Hamparan perkebunan teh mengantarkan dua
bis kecil berisi para pegiat Aleut yang hendak menyambangi situs Gunung Padang,
Minggu (11/03/12), di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur.
Udara tak terlalu dingin, malah matahari dengan panasnya menghampiri. Saat itu
sudah lewat tengah hari.
Akhirnya sampai jugaa...! |
Dari tempat parkir, kami masih harus
mendaki jalan menanjak yang cukup lebar—cukup untuk setidaknya satu mobil—dan
tidak rata. Penjual makanan-minuman bisa ditemukan di sekitar tempat parkir.
Setelah itu adalah deretan rumah penduduk di kanan-kiri jalan hingga tempat
peristirahatan yang disediakan pengelola situs. Di sana terdapat musola, empat
keran melingkar untuk berwudu, sepasang toilet yang masing-masing untuk PERIA
dan wanita, ruang informasi, serta ruang ticketing dan pendaftaran. Di
seberangnya terdapat warung, musola dan WC umum, serta gerobak-tenda bakso urat
paribut dan mi ayam. Papan-papan yang menunjukkan bahwa kami sudah di lokasi
meneteskan kelegaan.
Waa... ternyata masih harus mendaki... |
Namun untuk melihat panorama menakjubkan
yang dinanti-nanti, kami masih harus mendaki jalan menanjak lagi. Kali ini
bukan jalan biasa, melainkan tangga yang tersusun dari bebatuan. Namun jangan
tergesa-gesa. Di area muka tangga, sapukan pandangan sejenak ke arah kiri bawah
dan temukan Cikahuripan yang dikenal juga dengan sebutan “Sumur Cinta”—sumber
air nan jernih dengan cacing menggeliat di dasarnya.
Air kehidupan alias Love Well |
Kendati ketenaran Gunung Padang baru
semarak belakangan ini, kedatangan para pengunjung yang mengkultuskannya sudah
berlangsung sejak lama. Prosedur awal dalam melakukan pemujaan seketika sampai
di lokasi mencuci kaki di sumber air berbentuk kotak ini. Adapun penyebutan
Sumur Cinta adalah berdasarkan cerita mengenai seorang pengunjung yang notabene
jomblo yang membasuh wajahnya dengan air tersebut, lalu sekian minggu kemudian
ia menikah. Bagaimanapun air dari sumber ini dianggap bertuah, ada saja
pengunjung yang suka mengambilnya dengan menggunakan botol plastik.
Mendaki tangga berbatu yang relatif
curam adalah sebuah perjuangan. Tidak terkira berapa panjangnya, yang jelas
kita bakal ngos-ngosan begitu tiba di puncak, atau berhenti sesekali dengan
lagak “di sini pemandangannya bagus ya, duduk dulu ah, nikmatin…” Yang
menakjubkan adalah ketika kami bertemu dengan pengunjung berupa ibu-ibu atau
ibu yang membawa anak kecil. Siapa sangka, rasa penasaran akan situs yang
sedang tenar ini akan membuahkan kepayahan meniti jalan… tanpa tahu kalau di
sisi lain bukit ini ada tangga yang relatif landai…
Istirahat dulu deh... |
Konon tangga berbatu ini sudah digunakan
para tukang bangunan ala megalitik untuk membawa batuan alias bahan bangunan ke
puncak. Legok yang ditemukan pada permukaan batuan bukan tanpa arti. Bentuknya
rapi, pas untuk menyimpan telur, dan seperti buatan. Ada banyak teori
mengenainya, di antaranya bahwa legok merupakan ikatan antar batu, atau penguat,
antara batu yang berlegok dengan batu yang dibawa ke puncak. Namun legok
semacam ini rupanya terdapat juga pada batu-batu yang nantinya yang akan kami
jumpai di atas. Bahkan ada yang bentuknya seperti tapak maung.
Ini tempat buat naruh telur |
Kepayahan berbuah hasil. Lihatlah
batu-batu hitam bergelimpangan di atas, dengan puluhan orang—kebanyakan anak
muda—mendudukinya, sebentar lagi kitalah yang akan berpijak di sana! Begitu
sampai, pilihlah satu satu batu untuk jadi sandaranmu sembari melepas lelah.
Edarkan pandangan yang nanar ke sekeliling, jadi
saya mendaki susah payah begini cuman untuk lihat batu-batu berserakan? Ya.
Kita tidak perlu jauh-jauh ke Pulau Paskah, apalagi Stonehenge di daratan
Britania, untuk menyaksikan langsung batu-batu berdiri yang menuai misteri.
Ternyata negeri kita sendiri pun memiliki.
Sejarah mencatat situs ini ditemukan
pertama kali oleh orang Belanda bernama N. J. Krom pada tahun 1914. Situs ini
ditengarai sebagai kompleks tempat pemujaan yang dibuat pada ribuan tahun
sebelum penanggalan masehi serta mengindikasikan peradaban yang lebih tua dari
peradaban bangsa Mesir maupun Machu Picchu di Amerika Latin, bahkan Atlantis, yaitu
Peradaban Sunda.
SItus ini sudah dikelola pemerintah
sejak Serang belum termasuk Provinsi Banten melainkan Provinsi Jawa Barat,
tepatnya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. Papan-papan
yang menunjukkan hal tersebut masih bisa kami temukan di lokasi yang dianggap
sebagai suaka peninggalan sejarah dan purbakala wilayah Jawa Barat, DKI
Jakarta, dan Lampung ini. Sedang peraturan yang berlaku terhadapnya adalah
Undang-undang no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Posisi batu-batu sebetulnya membentuk
pola tertentu yang membangkitkan bermacam interpretasi. Sesuatu yang pernah
menghantam area ini, mungkin gempa, membuat mereka tampak berserakan. Jika
dicermati, ada beberapa pasang batu yang relatif tegak dibanding batu-batu lain
yang seakan bertumbangan. Pasangan demi pasangan batu menyerupai gapura
tersebut membentuk jalur dari satu undakan ke undakan lain. Angan-angan saya
dan beberapa kawan, jika kami melaluinya tahu-tahu kami akan sampai ke dimensi
lain… Jika tidak begitu, dengan kami menggeser posisi salah satu batu, gemuruh
akan muncul seraya membukakan gerbang menuju harta karun…
...mungkin juga gerbang menuju dunia lain... |
Toh dulu area ini memang terkubur,
mungkin akibat bencana, hingga pada tahun 1979 ada petani yang bermaksud
menjadikannya lahan pertanian. Setelah cangkul diayun berkali-kali, tampaklah
batu, dan ternyata ada lebih banyak batu, dan tersingkaplah bahwa ini bukan
sekumpulan batu biasa. Ini adalah sekumpulan batu yang menarik para pencari
kekuatan magis, pengetahuan ilmiah, berita, maupun penawar rasa penasaran…
untuk menjamahnya.
Kabar dari pemerintah daerah Cianjur
mengenai penemuan ini sampai pada kementerian. Tahun 1980, pengambilan sampel
dimulai oleh badan arkeologi nasional bekerja sama dengan BP3 Serang. Tahun
1982, penggalian pertama dilakukan. Meletusnya Gunung Galunggung di Tasikmalaya
pada tahun tersebut menunda upaya pemugaran sampai tahun 1985. Pada tahun
itulah, para peneliti dari berbagai bidang seperti arkeologi, geologi, antropologi,
sampai astronomi berlomba-lomba mengkaji dan tampaklah situs ini sebagaimana
kini. Namun penelitian lanjutan baru marak dilakukan sejak pertengahan Januari tahun
2012 lalu.
Kini terdapat tiga orang kuncen dan
sepuluh orang juru pelihara yang bekerja di sini. Salah seorang juru pelihara,
Pak Nanang, menemani perjalanan pegiat Aleut kali ini. Dari rumahnya, ia biasa
berjalan kaki ke situs selama kurang lebih seperempat jam—sama seperti jarak
antar rumah saya dengan Bandung Super Mall (BSM) hehehe. Para penjaga lainnya
pun berasal dari desa sekitar situ juga. Secara praktis, jam kerjanya tidak
terbatas. Malam sekalipun, masih ada pengunjung yang ia temani. Dan ia sudah
menjalani ini selama delapan belas tahun. Kunjungan ke Gunung Padang tidak akan
lebih bermakna tanpa berbagai keterangan yang ia berikan.
...selanjutnya Filosofi Gunung Padang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar