimana caranya. Tapi saat penculikan pertama, saya ingat betul kalau Amel kok mau saja digiring oleh Leon cs begitu mentang-mentang Rikko lagi tak berkutik. Saya bayangkan seharusnya Amel bisa lebih berdaya, teriak-teriak kek, cari Pak Nasir kek, gulang-guling kek. Tapi ya sudah saya biarkan saja, soalnya saya lebih menikmati gaya bertutur cerita ini yang sedikit-sedikit menggelitik.

Mengenai penataan alur, cerita BI kan dituturkan oleh tiga sudut pandang. Sering kali sudut pandang kedua mengulang apa yang sudah disampaikan oleh sudut pandang pertama dari sudut pandangnya, belum lagi kalau di bagian selanjutnya sudut pandang ketiga melakukan yang serupa. Pengulangan bisa jadi menarik, karena memperjelas apa yang tidak diketahui oleh sudut pandang sebelumnya. Tapi kadang pengulangan ini tidak penting, malah membosankan, dan memperlambat tempo membaca. Emosi yang sudah diregang di bagian sebelumnya, jadi kendur lagi begitu ada pengulangan adegan di bagian selanjutnya. Emosi pembaca tak tergarap dengan optimal.

Hikmah

Kadang saya mengidentikkan diri dengan Rikko. Ini kata Rikko, dan ini saya banget.

Aku suka jalan kaki, karena kalau lagi jalan kaki aku punya banyak waktu untuk berpikir. Sebenarnya ini suatu kontradiksi, karena kalau terlalu banyak berpikir aku malah jadi pusing. (hal. 11)

Paling tidak novel ini bikin saya berspekulasi, apa kalau saya madat juga bakat indigo saya bakal keluar sebagaimana Rikko dan Ristya? Hehehe. Cakra alias pintu energi Rikko kan baru terbuka setelah ia mengonsumsi kokain (hal. 330). Ristya juga bisa menuliskan ramalan tentang Awan, Petir, Luna, dan lain-lain saat ia menghisap ganja. Satu lagi yang saya anggap lelucon dari pengarang, justru dari hal yang dianggap buruk itu jati diri seseorang akan muncul.***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...