Senin, 04 April 2011

Sastrawan dalam Ranah Lokal

Judul : Tempat-tempat Imajiner, Perlawatan ke Dunia Sastra Amerika
Penulis : Michael Pearson
Penerjemah : Sori Siregar, Erwin Y. Salim, Ayu Utami
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994

Bagaimana hubungan timbal balik antara sastrawan dengan lingkungan tempat tinggalnya—mungkin ini yang coba Pak Pearson selidiki dengan perlawatannya ke berbagai titik di Amerika, sebut saja: Vermont (Robert Frost), Mississippi (William Faulkner), Georgia (Flannery O’Connor), Key West (Ernest Hemingway), Kalifornia (John Steinbeck), dan Missouri (Mark Twain). Mereka mungkin tak tinggal selamanya pada tiap-tiap tempat tersebut—mungkin saja hanya bagian dari kenangan masa kecil, persinggahan beberapa lama, maupun pelabuhan yang terakhir—namun demikian, jejak mereka di sana masih dapat ditemukan hingga kini (—setidaknya hingga penulis melawat ke sana).

Ini seperti sebuah kumpulan feature sekaligus contoh deskripsi latar tempat yang amat baik untuk jadi bahan belajar. Meski ini karya terjemahan, tapi enak dibaca dan perlu (kok jadi kayak majalah?). Dibuka dengan deskripsi lanskap beserta ragam komposisinya, selanjutnya Pak Pearson membawa kita menemui bermacam karakter. Saya tak yakin apakah Pak Pearson, yang guru besar bahasa Inggris dan jurnalistik di Old Dominion University ini, sudah mengenal sebelumnya siapa-siapa yang ia ceritakan. Penggambarannya akan setiap orang yang ia temui dalam tiap perlawatan begitu mengesankan—menunjukkan perhatian mendalam penulis pada lawan bicaranya.

James Robert adalah “Si Bocah Besi”, julukan heroik seperti juga manusia terbang, atau penemu jalan, atau tukang jagal. Julukan itu memang menggambarkan orangnya. Tangannya seperti paron dan dadanya selebar sekat kapal. Setengah abad yang lalu, ia pasti bagaikan besi yang menempa banyak penantangnya. Seperti Shine, ia adalah jagoan di Angkatan Darat, di kelas ringan di Benteng Stuart, Georgia, selama Perang Dunia II. (hal. 244)

Masih banyak contoh lain.

Lewat hasil wawancara dengan orang-orang itulah pembaca bisa mengetahui seberapa besar pengaruh para sastrawan Amerika dalam buku ini terhadap (sampel) masyarakat di lokasi yang penulis lawat—meskipun para sastrawan itu sudah meninggal berpuluh tahun lampau. Kita akan bertemu orang-orang yang terinspirasi (contoh dalam bab tentang Frost), orang-orang yang tak terkesan (contoh dalam bab tentang O’Connor), orang-orang yang kiranya merepresentasikan tokoh rekaan sang sastrawan (contoh dalam bab tentang Hemingway atau Twain), hingga para kenalan maupun kerabat sang sastrawan sendiri.

Mark amat berhasrat untuk bicara, seakan-akan semangat publisitas yang begitu mudah ditembus telah menyemangati dia pula. Wajahnya berbintik-bintik sehingga mengingatkan kita pada wajah Tom Sawyer, …. …. …serta dua buah anting-anting di telinga kirinya bisa diibaratkan seorang Tom Sawyer di masa menjelang abad kedua puluh satu. (hal. 427)

Penulis memang tidak dapat menyinggung semua orang yang ia temui, namun apa yang termuat dalam buku yang diberi kata pengantar oleh Budi Darma ini sudah cukup merangsang saya untuk membuat catatan perjalanan saya sendiri.

Dalam salah satu suratnya, Frost menulis, “Aku pergi untuk menyelamatkan dan memperteguh pribadiku.” (hal. 32)

Mantap. Begitu mengundang untuk melakukan perjalanan demi penemuan dan harapan.

Selain pemaparan relatif terperinci mengenai tempat dan manusia-manusia yang mendiaminya (kadang menjemukan, tak terhindarkan), bagian yang paling saya tunggu adalah cerita mengenai sang sastrawan itu sendiri. Mungkin karena pada bagian ini saya jadi bisa mengidentifikasikan diri saya—bikin merenung sekaligus jadi sarana pemahaman diri,

Boris Paternak suatu ketika berkata bahwa manusia busuk tidak bakal dapat menjadi penyair yang baik. Menurut tebakanku, yang kita harapkan dari penyair itu justru nilai kebaikannya. Mereka bisa saja pemabuk atau sosok pemarah bermata jalang, tapi kita mengasumsikan bahwa semangat kebebasannyalah yang memicunya sampai meledak-ledak. Kemarahan mereka dibakar oleh kebenaran. Percikan kepribadiannya memberi ilham. Demikianlah kita berharap dapat mengguratkan keliaran dalam para penyair kita, dan bila kita tidak mampu begitu raihlah hal terbaik berikutnya: yakni kebijaksanaan. (hal. 25)

Steinbeck adalah seorang yang pemalu dan tertutup. Semua yang diinginkannya hanyalah menjadi penulis. (hal. 314)

sentilan,

Faulkner pernah menulis, “Antara kesedihan dan ketiadaan, aku memilih kesedihan.” (hal. 92)

Namun ia tidak pernah mengasihani dirinya sendiri, begitu pun ia tidak pernah dengan penuh perasaan merenungkan karakternya. (hal. 211, ihwal Flannery O’Connor)

Suatu ketika Flannery O’Connor berujar bahwa penulis pada mulanya tumbuh dari melahap literatur lebih banyak daripada melahap kehidupan… (hal. 220)

Menulis, dari sisi terbaiknya, adalah suatu kehidupan yang sendiri… [Penulis] tumbuh dalam ketinggian masyarakat sambil memancarkan kesepiannya. Dan kerap pekerjaannya merusuhkan.
Ernest Hemingway,
Pidato Hadiah Nobel.
 (hal. 223)

dan sumber inspirasi.

”Bahan-bahan untuk penulis fiksi,” katanya pada suatu ketika, “adalah hal-hal yang paling sederhana. Fiksi itu menyangkut segala sesuatunya yang amat manusiawi dan kita ingin menghapus debu, dan bila Anda mencaci-maki setelah mendapati diri Anda berdebu, Anda pun tidak akan bisa menulis fiksi. …” … “Orang-orang tanpa harapan tidak akan menulis novel.” (hal. 222, masih ihwal Flannery O’Connor)

Pada halaman 82, ada uraian tentang betapa Frost mengetahui secara detail alam yang jadi latar syair-syairnya. Ini perlu diperhatikan karena pengungkapan detil  penting fungsinya untuk menghidupkan suasana sehidup-hidupnya. Kata seorang wanita di halaman 40, “Frost menjadikan hal terkecil di alam ini tampak penting.” Sementara itu kata penulis, “Frost membaca alam ini ibarat membaca buku. Namun untuk dapat membaca alam seperti membaca buku, Anda harus lebih dulu membaca dengan baik sejumlah buku.” (hal. 82)

Saya paling suka bagian tentang Steinbeck—seluruhnya.  Mungkin karena saya merasa karakternya paling mirip dengan saya. Kalau pun ternyata tidak mirip benar, saya ingin jadi seperti itu. Di samping ingin mempelajari objektivitas Hemingway dan kekocakan Twain, keunggulan-keunggulan Steinbeck adalah yang paling ingin saya miliki juga. Sebetulnya memang baru tiga pengarang ini yang karyanya sudah saya baca, lainnya yang disebut dalam buku ini belum. Yang paling bikin saya terkesan dari Steinbeck adalah perhatiannya terhadap kaum akar rumput. Dalam satu-satunya karyanya yang sudah saya tamat baca, “The Grapes of Wrath” edisi bahasa Indonesia alias “Amarah” jilid 1 & 2 terbitan YOI, ia mengulas kehidupan kaum ini dengan sedemikian hidupnya. Terasa begitu riil dengan akhir yang ganjil.

Bagaimanapun berkualitasnya karya-karya yang mereka hasilkan, saya kira kebesaran para sastrawan juga disebabkan oleh persinggungan langsung mereka dengan masyarakat. Hemingway sering nongkrong di klub. Steinbeck ikut tinggal di perkampungan para buruh. Kemasyhuran yang mereka peroleh bukan hanya karena apresiasi dari para pembaca, tapi juga karena peran kaum yang mungkin dalam seumur hidupnya tidak pernah membaca karya mereka.

Bicara soal apresiasi, masyarakat Barat tampak mengapresiasi benar sastrawan-sastrawannya yang amat termasyhur. Di Duval Street, ada perayaan Hemingway selama tujuh hari di akhir bulan Juli. Sesuai gambaran penulis, perayaan ini tampak semarak dengan adanya lomba-lomba, beragam suvenir dan potret Hemingway, dan lain-lain. Mark Twain bahkan menjadi nama yang menjual di Hannibal. Itu di Amerika, di Eropa—Dublin, tepatnya—ada pula Bloomsday yang dihelat setiap 16 Juni oleh para penggemar James Joyce. Sebagaimana yang diceritakan Sigit Susanto dalam bukunya, “Menyusuri Lorong-lorong Dunia jilid 2, Kumpulan Catatan Perjalanan”, James Joyce telah menjadi ikon Dublin. Jelasnya, sastrawan yang satu ini telah berjasa memperkenalkan Dublin pada dunia melalui karyanya—mungkin seperti itu.

Saya bertanya-tanya, adakah di Indonesia bentuk penghargaan macam begini terhadap sastrawannya? A. A. Navis mungkin bisa menjadi nama yang menjual di tanah Minang, atau bisa pula ada perayaan oleh para penggemar Pramoedya Ananta Toer setiap tahun. Ah, tapi sebelum kocek dirogoh lebih dalam untuk mendanai kontes mirip Taufiq Ismail, receh yang ada mungkin sebaiknya disisihkan dulu untuk menyelamatkan, uhm, sebuah pusat dokumentasi sastra?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...