Selasa, 05 April 2011

Dari Para Pendahulu


Judul : Cerita Pendek Indonesia 3
Pengarang : (ramai-ramai)
Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1979

Ini adalah sebuah album hijau. Menguning sudah lembaran-lembaran di dalamnya. Terdapat bercak-bercak yang memantik imajinasi pada beberapa halaman. Dalam nuansa zadul inilah termuat nama para maestro sastra Indonesia yang mestilah kita kenal: W. S. Rendra, Budi Darma, Taufiq Ismail, dan lain-lain yang keseluruhannya berjumlah 22 orang yang berarti ada 22 cerpen dalam kumpulan ini.

Tak efisien bagi saya untuk mengkaji satu per satu cerpen yang ada. Namun kiranya merupakan hal berguna untuk merangkum hal-hal penting yang kita dapatkan dari sesuatu.

Saya terkesan akan bagaimana latar belakang pengarang memengaruhi tema cerpen-cerpen yang ia hasilkan. Cerpen mereka yang ada dalam buku ini adalah yang temanya berhubungan dengan dunia mereka itu. Pengalaman Bur Rasuanto bekerja di Stanvac Palembang membuat cerpen-cerpen awalnya mengungkapkan kehidupan di daerah kilang minyak di Sumatera Selatan. SL. Supriyanto yang bekerja di PLN menggarap banyak cerpen tentang kehidupan orang-orang di dunia pelistrikan. Demikian  pun dengan S. N. Ratmana dan H. B. Soepijo yang berprofesi sebagai guru, cerpen mereka menceritakan tentang kehidupan seorang guru. Cerpen Titis Basino dan Ima Suwandi juga demikian. Tentu saja tema cerpen mereka lainnya tidak terbatas hanya di dunia profesi mereka saja.

Ada pula pengarang lain yang dapat menjabarkan deskripsi pekerjaan sebuah profesi sedemikian rupa meski kiranya latar belakang mereka tidak berhubungan. Sebut saja NH. Dini dengan “Penanggung Jawab Candi” maupun Ras Siregar dengan “Muntik No. 11”. Keluasan pengetahuan dan kedalaman penghayatan pengarang akan kehidupan yang ia sajikan membuat nuansa cerita menjadi hidup. Tidak hanya pada cerpen yang menyangkut suatu profesi saja sebetulnya. Cerpen-cerpen lain dalam buku ini pun memberikan nuansa yang demikian.

Ide cerpen bisa jadi adalah pengalaman pengarang sendiri, seperti yang terasa dalam sebagian besar cerpen, di antaranya adalah “Warisan” (Ayatrohaedi), “Telepon (Sori Siregar), dan “Kisah dalam Kereta Api” (M. Alwan Tafsiri”. Wallahu alam apakah sangkaan saya ini benar atau tidak, yang jelas saya jadi ingat saran Novakovich dalam bukunya, “Berguru kepada Sastrawan Dunia”, untuk menemukan ide dengan cara menggali masa silam—hal-hal paling berkesan dalam hidup kita. Sesungguhnya kita punya sumber ide yang begitu kaya!

Biasanya, makna yang hendak disampaikan pengarang baru menyentil di akhir cerita. Ini saya rasakan pada banyak cerpen dalam buku ini namun yang paling menohok adalah cerpen “Transaksi” karya Umar Nur Zain. Tak menyangka sebelumnya, ternyata saya sudah pernah membaca karya pengarang tersebut saat SMA, yaitu novelnya yang saya temukan di perpustakaan sekolah, “Picadilly”. Dalam cerpen “Transaksi”, pengarang kali ini menjadi seorang bapak pejabat kaya raya berumur 50 tahun yang menyelamatkan seorang anak yang hampir buta matanya dengan cara yang ehm. Sebenarnya ini sudah terbaca sepanjang berjalannya cerita, tapi pengarang menegaskannya di akhir. Ini menimbulkan efek menyentil yang bikin terperangah—setidaknya buat saya. Saya jadi paham bagaimana mereka yang sebetulnya jahat, tak peduli benar pada rakyat, menjadi tampak tak berdosa. Mereka punya kuasa untuk membeli pembenaran.

Cerpen lain yang berkesan adalah “Garong-garong” karya Taufiq Ismail. Cerpen ini adalah serentetan kejadian satir yang menjadi kocak karena kegamblangannya serta terkesan teatrikal karena keabsurdannya. Saya membayangkannya bagai sebuah pentas teater. Tapi unik juga kali ya kalau ada film macam begini, semacam “Banyu Biru” begitu mungkin. Alur yang seperti letupan petasan di malam-malam Ramadhan menggelitik saya agar kelak bisa menghasilkan karya-karya semacam—jelas saja dengan orisinalitas saya sendiri. Ah, pokoknya ini cerpen favorit saya dalam kumpulan ini meski amat panjang dan ada beberapa bagiannya yang saya tak paham!

Nuansa satir saya temukan juga pada “Biograpi Abangku” (Alex Leo), “M. S. Karachi” (Bur Rasuanto), dan “Bala” (Idrus Ismail). Saya jadi bertanya-tanya bagaimanakah situasi pemerintahan kita pada saat itu (sepertinya pasca runtuhnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru), memang Indonesia itu tak bisa lepas dari budaya KKN ya?—kecuali pada cerpen “Bala” yang sebetulnya mengangkat soal klise: betapa manusia hanya ingat Tuhan kalau sudah tertimpa bala. Dari “Transaksi” dan “M. S. Karachi”, saya jadi ngeh bahwa salah satu trik menyampaikan satir adalah dengan menggunakan sudut pandang si oknum alias pelaku kemungkaran itu sendiri. Jadilah pembenaran-pembenaran yang menyentil. Silahkan tertawakan diri Anda sendiri. Keberhasilan satir tampaknya ada pada bagaimana kita membawakannya dengan gaya acuh tak acuh seakan itu bukan hal penting untuk dipersoalkan.

Cerpen lain yang bisa jadi penggelitik untuk berimajinasi ngaco adalah “Anak”, dari Budi Darma. Namun memang begitulah ciri khas bapak yang satu ini bukan? Sebagian cerpen saya rasa hanya sekedar bercerita saja, ada yang akhirannya sudah bisa ditebak dan apa pula yang memantik pikir. Cerpen “Warisan” karya Ayatrohaedi memang tidak terasa sebagai yang terakhir itu. Cerita berjalan layaknya pengalaman biasa saja namun di akhir cerita ada simpati yang mengisi hati saya pada si tokoh utama.

Begitulah karya sastra. Ia menyentuh pikir dan rasa. Kita bisa belajar banyak tentang kehidupan darinya. Namun betapapun ia suatu realita, ia tetap fiktif jua. Maka saya perlu memberi peringatan pada para pecandu fiksi agar tidak membiarkan diri tenggelam begitu dalam akan dunia ini. Sebaik-baiknya pelajaran adalah yang dapat diaplikasikan bukan? Percuma kita menghimpun banyak pelajaran namun tak dapat mengaplikasikannya di kehidupan nyata. Sehanyut-hanyutnya kita dalam dunia fiksi, kaki kita masih berpijak di dunia nyata, pada ubin yang kita rasakan langsung dinginnya. Semoga tak sia-sia kerja para pengarang ini dalam membangun kearifan pembacanya dalam berhubungan langsung dengan masyarakat.

2 komentar:

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain