Minggu, 25 Maret 2012

Ternyata Menulis Novel Itu Tidak Sekadar Mengkhayal



Judul : Galaksi Kinanthi
Pengarang : Tasaro GK
Penerbit : Salamadani, Bandung, 2009

Kinanthi adalah seorang anak dari Gunung Kidul. Di dusunnya, ia kerap mengalami penolakan dari masyarakat karena bapaknya yang penjudi serta ibunya dianggap baulawean[1]. Dalam kondisi seperti itu, hanya Ajuj yang mau menemaninya. Dan hanya Mbah Gogoh pula yang mendukung hubungan mereka.

Selepas SD, Kinanthi ditukar orangtuanya dengan 50 kg beras. Ia sempat mengenyam pendidikan SMP sekaligus jadi pembantu di rumah Pak Edi dan Bu Eli di Bandung. Namun nasib Kinanthi tetap tragis, bahkan kian menjadi-jadi. Sahabat satu-satunya, Euis, menjadi korban kriminalitas. Kematian cowok yang menyukainya, Gesit, membuat Kinanthi dikeluarkan dari sekolah. Setelah beberapa lama dikurung dalam rumah, Kinanthi dikirim ke Arab Saudi sebagai TKW.

Di jazirah para nabi, Kinanthi mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Ia harus bekerja keras, mendapat perlakuan tak menyenangkan, hingga nyaris diperkosa. Ia pindah dari satu majikan ke majikan lain. Namun Kinanthi masih punya keberanian. Ia menyimpan pisau buah dalam gamisnya untuk mengancam orang yang hendak berlaku tak senonoh padanya. Ia meninju dahi wanita yang berbuat kasar padanya. Entah berapa kali ia melarikan diri. Sesekali ia bertemu orang baik seperti Pak Doelahadi dan Borte, namun nasibnya baru berubah ketika ia ikut hijrah ke Amerika bersama sebuah keluarga dari Kuwait.

Di Amerika, penyiksaan belum berhenti, bahkan semakin parah. Kinanthi menjadi bulan-bulanan beberapa keluarga Arab sekaligus. Puncaknya, ia berhasil diperkosa dan hamil. Ia pun melarikan diri ke sebuah masjid. Ia ditolong Arsy, seorang wanita dari Mesir, lalu Miranda, interpreter dari Indonesia. Ia dibawa ke pengadilan imigrasi yang kemudian membebaskannya dari lingkaran setan tersebut. Kinanthi menjadi warga Amerika.

Dalam belasan tahun, Kinanthi bermetamorfosis menjadi Prof. Kinanthi Hope, Ph. D. Usianya belum mencapai kepala tiga, namun ia sudah menjadi guru besar di suatu universitas. Ia juga menulis buku-buku best seller yang membuatnya dijuluki Queen of New York. Rumahnya saja seperti rumah Keanu Reeves dalam film Lake House.

Dalam kegemilangan tersebut, hati Kinanthi tak tenang. Ada kenangan masa kecil yang selalu mengganjal di sana. Kenangannya bersama Ajuj. Ajujlah yang selalu ia ingat kapan pun di mana pun. Sejak meninggalkan Gunung Kidul hingga bersekolah di Amerika, Kinanthi telah mengirim 113 surat pada Ajuj. Tak satupun terbalas.

Demi menjawab gejolak hatinya tersebut, Kinanthi kembali ke Indonesia. Dulu Kinanthi adalah gadis desa nan pemalu, tapi kini ia wanita modern yang sangat bergaya dari Amerika. Apakah Kinanthi berhasil menemukan Ajuj? Bagaimana keadaan Ajuj kini? Akankah kegamangan hati mereka selama ini mencapai muaranya? Bagaimana dengan Zhaxi—editor yang telah membesarkan nama Kinanthi—yang diam-diam mendamba Kinanthi?

***

Kinanthi adalah pusat dari cerita ini. Ia mengalami pengembangan karakter yang baik. Ia tidak melulu digambarkan positif dengan kegigihan dan keberaniannya. Kita juga bisa merasakan kesombongannya ketika ia kembali ke dusun. Karakternya mengingatkan saya pada karakter Nyai Ontosoroh yang dikarang Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berhasil mengangkat diri dari keadaan yang hina menjadi wanita modern nan berkuasa. Kendati demikian, itu tidak lantas membuat mereka jadi manusia yang begitu sempurna. Nyai Ontosoroh tidak berhasil mendidik anak-anaknya. Kinanthi angkuh dan hampir-hampir tak beragama. Dan kekuatan karakter Kinanthi ini setidaknya mengimbangi karakter-karakter lainnya yang relatif kurang atau bahkan tak bergejolak.

Apalagi ketika dalam tiga halaman terakhir, plus bagian dalam sampul belakang, pengarang novel ini mengungkapkan sejumput proses kreatifnya.

Rasanya seperti habis mengakhiri perjalanan jauh. Menuliskan kepadamu apa yang diceritakan Kinanthi sungguh menguras energi. Aku tidak terlalu mengenalnya, kecuali setelah hari-hari kami menjelajahi berbagai tempat di Gunung Kidul sambil kudengarkan setiap kerat cerita hidupnya.
…jika pada suatu pagi gerimis, bau tanah basah mengurai penciumanmu dengan romantisme dan engkau bertemu dengan keduanya di suatu tempat… tolong kabari aku segera. Aku sungguh ingin tahu…

Saya suka ketika seorang pengarang menganggap karakternya begitu nyata. Seakan jejak kakinya juga tampak di tanah. Atau setidaknya, ia terasa sungguhan hidup dalam benak sebagaimana yang dialami Budi Darma.

Jika kelakuan karakter bikin Budi Darma mengarang novel yang alurnya rada ganjil, penataan adegan dalam Galaksi Kinanthi justru terkesan dirancang rapi. Ada suspense terasa di beberapa bagian.

Misal, saat Borte nan baik hati sempat bersinggungan dengan Kinanthi di suatu pasar di Kuwait. Sebagai pembaca yang bersimpati, kita berharap pertemuan itu akan berlanjut dengan Borte menolong Kinanthi yang tengah melarikan diri dari majikan yang ke sekian. Namun setelah persinggungan itu mereka malah tidak melanjutkan interaksi. Borte menyetop taksi sedang Kinanthi entah ke mana. Sesaat kita kecewa (lalu si Borte ini fungsinya apa sih?). Ternyata di bagian berikutnya, Kinanthi memaksa masuk ke dalam taksi yang di dalamnya ada Borte. Hore.

Ketidakpastian juga melanda ketika Kinanthi dan Ajuj sudah bersua namun ternyata Ajuj hendak dinikahkan dengan Sumarsih. Permasalahan tidak lantas selesai. Kejadian demi kejadian mampir bertubi-tubi hingga menggantungnya adegan terakhir.

Pengarang berhasil membenamkan emosi para karakter ke dalam sanubari kita. Sesekali selera humor pengarang menyembul dan bikin kita mendengus. Beberapa adegan terlampau dramatis, tapi biarlah. Maka kita berangan-angan novel ini difilmkan. Endorsement-nya berasal dari nama-nama yang wow pula, sebut saja Dewi “Dee” Lestari, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, dan sebagainya.

Membaca novel ini ibarat mengendarai mobil di sepanjang pantai pasir putih, sebut saja salah satu pantai indah di Gunung Kidul yang fotonya ditampilkan di halaman belakang. Panoramanya bisa kita nikmati, namun sayang jalannya tidak rata. Ada saja hal-hal mengganjal terasa di sepanjang perjalanan. Hal-hal yang bikin saya menyimpulkan bahwa novel ini merupakan contoh bagaimana ide yang wah digarap dengan kurang halus. 

Natural, please!

Bayangkanlah dirimu menjadi anak SMP lagi—kelas 1 SMP tepatnya. Kamu akan ulangan PPKn. Gurumu sudah menulis soal esai di papan tulis. Kamu dan teman-teman sekelasmu tengah menyalinnya ketika guru lain tiba-tiba masuk ke kelas. Apa yang kamu pikirkan ketika guru tersebut mengabarkan pada kamu dan teman-temanmu sekalian dalam bahasa seperti ini, “Euis menjadi korban kriminalitas di atas angkot sepulang dari Pasar Ujung Berung.”

Kiranya ia lebih tepat berprofesi sebagai penyiar berita di TV ketimbang guru bukan?

Dan kebijakan mana yang mengizinkan ia menyela KBM, bahkan membuat ulangan ditunda (ayo teriak “hore” lagi), hanya untuk memberitakan peristiwa tragis iniapakah Euis kepala sekolah? Kenapa ia tidak menunggu sampai jam istirahat lalu mengumumkannya ke seantero sekolah lewat mikrofon di ruang TU? Atau mungkin ia juga bisa memberitakannya lewat kertas di papan pengumuman? Tapi begitulah kejadian dalam Galaksi Kinanthi halaman 102.

Agak janggal juga bagi saya menyimak percakapan antara Ajuj dengan Kinanthi maupun Kinanthi dengan Euis. Mereka bicara soal cinta, penyalur pembantu rumah tangga, hak untuk digaji, apalah. Usia mereka masih awal belasan tahun. Hal mana bikin saya bertanya-tanya, waktu saya masih umur segitu emang saya sama teman-teman saya udah bisa ngebicarain yang begituan ya? Ngerti apa? Atau mungkin juga intelektualitas saya serta kalangan sebaya saya tidak setinggi para anak-anak dalam novel ini, pengalaman pun tak seluar biasa itu.

Dialog yang bermunculan setelah Kinanthi jadi profesor terasa lebih lucu lagi. Tapi biarlah kamu membacanya sendiri supaya kamu terhibur secara langsung.

Anak SMP ngekos?

Gesit Setiawan adalah siswa yang bunuh diri setelah cintanya ditolak Kinanthi. Ia kakak kelas Kinanthi. Saat itu mereka masih SMP, kalau tidak salah tahun 1992. Gesit berasal dari Garut. Ia ngekos di Bandung. Ia juga dibekali motor Tiger dan kunci vila di daerah Tangkuban Perahu.

Sewaktu saya masih SMP, ada teman sekelas saya—dari Garut juga—yang ngekos. Tapi ia ngekos bersama kakaknya. Selain dia, saya tidak tahu soal anak SMP ngekos. Kalau teman SMA sih banyak.

Makanya ini menakjubkan bagi saya. Bagaimanapun Gesit hebat. Orangtuanya sudah berani ngekosin dia kendati usianya masih sebelia itu.

Satire itu kata sifat?

Saya baru tahu kalau kata “satire” itu bisa digunakan sebagai kata sifat, atau setidaknya menggambarkan suatu ekspresi. Ini tidak lazim sehingga saya merasa janggal ketika mendapatkannya dipergunakan demikian dalam Galaksi Kinanthi.

Coba tengok beberapa.

Kinanthi tertawa kecil, satire. “Aku lupa. Mungkin kelas empat atau lima SD.” (hal. 307)
Ajuj tersenyum satire. (hal. 336)
“…Tentu Engkau tidak mudah percaya kata-kataku,” ada tawa satire, “tetapi aku sungguh-sungguh kali ini.” (hal. 399)
Zhaxi tersenyum. Satire kelihatannya. (hal. 416)
Tawa satire, “Tapi saya kira Anda tidak akan pernah sampai di sana meski saya menunggu sampai hari terakhir napas saya terembus.” (hal. 430)

Dalam KBBI elektronik yang saya miliki, satire adalah kata benda. Dalam kesusastraan, satire adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire juga bisa berarti sindiran atau ejekan saja.

Memang kewenangan pengarang untuk bermain-main dengan kata, meski saya rasa akan lebih baik jika pengarang dapat menempatkan kata sesuai proporsinya.

Kinanthi oh Kinanthi

Di halaman 7, Kinanthi disebut sebagai profesor muda berlatar pendidikan kedokteran, tapi menguasai hampir segala bidang perbincangan—apapun yang engkau obrolkan di ruang seminar sampai ke coffee shop, demikian kata narator. Menyoroti latar pendidikan kedokteran Kinanthi, hal ini ditunjukan pengarang melalui adegan Kinanthi memberi kuliah di Universitas Washington dan Kinanthi memeriksa akibat dari kecelakaan yang menimpa Ajuj di gunung gamping.

Apakah “berlatar pendidikan kedokteran dan menguasai hampir segala bidang perbincangan” membuat uraian narator berikut ini bisa diterima?

…”Masih akan ada gempa susulan, tapi tidak akan sebesar yang pertama,” begitu kata Kinanthi memberi pengertian. Menurut pengalamannya. Menurut keilmuannya. (hal. 388)

Memangnya kedokteran mempelajari kegempaan juga ya?

Pada intinya, pengarang ingin menampilkan sebuah karakter yang mampu bangkit dari keterpurukan dan menjadi hebat—sehebat menampilkan wilayah di berbagai bagian bumi sebagai latar novel.

Saya kira sebetulnya Kinanthi tetap bisa dianggap hebat meski ia hanya seorang doktor dan beberapa bukunya best seller—belum lagi pembawaannya—sebagaimana Dr. Temperance Brennan dalam serial AS, “Bones”, tanpa harus digambarkan sampai sebegitunya, sampai bisa menjadi guru besar dalam belasan tahun saja, sampai dijuluki Queen of New York, sampai menguasai hampir segala bidang perbincangan, sampai novel percintaannya terancam diganjar Pulitzer…

Penampilan Kinanthi dalam novel ini bisa lebih baik tanpa pengarang harus memaksakannya untuk memahami berbagai bidang. Pengarang cukup memahami betul satu saja, kalau bukan beberapa, bidang yang menjadi fokus Kinanthi. Bagaimana Kinanthi mampu mengaitkan bidang yang benar-benar dikuasainya itu dengan berbagai hal yang umum justru menjadi daya tarik sendiri. Penampilannya pun bisa jadi bakal terasa lebih natural.

Atau jangan-jangan memang karakter Kinanthi sehebat itu sehingga pengarang dituntutnya untuk mengimbangi? Wahai Kinanthi, kasihanilah pengarangmu, ia kewalahan. Beberapa pembaca bisa merasakan betapa serangkaian narasi dan dialog ini sekadar tempelan, yang akan terbang begitu angin berhembus.

Dan sebagai orang yang besar di Bandung, lebaran di Jogja, lalu kuliah di Jogja, tapi KTP-nya Bandung, saya amat terkejut dengan pernyataan ini.

…Dia baru sadar, sejak kemarin malam, dia telah terpisah jarak hampir seribu kilometer dari dusun kelahirannya.
Ini Bandung. (hal. 92)

Jarak Stasiun Bandung – Stasiun Tugu saja tidak sampai 500 km kaleeee… Memang jarak dari Stasiun Tugu sampai Gunung Kidul bisa sampai 500 km ya? Atau dari Gunung Kidul Kinanthi dibawa ke Surabaya dulu baru ke Bandung?

Mungkin kita harus mengeluarkan Zhaxi, sang editor "bertangan ajaib", dari dalam novel ini untuk membenahi kerapuhan dunia yang membungkusnya. Namun terlepas dari segala kejanggalan yang ada, rentetan informasi dan pemikiran yang juga menyerta dalam novel ini merupakan bagian dari upaya pengarang yang harus kita hargai. Permasalahan utama terletak pada bagaimana mengungkapkan detail-detail yang telah dihimpun dari riset ke dalam bentuk yang senatural mungkin. Sebanyak apapun pohon eboni yang kita miliki, kita tidak akan bisa bikin mebel yang ergonomis tanpa kemampuan bertukang yang mumpuni.***


[1] Setiap laki-laki yang menikahinya akan mati

Selasa, 20 Maret 2012

“Episodes”: Secuil Pelajaran dari Industri Serial AS


Sumber:  http://www.seriemaniacos.com.br/blog/conheca-episodes/   

Saya suka menonton serial komedi. Lebih spesifik lagi: produksi AS yang terakses oleh operator TV kabel langganan keluarga saya, sebut saja “Community”, “30 Rock”, “The Big Bang Theory”, “Monk”, dan sebagainya. Kadang saya berangan-angan membuat serial komedi saya sendiri. Sebuah refleksi kehidupan sehari-hari dalam suatu lingkungan dengan para karakter yang kuat, dengan nilai-nilai yang sesuai kebudayaan saya sendiri. Di samping kepiawaian dalam membikin saya tersentil lantas tertawa, serial komedi AS kadang mempertunjukkan hal-hal yang bagi saya tidak patut. Dengan demikian angan-angan saya yaitu terjun dalam dunia pertelevisian sebagai penulis skrip serial komedi ala Indonesia.

Serial “Episodes” yang tengah tayang di FX mempertunjukkan saya bagaimana realitasnya apabila angan-angan saya itu terwujud. Situasi industri pertelevisian di AS dengan di Indonesia mungkin tak persis sama, namun kegoncangan budaya itu niscaya. Banyak hal dalam budaya pertelevisian AS yang menjadi masalah bagi tokoh utama serial tersebut yang orang Inggris, begitupun saya kelak (ingat: ini cuman angan-angan!) dengan dunia pertelevisian yang saya awam sekali. Ketika menulis ini, saya baru menonton episode 2 dan episode 3 dari serial tersebut dan saya menyukainya. Serial yang diproduksi tahun 2011 ini mendapat rating 7,6 dari 10 di situs Internet Movie Database dan baru saja diganjar Golden Globe berkat Matt LeBlanc sebagai aktor berpenampilan terbaik.

Alkisah, sepasang suami-istri penulis skrip, Sean dan Beverly Lincoln hijrah dari Inggris ke AS—tepatnya Los Angeles. Sebelumnya mereka telah membuat sebuah serial yang tenar di Inggris. Seorang produser dari AS meminta mereka untuk mengadaptasi serial tersebut untuk pemirsa AS. Konflik pun mulai bertaburan. Skandal demi skandal di antara orang-orang yang bekerja dengan mereka terungkap. Matt LeBlanc, aktor yang tenar berkat serial “Friends”, digadang-gadang sebagai bintang serial. Ulah sang aktor yang banyak maunya malah membuat hubungan Sean dan Beverly bergejolak. Sementara Beverly yang keras kerap tidak dapat menahan diri ketika konsepnya diacak-acak, Sean cenderung permisif, menjaga hubungan dengan orang-orang, dan fleksibel.

Animasi yang menjadi pembuka serial menggambarkan bagaimana sebundel naskah terbang melintasi Big Ben, menembus awan, mengarungi Samudra Atlantik, menyusuri lorong di antara bebatuan besar, hingga tercerai-berai setibanya ia di Hollywood. Sebuah idealisme dalam benak penulis bisa jadi kacau balau begitu bersentuhan dengan pihak-pihak yang memiliki beragam kepentingan.

Pelajaran yang paling saya ingat dari episode 3 serial ini adalah ketika Matt ingin mengubah salah satu karakter dalam konsep serial pasangan Lincoln. Di Inggris, serial dibuat dalam format series sedangkan AS menggunakan format season. Jika 4 series berarti 24 episode, maka di AS 24 episode baru terhitung sebagai 1 season. Dan AS bisa membuat sebuah serial hingga ber-season-season. Serial “Friends” saja mencapai 236 episode. Dalam konsep serial pasangan Lincoln, sebuah karakter lesbian memang cukup untuk dieksplorasi dalam 4 series saja. Namun dalam industri pertelevisian AS yang membuka kemungkinan untuk jumlah episode yang lebih banyak, karakter tersebut sebaiknya tidak lesbian karena akan membatasi pengembangan karakternya. Dengan demikian kita harus membuat karakter yang bisa selalu berkembang. Begitulah menurut Matt, terlepas dari apapun kepentingannya di balik penjelasan ini.

Dalam teori mengenai fiksi, karakter bisa dikategorikan menjadi karakter datar (flat character) dan karakter bulat (round character). Jika suatu karakter digambarkan sebagai orang yang baik sejak awal hingga akhir cerita, maka ia adalah karakter datar. Jika ia mengalami perubahan karakter dalam perjalanan hidupnya itu, maka ia adalah karakter bulat. Tertanam dalam otak saya, karakter yang ideal adalah karakter bulat—bulat seperti bola. Ia bisa menggelinding, memantul-mantul, bahkan penyok.  Maka itu saya menyukai karakter utama yang antihero. Karakter antihero terasa sangat manusiawi dan realistis, meski saya tidak bisa memungkiri bahwa sosok hero juga bertebaran dalam realitas.

Ketika sebuah karakter muncul dalam kepala saya, saya langsung bisa membayangkannya sebagai sosok yang sungguh ada. Namun itu hanya seperti ketika saya melihat seseorang. Saya masih perlu untuk mengamatinya, mendekatinya, berkenalan lebih jauh dengannya, dan bagian yang paling penting adalah mendengarkannya bercerita. Dan ia tidak menceritakan kehidupannya seketika. Setelah menceritakan sesuatu, ia akan meninggalkan saya dengan catatan mengenai kehidupannya yang belum tentu utuh, belum tentu layak disajikan dalam sebuah cerpen atau novel. Sewaktu-waktu, ia datang kembali untuk memperbarui catatan saya tentangnya. Jika ia tidak kunjung datang sementara saya tengah merindukannya, membutuhkannya, saya akan berusaha agar ia muncul. Entah itu dengan membaca, mengobrol dengan orang lain, atau sekadar jalan-jalan sambil mengamati interaksi orang-orang di sekitar.

Maka menggarap karakter adalah sebuah proses panjang. Saya bersyukur ketika teman saya bilang kalau karakter-karakter dalam novel pertama saya—yang digarap sendiri—bisa dipercaya. Saya butuh lima tahun untuk memahami mereka sebelum mampu untuk menuliskannya dalam lima hari saja. Maka bagi saya, proses pembuatan cerpen tidak semengesankan proses pembuatan novel. Proses pembuatan cerpen layaknya sebuah pertemuan singkat dengan seseorang atau orang-orang, sementara proses pembuatan novel seperti tinggal bersama dengan seseorang, atau orang-orang, atau sebuah keluarga, atau dari keluarga satu ke keluarga lainnya, dalam suatu lingkungan atau berbagai lingkungan selama periode waktu tertentu.

Rumit. Maka itu menarik. Ketika saya menonton serial AS—tidak mesti komedi karena saya juga menggemari serial nonkomedi macam “Bones”—saya terpukau dengan bagaimana para karakter tampil sewajar mungkin. Sekilas mereka tampak seperti orang-orang biasa, tidak kentara perbedaan karakter di antara mereka. Namun ketika kita mengikuti cerita lebih lanjut, mereka terasa makin seperti orang-orang biasa, ya, dengan beragam sifat yang manusiawi bercampur aduk dalam diri mereka hingga membentuk sebuah kepribadian. Sesuatu yang membedakan mereka antar satu sama lain—tidak melalui penampilan fisik dan gestur saja. Mereka bisa begitu mengagumkan di satu waktu sekaligus menyebalkan di waktu lain.

Kembali pada serial “Episodes”. Selain suka pada aksen khas pasangan Lincoln, kecanggungan mereka dalam menghadapi orang-orang AS yang mereka temui merupakan kelucuan bagi saya. Mereka juga cenderung sopan dan memiliki norma. Saat menontonnya, di kepala saya melaju sebuah pikiran. Di luar sana orang-orang bekerja dalam ritme yang cepat. Begitu sibuknya mereka, tanpa mereka sadari sebagian orang mengambil keping-keping kehidupan mereka untuk disajikan kembali dengan rekayasa sedemikian rupa hingga menjadi hiburan bermakna. Ketika orang-orang sibuk tersebut rehat sejenak dengan menyetel serial, mereka menertawakan kehidupan yang sebetulnya refleksi dari kehidupan mereka sendiri. Tapi ketika mereka menjalaninya, mereka tak menyadari bahwa itu serangkaian lelucon. Mereka tak menertawakannya, mereka mengeluhkannya.***

Senin, 19 Maret 2012

Upil Bandung



Kemarin kutanya kawan,
"Apa langit Bandung pernah biru?"
Pagi ini kusaksikan
jawabannya di muka rumahku.


yah lumayanlah rada biru. ternyata sampai siang juga masih biru. lalu ketika dilihat lagi, kelabu seperti biasa.

Sebelumnya, kusangkakan kelabu berkepanjangan
hingga aku mengarang puisi macam demikian.


Upil Bandung


Sumber: http://citizenimages.kompas.com/blog/view/10369-Polusi-di-Bandung 

Tiap hari warga Kota Bandung harus mengupil.
Nafas pendek-pendek, tak kuasa cegah debu hilir mudik sepanjang rongga hidung.
Aliran udara terasa kasar, tanda tak murni.
Apa guna pepohonan, langit selalu tampak kelabu.
Disinyalir itu bukan mendung, kita menghirupnya setiap waktu.
Kita terbunuh pelan-pelan karenanya.
Dengan lapisan polutan menaungi sebagaimana lapisan roti pada zuppa-zuppa, Bandung adalah kota yang tak sehat, kota yang berbahaya.
Tanyakan saja pada koloni jerawat yang tumbuh dari paparan kotoran di wajahmu.


Di tengah kencang deru angin, yang menuai sendawa dan kentut menggelegar, masih bisa kudengar kicauan ramai geng burung gereja. Hanya satu jenis ini yang tahan merajai kota berpolutan. Besok, aku akan meninggalkan kota ini untuk yang ke sekian kali. Aku tidak tahan berlama di sini, di kota yang telah merasuki jiwaku.

Minggu, 18 Maret 2012

Bibliomania


Ia lebih tidak tahan untuk tidak membeli buku ketimbang baju dan sepatu. Sebetulnya ia juga menghabiskan uang papanya untuk keperluan lain. Camilan, barang khas wanita, apapun yang seperlunya—maka itu dinamakan keperluan. Tapi khusus untuk tiga bulan ini, ia sudah mengumpulkan tumpukan struk tersendiri dari dua toko buku yang paling sering ia kunjungi—di samping tiket masuk kolam renang karena ia ternyata menyukai renang.

Mari kita cek bacaan apa saja yang ia beli sejak awal tahun 2012 hingga tiga bulan berselang.

Janna edisi Januari 2012 (7,5K)
Metodologi Penelitian Kualitatif (38K)
Psikologi Sastra (55K)
The Journalist (32,2K)
Pokoknya Kualitatif (56K)
Horison edisi Februari 2012 (20K)
Manifesto Khalifatullah (18,4K)
Kritikus Adinan (15K)
Catatan Mahasiswa Gila (26,6K)
Even Angels Ask (48,9K)
Sahara (27,3K)
Al-Quran (51,8K)

Dari judul-judul di atas tentu kau sudah dapat menerka-nerka bagaimana kiranya wanita tersebut. Namun tidak sampai setengah dari daftar di atas yang sudah ia baca hingga tamat. Kiranya pula ada buku-buku lain yang ia beli dalam rentang waktu yang sama, namun ia tidak menyimpan bukti pembeliannya.

Ia membeli buku untuk disimpan dalam rak dan baru dibaca ketika orang lain sudah membacanya, atau setelah bertahun-tahun kemudian, atau ada suatu hal yang bikin ia meneguhkan niat untuk menamatkannya. Ketika ia memiliki kesempatan untuk meminjam buku dari perpustakaan atau orang lain, ia akan memprioritaskan buku pinjaman tersebut ketimbang buku miliknya sendiri.

Ia bahkan membeli Al-Quran, seolah belum cukup banyak buku serupa di rumahnya.

Saat seorang teman memperlihatkan Al-Quran dengan terjemah per kata dan asbabun nuzul, seketika itu ia menginginkannya. Asbabun nuzul—ia memiliki keinginan terpendam untuk dapat memahami Al-Quran secara kontekstual. Menurutnya, adalah hal penting untuk bisa mengetahui latar belakang sesuatu. Ini merupakan sebuah tahap dalam upaya pemahaman.

Temannya membeli Al-Quran tersebut di seberang masjid. Ketika mereka menghampiri tempat penjualannya, ternyata Al-Quran macam demikian dengan ukuran yang diinginkan sudah tidak tersedia. Ia tidak menghendaki ukuran yang besar dengan alasan kepraktisan. Ia hendak membawanya keluar kota, ke mana-mana.

Sore. Ia mengikuti sebuah forum di selasar masjid yang lain. Ia duduk dekat dinding kaca yang menyekat selasar tersebut dengan bagian dalam masjid. Ia mendengar ada ketukan pada kaca tersebut. Ketika ia menoleh, ia melihat sampul sebuah Al-Quran yang tidak hanya dilengkapi terjemah per kata dan asbabun nuzul, melainkan juga terjemah Kementerian Agama RI, ayat doa, ayat tasbih, intisari ayat, dan indeks tematik.

Sebagian orang bisa jadi berpikir ini adalah pertanda. Kendati ia menampik pikiran demikian, ia tahu ia harus mengalami kemajuan dalam proses pembacaan Al-Quran. Sekadar tulisan arab dan terjemah tidak lagi cukup. Niat untuk membeli Al-Quran tersebut mendekam dalam benaknya.

Ia menyadari bahwa Al-Quran adalah buku yang paling sering ia baca—secara sistematis. Ketika ia sudah menamatkannya, ia akan membacanya ulang dari awal. Semula ia membaca satu halaman sehari, setiap habis solat mahgrib atau solat isya, lalu menjadi satu lembar sehari, masih pada waktu yang sama, lalu menjadi satu lembar setiap habis solat wajib. Namun ia tidak biasa bepergian dengan membawa Al-Quran. Sehingga ketika ia menunaikan solat wajib di luar rumah, niat itu tidak terpenuhi. Namun setidaknya ia membaca lebih dari satu lembar sehari.

Dan baginya, tidak afdol kalau membaca tulisan arab Al-Quran tanpa sekalian mengetahui terjemahnya. Sekadar tulisan arab tidak akan mengubah dirimu jika kamu tidak tahu apa artinya. Dan kendati Al-Quran adalah buku yang selalu ia baca, ia tidak pernah benar-benar memahami isinya. Ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana Al-Quran memengaruhi kehidupannya. Ia sekadar membacanya, sebagaimana ia terhadap buku-buku lain. Bahkan buku-buku lain lebih mudah dipahami hanya dengan sekali baca.

Memang sesekali, dengan spidol kuning ia tandai ayat tertentu yang ia rasa menyentuhnya. Ia juga sedang mengumpulkan ayat yang memuat hujan.

Sepanjang ia mencari Al-Quran idamannya di toko buku, ia menelusuri judul demi judul buku yang berkaitan dengan Islam. Ada kesenangan tebersit sembari pertanyaan itu lagi-lagi berhembus di dalam benaknya, kapan kamu bakal baca buku-buku kayak gitu?

Pemahamannya terhadap Al-Quran mungkin akan bertambah dengan membaca buku-buku itu.

Kadang ia terpikir bahwa agama adalah suatu hal yang rumit. Ketika pekan lalu adik kelasnya saat SMA membicarakan tentang agama, ia ingin menghindarinya. Meski ia senang dengan bagaimana A. A. Navis dan Jeffrey Lang mengkritisi Islam sebagai cara untuk menguatkan keimanan—ia bahkan membayangkan pasangan hidup yang memiliki ketertarikan serupa—ia sekaligus sadar bahwa perkara ini sebetulnya memusingkan. Namun pandangannya tetap. Agama bukan sesuatu yang hanya bisa digapai dengan hati, karena banyak sekali Allah melontarkan pertanyaan pada pembaca firman-Nya, “Maka apakah kamu tidak berpikir?”

Agaknya hanya satu ayat itu, yang sebetulnya berjumlah banyak karena diulang-ulang, yang tercantol dalam kepalanya.

Bagaimanapun, ia senang melihat buku-buku meski ia tidak tahu apakah ia akan dapat melahap mereka. Ia dibesarkan dengan banyak buku. Dan entah bagaimana buku-buku meresapkan energi menulis yang tak habis-habis ke dalam dirinya. Menulis, aktivitas yang membuatnya harus berpikir.

Ia mungkin akan kembali untuk buku-buku itu, buku-buku di bagian agama, entah kapan, untuk melepaskan dahaga dan kebodohan yang ditahan-tahan. Keingintahuan ini harus dijaganya agar selalu menyala. Islam saja tak habis-habis, pikirnya. Maka ia bersyukur atas minat baca yang ia miliki, yang membuatnya ingat pada firman pertama Allah—“bacalah”, meski yang dimaksud barangkali tak mesti teks—lalu menyangkut pada ayat lain dalam Quran, “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”

Meski ia tidak memahami mengapa ia harus bersyukur atas keingintahuan terpendamnya untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam. Ia tahu, ya, Allah telah menyuruhnya berpikir, namun terlebih dulu ia merasakan bahwa ini mungkin akibat iman. Sesuatu yang menggerakkannya untuk terus mencari tahu, mendorongnya untuk mendekatkan diri pada ilmu, hingga menjadi pemburu bacaan, agaknya itu iman.

"...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu. ..." (Q.S. Al-Hujurat 7)

***

Sabtu, 17 Maret 2012

Kebebasan?


The Hours, saya sudah menonton versi filmnya yang dibintangi Meryl Streep, Julianne Moore, Claire Danes, dan Nicole Kidman. Ternyata dalam versi novelnya, nama Meryl Streep sudah disebut-sebut. Justru dia memerankan tokoh yang mana merasa telah bersua Meryl Streep di jalan pada suatu kesempatan—atau mungkin aktris terkenal lainnya.

Mungkin saya masih SMA ketika saya menonton film The Hours. Dan mungkin juga saya sempat tertidur di tengah-tengah, sebab ada beberapa adegan dalam novel karya Michael Cunningham ini yang baru saya ketahui—selebihnya dapat disesuaikan dengan yang divisualisasikan dalam film. Tapi apa yang tertera di novel tak mesti persis dengan yang di film kan? Film yang diganjar Oscar dan Golden Globe tersebut, sebagaimana dalam versi novelnya, merupakan rangkaian adegan-adegan yang begitu wajar, begitu “biasa” dalam kehidupan sehari-hari, namun disajikan secara mendalam, bagaimana detail-detail kecil dalam kehidupan dapat mengungkit kerumitan pikiran.

Cerita ini adalah tentang sepenggal dalam kehidupan tiga orang wanita pada zaman dan lokasi yang berbeda: Virginia Woolf, 1923, Richmond; Laura Brown, 1949, Los Angeles; dan Clarissa Vaughn, akhir abad kedua puluh, New York City. Virginia sedang berusaha menulis novelnya yang kelak termasyhur, Mrs. Dalloway. Laura sedang berusaha mencuri kesempatan untuk membaca novel Mrs. Dalloway. Sedang Clarissa kerap dipanggil “Mrs. Dalloway” oleh sahabatnya, Richard. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Mereka juga sama-sama berhasrat terhadap sesama wanita. Namun tidak hanya itu.

Kehidupan mereka tampak baik-baik saja. Mereka seharusnya bahagia.

Virginia memiliki suami yang mencintainya. Mereka tinggal di Richmond sebagai bagian dari upaya penyembuhan Virginia, meski wanita tersebut merindukan hiruk-pikuk London. Virginia seharusnya dapat menciptakan novelnya dengan tenang di pinggiran kota, namun ada saja keresahan dipendamnya.

Laura menjalani kehidupan seorang istri konvensional yang ideal. Ia memiliki suami yang perhatian, anak balita yang menyayanginya, serta jabang bayi dalam kandungan. Yang harus ia pikirkan semata bagaimana menjalankan rumah tangga dengan baik. Namun ada saja hal-hal kecil yang mengusik pikirannya.

Clarissa hidup dalam masyarakat yang sudah lebih kompleks. Lingkungannya berisi orang-orang yang menyukai sesama jenis, pun dirinya—juga dua wanita sebelumnya. Dan ia memang bahagia. Kerisauannya tidak sebesar kepeduliannya akan Richard yang mengidap AIDS. Dan apa hubungan antara Richard dengan Laura?

Versi Indonesia novel ini diterbitkan Jalasutra (Yogyakarta: 2008) dan saya tidak bisa mengatakan hasil terjemahannya buruk, melainkan konsentrasi sayalah yang demikian. Agaknya butuh otak cemerlang untuk dapat mengetahui mengapa novel ini begitu berarti, hingga Pulitzer Prize untuk Fiksi (1999) dan PEN/Faulkner Award (1999) dianugerahkan padanya. Apakah karena isu mengenai kebebasan orientasi seksual yang dimuatnya?

Bagaimanapun, dari novel ini kita dapat mempelajari bagaimana keseharian yang tampak sepele dapat digali sedemikian rupa hingga mencuatkan pikiran-pikiran yang memicu tindakan. Hidup kita adalah rentetan daripadanya, namun kita harus bergerak cepat, sebagaimana zaman seolah tak pernah henti melesat, hingga kita tak lagi sempat untuk menangkap remeh-temeh tahu-tahu berimbas vital itu.

 Air tenang menghanyutkan, karena yang tak dalam itu air beriak, begitu kata peribahasa. Saya paham bagaimana kehidupan yang tenang dapat menyuntikkan kerawanan tersendiri, lantas membuncah jadi kegalauan hebat pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana Virginia dan Laura alami—dengan kemasan berbeda tentu saja. Kehidupan yang dijalani tampak oke, namun ada sesuatu di dalam diri yang mencari-cari, yang mengatakan bahwa hidup tak bisa selamanya begini. Sungguhkah kita mau terjebak dalam kebahagiaan? Yakinkah bahwa kita hanya ingin menjalani apa yang kita inginkan? Yang saya pahami kini, kelabilan dalam kehidupan adalah keniscayaan.

Pada akhirnya, Virginia bunuh diri sedang Laura meninggalkan keluarganya. Entah pula apa yang para tokoh lainnya dalam novel ini cari. Mungkin memang saya kurang berminat untuk menyelam, atau karena di kedangkalan saja saya telah meragukan kebahagiaan dalam persepsi mereka, jenis kebahagiaan berdasar ideologi negeri yang mereka tinggali. Mungkin juga berkat beberapa kalimat dalam esai Wildan Nugraha, “Menulis Bebas dan Bagus”[1], yang saya tandai sebelum saya menamatkan novel ini.

…mereka justru harus berhadapan dengan liberalisme di banyak ranah kehidupan… oleh karena tidak memiliki daya yang cukup dalam mengantisipasi laju dan semangat zaman tersebut, mereka pun lebih banyak terpinggirkan, lalu pada gilirannya tidak sedikit yang mengidap skeptisisme kalau bukan putus asa, kehilangan semangat hidup. 

Manusia dikutuk bebas karena dia tidak menciptakan dirinya sendiri… Begitu dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. (mengutip Sartre—dyh) 

…kebebasan sering kali berakhir dengan kebingungan… Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu akan mengisi dengan apa.


[1] Dibagikan dalam forum Kamisan FLP Bandung, selasar Salman ITB, 15 Maret 2012

Jumat, 16 Maret 2012

beri tahu aku bagaimana rasanya renang di saroga


semula tak begini rasanya
kau protes karena tak ada atap
harga tiket nan dua kali lipat biasa
titip barang ke orang harus bayar pula

sebandingkah dengan luas kolam renang skala olimpiade?

panorama 
langit nan tak pernah tak kelabu
bersanding dengan rimbun hutan yang mengklamufase arena tarung domba

sekaligus kau icip
sensasi berenang
di bawah hujan
di bawah guntur bersambar-sambar

lain kali begitu cerah
dengan angin sekali-sekali menghempas
kau rasa arungi samudera
saat meluncur memanjang

saat tiba nafasmu terengah-engah
kau topang kepala pada tepian
dan tengadah
saksikan panorama
tubuhmu mengambang
dimain-mainkan gelombang
bergoyang tenang dalam kebeningan...

lalu
dengan mulia
kau evakuasi serangga demi serangga
yang terapung

saking kau semangat
hingga ingusmu melesat
namun tak seorang pun lihat
maka tak usahlah kau merasa jahat
tularkan virus, tak secuil pun niat

sebenarnya kau belum terlampau lelah
namun kau cukupkan sudah

ketika kau lucuti pakaianmu di bilik
kau dapati tubuhmu belang bak tapir

=8, 15 Maret 2012=

Rabu, 14 Maret 2012

Lokasi menarik di sekitar Gunung Padang

Mumpung ke Gunung Padang, sekalian saja sambangi dua lokasi lain yang juga menyimpan sejarah.

Lokasi terdekat adalah makam tua di bukit belakang Gunung Padang. Sebetulnya dulu lokasi ini merupakan pemakaman umum. Karena suatu hal, pemakaman tersebut dipindahkan meski masih ada beberapa makam yang dibiarkan. Salah satunya adalah makam milik seorang kepala perkebunan bernama Hadiwinata yang wafat pada tahun 1947. Ada dua makam lain yang dapat diidentifikasi yaitu makam uyut Pak Nanang serta makam dengan tulisan “WAPAT”, “ALLOH”, dan “1947”, sedang makam-makam lainnya nihil informasi.

Makam sang juragan kepala

Lokasi berikutnya terletak pada ketinggian yang lebih rendah, seingat saya sebelum perkebunan teh, yaitu Stasiun Lampegan. Ada penunjuk jalan yang membedakan arah ke stasiun tertua di Pulau Jawa—mungkin juga di seluruh Hindia Belanda—tersebut dengan arah ke Gunung Padang, jadi lokasi ini mudah dicapai. Bangunan-bangunan dengan arsitektur zadul masih bisa dijumpai di seberang stasiun.

Ayo siap-siap turun!

Tidak jauh dari stasiun, terdapat sebuah terowongan yang dibangun pada tahun 1879 – 1892 dengan memapas bukit. Kata “lampegan” konon berasal dari Bahasa Belanda, “lamp gaan”, yang berarti “nyalakan lampu”. Karena terowongan gelap, maka masinis meneriakkan kata ini supaya petugas menyalakan lampu. Namun menurut Bang Ridwan, kata “lampegan” juga terdapat dalam kamus bahasa Sunda, yaitu sejenis tumbuhan.

Menelusuri jejak Nyi Sinden

Hawa dingin seketika menyambut begitu terowongan sepanjang 415 meter itu dimasuki. Ada lubang-lubang di sepanjang dindingnya sebagai tempat keluar air. Pada bangunan yang memanfaatkan lembah semacam ini, lubang-lubang tersebut memang harus dibuat agar air tanah dapat dikeluarkan alih-alih merusak bangunan.

Cahaya...! Cahaya...!

Cerita horor juga meliputi terowongan ini. Ketika terowongan ini selesai dibangun, Belanda mengundang seorang sinden untuk mengisi peresmiannya. Selesai menyanyi, sinden tersebut pergi ke arah terowongan dan tidak pernah kembali. Pada malam tertentu, akan terdengar suara gamelan dari dalam terowongan.

Grafiti dalam terowongan: *ENKOU

Setelah dua kali ambruk, tidak ada lagi kereta yang melewati terowongan yang terakhir direnovasi pada tahun 2010 ini, pun melintasi stasiun. Kereta terakhir yang menuju ke sini berangkat dari Ciroyom pukul enam pagi setiap hari Sabtu, namun baru kembali ke tempat semula pada hari berikutnya. Kini terowongan itu malah dilalui oleh pengendara sepeda motor.

Menilik rel yang terentang di depan stasiun ini, peruntukkannya adalah untuk kereta penumpang. Ukuran rel untuk kereta barang tidak lebih lebar dari ini. Bukan tidak mungkin kereta jenis tersebut juga dapat melintas di sini tapi fungsi utamanya bukan untuk itu.

Pabrik dan tahun produksi besi rel teridentifikasi dari bagian dalam besi rel tersebut, salah satunya Cockerill –1909. Sekitar masa itu, jalur ini dilalui kereta jurusan Batavia – Bandung hingga empat trayek dalam sehari. Jarak sepanjang itu bisa ditempuh dalam tiga jam. Tidak ada ubahnya dengan sekarang, padahal di Jepang dan Eropa 600-an kilometer sudah dapat ditempuh dalam 4 – 6 jam saja dengan kereta. Begitulah perkembangan teknologi kita.

Pemerintah kabupaten berencana memfungsikan kembali rel ini untuk mendukung pariwisata di Gunung Padang.***

Selasa, 13 Maret 2012

Meraba Titik Terang Misteri Gunung Padang (Bagian 2 - Tamat)

Filosofi Gunung Padang

Padang berarti tanah yang datar dan luas (tidak ditumbuhi pohon-pohon yang berkayu besar) ataupun lapangan[1]. Gunung Padang memang hampir tampak demikian. Hanya beberapa pohon yang tumbuh di puncaknya, usia mereka pun konon belum lanjut, sedang selebihnya adalah hamparan rumput dengan batu-batu bergelimpangan. Bukit-bukit (masing-masing bernama) dengan vegetasi yang tampak lebih rimbun mengelilinginya. Saya kira Gunung Padang sendiri lebih menyerupai bukit.

Kata “padang” rupanya berasal dari bahasa Sunda yang berarti “terang”. Sebetulnya kata ini terdapat dalam bahasa Jawa juga dengan arti yang sama. Jika dikaitkan dengan interpretasi bahwa situs ini merupakan tempat pemujaan, maka penamaan Gunung Padang bisa berarti pencerahan yang didapat setelah melakukan pemujaan.

Pak Nanang, salah satu juru pelihara Gunung Padang

Ada lagi menurut Pak Nanang. Suatu malam ia tengah berada di Gunung Padang dan menyaksikan kemunculan cahaya menyerupai kubah masjid dari ujung situs hingga ke bawah. Rupanya cahaya ini terlihat pula oleh warga yang bermukim di sekitar bukit ini. Jadi penamaan Gunung Padang adalah karena gunung ini merupakan gunung yang bercahaya, sebagaimana Jabal Nur di Timur Tengah.

Bangunan hijau di seberang baru didirikan sekitar dua bulan lalu, ketika Gunung Padang kembali ramai. Sayang pengunjung yang menaikinya belum sadar kebersihan. Sampah seperti kacang, kulit telor, plastik bertebaran di lantainya.

Dalam diskusi di lantai dua bangunan di tepi situs, Pak Nanang mengungkapkan filosofi mengenai Gunung Padang dari sudut pandang seorang muslim yang dipadu dengan cerita warga setempat alias folklor. Setiap keunikan legok, bentuk, maupun posisi batu mengandung simbol-simbol yang Islami, serta filosofi yang berkaitan dengan konsep kepercayaan masyarakat pada masa itu terhadap Sang Pencipta. Dengan cara itulah, secara aksara belum ditemukan, orang pada zaman itu membahasakan maksudnya. Ia menganggap tempat ini lebih sebagai tempat untuk bertafakur dan mendapatkan pencerahan, atau istilahnya uzlah, sebagaimana Nabi Muhammad SAW di Gua Hira.

Sebagai orientasi, Gunung Gede merupakan simbol dari keagungan Tuhan. Gunung Gede merupakan kiblat, pusat dari kegiatan pemujaan pada Yang Kuasa, sebagaimana Mekkah bagi umat Islam kini. Meski saat itu Islam belum disempurnakan, Islam sudah ada sejak manusia pertama, Nabi Adam AS, menjejakkan langkah di bumi.

Dua batu menyerupai tiang yang berdiri di undakan pertama disebut Eyang Pembuka Pintu dan menyimbolkan dua kalimat syahadat. Di undakan atasnya ada kumpulan batuan yang disebut Gunung Masigit, di mana ada batu yang bentuknya merupakan simbol dari orang yang sedang bersujud ke arah Gunung Gede.

Hamparan batu yang di tengah itu bernama Gunung Masigit

Di atasnya lagi, ada bebatuan yang disebut Eyang Mahkota Dunia. Suatu Kamis malam, Pak Nanang datang ke mari meminta petunjuk pada Allah SWT akan makna dari penamaan tersebut sembari memandang bintang-bintang. Lalu ia merasa mendengar bisikan bahwa yang dimaksud dengan mahkota adalah kehormatan sehingga mahkota dunia adalah kehormatan dunia. Seseorang memperoleh kehormatan di dunia bukan karena kekayaan yang ia miliki, melainkan karena ia bisa memberi—berzakat.

Di undakan ketiga, ada batu yang disebut Kramat Tunggal, yaitu batu dengan cetakan semacam kujang pada permukaannya. Kramat berarti tempat, tunggal adalah satu, sedang kujang bisa diartikan sebagai sesuatu untuk dipegang. Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan sendiri apa makna dari batu tersebut.

Legok yang seperti kujang

Batu selanjutnya adalah Bandung Tunggal alias Batu Gendong. Bandung berarti agung sedang tunggal adalah satu—Agungkan Yang Satu. Batu yang terletak sebelum undakan terakhir ini menarik pengunjung untuk coba-coba mengangkatnya. Konon jika kita berhasil mengangkat batu tersebut, keinginan kita akan terkabul. Namun menurut Pak Nanang, batu ini semacam sambutan, “Silahkan anda melaksanakan perjalanan ke tingkat yang terakhir (undakan kelima—dyh) dengan catatan anda harus kuat dulu dari satu ke empat (empat undakan sebelumnya—dyh), Agungkan dulu Yang Satu.”

Tangkep, Maaang...!

Pada undakan terakhir ada semacam singgasana atau hamparan untuk tempat mengheningkan cipta—beristirahat setelah semua terlalui. Di situ ada batu cukup besar yang disebut Batu Pandaringan. Batu lonjong yang nyaris terbaring ini menghadap ke Gunung Gede dan dianggap sebagai akhir dari prosesi pemujaan. Batu ini memiliki energi yang luar biasa. Sinyal elektronik, misalnya pada ponsel dan GPS, sangat kuat di sini. Menurut Bang Ridwan, dulu posisi batu tersebut lebih tegak. Karena dianggap keramat, selain memberi sesajen, pengunjung juga mengambili tanah di bawah batu untuk dibawa pulang sehingga lama-lama batu kekurangan pijakan. Robohlah ia. Selain di bawah batu ini, sesajen juga dijumpai di atas batu pada undakan yang lebih bawah dalam wujud dua pasang pisang, serta bebungaan di pojok Sumur Cinta. Justru pengunjung yang menaruhnya di situ, bukan penjaga.

Energizer stone

Selain undakan utamanya yang lima, Pak Nanang mengungkapkan trivia lain yang serba lima dari Gunung Padang. Dari undakan satu ke undakan kedua terdapat lima undakan kecil lain. Kebanyakan batu di sini—90%-nya—memiliki lima sudut. Ada lima gunung yang mengelilingi situs ini yaitu Gunung Karuhun, Emped, Gunung Malati (perkebunan teh), Pasirmalang, dan Gunung Batu. Dan lagi, jika cuaca sedang cerah, dari salah satu titik pemandangan kita bisa melihat lima gunung dalam keadaan sejajar, yaitu Gunung Batu, Pasirpogor, Gunung Kencana, Gunung Gede, dan Gunung Pangrango. Orientasi situs ini ke arah Gunung Gede atau barat laut—5o lintang utara. Situs ini juga dekat dengan lima mata air. Ada apa dengan angka lima?

Salah satu batu dengan lima sudut

Kembali ke bebatuan, ada beberapa batu lain yang khas di situs ini antara lain batu lumbung yang menyimbolkan kesejahteraan, kumpulan bebatuan menyerupai tempat duduk untuk bermusyawarah, serta batu ceper di undakan pertama yang dianggap sebagai batu musik karena jika dipukul bunyinya seperti gamelan (disediakan palu untuk mencobanya).

Batu kursi

Tapak maung yang membuat situs ini dikaitkan dengan Prabu Siliwangi

Bagaimanapun, situs yang dianggap tertua di Asia Tenggara—mungkin juga dunia?—ini masih merupakan misteri, sebuah objek yang amat menarik bagi para peneliti dari berbagai disiplin ilmu.

Beberapa waktu lalu, pengeboran dilakukan pada undakan ketiga. Pada sampel tanah di kedalaman dua meter lebih, didapati pasir campur kerikil—pasir sungai—yang secara logika tidak mungkin ditemukan di kawasan tersebut. Dugaan sementara, pasir tersebut dibawa dari sungai lalu dihamparkan di sana sebagai penangkal bencana. Jika gempa terjadi, bangunan akan tetap stabil dengan keberadaan pasir di bawahnya. Hasil penggalian hingga kedalaman 24 meter menunjukkan bahwa bagian bawah bukit ini masih berupa bangunan. Usianya mencapai 6.700 tahun. Penggalian hendak dilakukan sampai kedalaman 40 meter namun ditunda karena pipa bornya tidak cukup.
                                                                                 
Bermacam interpretasi yang berseliweran dalam pikiran kami baru sebatas yang tampak di permukaan. Interpretasi pun sekadar interpretasi, sesuatu yang belum tentu pasti, karena tidak ditemukan catatan langsung dari pelaku maupun saksi pembangunan situs ini. Perjalanan menguak titik terang dari misteri Gunung Padang masih panjang.


Tulisan ini disusun hanya berdasarkan ingatan akan bacaan, pengalaman,  dan obrolan serta rekaman suara dan visual milik pribadi yang diambil selama perjalanan. Kebenaran informasi tidak dijamin. Wallahu alam.


[1] kata program Kamus Besar Bahasa Indonesia di komputer saya

Senin, 12 Maret 2012

Meraba Titik Terang Misteri Gunung Padang (Bagian 1)


Hamparan perkebunan teh mengantarkan dua bis kecil berisi para pegiat Aleut yang hendak menyambangi situs Gunung Padang, Minggu (11/03/12), di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur. Udara tak terlalu dingin, malah matahari dengan panasnya menghampiri. Saat itu sudah lewat tengah hari.

Akhirnya sampai jugaa...!

Dari tempat parkir, kami masih harus mendaki jalan menanjak yang cukup lebar—cukup untuk setidaknya satu mobil—dan tidak rata. Penjual makanan-minuman bisa ditemukan di sekitar tempat parkir. Setelah itu adalah deretan rumah penduduk di kanan-kiri jalan hingga tempat peristirahatan yang disediakan pengelola situs. Di sana terdapat musola, empat keran melingkar untuk berwudu, sepasang toilet yang masing-masing untuk PERIA dan wanita, ruang informasi, serta ruang ticketing dan pendaftaran. Di seberangnya terdapat warung, musola dan WC umum, serta gerobak-tenda bakso urat paribut dan mi ayam. Papan-papan yang menunjukkan bahwa kami sudah di lokasi meneteskan kelegaan.

Waa... ternyata masih harus mendaki...

Namun untuk melihat panorama menakjubkan yang dinanti-nanti, kami masih harus mendaki jalan menanjak lagi. Kali ini bukan jalan biasa, melainkan tangga yang tersusun dari bebatuan. Namun jangan tergesa-gesa. Di area muka tangga, sapukan pandangan sejenak ke arah kiri bawah dan temukan Cikahuripan yang dikenal juga dengan sebutan “Sumur Cinta”—sumber air nan jernih dengan cacing menggeliat di dasarnya.

Air kehidupan alias Love Well

Kendati ketenaran Gunung Padang baru semarak belakangan ini, kedatangan para pengunjung yang mengkultuskannya sudah berlangsung sejak lama. Prosedur awal dalam melakukan pemujaan seketika sampai di lokasi mencuci kaki di sumber air berbentuk kotak ini. Adapun penyebutan Sumur Cinta adalah berdasarkan cerita mengenai seorang pengunjung yang notabene jomblo yang membasuh wajahnya dengan air tersebut, lalu sekian minggu kemudian ia menikah. Bagaimanapun air dari sumber ini dianggap bertuah, ada saja pengunjung yang suka mengambilnya dengan menggunakan botol plastik.

Mendaki tangga berbatu yang relatif curam adalah sebuah perjuangan. Tidak terkira berapa panjangnya, yang jelas kita bakal ngos-ngosan begitu tiba di puncak, atau berhenti sesekali dengan lagak “di sini pemandangannya bagus ya, duduk dulu ah, nikmatin…” Yang menakjubkan adalah ketika kami bertemu dengan pengunjung berupa ibu-ibu atau ibu yang membawa anak kecil. Siapa sangka, rasa penasaran akan situs yang sedang tenar ini akan membuahkan kepayahan meniti jalan… tanpa tahu kalau di sisi lain bukit ini ada tangga yang relatif landai…

Istirahat dulu deh...

Konon tangga berbatu ini sudah digunakan para tukang bangunan ala megalitik untuk membawa batuan alias bahan bangunan ke puncak. Legok yang ditemukan pada permukaan batuan bukan tanpa arti. Bentuknya rapi, pas untuk menyimpan telur, dan seperti buatan. Ada banyak teori mengenainya, di antaranya bahwa legok merupakan ikatan antar batu, atau penguat, antara batu yang berlegok dengan batu yang dibawa ke puncak. Namun legok semacam ini rupanya terdapat juga pada batu-batu yang nantinya yang akan kami jumpai di atas. Bahkan ada yang bentuknya seperti tapak maung.

Ini tempat buat naruh telur

Kepayahan berbuah hasil. Lihatlah batu-batu hitam bergelimpangan di atas, dengan puluhan orang—kebanyakan anak muda—mendudukinya, sebentar lagi kitalah yang akan berpijak di sana! Begitu sampai, pilihlah satu satu batu untuk jadi sandaranmu sembari melepas lelah. Edarkan pandangan yang nanar ke sekeliling, jadi saya mendaki susah payah begini cuman untuk lihat batu-batu berserakan? Ya. Kita tidak perlu jauh-jauh ke Pulau Paskah, apalagi Stonehenge di daratan Britania, untuk menyaksikan langsung batu-batu berdiri yang menuai misteri. Ternyata negeri kita sendiri pun memiliki.

Sejarah mencatat situs ini ditemukan pertama kali oleh orang Belanda bernama N. J. Krom pada tahun 1914. Situs ini ditengarai sebagai kompleks tempat pemujaan yang dibuat pada ribuan tahun sebelum penanggalan masehi serta mengindikasikan peradaban yang lebih tua dari peradaban bangsa Mesir maupun Machu Picchu di Amerika Latin, bahkan Atlantis, yaitu Peradaban Sunda.

SItus ini sudah dikelola pemerintah sejak Serang belum termasuk Provinsi Banten melainkan Provinsi Jawa Barat, tepatnya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Papan-papan yang menunjukkan hal tersebut masih bisa kami temukan di lokasi yang dianggap sebagai suaka peninggalan sejarah dan purbakala wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung ini. Sedang peraturan yang berlaku terhadapnya adalah Undang-undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Posisi batu-batu sebetulnya membentuk pola tertentu yang membangkitkan bermacam interpretasi. Sesuatu yang pernah menghantam area ini, mungkin gempa, membuat mereka tampak berserakan. Jika dicermati, ada beberapa pasang batu yang relatif tegak dibanding batu-batu lain yang seakan bertumbangan. Pasangan demi pasangan batu menyerupai gapura tersebut membentuk jalur dari satu undakan ke undakan lain. Angan-angan saya dan beberapa kawan, jika kami melaluinya tahu-tahu kami akan sampai ke dimensi lain… Jika tidak begitu, dengan kami menggeser posisi salah satu batu, gemuruh akan muncul seraya membukakan gerbang menuju harta karun…

...mungkin juga gerbang menuju dunia lain...

Toh dulu area ini memang terkubur, mungkin akibat bencana, hingga pada tahun 1979 ada petani yang bermaksud menjadikannya lahan pertanian. Setelah cangkul diayun berkali-kali, tampaklah batu, dan ternyata ada lebih banyak batu, dan tersingkaplah bahwa ini bukan sekumpulan batu biasa. Ini adalah sekumpulan batu yang menarik para pencari kekuatan magis, pengetahuan ilmiah, berita, maupun penawar rasa penasaran… untuk menjamahnya.

Kabar dari pemerintah daerah Cianjur mengenai penemuan ini sampai pada kementerian. Tahun 1980, pengambilan sampel dimulai oleh badan arkeologi nasional bekerja sama dengan BP3 Serang. Tahun 1982, penggalian pertama dilakukan. Meletusnya Gunung Galunggung di Tasikmalaya pada tahun tersebut menunda upaya pemugaran sampai tahun 1985. Pada tahun itulah, para peneliti dari berbagai bidang seperti arkeologi, geologi, antropologi, sampai astronomi berlomba-lomba mengkaji dan tampaklah situs ini sebagaimana kini. Namun penelitian lanjutan baru marak dilakukan sejak pertengahan Januari tahun 2012 lalu.

Kini terdapat tiga orang kuncen dan sepuluh orang juru pelihara yang bekerja di sini. Salah seorang juru pelihara, Pak Nanang, menemani perjalanan pegiat Aleut kali ini. Dari rumahnya, ia biasa berjalan kaki ke situs selama kurang lebih seperempat jam—sama seperti jarak antar rumah saya dengan Bandung Super Mall (BSM) hehehe. Para penjaga lainnya pun berasal dari desa sekitar situ juga. Secara praktis, jam kerjanya tidak terbatas. Malam sekalipun, masih ada pengunjung yang ia temani. Dan ia sudah menjalani ini selama delapan belas tahun. Kunjungan ke Gunung Padang tidak akan lebih bermakna tanpa berbagai keterangan yang ia berikan. 


...selanjutnya Filosofi Gunung Padang...

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain